transaksi jual beli

Transaksi Jual Beli: Definisi, Hikmah, Rukun, Syarat

Terakhir diperbarui pada · 5,318 views

Dalam istilah syariat, transaksi jual beli dikenal dengan istilah ­al-Bai’. Istilah tersebut berasal dari bahasa arab باع-يبيع-بيعا, artinya menjual-penjualan. Lawan katanya adalah asy-Syira’, artinya membeli-pembelian.

Meski kedua istilah tersebut memiliki definisi yang berlawanan, namun para ulama menganggapnya sama saat membahas masalah fikih jual beli. Sementara al-Bai’ lebih sering digunakan untuk mengistilahkan jual beli. (Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq, 3/46. Al-Majmu’, Imam an-Nawawi, 9/140)

Ibnu Qudamah mengatakan bahwa pengertian jual beli secara istilah adalah, “Pertukaran harta dengan harta dengan ketentuan memiliki dan memberikan kepemilikan.” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 4/5)

Baca juga: Wanita Muslimah Bekerja di Luar Rumah, Apa Syaratnya?

Disebut jual beli karena salah satu dari dua orang yang melakukan akad tersebut bersepakat untuk mengambil dan memberi. (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah az-Zuhaily, 4/345)

Transaksi Jual Beli Hukumnya Mubah

Transaksi Jual beli itu hukumnya mubah berdasarkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadits serta Ijma’ Ulama. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا

“Dan Allah  menghalalkan transaksi jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)

Dalam ayat lain Allah berfirman,

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan memakan harta sesamamu dengan batil kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (QS. An-Nisa: 29)

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Rifa’ah bin Rafi’ Radhiyallohu, suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya,

أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ فَقَالَ: «عَمِلَ الرَّجُلُ بِيَدِهِ، وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٌ

“Pekerjaan apakah yang paling baik?” Maka beliau menjawab: “Pekerjaan seseorang yang dilakukan dengan tangannya dan setiap transaksi jual beli itu mabrur.” (Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan dishahihkan oleh Al-Hakim, Subulus Salam, 3/4)

Dalam hadits lain Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam juga pernah bersabda,

اِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

“Sesungguhnya transaksi jual beli itu saling ridha.” (Al-Jami’ ash-Shaghir, 1/102)

Kaum muslimin telah sepakat tentang bolehnya melakukan transaksi jual beli, karena pada dasarnya hukum transaksi jual beli itu mubah.

Imam Syafii mengatakan, “Asal mula (hukum) jual beli itu semuanya mubah, apabila ada saling ridha antara dua orang yang sedang melakukan transaksi, kecuali beberapa bentuk jual beli yang telah dilarang oleh Rasululllah Shalallahu ‘alaihi wassalam.” (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah az-Zuhaily, 5/3307)

Baca juga: Hukum Aqiqah Wajib, Benarkah?

Hikmah Disyariatkannya Transaksi Jual Beli

Dalam menjalani kehidupan ini, setiap manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan tertentu yang terkadang tidak ada pada dirinya namun ada pada diri orang lain. Kebutuhan tersebut sangat beragam sifatnya. Ada yang sangat penting, ada pula yang sifatnya penunjang, dan pelengkap.

Sehingga, antara manusia satu dengan lainnya perlu untuk saling berbagi atau bertukar kebutuhan dalam rangka mendapatkan apa yang ia butuhkan dalam sebuah muamalah yang baik.

Oleh sebab itu, di zaman belum ditemukannya alat tukar tertentu, antara manusia satu dengan lainnya terjadi proses saling tukar barang atau benda yang dibutuhkan. Ini disebut dengan barter.

Seiring dengan itu, alat tukar semakin berkembang, muncullah alat tukar yang dikenal dengan istilah mata uang.

Untuk menjaga keteraturan dan menghindarkan proses tukar menukar barang baik dengan barter atau dengan mata uang dari kejahatan-kejahatan berupa penipuan, kecurangan, dan sebagainya, Allah ‘Azza wa Jalla menentukan aturan syar’I berupa penghalalan transaksi jual beli dan mengharamkan riba. (Majalatul Buhuts al-islamiyah, 10/90)

Baca juga: Pembaruan Agama di Era Jahiliyah.

Rukun Transaksi Jual beli

Tentang rukun transaksi jual beli, mazhab Hanafi hanya menyebutkan satu rukun saja. Yaitu akad Ijab dan Qabul. Sementara Jumhur Ulama Fikih menyatakan bahwa rukun transaksi  jual beli itu ada empat. Yaitu, Ada Penjual dan pembeli, ada Akad berbentuk Ijab Qabul, ada barang yang diperjual belikan, ada nilai jual atau harga.

Atau, dalam istilah lain Aqid atau pihak yang melakukan akad (Penjual dan pembeli), Ma’qud ‘Alaih atau objek yang diperjual belikan (Harga dan barang), dan Shighat atau pernyataan (berupa Ijab dan Qabul). (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah az-Zuhaily, 5/3309)

Syarat Transaksi Jual Beli

Dalam persoalan syarat transaksi jual beli, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama mazhab. Menurut Mazhab Hanafi, ada 23 syarat transaksi jual beli yang harus terpenuhi. Menurut Mazhab Maliki, ada 11 syarat transaksi jual beli. Sementara menurut Mazhab Syafi’i, ada 22 syarat. Sedangkan Mazhab Hanafi mensyaratkan 11 syarat dalam transaksi jual beli. (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah az-Zuhaily, 5/3350)

Di antara sekian banyak syarat yang menjadi ranah perbedaan pendapat tersebut, terdapat tiga syarat paling pokok yang disepakati oleh empat mazhab. Pertama, pihak yang berakad berakal sehat. Kedua, terdapat sighat akad yang jelas antara penjual dan pembeli dalam satu waktu dan tempat tanpa unsur manipulasi dan penipuan. Ketiga, Barang yang diperjualbelikan adalah barang yang memiliki nilai, halal, dan bermanfaat, serta ada pemiliknya. (Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah az-Zuhaily, 5/3367) Wallahu a’lam [dakwah.id]

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

0 Tanggapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *