Daftar Isi
Kitab Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim karya Ibnu Jamaah adalah kitab yang cukup komprehensif untuk pendidikan adab.
Para guru, pengelola lembaga pendidikan Islam, mubaligh, dan ustadz sangat direkomendasikan untuk membaca dan mendalami kitab ini.
Badruddin Ibnu Jamaah, Penulis Kitab Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim
Nama lengkap penulis kitab Tadzkiratu as-Sami’ wa al-Mutakallim fi adabi al-’alim wa al-muta’allim adalah Abu Abdullah Badruddin Muhammad bin Ibrahim bin Sa‘dullah bin Jamaah bin Ali bin Jamaah bin Hazim bin Shakhr al-Kinani al-Hamawi asy-Syafii.
Orang-orang lebih mengenalnya dengan nama Badruddin Ibnu Jamaah. Lahir pada Jumat malam, 4 Rabiulakhir, 639 H.
Sejak kecil Badruddin Ibnu Jamaah tumbuh dan berkembang di kediaman yang sarat akan ilmu dan lingkungan yang representatif, holistis, juga sangat religius.
Ia menghafal dan belajar al-Quran dan matan-matan ilmu langsung dari ayahnya. Dari garis keturunan, ia termasuk keturunan para alim ulama.
Ayahnya imam Badruddin Ibnu Jamaah; Ibrahim (w.675 H) dan kakeknya; Sa‘dullah sering memangku jabatan sebagai qadhi (hakim). Padahal sama-sama kita tahu, dalam peradaban Islam, jabatan qadhi (hakim) pada umumnya hanya bisa diduduki oleh ahli ilmu bukan sembarang orang.
Melihat kepada latar belakang keluarganya maka tak heran jika dalam perjalanan hidup beliau, nantinya beliau juga menjabat sebagai qadhi berkali-kali.
Badruddin Ibnu Jamaah belajar dan menimba ilmu dari guru-guru tersohor dan terkenal akan kealiman dan kesalehannya, antara lain Syarafuddin Abdil Aziz al-Anshari (w. 662 H), ar-Radhi ibnu al-Burhan (w. 664 H), ar-Rasyid al-‘Athar (w. 662 H), at-Tajj ibnu al-Qasthalani (w. 665 H), dan at-Taqiy ibnu Abil Yusr (w. 672 H).
Beliau juga belajar kepada pakar gramatika Arab tersohor, Imam Ibnu Malik (w. 672 H).
Adapun guru yang paling banyak mempengaruhi pemikirannya ialah Qadhi Taqiyuddin ibnu Ruzain (w. 680 H).
Sebagai seorang murid, Badruddin Ibnu Jamaah termasuk murid yang paling besar jiddiyah wal hamasah (kesungguhan dan semangat)-nya mengalahkan kawan-kawan seperguruannya dan termasuk yang paling menonjol di antara mereka dalam berbagai bidang keilmuan.
Terkisah, seseorang meminta pendapat kepada Imam an-Nawawi tentang fatwa-fatwa Badruddin Ibnu Jamaah. Imam an-Nawawi pun menilai jawaban-jawabannya tersebut sangat bagus.
Berikut ini beberapa karya ulama yang juga pakar di bidang tafsir ini:
- al-Manhal ar-Rawi;
- at-Tibyan li muhimmati al-Quran;
- al-Masalik fi ‘Ulumi al-Manasik;
- an-Najmu al-Lami’ fi Syarhi al-Jam’i al-Jawami’;
- al-Fawaid al-Laihah min Surati al-Fatihah; dan
- kitab yang sedang kita bahas saat ini: Tadzkiratu as-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adabi al-’Alim wa al-Muta’allim.
Dan masih banyak lagi karya beliau yang lainnya.
Karya-karya beliau yang mencakup banyak bidang ilmu syar’i menunjukkan kepada penguasaan yang mendalam terhadap multidisiplin keilmuan.
Selain berdakwah, aktifitas utama beliau lainnya ialah mengajar. Beliau pernah mengajar di Damaskus: di Qaimariyyah, al-‘Adiliyyah al-Kubra, asy-Syamiyyah al-Barraniyyah, dan tempat-tempat keilmuan yang ada di Damaskus lainnya.
Artikel Fikih: Hadiah Untuk Guru Dari Wali Murid Apakah Boleh Diterima?
Beliau juga pernah mengajar di Kairo: di ash-Shalihiyyah, an-Nashiriyyah, al-Kamiliyyah, Jami’ al-Hakim, Jami’ Ibnu Thulun, dan tempat-tempat keilmuan lainnya yang ada di kota Kairo dan kota-kota selainnya.
Aktivitas belajar mengajar yang terselenggara di tempat-tempat inilah, yang akhirnya melahirkan para ulama tersohor yang tak terhitung jumlahnya. Antara lain, Syamsuddin adz-Dzahabi (w. 748 H), Tajuddin as-Subki (w. 771 H), ash-Shalah ash-Shafdi (w. 764 H), dan anaknya sendiri; Izzuddin (w. 767 H).
Pribadi beliau, Badruddin Ibnu Jamaah, dikenal luas oleh banyak kalangan sebagai ahli ilmu yang warak, zuhud, berjiwa pemimpin, memiliki akal dan kecerdasan yang cemerlang, ahli ibadah, bertutur kata yang lemah lembut, karismatik, berparas rupawan, guru yang baik dan kompeten, dan berbagai sifat-sifat terpuji lainnya.
Beliau kembali ke haribaan Allah shubhanahu wa ta’ala pada malam Senin, 21 Jumadilawal, 733 H. Rahimahullah Ibn Jamaah wa Ajzala Lahu Tsawab.
Keistimewaan Kitab Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim
Kitab Islam klasik yang membahas masalah adab terhadap ilmu tak terhitung jumlahnya. Sebut saja, Imam an-Nawawi dengan karyanya Adabu al-’Alim wa al-Muta’allim, Imam al-Ghazali dengan karyanya yang sangat monumental Ihya’ Ulumiddin, dan Imam al-Bukhari dengan Adabu al-Mufrad.
Namun kitab Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim ini berbeda dengan kitab-kitab adab terhadap ilmu yang lain. Rasanya tidak berlebihan kalau dikatakan, karya al-Imam al-Qadhi Badruddin Ibnu Jamaah ini lebih komprehensif dan memiliki kekhasan tersendiri.
Salah satu alasannya, cakupan kitab yang berisikan lima bidang pembahasan tentang adab yang belum ditemukan di kitab-kitab adab lainnya.
Artikel Adab: Adab Makan Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
Bab satu, keutamaan ilmu dan ahlinya. Bab dua, adab seorang guru (‘alim) terhadap dirinya, murid-muridnya, dan adab dalam mengajar.
Bab tiga, adab murid terhadap diri sendiri, guru, teman, dan pelajaran. Bab empat, adab berinteraksi dengan buku-buku. Dan bab lima, adab tinggal di madrasah.
Susunan penyajian data dan referensi yang istimewa
Selain memilki keistimewaan dan keunikan dalam lima cakupan bidang adab di atas, buku ini juga memiliki keistimewaaan dan keunikan dalam susunan penyajian data dan referensinya.
Pertama,dimulai dari riwayat-riwayat yang telah disepakati oleh para ulama.
Kedua, dari apa yang penulis dapat langsung dari guru-gurunya.
Ketiga,dari hasil telaah penulis terhadap berbagai referensi lain.
Keempat,merupakan buah perenungan dan pemikiran hasil mudzakarah (mengulang-ngulang pelajaran).
Keempat keunikan ini dikolaborasikan dengan gaya penulisan yang singkat, padat, namun sarat makna. Misalkan dengan tanpa menyertakan sanad-sanad dan dalil-dalil yang panjang.
Semua itu penulis lakukan demi memudahkan pembaca dalam menelaah isi kitabnya ini, juga agar pembaca terhindar dari kejenuhan.
Gambaran Umum Kitab Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim
Pada bab pertama, penulis, Badruddin Ibnu Jamaah banyak menukil nash dari al-Quran dan Hadits serta atsar terkait keutamaan ilmu, belajar dan mengajarkannya, serta keutamaan ulama yang memiliki sifat-sifat tertentu sehingga mendapatkan berbagai keutamaan tersebut.
Keutamaan ilmu dan ahlinya
Di antara ayat-ayat al-Quran yang beliau kutip adalah al-Quran Surat al-Mujadalah ayat ke-11; az-Zumar ayat ke-9; dan Fathir ayat ke-28.
Sedangkan contoh hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam yang beliau kutib, hadits yang berbunyi,
“Barang siapa yang Allah inginkan kebaikan atasnya maka Allah jadikan ia fakih (ahli) dalam urusan agamanya.” (HR. Al-Bukhari No. 71; HR. Muslim No. 1038)
Dan hadits,
“Keutamaan ahli ilmu dibandingkan ahli ibadah ibarat keutamaanku dibandingkan orang yang paling rendah kedudukannya di antara kalian.”(HR. At-Tirmidzi No. 2685)
Adapun contoh atsar dari salaf ash-shalih yang beliau kutip, perkataan Abu al-Aswad ad-Duali,
“Tidak ada sesuatu yang lebih mulia daripada ilmu, para raja adalah sebagai hakim atas manusia, namun para ulama adalah sebagai hakim atas para raja.” (Tadzkiratu as-Sami’, Badruddin Ibnu Jamaah, 42)
Sibuk dengan ilmu lebih utama dari melakukan amalan sunah badaniah
Setelah memaparkan sekian banyak dalil tentang keutamaan ilmu dan ahlinya, Badruddin Ibnu Jamaah menambahkan enam alasan mengapa menyibukkan diri dengan ilmu lebih utama daripada melakukan amalan-amalan sunah badaniah, seperti shalat, tasbih, puasa, dan lain-lain.
Pertama, ilmu lebih banyak memberikan manfaat dan lingkup cakupannya lebih luas. Tidak hanya bermanfaat bagi si pemilik ilmu, tapi juga bagi orang lain.
Kedua, ilmu merupakan syarat sah diterimanya sebuah ibadah.
Ketiga, karena ulama (orang yang berilmu) merupakan pewaris para nabi, berbeda dengan ahli ibadah yang bukan termasuk dalam golongan ini.
Keempat, ada perintah wajibnya taat kepada para ulama.
Kelima, manfaat ilmu lebih abadi meskipun yang punya telah mati, tidak seperti ibadah lainnya yang terbatas kepada umur.
Keenam, karena sifatnya yang abadi, menjadikan ilmu ibarat penopang kelestarian dan tegaknya syariat sekaligus bentuk penjagaan terhadap kemurnian ajaran-ajaran agama.
Di penghujung bab satu, Badruddin Ibnu Jamaah menyebutkan bahwa semua kemuliaan ilmu dan ahli ilmu yang disebutkan dalam berbagai nash dan atsar hanyalah diperuntukkan bagi mereka yang ikhlas mencari keridhaan Allah semata, baik dalam belajar atau mengajarkan ilmu.
Semua keutamaan itu akan diraih dan diperuntukkan hanya bagi mereka yang mengamalkan ilmunya. Yaitu, orang-orang yang orientasi amal dan hidupnya adalah akhirat.
Bukan diperuntukkan bagi para pencari tujuan dan keuntungan duniawi. Apalagi bagi mereka yang berniat buruk, seperti gila popularitas.
Hal ini beliau tegaskan dengan mengutip hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi,
“Barang siapa menuntut ilmu untuk mendebat orang bodoh atau menandingi para ulama atau untuk mencari perhatian manusia, maka Allah akan memasukkannya ke dalam api neraka.”(Tadzkiratu as-Sami’, Badruddin Ibnu Jamaah, 45)
Adab ahli ilmu terhadap dirinya
Bab kedua dari kitab Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim, berisi tiga sub-bab. Di sub-bab pertama, Badruddin Ibnu Jamaah menuliskan dua belas adab ahli ilmu terhadap dirinya sendiri.
Pertama, senantiasa merasa diawasi oleh Allah shubhanahu wata’ala, baik saat sendiri atau di khalayak ramai.
Kedua, senantiasa menjaga kehormatan diri dengan tidak menghinakan dirinya dengan mendatangi para pencari kesenangan duniawi tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat atau dalam kondisi darurat.
Ketiga, bersikap zuhud terhadap kehidupan duniawi.
Keempat, menyucikan diri dalam menuntut ilmu dari niatan menjadi perantara kepada tujuan-tujuan duniawi, seperti rasa ingin dihormati, harta, sum’ah, cinta popularitas, dan merasa lebih dari yang lain.
Kelima, mencari rezeki dari jalur-jalur yang terhindar dan jauh dari kehinaan.
Keenam, konsisten dalam menjalankan syiar-syiar dan ajaran-ajaran agama.
Ketujuh, konsisten dalam menjalankan amalan dan ibadah sunah.
Kedelapan, bermuamalah dengan manusia dengan perangai dan budi pekerti yang baik.
Kesembilan, berakhlak terpuji dan meninggalkan akhlak yang tercela.
Kesepuluh, senantiasa membekali diri dengan ilmu dan pelit terhadap waktu.
Kesebelas, tidak boleh sungkan atau enggan mengambil faedah dari apa yang tidak ia tahu meskipun harus mengambilnya dari orang yang lebih rendah dari dirinya, baik secara kedudukan, nasab keturunan, dan umur.
Kedua belas, senantiasa menyibukkan diri dengan banyak menelaah, menulis, dan mengarang kitab-kitab.
Adab mengajarkan ilmu
Di sub-bab kedua dari bab dua, Badruddin Ibnu Jamaah juga menuliskan beberapa adab seorang ahli ilmu dalam mengajarkan ilmunya.
Pertama, senantiasa mengajar dalam kondisi suci, rapi, dan berpakaian yang bagus sebagai bentuk penghormatan kepada ilmu yang ia ajarkan.
Artikel Refleksi: Loss of Adab, Salah Langkah atau Salah Arah Pendidikan?
Kedua,berdoa sebelum mengajar sejak keluar dari rumah.
Ketiga,duduk di tempat yang bisa dilihat oleh para murid dan memberikan tempat duduk bagi mereka sesuai kedudukan dan umur.
Keempat, berdoa untuk diri sendiri dan untuk murid disertai dengan membaca beberapa ayat al-Quran, taawuz, basmalah, shalawat, mendoakan kebaikan kepada para pemimpin, ulama, dan tempat di mana ia tinggal dan murid tempati.
Kelima,menentukan skala prioritas ilmu yang dipelajari dan diajarkan.
Keenam,bersuara dengan volume yang sewajarnya saat mengajar. Tidak terlalu keras, juga tidak terlalu pelan.
Ketujuh,menghindari perdebatan atau perbuatan-perbuatan yang dapat merusak suasana majelis, seperti berteriak, tertawa yang berlebihan atau hal-hal yang tidak bermanfaat lainnya.
Kedelapan,berbuat inshaf dan adil terhadap diri dan ilmu, misalkan dalam hal menjawab pertanyaan yang tidak ia ketahui dengan kata “laa adri” atau dengan ungkapan “wallahu A’lam”, atau dalam menetapkan waktu yang paling kondusif untuk belajar dan tidak membebani para hadirin.
Kesembilan, termasuk yang tidak kalah penting, siapa pun tidak diperkenankan mengajarkan sesuatu yang ia tidak memiliki pengetahuan atasnya.
Adab guru terhadap murid
Adapun di sub-bab ketiga, Badruddin Ibnu Jamaah menulis tentang beberapa adab guru terhadap murid.
Pertama, hendaklah seorang guru meniatkan dalam pengajarannya untuk semata-mata karena ingin meraih ridha Allah shubhanahu wata’ala.
Kedua,tidak melarang para murid yang memiliki niat lain dalam belajar terutama para murid pemula. Sebab, seiring berjalannya waktu niat ini akan bisa diperbaiki dengan pengajaran dan pelatihan yang konsisten dan bertahap.
Ketiga, seorang guru hendaklah senantiasa memotivasi para murid untuk mencintai ilmu dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk mencarinya.
Keempat,mencintai para murid sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.
Kelima, berusaha sebaik dan semaksimal mungkin dalam mempersiapkan dan mempermudah pengajarannya.
Keenam, boleh menyodorkan masalah-masalah yang memiliki kaitan dengan pembahasan di akhir pengajaran demi menguji pemahaman para murid.
Ketujuh,menetapkan sesi-sesi tertentu di sela-sela pengajarannya untuk menguji hafalan para murid.
Kedelapan,menasihati para murid agar tidak melakukan hal-hal yang melebihi batas kemampuan diri.
Kesembilan,mengajarkan para murid dengan kaidah-kaidah umum yang berlaku pada setiap bidang ilmu.
Kesepuluh,tidak menampakkan rasa pilih kasih atau membeda-bedakan antara murid yang satu dengan yang lainnya meskipun berbeda umur, kedudukan, atau prestasi.
Kesebelas,senantiasa memantau akhlak, perangai, dan tindak tanduk para murid.
Kedua belas, senantiasa berusaha melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi para murid dan menyatukan hati-hati mereka serta menumbuhkan rasa saling tolong menolong di antara mereka satu sama lain.
Ketiga belas, bersikap rendah hati di depan para murid.
Adab murid terhadap diri sendiri, guru, dan pelajaran
Adapun di bab ketiga dari bukunya, Badruddin Ibnu Jamaah menjabarkan adab-adab murid atau pencari ilmu dalam tiga sub-bab.
Pada sub-bab yang pertama, tentang adab murid terhadap dirinya sendiri, seperti menyucikan hatinya dari segala jenis penyakit hati, pikiran dan perangai buruk; memanfaatkan waktu muda semaksimal mungkin dan mengaturnya sebaik mungkin; tidak berlebihan dalam makan, minum, juga berpakaian; warakdalam segala hal; dan mengurangi waktu yang terbuang banyak untuk tidur.
Sedangkan sub-bab kedua tentang adab-adab murid kepada guru, berteladan kepadanya dan menjaga kehormatannya.
Di antara adab-adab tersebut ialah: murid hendaklah melakukan istiharah dalam memilih guru, tunduk dan patuh kepadanya, melihatnya dengan pandangan penuh penghormatan, mengetahui hak-haknya dan tidak melupakan kebaikan-kebaikannya.
Selain itu, sabar dan menahan diri dari perbuatan guru yang tidak ia senangi, meminta izin kepadanya untuk hadir dan duduk di majelisnya jika bukan pengajian atau pengajaran umum, duduk dengan sopan dan tenang saat menghadiri pengajarannya.
Tidak diperkenankan bagi murid menanyakan hal-hal yang bernada merendahkan guru, semisal kata-kata, “Kenapa?”“Siapa yang bicara seperti ini,” atau kata-kata yang semisal dengannya.
Tidak mendahului gurunya atau memotong perkataannya tatkala memberikan pengajaran meskipun ia telah mengetahuinya.
Menerima dengan tangan kanan semua pemberian gurunya. Berjalan di belakang guru saat siang hari dan di depannya pada malam hari menyesuaikan kondisi demi keamanan guru.
Adapun di sub-bab ketiga, bab tiga, Badruddin Ibnu Jamaah memaparkan tentang adab-adab murid terhadap pelajarannya.
Adab-adab tersebut antara lain,
- hendaklah orang yang mencari ilmu memulai pelajarannya dengan menghafalkan al-Quran secara itqan (sempurna);
- menghindarkan dirinya dari kesibukan membahas permasalahan-permasalahan yang merupakan majalu khilaf (perbedaan pendapat);
- melakukan tashih (crosscheck dan validasi) kepada ahlinya sebelum menghafal pelajaran;
- mendahulukan menghafal hadits daripada menyibukkan diri dengan pembahasan-pembahasan seputarnya, seperti sanad, matan, dan lain-lain;
- senantiasa mengikuti penuh sesi pengajaran guru dari awal sampai akhir agar tidak ada pelajaran yang luput;
- mengucapkan salam kepada hadirin yang datang lebih dahulu dan berperangai baik terhadap mereka; dan
- tidak malu bertanya terkait hal-hal yang belum ia ketahui.
Adab terhadap buku
Adapun di bab keempat, penulis membahas lebih detail tentang adab-adab terhadap buku yang merupakan wasilah ilmu. Seperti adab-adab dalam membawa buku, meletakkan, membeli, dan meminjamnya.
Adapun adab-adab tersebut antara lain: hendaklah setiap pencari ilmu atau orang yang belajar berusaha untuk memiliki buku-buku yang ia butuhkan.
Jika tidak mampu membeli, bisa dengan menyewa, jika tidak bisa juga dengan meminjamnya. Karena buku merupakan wasilah untuk meraih ilmu pengetahuan.
Meletakkan buku harus di tempat semestinya bukan di atas lantai atau di tempat-tempat yang kurang layak lainnya. Menjaga wudhu saat menelaah buku pelajaran dan lain-lain.
Adab terhadap madrasah
Sedangkan bab kelima yang merupakan bab terakhir buku ini berisi penjelasan tentang adab-adab terhadap madrasah, tempat mencari ilmu.
Di dalam bab terakhir ini, Badruddin Ibnu Jamaah menuliskan beberapa adab yang harus dilakukan, seperti sebisa mungkin warak dengan menempati tempat kediaman sendiri bukan menempati ruangan tempat ia belajar.
Hendaklah pengajar di madrasah tersebut orang yang kapabel dan memiliki jiwa kepemimpinan, lurus agama, cerdas, karismatik, berakhlak mulia, adil, mencintai para alim ulama dan berlemah lembut kepada orang-orang tak punya.
Majelis Ramadhan #5: Adab Murid Kepada Guru
Menghormati segenap penghuni madrasah dengan menyebarkan salam, saling mencintai, tolong-menolong, menjaga hak dan kewajiban bertetangga dan pergaulan.
Memilih roommate (teman satu ruangan) dari orang yang baik. Tidak diperkenankan bagi siapa pun menjadikan pintu atau gerbang madrasah sebagai majelis.
Tidak diperkenankan bagi siapa pun melihat atau mengintip rumah dan bangunan yang berada di samping madrasahnya. Datang ke madrasah lebih dahulu sebelum guru.
Tadzkiratus Sami’ Wal Mutakallim Kitab Rekomendasi untuk Pendidikan Adab
‘Ala Kulli Hal,buku Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim karangan Badruddin Ibnu Jamaah ini sudah sepatutnya menjadi panduan bagi semua pihak yang terlibat dalam proses dan kegiatan belajar mengajar.
Isinya sangat rinci dan mencakup hampir semua aspek pendidikan. Termasuk kurikulum, norma-norma (moral spiritual dan perilaku), bahkan sarana prasarana pendidikan.
Meskipun ditulis jauh beradab-abad sebelum saat ini, namun di dalamnya pembaca akan mendapatkan gambaran ideal yang sangat dibutuhkan oleh semua lembaga pendidikan Islam masa kini.
Berpadu dengan bahasa yang sederhana, ringkas, dan pilihan diksi yang tepat. Wallahu A’lam Bis Shawab. (Nofriyanto, M.Ag/dakwah.id)
Segera Miliki Kitab Tazkiratus Sami’ wal Mutakallim Versi Terjemah Indonesia Di Sini:
Judul:
Tadzkiratu as-Sami’ wa al-Mutakallim fi Adabi al-’Alim wa al-Muta’allim
Penulis:
Badruddin Muhammad bin Ibrahim al-Kinani al-Hamawi asy-Syafii
Penerbit:
Syirkah Darul Basyair al-Islamiyah, Beirut, Cet. III, 2012 M
Tebal:
147 halaman
Baca juga artikel Resensi atau artikel menarik lainnya karya Nofriyanto, M.Ag
Penulis: Nofriyanto, M.Ag
Editor: Ahmad Robith