Daftar Isi
Kekuatan dan kekuasaan (otoritas) memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap fisik dan jiwa manusia. Pengaruh terkuat, paling dominan, dan paling luas adalah terhadap jiwa. Sebab, penguasaan terhadap fisik itu ditempuh melalui perasaan takut dimana itu akan cepat hilang. Sedangkan penguasaan terhadap jiwa pintunya melalui hasrat (perasaan senang) yang digerakkan oleh qanaah dan ikhtiar.
Pada dasarnya, ulama umat Islam juga memiliki kekuasaan terhadap jiwa manusia. Kekuasaan atas jiwa tersebut berasal dari spiritualitas agama Islam dan kemudahan akses ke dalam diri manusia (nufus); tunduk kepada ulama dengan penuh kerelaan dan hasrat (rasa senang), ketundukan yang bersifat fitrah tanpa beban dengan membawa perasaan bahwa ulama umat Islam adalah sosok rujukan (marja’) dalam mendapatkan pencerahan agama. Lisan ulama adalah sumber narasi yang menyingkap hakikat kebenaran dan penjelas syariat.
Ulama adalah sosok penjaga yang amanah. Ulama adalah pewaris nabi yang sebenarnya. Ulama telah berhasil menghimpun tanggung jawab mandat penjelasan persoalan peribadatan dan mandat penetapan persoalan hukum-hukum muamalat. Berbeda dengan para khalifah yang—sama sekali tidak dibebani memikul tanggung jawab ini—hanya bertanggung jawab untuk mengimplementasikan putusan ulama yang mengandung nilai kemaslahatan baik dalam ruang lingkup pergaulan individu ataupun sosial kemasyarakatan.
Suasana posisi kekuasaan dan otoritas ulama umat yang tampak jelas seperti ini hanya dapat dilihat di kala para ulama betul-betul teguh berpijak di atas al-Quran dan as-Sunah. Mereka berjalan sesuai dengan petunjuk keduanya dan berhenti pada batas-batas ketentuan keduanya. Mereka tegakkan kewajiban amar makruf nahi munkar, dan umat pun tidak akan menemukan jalan kecuali dengan petunjuk al-quran dan as-sunah.
Posisi kekuasaan dan otoritas mereka tetap berjalan seperti ini hingga era khalifah. Lisan mereka masih tajam dalam memberikan kritikan dan cacat kepada setiap orang yang menyimpang dari jalan lurus yang telah digariskan agama. Tidak membeda-bedakan siapa pun pelakunya.
Baca Juga: Amar Ma’ruf Nahi Munkar: Urgensi, Dalil, Fleksibilitas Hukum, Dan Konsep Dasar Praktik Penerapannya
Pendapat mereka dijadikan rujukan dalam setiap permasalahan, baik dalam urusan dunia maupun agama. Tidak terkecuali para khalifah saat itu, seperti Muawiyah dan sebagainya. Mereka semua mengakui keabsahan kekuasaan tak terbatas yang dimiliki para ulama sebagai penolong dalam menegakkan kebaikan dan perbaikan. Mereka tidak akan berani menetapkan suatu keputusan tanpa melibatkan para ulama.
Para penguasa yang otoriter sekalipun tak berani mendahului para ulama umat ini. Sebab, mereka sadar betul bahwa ulama umat berkuasa di atas kekuasaan mereka. Namun, mereka mulai mengadakan manuver dan langkah-langkah untuk melemahkan para ulama. Terkadang dengan metode tebar pesona untuk mengangkat pamornya, atau dengan berpura-pura baik di hadapan mereka. Tapi kadang juga menggunakan cara kasar, konfrontasi terbuka dan sengaja melanggar peraturan sebagai bentuk nyata pembangkangan.
Otoritas Ulama Umat di Atas Penguasa: Pelajaran dari Zaman Muawiyah
Dahulu Muawiyah mengangkat anaknya sebagai putra mahkota, dan memaksa seluruh rakyat untuk berbaiat kepadanya, baik dengan cara keras maupun lunak sehingga ia berhasil mewujudkan keinginannya. Namun begitu ia masih memandang baiat ini masih seperti sandiwara, selama ‘Ubadalah (Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair, dan Abdullah bin Amru bin al-Ash radhiyallahu ‘anhum) dan Hasan belum mau berbaiat kepadanya.
Penyebab utamanya adalah mereka memiliki kapabilitas keilmuan yang tidak bisa dianggap enteng. Selain itu, mereka juga memiliki tempat khusus di hati umat Islam. Oleh karena itu, Muawiyah memutar haluan dengan menggunakan siasat yang didukung pedang.
Hal yang sama juga dipraktikkan oleh anak-anak Marwan. Setiap kali ada ulama yang abseen dari baiat serupa, sebagaimana nasib yang dialami oleh Said bin Musayyib. Praktik semacam ini masih berjalan di kalangan para penguasa diktator selama para ulama masih memiliki hak berkuasa dalam ruang lingkup yang tak terbatas. Hingga suatu hari dimana urusan ini beralih ke tangan generasi lain, yaitu ketika kekuasaan jatuh ke tangan para amir, panglima, dan tentara. Di sisi lain, kekuasaan ini lepas dari genggaman para ulama umat dan khalifah secara bersamaan.
Seakan ini mengisyaratkan sebuah hukuman bagi para khalifah yang berani melonjak, juga sebagai hukuman bagi para ulama umat yang rela mundur dari jabatan kekuasaan tak terbatas.
Selain praktik semacam ini terjadi dalam urusan baiat, ini juga terjadi dalam semua permasalahan lain yang diperebutkan oleh kedua penguasa ini.
Walaupun kondisinya seperti ini, para ulama umat masih tetap dalam posisi sebagai representasi dari kebenaran hakiki. Merekalah yang memegang kendali umat yang hakiki di tempat yang tak tersentuh oleh kekuasaan pemerintah yang semu.
Baca Juga: ZALLATUL ‘ALIM: Menyikapi Ketergelinciran Pendapat Ulama
Mereka masih terjaga dan siaga menghadapi setiap peristiwa yang dihadapi umat Islam. Setiap kali mereka menemukan bayangan hantu bid’ah, dengan sigap mereka langsung menepisnya. Setiap kali mereka merasa ada kesesatan dan kemunkaran dalam agama, dengan cepat mereka mengubahnya dengan perkataan dan perbuatan.
Saking hati-hatinya, mereka menyikapi dosa kecil seperti dosa besar. Mereka tidak terlalu gampang memberikan rukhshah; keringanan hukum. Langkah ini mereka lakukan sebagai bentuk antisipasi untuk menutup semua pintu yang menjurus kepada perbuatan bid’ah dan kesesatan dalam agama. Mereka selalu bersikap dengan landasan al-Quran dan as-Sunah.
Ulama Umat dan Fitnah Perpecahan antar Mazhab
Dengan demikian, landasan berpikir mereka adalah dalil yang tidak mungkin menyesatkan; mereka bersandar pada hujah yang tak terbantahkan. Maka sudah sepantasnya jika seluruh umat memilih mereka sebagai rujukan untuk tempat bernaung sehingga lahirlah kesatuan beragama yang sama sekali tidak bisa dipecah belah, dan tidak berbeda-beda pendapat. Sampai ketika mereka terkena fitnah perpecahan antar mazhab, baik yang berhubungan dengan permasalahan prinsip-prinsip agama maupun cabang-cabangnya. Fanatisme mazhab inilah yang menutupi kebenaran bagi mereka.
Dampaknya, secara umum, umat Islam memandang mereka tidak seperti sebelumnya, ketika mereka bersatu di bawah bendera agama. Persatuan yang menjamin keutuhan eksistensi mereka di dunia, menjaga keutuhan ilmu, dan menjamin keselamatan mereka dari perbedaan yang hanya dilandasi aspek kepentingan dan keuntungan masing-masing. Ujung-ujungnya akan menyeret mereka ke dalam perpecahan yang berakibat kerusakan parah yang harus mereka tanggung.
Inilah penyebab lemahnya kekuasaan yang mereka miliki, sampai akhirnya kekuasaan ini pun diperjualbelikan di antara para penguasa jahat dan zalim serta komandan jahat dan bodoh. Mereka bersatu di atas satu tujuan, yaitu menindas orang awam. Mereka bersekongkol sehingga terbentuk duet maut yang menebar malapetaka bagi umat.
Upaya Penguasa dalam Menjatuhkan Otoritas Ulama Umat
Para penguasa senantiasa membuat makar untuk menjauhkan kedudukan para ulama—setelah sekian lama—dari posisi sebagai pemimpin spiritual umat Islam. Kemudian mereka menggantinya dengan aktor-aktor baru yang dapat mereka dikte untuk menipu orang awam. Mereka nobatkan tokoh-tokoh dengan memberinya topeng agama supaya bisa menarik simpati umat karena kebesaran namanya.
Padahal, sejatinya mereka adalah orang-orang yang tidak merasa membutuhkan ilmu karena memang bukan ahlinya. Mereka meminta bantuan dari para penguasa untuk mendukung kekuatannya. Sehingga kedua belah pihak bersepakat untuk saling berbagi rekomendasi dan keuntungan demi kepentingan masing-masing dengan syarat harus mendiamkan setiap kemunkaran yang terjadi.
Artinya, ulama umat menyesatkan penguasa, dan sebaliknya, penguasa merendahkan ulama. Sejatinya, penyesatan dalam urusan agama merupakan sarana menuju kehinaan di dunia. Umat pun akhirnya terninabobokkan dengan tepukan atas nama agama, dengan kebodohan yang dihiasi, dengan menjauhkan ilmu, dengan sesuatu yang katanya mendekatkan jalan mereka ke surga padahal hakikatnya tidak, tapi justru menjauhkannya dengan perbuatan-perbuatan bid’ah.
Dalam hal ini, para ulama umat lalai, mereka lelap dalam tidur panjang yang jauh lebih lama daripada tidurnya Ashabul Kahfi. Ketika mereka membuka mata, mereka dihadapkan pada agama baru yang bukan merupakan agama sebelumnya. Lalu mereka poles agama tersebut agar terlihat samar di mata umat, sampai mereka mau mengikutinya. Padahal, para ulama tersebut tak lain hanyalah para pengikut dan pengekor penguasa, meskipun sebelumnya mereka menjadi panutan umat.
Sebagai bukti, mereka menjadi pemberi label dan rekomendasi syar’i bagi para penguasa. Mereka memberikan kesaksian bahwa para pejabat itu adalah orang-orang yang sempurna dan mulia. Termasuk mereka berikan legalitas syar’i kepada para pelaku bid’ah yang menobatkan diri mereka sebagai ulil mari yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. Tentu dengan makna yang mereka selewengkan dari makna sebenarnya yang digunakan dalam agama.
Baca Juga: Kemunduran Turki Utsmani Dipicu Oleh Beberapa Faktor Ini
Tidak cukup sampai di situ, bahkan mereka berani lancang menyematkan sifat-sifat ketuhanan yang hanya layak dimiliki Allah ‘azza wajalla kepada mereka.
Para penguasa pembuat bid’ah Uluhiyah semacam ini menyadari kecerobohan para ulama yang sangat berambisi mengejar keuntungan dunia yang hina. Mereka juga memahami bahwa para ulama akan terjerumus dalam kelezatan makanan “kotor”. Maka mereka tuntun ulama itu dengan tali kekang di tangan mereka. Lalu mereka menyadari bahwa para ulama telah setuju dengan kehinaan dan kerendahan yang diberikan kepada dirinya. Maka, mereka berusaha untuk mengangkat citra dan pamor mereka dengan jalan membuat silau pandangan manusia terhadap mereka. Dalam hal ini, para ulama sendiri yang menghinakan dirinya sehingga dengan mudah mereka dapat dihinakan dan direndahkan martabatnya.
Jadilah para ulama umat itu sebagai pengikut penguasa yang paling rendah dan hina. Mereka berguguran di depan meja jamuan yang dipersiapkan penguasa. Maka tak perlu heran jika dengan sukarela mereka menuruti kehendak penguasa hingga dalam permasalahan yang bersifat syahwat yang paling hina. Mereka memberikan kesaksian palsu dan rekomendasi atas nama agama bagi para penguasa. Mereka halalkan kelezatan yang telah Allah ‘azza wajalla haramkan. Sudah lama minuman itu campur, tapi yang tersisa di tempayan hanyalah ampasnya.
Sebuah Pelajaran Tentang Ulama Tunisia
Dalam kondisi separah inilah kita mendapati zaman kita dan para pelakunya. Beberapa tahun lalu, di jalan Manarah, Tunisia, aku melihat dengan mata kepalaku, seorang ulama yang sangat dihormati di kalangan ulama Universitas Zaitunah, membungkukkan badan untuk mencium tangan seorang penyeleweng agama dan pembuat bid’ah yang sombong. Sekiranya aku diberi wewenang menilainya, kusebut ia sebagai budaknya. Dari situlah aku baru melihat langsung bagaimana seorang ulama menjadi cela bagi ilmunya. Dalam benakku terbesit syair al-Mutanabbi,
وقد هام قوم بأصنامهم
فأمـا بزق رياح فلا
Suatu kaum jatuh cinta pada berhalanya,
Tapi tidak pada bau busuknya
Jatuhlah kehormatan ulama tersebut dalam penilaianku. Aku tidak akan menyebut kebaikannya ketika masih hidup, dan tidak sudi menyebutnya sebagai almarhum sepeninggalnya. Kematiannya juga tidak kuanggap—seperti ulama lainnya—sebagai kerugian bagi Islam!
Allah ‘azza wajalla tidak akan pernah berbuat zalim kepada para ulama, tetapi mereka sendirilah yang telah menzalimi diri mereka. Mereka sama sekali tidak tahu terima kasih atas nikmat ilmu yang mereka dapatkan. Maka Allah ‘azza wajalla merampas kembali buah dari ilmu tersebut, yaitu kemuliaan, kekuasaan, keimamahan, dan kepemimpinan.
Kekosongan dalam ranah kekuasaan yang seharusnya dikendalikan oleh para ulama ini berakibat fatal terhadap akidah dan akhlak umat Islam. Di antaranya terjebaknya umat Islam secara sistemik ke dalam pengaruh kekuasaan para pembuat kesesatan yang sama sekali tidak memberikan petunjuk, bahkan menyesatkan. Mereka menyesatkan umat dari jalan yang lurus.
Mereka juga menyebarkan penyakit-penyakit mematikan kepada umat Islam. Di antara penyakit yang paling membahayakan umat adalah penjajahan, yang mendapatkan tunggangan dan toleransi dari ulama semacam itu hingga dapat mencapai tujuannya yang busuk terhadap Islam dan umat Islam.
Sekiranya para ulama umat itu adalah para komandan, yang memiliki jiwa dan perasaan yang hidup seperti para pendahulu yang memiliki tekad kuat dan lurus, niscaya para penjajah akan menghadapi benteng kokoh di bumi bagian barat maupun timur yang tak terkalahkan.
Demi Allah ‘azza wajalla, kewibawaan para ulama umat Islam tidak akan diperoleh kembali sampai mereka mau melaksanakan Janji Allah ‘azza wajalla dalam menjelaskan kebenaran.
Mereka harus bersatu dalam memerangi segala macam bentuk bid’ah dan kesesatan yang telah menyelimuti keyakinan, moral, dan agama seluruh umat Islam sehingga menciptakan jurang yang memisahkan antara hakikat Islam yang sebenarnya dari pikiran umat, dan sehingga tampak jelas di mata umat wujud asli harta karun ilmu pengetahuan yang terkubur dalam al-Quran kitab yang senantiasa dijunjung tinggi oleh manusia, serta aturan-aturan yang sudah pasti kebenaran, kebaikan, dan kesempurnaannya dalam tersirat dalam riwayat hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika saja mereka semua mau bersatu, bangkit mengingatkan umat, dan berusaha menjatuhkan musuh Islam sebagaimana mereka menjatuhkan umat ini dengan serangan bertubi-tubi melalui berbagai macam bid’ah dan kesesatan yang dilancarkan untuk merusak moral umat Islam, melemahkan kewibawaan dan tekad dalam jiwa mereka, mengalihkan mereka dari fitrah, jika para ulama umat melakukan itu semua (serangan balik semacam itu), maka mereka akan mampu mengembalikan kekuatan, kesempurnaan, keindahan, cahaya Islam, dan kewibawaan mereka sebagai kaum muslimin, serta kehormatan mereka di sepanjang lembaran sejarah. (shodiq/dakwah.id/Atsaru al-Imam Muhammad al-Basyir al-Ibrahimi, ‘Uyunul Bashair, 308-3011)