Daftar Isi
Tafsir mimpi beberapa kali disebutkan dalam al-Quran. Tulisan dakwah.id kali ini akan mengupas petunjuk Islam tentang mimpi dan tafsir mimpi. Selamat menyimak.
Semua orang pasti pernah bermimpi. Mimpi bagi sebagian orang dikatakan mistis, tidak real, dan hanya khayalan. Selain itu, ada yang berpendapat bahwa mimpi itu subjektif, karena tidak akan pernah ada satu orang membagi mimpinya kepada orang lain.
Meski begitu, kita tidak bisa berkesimpulan bahwa mimpi tidak memiliki basis ontologis yang objektif. Karena meski tidak ada yang saling berbagi mimpi, tapi mimpi bersifat universal.
Objektivitas mimpi ada pada dasar mimpi. Dalam kenyataannya, seseorang saat bermimpi tidak menggunakan mata fisik untuk melihat, tapi dengan mata batin yang non fisik. Universalnya mimpi yaitu siapa yang mengalami mimpi bisa mengambil bentuk citra fisik tanpa ia sendiri memiliki fisikalitas.
Mimpi membuat seseorang juga bisa berkomunikasi dengan semua orang yang berbeda bahasa. Bahkan meski ia tidak bisa melafalkan bahasa tersebut dalam kehidupan nyata. Dengan alasan ini, mimpi bukan subjektif, melainkan objektif. (Zaprulkhan, Pengantar Filsafat Islam, 177).
Penjelasan ini sebagai salah satu alasan bahwa ada sumber ilmu yang bisa didapat meski bukan melalui indrawi. Analogi mimpi juga cukup menafsirkan bagaimana pengalaman intuitif (ruhani) yang sama-sama di luar persepsi indriawi manusia. Ketidakterlukisnya (ineffability) pengalaman seperti ini menjadi salah satu karakter universal dari pengalaman mistik.
Karen Amstrong berpandangan bahwa saat orang mencoba mengungkapkan pengalaman mistik ke dalam kata-kata, berarti ia telah mendistorsinya. (Karen Amstrong, Menerobos Kegelapan, 2004, 142-143)
Sama seperti yang dikatakan William James, filosof dan psikolog Amerika, pengalaman mistis tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata yang sangat terbatas. Tidak ada kata yang persis dan tepat untuk menerjemahkan pengalaman mistis.
Dalam hal mimpi, Sigmund Freud, tokoh psikolog Barat, memiliki buku berjudul Interpretation of Dream (1914). Buku tersebut berisi penjelasan keuniversalan mimpi dan bahwa mimpi bisa dijelaskan.
Dalam Islam, ada dua kitab besar yang biasa menjadi rujukan tafsir mimpi. Pertama, kitab Ibnu Sirrin yang berjudul Muntakhab al-Kalâm fî Tafsîr al-Aḥlâm; Kedua, kitab Imam Abdul Ghani an-Nablusi yang berjudul Ta’ṭîru al-Anâm fî Ta’bîri al-Manâm rahimahumallah Ta’ala.
Hal di atas menjadi bukti ada ulama yang konsentrasinya adalah perihal mimpi. Terlebih, bagi seorang muslim, mimpi bukan sekadar khayalan atau dunia lain tanpa makna.
Akan tetapi, apakah tafsir mimpi bisa diaplikasikan ke semua mimpi orang dan ia sesuai di semua masa dan zaman? seberapa akurat tafsir mimpi dalam kitab tersebut sehingga bisa jadi pedoman?
Islam Memandang Mimpi
Allah subhanahu wata’ala menciptakan seperangkat keyakinan-keyakinan dalam hati seseorang dalam mimpinya sebagaimana Dia menciptakan hal tersebut dalam keadaan terjaga.
Seperangkat keyakinan ini bukan berarti hal yang sama di kehidupan yang berbeda. Burung dalam mimpi bukan burung secara zat dalam alam nyata. Ia bisa menjadi suatu tanda dan ilmu atas hal di kehidupan yang lain. Layaknya Allah menciptakan mendung sebagai tanda bahwa hujan akan turun. Sehingga mimpi bisa jadi buruk dan bisa jadi baik.
Dalam sabda Nabi, mimpi yang baik ialah ar-ru’yâ sedangkan mimpi yang buruk serta dibenci ialah al-ḥulm. (An-Nawawi, Syarḥ ‘ala Muslim, 15/17).
Mimpi bukan sekadar bunga tidur. Mimpi ialah hal yang bisa ditafsirkan dan diambil maknanya. Hal ini dikuatkan oleh nas al-Quran,
وَكَذٰلِكَ يَجْتَبِيْكَ رَبُّكَ وَيُعَلِّمُكَ مِنْ تَأْوِيْلِ الْاَحَادِيْثِ.
“Dan demikianlah, Rabb memilih engkau (untuk menjadi Nabi) dan mengajarkan kepadamu sebagian dari takwil mimpi.” (QS. Yusuf: 6).
Dasar dari hadits,
لَمْ يَبْقَ بَعْدِي إٍلَّا المُبَشٍّرَاتِ. قِيلَ: وَمَا المُبَشِّرَاتُ؟ قَالَ: الرُّؤْيَا الصَّالِحَةَ يَرَاهَا الرَّجُلُ الصَّالِحُ.
“Tidak tersisa (nubuat) setelah sepeninggalku kecuali yang memberi kabar gembira.”
Ada yang bertanya, “Apa pemberi kabar gembira tersebut?”
Beliau bersabda, “Mimpi yang baik yang dilihat oleh laki-laki saleh.” (HR. Al-Bukhari dan Ahmad dari Aisyah).
Mimpi yang baik (ru’yâ ash-shâliḥah) ialah pemberi tanda dan kabar gembira. Diberikan kepada orang-orang tertentu. Tidak hanya kepada para nabi dan rasul, tapi juga orang-orang terpilih sepeninggal Rasul.
الرُؤْيَا الصَّالِحَةُ مِنَ الرَّجُلِ الصَّالِحِ جُزْءٌ مِنْ سِتَّةِ وَأَرْبَعِيْنَ جُزْءً مِنَ النُّبُوَةِ.
“Mimpi yang baik dari laki-laki yang baik (saleh) adalah salah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian (nubuah).” (HR. Al-Bukhari no. 6582).
Penisbatan mimpi dalam bagian dari nubuwah merupakan bentuk pemuliaan. Ia bukan kejadian sembarangan. Meski bagian satu dari seribu, akan tetapi jika merupakan bagian dari hal yang mulia, ia menjadi diagungkan.
Dengan mimpi yang baik, Allah memberi kabar baik kepada orang saleh. Dengannya juga, Allah menguatkan kesabaran dan keteguhan atas ujian yang tengah seorang hamba alami.
Ilmu mimpi termasuk dalam kategori firasat (al-firâsah). Imam al-Qurtubi mengatakan, mimpi ialah hal yang mulia dan berkedudukan tinggi (ar-ru’ya ḥâlatun syarîfah wa manzîlatun râfi’ah). Ada dalil yang menunjukkan hal ini, di antaranya, firman Allah kepada Nabi-Nya,
وَمَا جَعَلْنَا الرُّءْيَا الَّتِيْٓ اَرَيْنٰكَ اِلَّا فِتْنَةً لِّلنَّاسِ
“Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia.” (QS. Al-Isra’: 60).
اِذْ يُرِيْكَهُمُ اللّٰهُ فِيْ مَنَامِكَ قَلِيْلًاۗ
“(Ingatlah) ketika Allah memperlihatkan mereka di dalam mimpimu (berjumlah) sedikit.” (QS. Al-Anfal: 43).
Dua ayat di atas merupakan dasar daripada kemuliaan mimpi yang benar (ar-ru’ya ash-shâdiqah) yang Allah berikan kepada hamba-hamba pilihan-Nya. Sebagai perantara memberi kabar gembira atau menguatkan keteguhan dalam kehidupan nyata.
Ada tiga macam mimpi. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Ibnu Qayyim dalam kitab Ar-Rûḥ bahwa mimpi ada tiga: (1) mimpi dari Allah Ta’ala, (2) mimpi dari setan, dan (3) mimpi dari bisikan jiwa. Berlandaskan hadits yang membagi mimpi menjadi tiga,
وَالرُّؤْيَا ثَلَاثَةٌ: فَرُؤْيَا الصَّالِحَةِ بُشْرَى مِنَ اللَّهِ وَرُؤْيَا تَحْزِينٌ مِنَ الشَّيْطَانِ وَرُؤْيَا مِمَّا يُحَدِّثُ الْمَرْءُ نَفْسَهُ.
“Mimpi itu ada tiga:(1) mimpi baik dari Allah, yang merupakan kabar gembira;(2) mimpi dari setan yang membuat sedih;(3) dan mimpi yang dibisikan jiwa.” (HR. Muslim no. 2263).
Tafsir Mimpi
Ada banyak sekali orang yang ingin mengetahui makna mimpinya. Tidak jarang orang yang bangun dari tidur merasa ketakutan, karena dalam tidurnya, ia bermimpi tentang hal yang sangat menakutkan. Kadang, dalam mimpi tersebut hanya terlihat sebuah simbol dan kode sehingga ia ingin sekali mengerti dan memahami arti mimpinya.
Mimpi bersifat universal, yang artinya semua orang memiliki corak yang sama dalam mimpi. Selain itu, dalam Islam mimpi-mimpi bisa ditafsirkan dengan wahyu dan atsar dari para pendahulu. Hal ini menjadi dasar kenapa mimpi perlu ditafsirkan sebagai upaya menerjemahkan dan mengambil sikap dalam kehidupan nyata.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menafsirkan mimpi.
Pertama: Siapa yang Berhak Menafsirkan Mimpi?
Ada orang yang gegabah dalam menafsirkan mimpi. Ia mengait-ngaitkan mimpi dengan hal-hal yang tidak masuk akal dan tidak sesuai agama. Jadi, sebelum menafsirkan mimpi agar tidak gegabah maka harus diperhatikan siapa yang berhak menafsirkan mimpi.
Ketika seseorang bermimpi, mimpi baik atau mimpi buruk, dan ia ingin mengetahui arti dari mimpinya, maka wajib baginya mendatangi orang yang berilmu serta memiliki keutamaan dalam agama. Bukan sekadar “orang pintar” atau orang yang memiliki keutamaan hanya karena ketokohan, umur, maupun nasab.
Karena, mimpi yang baik merupakan hadiah dan nikmat dari Allah. Sedangkan mimpi yang buruk harus dijaga agar tidak tersebar dan diceritakan, serta si pemimpi harus meminta perlindungan kepada Allah.
Materi Khutbah Jumat: Cinta Allah di Atas Segala Cinta
Kisah ini pernah terjadi, yaitu ketika Nabi Yusuf alaihissalam menceritakan mimpinya kepada ayahnya Ya’kub alaihissalam.
Penafsir mimpi bukan orang sembarangan. Ada orang yang menanyakan mimpinya kepada Ibnu Sirrin. Dalam mimpinya itu, ia berwajah hitam. Ibnu Sirrin mengartikan mimpi tersebut bahwa istrinya sedang hamil. Sesuai firman Allah,
وَاِذَا بُشِّرَ اَحَدُهُمْ بِالْاُنْثٰى ظَلَّ وَجْهُهٗ مُسْوَدًّا وَّهُوَ كَظِيْمٌۚ
“Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah.” (QS. An-Nahl: 58).
Dalam hadits juga disebutkan,
بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أُوتِيتُ خَزَائِنَ الْأَرْضِ، فَوُضِعَ فِي يَدَيَّ سِوَارَانِ مِنْ ذَهَبٍ، فَكَبُرَا عَلَيَّ وَأَهَمَّانِي، فَأُوحِيَ إِلَيَّ أَنِ انْفُخْهُمَا، فَنَفَخْتُهُمَا فَطَارَا، فَأَوَّلْتُهُمَا الْكَذَّابَيْنِ اللَّذَيْنِ أَنَا بَيْنَهُمَا: صَاحِبَ صَنْعَاءَ، وَصَاحِبَ الْيَمَامَةِ
“Suatu kali aku bermimpi, didatangkan kepadaku perbendaharaan dunia seisinya. Dan diletakkan di tanganku dua perhiasan gelang dari emas. Gelang itu sangat meresahkan dan membuatku sedih. Lalu diwahyukan kepadaku agar aku meniupnya, aku meniupnya dan seketika keduanya terbang. Kemudian aku menakwilkan mimpi tersebut bahwa akan ada dua orang pendusta yang aku berada di antara mereka; pendusta dari Shan’a dan pendusta dari Yamamah.” (HR. Al-Bukhari No. 7037)
Ada dua hal dasar penting dalam penafsiran mimpi.
Pertama, menyerahkan urusan tafsir mimpi kepada ahlinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bermimpi dan beliau sendiri menakwilkan mimpi tersebut, karena tidak diragukan lagi kedudukan dan status beliau shallallahu alaihi wasallam. Tetapi ketika Yusuf kecil bermimpi, ia menceritakan mimpinya kepada ayahnya yang merupakan seorang nabi.
Kedua, semua mimpi akan terjadi seperti apa ia diartikan.
Jadi, sudah seharusnya menceritakan dan menanyakan perihal makna mimpi kepada orang yang paham agama agar takwil mimpi bisa disarikan dari wahyu. Berdasarkan hadits, “Mimpi itu merupakan satu bagian dari empat puluh bagian nubuat. Dan mimpi akan menggantung pada seseorang selama ia tidak menceritakannya kepada orang lain.
Jika ia menceritakan mimpi tersebut, maka itu akan terjadi. Maka jangan ceritakan mimpimu, kecuali kepada orang yang berakal, atau orang yang mencintaimu, atau orang yang bisa menasihatimu.” (Hadits hasan shahih riwayat at-Tirmidzi)
Kedua: Makna dan Arti Mimpi Sangat Berkaitan Erat dengan Kesalehan
Tidak sama antara mimpi orang yang dekat dengan Allah dan mimpi orang pendosa.
Hal ini seperti wejangan Ya’kub kepada putranya, Yusuf alaihimassalam,“Dia (ayahnya) berkata,‘Wahai anakku! Janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, mereka akan membuat tipu daya (untuk membinasakan)mu. Sungguh, setan itu musuh yang jelas bagi manusia.’” (QS. Yusuf: 5)
Setan tidak hanya mengganggu manusia dalam keadaan sadarnya, tapi juga dalam tidurnya. Ia memiliki kuasa atas orang fasik dan orang yang gemar maksiat, baik saat kondisi terjaga maupun kondisi tidur.
Sebaliknya, setan tidak memiliki banyak kesempatan atas orang yang gemar berzikir dan melakukan ketaatan kepada Allah, baik dalam keadaan terjaga maupun dalam keadaan tidur.
Ada satu kisah yang menunjukkan bahwa arti mimpi sesuai kesalehan yang bermimpi. Pernah ada seorang datang menemui Ibnu Sirrin. Ia bercerita bahwa dalam mimpinya, ia mengumandangkan azan. Ibnu Sirrin mengartikan mimpi tersebut bahwa ia akan segera naik haji.
Di saat yang lain, datang orang yang berbeda, menceritakan mimpi yang sama; mengumandangkan azan. Ibnu Sirrin menjawab, arti mimpi itu ialah kamu harus dipotong tanganmu karena mencuri.
Ketika ada pertanyaan dari bedanya jawaban tersebut, Ibnu Sirrin menjawab, yang pertama, lelaki yang mudah berbuat baik maka ia masuk dalam firman Allah,
وَاَذِّنْ فِى النَّاسِ بِالْحَجِّ
“Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji.”(QS. Al-Ḥajj 27).
Adapun lelaki kedua, dia bukan orang saleh, ia masuk dalam firman Allah,
ثُمَّ اَذَّنَ مُؤَذِّنٌ اَيَّتُهَا الْعِيْرُ اِنَّكُمْ لَسَارِقُوْنَ
“Kemudian berteriaklah seseorang yang menyerukan,‘Wahai kafilah! Sesungguhnya kamu pasti pencuri.’”(QS. Yusuf: 70).
Kedua ayat ini memakai lafal adzana-yuadzinu yang bermakna berseru, memanggil, atau berteriak. Keduanya pun berbeda konteksnya sehingga berbeda makna yang terkandung di dalamnya.
Jika tidak memiliki kapasitas dalam tafsir mimpi, maka lebih baik diam. Imam Malik dan Ibnu Qayyim dalam al-Wabil al-Ṣayyib sependapat mengenai hal ini.
Imam Malik berkata, “Tidak boleh seorang menafsirkan mimpi kecuali menjadikan baik arti mimpi tersebut. Jika ia bermimpi baik maka ceritakan. Jika ia bermimpi buruk maka beri tahu yang baik, jika tidak bisa maka lebih baik diam.” (Syahidridwanullah/dakwah.id).
Baca juga artikel Ilmu & Dakwah atau artikel menarik lainnya karya Syahid Ridwanullah.
Artikel Ilmu & Dakwah terbaru: