Daftar Isi
Memahami Sirah Nabawiyah adalah hal yang penting bagi setiap Muslim. Namun, penting untuk berhati-hati dalam memilih sumber bacaan Sirah. Banyak karya orientalis tentang sirah Nabi yang ditulis dengan perspektif yang berbeda, bahkan terkadang bertentangan dengan pemahaman Islam.
Baca juga: Kenapa Perlu Mempelajari Sirah Nabawiyah
Sejarah memiliki posisi yang penting. Tidak hanya sebagai catatan peristiwa masa lalu, melainkan juga untuk memahami identitas dan asal-usul suatu bangsa. Tanpa pemahaman sejarah yang kuat, suatu bangsa dapat kehilangan identitasnya dan akhirnya menarik sejarah bangsa lain untuk dijadikan sebagai identitas.
Tentu sama halnya bagi seorang muslim. Penting untuk memahami sejarahnya sendiri agar identitasnya tidak diatur oleh bangsa lain.
Sejarah terpenting bagi seorang muslim tentu adalah sejarah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam atau yang biasa dikenal dengan Sirah Nabawiyah. Karena bagi seorang muslim, Nabi Muhammad bukan hanya sosok panutan, namun juga sebagai salah satu sumber aturan, hukum, dan pembentuk cara pandang.
Hanya saja, hari ini banyak beredar buku-buku sirah yang ditulis oleh nonmuslim, yang pada gilirannya disebut dengan orientalis. Sebut saja seperti Montgomery Watt, Carl Brockelmann, Karen Amstrong, Patricia Crone, dan masih banyak lagi.
Karya-karya mereka kemudian banyak diterjemahkan dan dibaca seorang muslim tanpa memahami bahwa ada prinsip-prinsip yang berbeda antara orientalis tersebut dengan apa yang diyakini oleh seorang muslim.
Apa Itu Orientalisme?
Orientalisme sering kali dipahami secara sederhana sebagai pengetahuan atau studi tentang Timur. Padahal tentu tidak sesederhana itu.
Orientalisme berasal dari kata orient yang memiliki akar dalam bahasa Latin ‘oriens’ yang berarti “timur” atau “tempat matahari terbit”. Lawan katanya adalah occident, dari kata occidens yang berarti “barat” atau “tempat tenggelamnya matahari”.
Disadur dari Encyclopaedia Britannica, orientalisme pada awalnya merujuk pada studi tentang bahasa, sejarah, budaya, dan masyarakat di wilayah Timur, seperti Timur Tengah, Afrika Utara, dan Asia. Seiring waktu, orientalisme juga mulai mengacu pada cara budaya Timur direpresentasikan dan dipahami oleh orang Barat yang superior.
Representasi ini sering kali bersifat stereotipe dan prasangka, menggambarkan Timur sebagai tempat yang misterius, statis, dan inferior dibandingkan dengan Barat.
Inilah mengapa Edward Said, dalam bukunya Orientalism, bahkan secara tegas memaknai orientalisme sebagai studi, pemahaman, atau pandangan Barat terhadap Timur (terutama dunia Arab dan Islam), yang sering kali didasarkan pada stereotipe, prasangka, dan penafsiran yang berpusat pada kekuasaan.
Superioritas inilah yang kemudian turut mempengaruhi metodologi orientalisme dalam membaca perjalanan hidup Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Orientalis sering menggunakan pendekatan metodologis yang kurang tepat untuk memahami fenomena-fenomena yang bersifat metafisik atau ilahiah, dalam kasus sejarah dan kehidupan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mereka cenderung mengabaikan dimensi sakralitas dan spiritual yang dianggap sebagai bagian esensial dari sejarah dan kehidupan Nabi Muhammad, yang tentu tidak dapat dipahami hanya dengan metode ilmiah atau logika biasa.
Metode Orientalis dalam Meneliti Sirah Nabawiyah
Secara garis besar, terdapat tiga metode yang digunakan oleh para orientalis dalam meneliti Sirah Nabawiyah (Ziauddin Sardar, Orientalism: Concepts in the Social Sciences, h. 60).
Pertama, pendekatan historis-kritis.
Pendekatan ini menekankan verifikasi sumber sejarah melalui analisis kritis dan sering membandingkan sumber-sumber Islam dengan sumber-sumber kontemporer untuk mencari konsistensi dan kontradiksi.
Kedua, penggunaan sumber-sumber dari nonmuslim (intertextuality).
Orientalis sering menggunakan sumber-sumber nonmuslim, seperti catatan sejarah Bizantium, Persia, dan Kristen, untuk melengkapi atau memverifikasi narasi Islam, dengan tujuan memberikan perspektif yang lebih luas dan mungkin lebih objektif.
Ketiga, kritik sumber sejarah.
Beberapa orientalis skeptis terhadap keautentikan sumber-sumber Islam, menganggapnya mungkin dipengaruhi oleh kepentingan teologis dan politik pada masa awal Islam, sehingga memerlukan verifikasi lebih lanjut.
Metode yang semacam itu membawa orientalis, ketika memeriksa suatu peristiwa, berangkat dari prinsip-prinsip dan latar belakang budaya yang telah mereka yakini sebelumnya. Kemudian mereka mencari alasan untuk membela pandangan tentang prinsip-prinsip dan latar belakang itu.
Dengan demikian, pembacaan mereka atas sirah bukan pencarian atas kebenaran, melainkan pencarian pembenaran atas sesuatu yang telah mereka yakini.
Misalnya saja, dalam kerangka penggunaan historis-kritis, Montgomery Watt dan Brockelmann menyangkal bahwa wahyu kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berasal dari Allah subhanahu wata’ala. Watt mengaitkan proses wahyu hanya sebatas aktivitas mental atau imajinasi kreatif yang ada pada Nabi. (W Montgomery Watt, Muhammad Prophet and Statesman, h. 21)
Sementara itu, Brockelmann menganggap wahyu sebagai khayalan semata yang dibuat oleh Nabi Muhammad. (Carl Brockelmann, History of The Islamic Peoples, h. 12)
Penolakan terhadap wahyu ini menyebabkan keraguan terhadap status al-Quran sebagai kalam Allah subhanahu wata’ala.
Untuk menguatkan argumen bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang menuliskan al-Quran, Watt juga menolak ide bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang ummi. Berdasarkan studi Watt, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum menerima kenabian telah memiliki pendidikan yang baik sesuai dengan kebudayaan zaman tersebut, yang memungkinkannya untuk menciptakan karya sebesar al-Quran.
Syarat Memahami Sirah Nabawiyah
Dari sudut pandang Islam, sirah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bisa hanya dianggap sebagai masalah sejarah yang dapat ditinjau dengan kritik dan analisis, sebagaimana yang diinginkan oleh orientalis.
Ilmu Sirah Nabawiyah, menurut Munir Ghadban, adalah ilmu yang digunakan untuk mempelajari segala hal yang terkait dengan kehidupan Nabi Muhammad, seperti kepribadiannya, tingkah lakunya, sifat-sifatnya, dan metode yang digunakan dalam berdakwah, bertabligh, serta membimbing umat. (Muhammad Munir al-Ghadhban, Fiqhu as-Sirah an-Nabawiyah, h. 15)
Tentu definisi ini bertolak belakang dengan sekedar konsepsi orientalis atas histori.
Pemahaman yang serius terhadap sirah nabawiyah mengharuskan adanya tiga syarat. (Muhammad bin Shamil as-Sulami, Manhaj Kitabah at-Tarikh al-Islami wa Tadrisuhu)
Pertama, keimanan atau setidaknya menghormati sumber metafisik (ghaib) dari pesan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan realitas wahyu yang mendasarinya.
Kedua, mengadopsi sikap objektif tanpa pendapat terlebih dahulu yang bisa menghambat pemahaman.
Ketiga, memahami ilmu-ilmu alat dalam penelitian sejarah, mulai dari bahasa dan pengumpulan data, hingga metode perbandingan, kritik, serta analisis.
Kekurangan Pendekatan Orientalis
Meskipun para orientalis memang cukup berhasil dalam poin terakhir, pada akhirnya mereka tidak dapat memberikan kontribusi ilmiah yang memadai terhadap realitas sirah nabawiyah atau mendekati batas pemahaman yang sebenarnya. Hal ini karena kurangnya pendekatan mereka terhadap dua poin pertama, yaitu menghormati sumber metafisik dan mengadopsi sikap objektif.
Oleh karena itu, dalam membaca sirah Nabi, penting pula menggunakan cara pandang Islam. Fakta sejarah boleh sama, tapi interpretasi sejarah bisa jadi sangat berbeda. (M. Wildan Arif Amrulloh/dakwah.id)
Baca juga artikel Pemikiran atau artikel menarik lainnya karya M. Wildan Arif Amrulloh.
Penulis: Muhamad Wildan Arif Amrulloh
Artikel Pemikiran terbaru: