Pernah berurusan dengan tukang kredit? Tidak selalunya tukang kredit itu punya misi menjual barang secara angsuran. Ada juga tukang kredit yang misinya memberi pinjaman uang dengan modus jualan barang.
Ilustrasinya begini. Nusron butuh uang 2 juta. Lalu datang Nasrin memberi solusi. Nasrin menawarkan kredit Handphone Android Xiaomi seharga 2,5 juta. Jika sudah sepakat transaksi kredit, saat itu juga Nasrin bersedia membeli kembali android Xiaomi tadi, tapi dengan harga 2 juta secara tunai.
Dengan demikian, Nusron bisa membawa pulang uang sebesar 2 juta. Tapi bersamaan dengan itu dia juga menanggung hutang total 2,5 juta yang dibayar secara angsuran.
Apakah Tawaran Tukang Kredit itu Sesuai dengan Syariat?
Apa yang dilakukan oleh tukang kredit dalam ilustrasi di atas pada hakikatnya adalah praktek jual beli ‘Inah. Apa itu ‘Inah?
Al-‘Inah berasal kata al-‘Ain yang berarti uang asli/cash, karena pembeli barang untuk sementara mengambil sejumlah uang cash sebagai pengganti barang tersebut. (Abdullah al-Bassam, Taudhih al-Ahkam, 3/215)
Jual beli ‘Inah didefinisikan dengan, “Menjual barang secara kredit dengan angsuran tertentu, kemudian membeli lagi barang itu secara tunai dengan harga lebih murah, dan sementara utang kredit tetap menjadi tanggungan pembeli.” (Subulus Salam, 2/57)
Dengan demikian, secara kronologis terjadi dua hal dalam jual beli ‘Inah:
- Menjual barang secara kredit dengan harga tertentu.
- Membeli kembali barang dengan harga berbeda/lebih rendah secara kontan.
Jual Beli al-‘Inah hukumnya haram. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali. (islamqa.info)
Hukum haram ini didasarkan pada hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda:
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ
“Apabila kalian melakukan jual beli Al-‘Inah, sibuk dengan peternakan dan terlena dengan perkebunan, serta meninggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kepada kalian suatu kehinaan yang (Allah) tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian.” (HR Abu Daud, Ibnu Hajar berkata di dalam Bulughul Maram, ‘Diriwayatkan juga oleh Ahmad dari jalur ‘Atha’, dan para perawinya terpercaya serta dishahihkan oleh Ibnu al-Qhaththan’)
Ibnu Qudamah menambahkan penjelasan, “(Dalam hadits) ini terdapat ancaman yang menunjukkan keharaman.” (Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 4/195)
Android Xiaomi dari Tukang Kredit Hanyalah Modus Transaksi
Disamping dalil di atas, alasan lain haramnya jual beli ’inah dengan skema di atas, adanya praktik transaksi riba.
Dalam praktik jual beli ‘Inah, yang terjadi sebenarnya adalah pemberian pinjaman dengan total angsuran yang nominalnya berbeda (lebih banyak) dengan uang yang dipinjamkan. Maka, dalam praktik transaksi ini terdapat riba. Yaitu adanya selisih uang antara yang dipinjamkan dan dikembalikan. Riba hukumnya jelas haram.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Persis seperti yang terjadi dalam ilustrasi antara Nusron dan Nasrin di atas. Hakikatnya Nasrin memberi pinjaman kepada Nusron sebesar 2 juta. Dan Nusron berkewajiban mengembalikan pinjaman itu dengan total angsuran 2,5 juta.
Dalam praktik tersebut, Nasrin yang berprofesi sebagai tukang kredit mendapatkan uang lebih dari pinjamannya sebesar 500.000. inilah letak ribanya. Sementara HP Android Xiaomi hanyalah alat modus transaksi.
Pendapat Yang Membolehkan Jual Beli Sistem ‘Inah Adalah Lemah
Mazhab syafi’i menganggap praktik jual beli ‘Inah adalah boleh. Pendapat yang membolehkan ini berdalil dengan hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعْمَلَ رَجُلًا عَلَى خَيْبَرَ فَجَاءَهُ بِتَمْرٍ جَنِيْبٍ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَكُلُّ تَمْرِ خَيْبَرَ هَكَذَا؟ قَالَ: لَا، وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّا لَنَأْخَذُ الصَّاعَ مِنْ هَذَا بِالصَّاعَيْنِ وَالصَّاعَيْنِ بِالثَّلَاثَةِ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَفْعَلْ، بِعْ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيْبًا
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempekerjakan seorang di Khaibar. Maka datanglah dia kepada beliau membawa kurma Janib (kurma yang bagus), maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Apakah semua kurma Khaibar seperti ini?’ ia menjawab: ‘Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, kami mengganti satu sha’ dari (Kurma Janib) ini dengan dua sha’ (dari kurma jenis lain) dan dengan tiga sha’.’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Jangan kamu lakukan seperti itu, tetapi jual-lah al-jam’a (kurma campuran) dengan dirham, lalu dengan dirham itu belilah kurma Janib.’” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadist di atas membolehkan seorang menjual kurma jelek kepada seseorang, kemudian dengan uang itu dia membeli kurma yang bagus dari penjual, tanpa dirinci apakah membelinya dari orang yang sama atau dari orang lain, maka kebolehan ini bersifat umum.
Sehingga dalil keumuman ini dikhususkan dengan hadist larangan jula beli al-‘Inah sebagaimana disebutkan di awal. (lihat juga komentar Ibnu Hajar atas hadits di atas dalam Fathul Bari: 4/400) Wallahu a’lam [dakwah.id]