Siapa yang tidak kenal dengan lagu anak-anak fenomenal berjudul “Cicak di Dinding”? Hampir semua masyarakat Indonesia pasti sangat akrab dengan lagu karya Abdullah Totong Mahmud atau AT Mahmud ini.
Lagu yang begitu viral sepanjang zaman, yang rasanya tidak perlu platform apa pun untuk menyebar, melainkan lewat mulut ke mulut seolah diwariskan dari generasi ke generasi. Lagu ini sering dinyanyikan oleh para ibu untuk menghibur anak-anak mereka.
Cicak-cicak di dinding
Diam-diam merayap
Datang seekor nyamuk
Hap, lalu ditangkap.
Tidak seperti lagu-lagu populer masa kini yang sering mengangkat tema cinta, patah hati, perselingkuhan, atau uang, “Cicak di Dinding” memiliki lirik yang sederhana namun penuh makna. Di balik kesederhanaannya, lagu ini menampilkan satu fenomena alam yang terdapat nilai ajaran dalam Islam, yaitu fenomena saat cicak mencari makan.
Lalu, nilai Islam apa yang dimaksud?
Dimensi Iman dalam Tindakan Cicak Mencari Makan
Kita mengenal cicak sebagai hewan reptil yang biasanya merayap di dinding atau tembok, hidup berdampingan dengan manusia, dan oleh sebagian orang dianggap menjijikkan.
Namun, di balik sifatnya itu, ada sesuatu yang menarik dari hewan ini. Salah satunya adalah makanannya yang tak lain adalah nyamuk atau laron, sebagaimana disebutkan dalam lagu tersebut.
Nyamuk atau laron, seperti yang kita ketahui, merupakan hewan dengan kemampuan terbang.
Sadar atau tidak, di sini logika manusia seakan diuji. Bagaimana mungkin seekor hewan yang tidak bisa terbang memakan hewan lain yang bisa terbang? Apakah cicak harus melompat untuk menangkap nyamuk?
Jawabannya, nyamuklah yang datang menghampiri, sebagaimana disyairkan dalam lagu anak-anak ini. Lantas, siapa yang mendatangkan?
Allahlah yang mendatangkan nyamuk sebagai makanan cicak karena rezeki cicak sepenuhnya di tangan Allah yang memiliki sifat ar-Raziq, Maha Pemberi Rezeki.
Baca juga: 8 Cara Agar Pintu Rezeki Penuh Berkah
Fenomena ini sekaligus menjadi bukti bahwa siapa pun atau apa pun makhluk bernyawa yang berada di muka bumi pasti telah memiliki ketetapan rezeki. Manusia maupun hewan, bahkan muslim maupun kafir.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَا مِنْ دَاۤبَّةٍ فِى الْاَرْضِ اِلَّا عَلَى اللّٰهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۗ كُلٌّ فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ
“Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Hud: 6)
Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir al-Quran al-Adhim menyatakan,
“Allah Ta’ala mengabarkan bahwa Dialah yang menjadi penjamin rezeki seluruh makhluk di muka bumi, baik yang kecil maupun yang besar, yang di laut maupun yang di darat.”
Fenomena hampir serupa juga diperlihatkan oleh Allah pada salah satu makhluk-Nya, yaitu anak burung gagak (bughâts).
Keunikan anak burung ini terlihat ketika baru menetas, penampilannya tidak sama dengan induknya, melainkan berwarna putih. Hal ini menyebabkan sang induk enggan memberikan pengasuhan, termasuk memberinya makanan.
Lalu, bagaimana anak gagak ini makan?
Allah memberikannya suatu bau yang menarik serangga mendekat dan menjadi makanannya. Inilah yang konon melandasi seorang ulama ketika memohon doa kepada Allah, dia mengucap,
اللَّهُمَّ ارْزُقْنَا كَمَا تَرْزُقُ الْبُغَاثَ
“Ya Allah, berikanlah kami rezeki sebagaimana Engkau memberikan rezeki kepada anak gagak.”
Inilah pelajaran iman yang dimaksud, yaitu tauhid bahwa Allah adalah ar-Raziq, Sang Maha Pemberi Rezeki, yang jika diteorikan maka masuk ke dalam pembagian tauhid rububiyah.
Merenungi Semua Tanda Kekuasaan Allah
Apa yang disebutkan di atas adalah kuasa Allah yang sekaligus Dia jadikan sebagai pelajaran dan tanda kekuasaan-Nya kepada hamba. Sebab, tidaklah Allah menciptakan sesuatu apa pun kecuali itu menjadi tanda kekuasaan-Nya.
Namun, hanya mereka yang menggunakan akal dan hatinya untuk berpikir yang dapat membaca dan menemukannya.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِ
الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” (QS. Ali Imran: 190—191)
Materi Khutbah Jumat: Pembuka dan Penghalang Pintu Rezeki
Bertafakur adalah memikirkan dan memahami setiap hikmah dan pelajaran yang terdapat di langit dan bumi, yang menunjukkan keagungan, kuasa, ilmu, hikmah, iradah, serta rahmat-Nya. (Tafsir al-Quran al-Adhim)
Oleh karena itu, dalam sebuah hadits maukuf disebutkan bahwa tafakur atau berpikir itu lebih utama dari shalat sunah malam.
تَفَكُّرُ سَاعَةٍ خَيْرٌ مِنْ قِيَامِ لَيْلَةٍ
“Bertafakur sejenak lebih baik dari shalat malam.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, 19/349, no. 37307)
Imam Nawawi Banten memberikan nasihat kepada orang-orang beriman agar banyak berpikir dan merenung. Setidaknya ada lima perkara yang hendaknya dijadikan bahan untuk merenung dan bertafakur,
قَالَ جُمْهُوْرُ الْعُلَمَاءِ: إِنَّ التَّفَكُّرَ عَلَى خَمْسَةِ أَوْجُهٍ: إِمَّا فِيْ آيَاتِ اللَّهِ وَيَلْزَمُهُ التَّوَجُّهُ إِلَيْهِ وَالْيَقِيْنُ بِهِ؛ أَوْ فِيْ نِعْمَةِ اللهِ وَيَتَوَلَّدُ عَنْهُ الْمَحَبَّةُ؛ أَوْ فِيْ وَعْدِ اللهِ وَيَتَوَلَّدُ عَنْهُ الرَّغْبَةُ؛ أَوْ فِيْ وَعِيْدِ اللهِ وَيَتَوَلَّدُ عَنْهُ الرَّهْبَةُ؛ أَوْ فِيْ تَقْصِيْرِ النَّفْسِ عَنِ الطَّاعَةِ وَيَتَوَلَّدُ عَنْهُ الْحَيَاءُ
“Mayoritas ulama menyatakan bahwa tafakur harus diarahkan pada lima hal.
(1) Tafakur pada ayat-ayat Allah untuk memperkuat keimanan dan keyakinan,
(2) tafakur pada nikmat Allah untuk memunculkan rasa cinta,
(3) tafakur pada janji Allah untuk membangkitkan semangat,
(4) tafakur pada ancaman Allah untuk membangkitkan rasa takut, atau
(5) tafakur pada diri sendiri yang kurang dalam ketaatan untuk memunculkan rasa malu.” (Kasyifatu as-Saja, Nawawi al-Bantani,38)
Maka bagi orang beriman lagi berakal, tidak ada alasan untuk tidak semakin menumbuhkan dan menguatkan imannya kepada Allah, karena ketika mereka berpikir dan merenungkan apa yang ada di alam dunia, mereka akan menemukan tanda keberadaan Sang Pencipta. Wallahu a’lam (Rusydi Rasyid/dakwah.id)
Artikel Tadabur terbaru: