Childfree adalah gaya hidup yang menolak untuk memiliki anak. Artikel ini akan menjelaskan perbedaanya dengan childless, hingga pandangan syariat Islam terhadapnya. Selamat menyimak.
Memiliki keluarga yang harmonis adalah dambaan banyak orang. Merekalah yang akan menjadi alasan seseorang “pulang”. Dalam Islam, keluarga sangat ditekankan. Zaenab al-Alwani bahkan menulis buku berjudul Maqashid al-Usrah (tujuan-tujuan keluarga).
Zaenab al-Alwani menegaskan bahwa disyariatkannya pernikahan, sebagai pintu terbangunnya keluarga, memuat banyak sekali tujuan-tujuan yang mulia bagi manusia, baik di dunia maupun akhiratnya.
Dalam Islam, keluarga merupakan unit sosial yang berperan sentral dalam pembentukan masyarakat. Keluarga yang dijaga dan diberikan kondisi yang sesuai untuk perkembangannya akan menjadi pilar pembentukan masyarakat yang kokoh, stabil, dan sejahtera secara spiritual maupun sosial.
Keluarga dalam Islam didefinisikan sebagai ikatan antara pria dan wanita melalui pernikahan, yang dibangun di atas fondasi kasih sayang, belas kasihan, dan kerja sama. Melalui ikatan suci ini, kebutuhan seksual yang Allah anugerahkan sebagai fitrah manusia bisa terpenuhi dengan baik.
Artikel Fikih: Syarat dan Rukun Pernikahan yang Harus Anda Ketahui
Hasilnya adalah lahirnya keturunan yang baik, yang memungkinkan manusia untuk mencapai tujuan utamanya: memakmurkan bumi dan memastikan kelangsungan umat manusia. Pernikahan yang berdasarkan pada ketentuan agama inilah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya (Ahmad Royyan, Min Fiqh al-Usrah, 5).
Maka dari itu, bentuk-bentuk dan definisi lain, seperti pernikahan sesama jenis, hidup tanpa pernikahan, dan memiliki anak di luar nikah, berada di luar konsep keluarga dalam Islam (Mehmet Bahaüddin Varol, “Islamic Family as A Concept and Institution and Its Historical Epistemology”,221).
Dalam khazanah warisan Islam (turats), semua ulama sepakat bahwa pernikahan sebagai dasar keluarga adalah satu-satunya hubungan sah yang memungkinkan pria dan wanita menciptakan ruang privasi, berbagi kehidupan mereka sendiri, serta berkontribusi pada kelangsungan umat manusia.
Fakta bahwa ketentuan-ketentuan tentang keluarga ditetapkan secara langsung oleh al-Quran, dan kemudian diterapkan secara menyeluruh oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, menjadi bukti bahwa Islam menganggap lembaga pernikahan dan keluarga sangatlah penting.
Tak dapat disangkal bahwa keluarga merupakan fondasi utama dalam masyarakat, baik secara historis maupun antropologis, bahkan dalam sejarah masyarakat Barat modern sekalipun.
Dalam konteks ini, seksualitas dengan reproduksi tidak terpisahkan sehingga moralitas menekankan pembatasan hubungan seksual hanya pada pasangan yang sah secara hukum. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa setiap anak yang lahir memiliki ayah yang bertanggung jawab atas nafkahnya dan ibu yang memeliharanya.
Dengan demikian, anak dapat tumbuh dalam lingkungan yang stabil dan mendukung, memahami garis keturunan dan hubungan keluarga yang lebih luas, serta hak, kewajiban, dan perlindungan yang melekat pada hubungan dasar antarmanusia (Katy Faust, Them before Us).
Hanya saja, dewasa ini, banyak hal-hal yang telah ada dan menjadi pakem mulai ditabrak dan dipertanyakan. Konsep yang telah dianggap sebagai kebenaran, mulai disangsikan dan digantikan dengan konsep baru yang lahir dari semangat kritis terhadap kebenaran yang ada. Terlebih lagi pascamasuknya Barat pada era postmodern, yang kemudian diikuti oleh para pem-bebek-nya.
Konsep seperti keluarga, pernikahan, ibu, dan anak, tidak luput dari sasaran mereka. Bangunan keluarga yang sudah dikenal oleh manusia selama ini kemudian dipersoalkan, lantaran dianggap hasil dari budaya yang diciptakan oleh laki-laki (pathriarchy). Bahkan pada titik ekstremnya menganggap institusi pernikahan dan keluarga tidak lagi dibutuhkan (Sherif Girgis, “The Historic Christian Teaching Against Contraception: A Defense”).
Paham semacam inilah yang pada gilirannya dikenal dengan feminisme.
Salah satu buah pikiran yang lahir dari feminisme ini adalah munculnya tren childfree, yaitu gaya hidup yang menolak untuk memiliki anak. Bukan karena keterbatasan atau belum adanya karunia akan hal itu, namun memang dengan penuh kesadaran memilih untuk tidak mau melahirkan dan memiliki anak.
Dalam konteks feminis, childfree menjadi subjek penting dalam diskusi mereka tentang kebebasan individu, gender, dan peran tradisional dalam masyarakat. Mereka mempertanyakan dan menantang norma-norma gender yang mempersempit ruang gerak perempuan dalam masyarakat, termasuk ekspektasi sosial terhadap perempuan untuk menjadi ibu (Rosemary Gillespie, “Childfree And Feminine: Understanding the Gender Identity of Voluntarily Childless Women”)
Dalam diskusi yang lebih luas, para penganut childfree ini juga beralasan dengan adanya dampak lingkungan dan sosial dari pertumbuhan populasi manusia. Dengan mengurangi jumlah anak yang lahir, mereka berkontribusi pada upaya menjaga keseimbangan ekologis dan sosial.
Childfree dan Childless
Istilah “Childfree” pertama kali digunakan oleh National Organization for Nonparents, organisasi yang didirikan oleh Ellen Peck dan Shirley Radl di Paolo Alto, California pada tahun 1972. Sekarang organisasi tersebut dikenal dengan National Alliance of Optional Parenthood (N.O.N).
Organisasi ini pertama kali dipublikasikan dalam sebuah artikel Time pada 3 Juli 1972, dengan misi memberikan dukungan kepada individu yang memilih untuk tidak memiliki anak dan untuk mengadvokasi kelompok yang menentang pronatalism.
Kemudian, tahun 1992, Leslie Lafayette, pengarang buku Why You Don’t Have Kids? Living A Full Life Without Parenthood, mendirikan organisasi dengan nama Childfree Network, sebuah wadah bagi orang-orang yang memilih tidak punya anak. Sejak saat itu, istilah “childfree” terus dikenal dan digunakan oleh masyarakat Barat hingga saat ini.
Menurut Rachel Chrastil di Washington Post, keputusan untuk menjadi childfree mengalami peningkatan pada tahun 1800-an di Eropa dan Amerika Serikat, dengan ditandai menurunnya angka kelahiran pada kurun waktu itu.
Hal ini disebabkan oleh pesatnya industrialisasi di mana perempuan banyak yang masuk ke dunia tersebut sehingga cenderung nyaman untuk hidup sendiri.
Secara teologis, akar childfree sendiri dapat ditelusuri dalam ajaran Manicism (pendiri aliran ini adalah Manichaeus). Mereka percaya bahwa kehamilan adalah bentuk perilaku yang rendah karena menurut sistem kepercayaannya, hal tersebut bentuk dari menangkap jiwa dalam tubuh yang sementara. Untuk menghindari hal ini, mereka menggunakan sistem kencan bersama dengan menggunakan kontrasepsi.
Makna Childfree mengacu pada “having no children; childless, especially by choice” yang berarti bahwa childfree adalah tidak memiliki anak, yang didasarkan pada pilihan individu. Menurut Kamus Cambridge, childfree mengacu pada mereka yang memilih untuk tidak memiliki anak atau memiliki kondisi tanpa anak.
Menurut Agrillo dan Nelini, childfree mengacu pada orang dewasa yang secara sadar memilih untuk tidak mempunyai anak atau dikenal juga sebagai voluntary childlessness. Houseknecht, dalam penelitiannya, mendefinisikan individu childfree sebagai mereka yang tidak mempunyai anak dan tidak ingin memiliki anak di masa depan (Sharon K Houseknecht, “Voluntary Childlessness in the 1980s: A Significant Increase?”, 51–69).
Titik kesamaan di antara definisi-definisi tersebut adalah bahwa keputusan untuk menjadi childfree didasarkan pada pilihan individu.
Maka dari itu, childfree sama sekali berbeda dengan sekadar tidak memiliki anak (childless).
Childless mengacu pada individu yang belum memiliki anak, tetapi belum tentu karena pilihan sadar. Mereka mungkin menginginkan anak, tetapi belum dapat mengadopsi atau hamil, atau belum menemukan pasangan hidup yang cocok, atau belum siap untuk memulai keluarga (Amy Blackstone, “Childless… or Childfree?”).
Berbeda dengan childfree yang memang didasarkan pada kesadaran dan pilihan serta individu. Satu konsep yang banyak bertentangan dengan agama-agama besar di dunia, terutama Islam.
Tahun 1930-an, semua denominasi Kristen besar—Katolik, Ortodoks, dan Protestan—bahkan menentang kontrasepsi buatan karena mereka menganggap tidak wajar untuk memisahkan tindakan seks dari konsekuensi alaminya, seperti kemungkinan inseminasi, kehamilan, dan reproduksi.
Sementara jika melihat hukum Islam, akan ditemukan pandangan yang lebih bijak. Islam memang sangat menganjurkan untuk memperbanyak keturunan, namun tetap mempunyai sikap yang lebih terukur terhadap isu ini.
Dalam fikih Islam, terdapat konsep yang dikenal dengan ‘azl. Sebagian besar ulama membolehkan seseorang melakukan tindakan pencegahan kehamilan, namun hal itu dalam konteks tertentu dan dengan pertimbangan yang bijak.
‘Azl hanya diperbolehkan dalam rangka tartîb an-nasl (mengatur jarak kelahiran), bukan taḥdîd an-nasl (membatasi keturunan secara mutlak) apalagi childfree.
Konsep Rights dan Motherhood yang Salah
Fenomena childfree sejatinya dipengaruhi oleh perubahan paradigma terhadap institusi pernikahan. Awalnya, pernikahan dipandang sebagai lembaga yang memiliki fungsi institusional, yang fokus pada kelangsungan keturunan dan integrasi sosial.
Namun, seiring berjalannya waktu, dalam masyarakat Barat pandangan ini mulai digeser menuju pendekatan yang lebih individualistik. Pernikahan tidak dilihat sebagai sarana untuk melanjutkan garis keturunan, tetapi sebagai wadah untuk pengembangan diri dan pertukaran afeksi antara pasangan semata.
Pilihan childfree dipandang sebagai salah satu manifestasi dari kebebasan individu, yang memungkinkan perempuan untuk menentukan sendiri jalur hidup mereka tanpa terkekang oleh harapan sosial yang mengaitkan identitas perempuan dengan peran ibu.
Dalam prosesnya, keputusan untuk tidak memiliki anak menjadi upaya menantang stereotip tentang nilai dan tujuan perempuan dalam masyarakat (Emma Gross, “Motherhood in Feminist Theory”).
Lebih dari sekadar pilihan hidup, childfree juga merupakan upaya untuk menegaskan kemandirian perempuan dalam mengambil keputusan tentang reproduksi dan mengklaim kontrol atas tubuh mereka sendiri.
Masyarakat Barat dalam memaknai hak, menggunakan istilah right. Dalam konsepsi mereka, hak itu terlahir bersamaan dengan lahirnya manusia. Ia tidak diberi oleh siapa pun, lantaran memang melekat pada diri manusia. Oleh karena itu, tidak ada satu orang pun yang boleh mengambilnya.
Bahkan Jack Donnelly, penulis buku International Human Rights, menjelaskan bahwa penyandingan kata “human” dalam “human rights” sejatinya mengindikasikan akan sumber dari hak itu sendiri. Ia tidak diberikan oleh siapa pun, melainkan terlahir dari dirinya sendiri.
Sementara dalam turâts Islam, menggunakan kata al-ḥaq, padanan yang sama untuk mengungkapkan “kebenaran”. Para ulama pun sering kali membahas al-ḥuqûq (bentuk plural dari al-ḥaq) tumpang tindih antara tanggung jawab dan hak. Hal itu menunjukkan pembahasan tentang hak bukan tentang apa yang seseorang harus dapatkan, melainkan tentang apa yang seharusnya ia tunaikan.
Hak sendiri dalam Islam adalah karunia yang diberikan oleh Allah subhanahu wata’ala, maka Allah juga berhak untuk mencabut hak tersebut jika manusia tidak menunaikan apa yang menjadi tanggung jawabnya.
Di dalam Islam, tubuh yang dimiliki manusia ini bukanlah hak kepemilikan pribadi. Tubuh ini sejatinya adalah amanah. Al-Manawi memaknai amanah sebagai setiap tanggung jawab yang harus ditunaikan dan dijaga (Zaenuddin al-Manawi, Faidh al-Kabir Syarh al-Jami’ ash-Shaghir, 1/288).
Khutbah Jumat Singkat: Amanah, Sifat Mukmin Sejati
Al-Kafawi lebih sederhana dengan mengatakan bahwa setiap yang diwajibkan pada hamba itu adalah amanah (Abu al-Baqa’ al-Kafawi, al-Kulliyat Mu’jam fi al-Mushthalahat wa al-Furuq al-Lughawiyah, 269).
Oleh karena itu, Islam menekankan rasa hormat terhadap tubuh sebagai karunia dari Allah. Seorang muslim tidak menganggap “kepemilikan” mutlak atas tubuhnya, melainkan merawatnya sebagai karunia berharga selama hidupnya, sampai kelak kembali kepada Sang Pencipta.
Muslim diwajibkan untuk menjaga kesehatan mereka dan juga kesehatan muslim lainnya sebisa mungkin. Muslim juga diwajibkan untuk menghormati alam, lingkungan, dan kesejahteraan fisik semua makhluk hidup.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan kepada umat Islam bahwa mereka akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah tentang bagaimana mereka menggunakan anugerah tubuh dalam kehidupan. Dengan demikian, penggunaan tubuh ini harus selalu dalam rangka berbuat kebaikan dan sejalan dengan fitrah yang telah digariskan.
Tren childfree juga terlahir dari pandangan bahwa menjadi ibu adalah bentuk keterkungkungan. Memiliki anak menjadi penghalang bagi seseorang untuk menempuh karier kehidupan yang lebih tinggi.
Cara pandang semacam itulah yang bertentangan dengan pandangan Islam tentang ibu dan anak. Ibu diletakkan pada kedudukan yang sangat tinggi sehingga dikiaskan bahwa surga ada di kaki mereka. Ibu mendapat penghormatan khusus dalam agama Islam, bahkan Allah menempatkannya pada derajat yang tinggi dan mulia di atas orang-orang lain.
Karena pentingnya ibu, Allah mengaitkan keridhaannya dan ketaatan padanya dengan keridhaan dan ketaatan pada-Nya. Orang yang mengabaikan dan menyakiti ibunya akan menghadapi hukuman yang keras di dunia dan akhirat.
Kemuliaan itu lantaran selaras dengan perjuangan dan pengorbanan yang memang dialami oleh ibu.
Ibnu Battal, sebagaimana yang dikutip Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitab Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, mengatakan, “Yang dimaksud bahwa ibu berhak mendapatkan bakti dari anak tiga kali daripada ayah adalah karena kesulitan hamil, melahirkan, kemudian menyusui. Hal-hal ini hanya dialami oleh ibu dan tentu menyusahkan baginya.”
Pemuliaan dan penghormatan kepada ibu juga tercermin dalam banyak ayat al-Quran.
Misalnya, dalam Surat Luqman ayat 14, Allah memerintahkan manusia untuk berbakti kepada kedua orang tua, dengan penekanan khusus pada ibu: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.“
Oleh karena itu, seorang muslim memandang bahwa menjadi ibu adalah sebuah amanah dan kemuliaan, bukan bentuk keterkungkungan apalagi kerendahan.
Childfree bukan Solusi
Persoalan childfree jauh lebih kompleks daripada sekadar permasalahan hukum tentang memiliki atau tidak memiliki anak. Ini mencakup pertentangan dengan prinsip-prinsip fitrah manusia, tujuan dari syariat, dan sunah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dalam masyarakat Muslim, barangkali idealisme memang belum sepenuhnya tercapai. Kenyataan bahwa banyak orang tua yang gagal dalam melaksanakan tanggung jawab mereka, memang tidak dapat dipungkiri.
Hanya saja, solusi atas masalah ini tidak boleh hanya sebatas dengan memilih untuk tidak memiliki anak. Analoginya, ketika padi diserang oleh hama, maka solusinya bukanlah berhenti dan tidak mau menanam. Tindakan tersebut jelaslah salah kaprah.
Jika masalahnya terletak pada perilaku manusia, maka solusinya adalah dengan membangun individu dan masyarakat yang lebih baik. Ini melibatkan upaya untuk meningkatkan pendidikan orang tua, memperbaiki sistem pendidikan, dan menggalakkan nilai-nilai Islam yang lebih kuat dalam masyarakat.
Bukan penghindaran dari tanggung jawab sebagai orang tua yang dijadikan jalan keluar, melainkan peningkatan kesadaran dan tanggung jawab sosial sebagai bagian dari upaya membangun masyarakat yang lebih baik. Menghadirkan ketahanan keluarga yang baik, lantaran memiliki ayah dan ibu yang baik. (M. Wildan Arif Amrulloh/dakwah.id)
Baca juga artikel Pemikiran atau artikel menarik lainnya karya M. Wildan Arif Amrulloh.
Penulis: M. Wildan Arif Amrulloh
Editor: Ahmad Robith
Artikel Pemikiran terbaru: