Artikel berjudul Urgensi dan Tujuan Mempelajari Akidah Islamiyah ini adalah seri ke 001 dari artikel Serial Ngaji Akidah yang diterbitkan oleh www.dakwah.id
Dalam Islam, tuntutan untuk memahami dan membenarkan keyakinan yang benar menurut Islam adalah suatu keniscayaan. Lumrah bilamana seorang muslim melegitimasi keesaan Allah dan sekian permasalahan keyakinan krusial lainnya.
Memang pada mulanya di masa para pendahulu hidup, masalah keyakinan belum menjadi suatu ilmu tersendiri yang benar-benar dipelajari setiap muslim.
Sebab, pemahaman mayoritas mereka selaras dengan pemahaman al-Quran dan Sunah. Barulah kemudian, ilmu ini dirasa penting di kemudian hari sehingga menjadi ilmu tersendiri.
Sebagian kalangan memandang rendah urgensi memahami ilmu akidah di masa ini. Mereka beralasan dengan hadits Nabi dari sahabat Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari nomor hadits 1271.
Disebutkan di dalamnya bahwa setiap anak Adam akan terlahir dalam keadaan fitrah Islam, barulah kedua orangtuanya mengubah dan mempengaruhi anak-anak mereka kepada keyakinan yang batil.
Inilah alasan bagi mereka yang berpendapat bahwa akidah islamiyah itu cukup dipahami tanpa dipelajari. Padahal Imam an-Nawawi dalam menjelaskan hadits tersebut menegaskan, makna yang paling benar untuk memaknai hadits ini adalah setiap anak yang lahir secara naluri telah siap menerima fitrah Islam yang akan datang.
Dari sinilah muncul pemahaman konsep keyakinan Islam yang kurang utuh sehingga melahirkan penyimpangan-penyimpangan.
Syaikh Shalih Husain Ayid rahimahullah memiliki kisah tersendiri tentang keyakinan fatal yang timbul dari pemahaman yang salah. Dan oleh karena kejadian tersebut tertulislah kitab Nadharât Lughawiyah fîl Qur’ânil Karîm.
Yaitu peristiwa di tahun 1980 M ketika beliau menjadi dosen di LIPIA, Jakarta. Beliau heran dengan salah satu mahasiswa yang membenarkan kenabian Ghulam Mirza Ahmad. Ia meyakini hal tersebut lantaran memahami lafal Khâtam an-Nabiyyîn dalam Surat Al-Ahzab: 40 sebagai “cincin tangan”, yakni bermaksud Nabi Muhammad adalah perhiasan para nabi, bukan penutup para nabi.
Jangankan pada zaman sekarang, dahulu para sahabat pun juga pernah “jahil” terhadap masalah akidah Islamiyah hingga mereka mendiskusikannya tanpa bertanya langsung kepada sumbernya.
Artikel Akidah: Cabang Iman dan Cabang Kekufuran dalam Akidah Ahlu Sunnah
Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang sedang berkumpul bersama sahabat yang lain mendiskusikan masalah takdir.
Mengetahui perihal tersebut, wajah Rasulullah seketika memerah sebagaimana merahnya buah delima yang terbelah.
Lantas beliau bersabda,
“Apakah kalian diperintahkan untuk berdebat seperti ini atau apakah aku diutus untuk (membolehkan) ini? Sungguh binasanya kaum sebelum kalian adalah lantaran perselisihan perihal masalah ini. Karena itu, aku tekankan pada kalian untuk tidak berselisih lagi.”
Dari peristiwa tersebut kita sadari bahwa akidah Islamiyah tidak hanya cukup untuk diyakini, melainkan juga harus dipelajari. Sebab apabila seorang muslim punya keyakinan yang sempurna lalu ia paham dalil-dalil tauhid dari segala sisi, maka keimanannya itu akan mengakar kuat.
Keimanan yang jika diibaratkan, ia laksana gunung-gunung kokoh menjulang yang tidak akan goyang hanya karena terpaan angin syubhat dan guncangan pemikiran-pemikiran melenceng. Dan tidaklah pemahamannya akan suatu dalil tauhid bertambah, kecuali bertambah juga kekuatan dan kesempurnaan iman.
Demikianlah kata Imam as-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya ketika menjelaskan pentingnya keyakinan yang didasari dengan dalil.
Urgensi Mempelajari Akidah Islamiyah
Pernahkah kita mentadaburi kisah pemilik kebun yang diabadikan Allah subhanahu wata’ala dalam Surat Al-Kahfi ayat 35 hingga 38?
Dalam kisah tersebut diceritakan bahwa pemilik kebun tersebut mengira kebunnya tidak akan binasa, juga mengira hari kiamat tidak akan datang, dan justru meyakini apabila kembali kepada Rabbnya maka ia akan mendapatkan tempat kembali yang lebih baik.
Akhir kisah, keraguan yang besar tersebut mengantarkannya pada perbuatan kufur.
Dari kisah tersebut para ulama kontemporer berkesimpulan melarang adanya perasaan ragu dalam hal akidah Islamiyah, sebatas mengikuti kebenaran, atau sekadar menyoalkan perihal akidah yang ia ragukan. Sebab urgensi akidah adalah urgensi terbesar dalam Islam, dan tidak ada akidah tanpa adanya rasa yakin.
Mempelajari akidah sendiri merupakan salah satu ilmu syar’i yang menjadi bukti pengamalan dan perantara seorang muslim untuk menggapai kesempurnaan ibadah, demikian kata al-Imam asy-Syatibi dalam Muwâfaqât-nya.
Bagaimana bisa seorang hamba menyerahkan diri kepada Rabbnya seutuhnya tanpa ia tahu siapakah dan bagaimana hakikat Allah, juga janji-janji serta ancaman-Nya?
Atas dasar apa seseorang melakukan segala ibadah zahir, tanpa ia tahu apa konsep utuh kenapa semua hal tersebut dilakukan?
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
فَاعْلَمْ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا اللّٰهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْۢبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۚ
“Maka ketahuilah, bahwa tidak ada tuhan (yang patut disembah) selain Allah dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan.” (QS. Muhammad: 19)
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menafsirkan,
وَهَذَا العِلْمُ الذِيْ أَمَرَ اللهُ بِهِ -وهو العلم بتوحيد الله- فَرْضٌ عَيْنٌ عَلَى كُلِّ إِنْسَانٍ، لَا يَسْقُطُ عَنْ أَحْدٍ، كَائِنًا مَنْ كَانَ، بَلْ كُلٌّ مُضْطَرٌّ إِلَى ذَلِكَ
“Ilmu yang Allah perintahkan (untuk dipelajari) ini, yakni ilmu tauhid, hukum mempelajarinya adalah fardhu ain atas setiap manusia, tidak akan gugur bagi seorang pun, apa pun kondisinya, bahkan seluruh umat manusia harus memahaminya.”
Hampir setengah dari fase risalah kenabian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam digunakan untuk berbenah dan membangun akidah Islamiyah.
Selama 13 tahun di Makkah, secara umum tema yang beliau sampaikan mengerucut pada satu poin pokok tersebut. Sejumlah 4.726 dari 6.236 ayat-ayat al-Quran sangat erat dengan nilai-nilai akidah di dalamnya. Bahkan 85 surat di dalam al-Quran memiliki alur-alur pembenahan keyakinan. Itulah yang Nabi Muhammad dakwahkan dan ajarkan kepada para sahabatnya.
Jundub bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ فِتْيَانٌ حَزَاوِرَةٌ فَتَعَلَّمْنَا الْإِيمَانَ قَبْلَ أَنْ نَتَعَلَّمَ الْقُرْآنَ ثُمَّ تَعَلَّمْنَا الْقُرْآنَ فَازْدَدْنَا بِهِ إِيمَانًا
“Kami (belajar) bersama Nabi shallallahu a’alaihi wasallam di usia muda kami tentang iman sebelum mempelajari al-Quran, barulah kami mempelajari al-Quran, dari situlah keimanan kami selalu bertambah.” (HR. Ibnu Majah no. 61).
Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu adalah saksi bagaimana Rasulullah tidak hanya memprioritaskan ilmu akidah dalam pengajarannya. Beliau berwasiat kepada Muadz dan para dai utusan ke negeri Yaman lainnya agar pertama kali yang mereka serukan kepada penduduk Yaman adalah agar mentauhidkan Allah. (HR. At-Tirmidzi no. 29010)
Wasiat beliau hakikatnya tidak semata ditujukan kepada Muadz, tapi kepada setiap para pengajar dan pendakwah. Seakan-akan Rasulullah berwasiat: beginilah cara memulai dakwah yang benar sesuai kehendak ilahi.
Tujuan Mempelajari Akidah Islamiah
Semua hal di atas Rasulullah lakukan bukan karena kebetulan tanpa bimbingan wahyu. Oleh sebab itu, tidak dapat dipungkiri bahwa perkara akidah adalah perkara pokok dan krusial, sehingga baginda besar Nabi Muhammad memprioritaskannya.
Sebab akidah Islamiyah adalah pembentukan pola pikir dan jalan hidup seseorang. Beliau mengajarkan dan menegaskan bahwa mustahil seseorang akan tertimpa suatu mara bahaya, meski seluruh penduduk dunia sepakat untuk mendatangkannya, sedang Allah tidak menghendakinya. (HR. At-Tirmidzi no. 2440)
Contoh pengajaran Nabi lainnya ialah, beliau membangun pola pikir para sahabat dengan menegaskan bahwa ujian yang sedang mereka alami tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan ujian umat-umat sebelum mereka. Ada yang dibelah tubuhnya, disisir dengan sisir besi, dan lain sebagainya.
Beliau hanya berucap, “Hal itu tidak menghalanginya (untuk berpaling) dari agamanya.” (HR. Al-Bukhari no. 3343). Demikianlah jadinya, generasi yang dibangun atas pola pikir akidah yang kuat akan melahirkan umat-umat yang hebat.
Materi Khutbah Jumat: Waspadalah Terhadap Kaum Perusak Agama Islam!
Disebutkan dalam kitab al-‘Aqîdah wa Atsaruhâ fî Binâ’i al-Jail, Syaikh Abdullah Yusuf Azzam rahimahullah menegaskan pentingnya memahami akidah yang benar,
“Menanamkan akidah yang kuat ke dalam lubuk jiwa seseorang membuatnya terhormat tak terhina, berdiri tegak di hadapan seluruh bala kekuatan di muka bumi, tidak akan lari dari penguasa, tidak akan tunduk atas ancaman raja, dan tidak tergiur lantaran iming-iming harta.
Akidah inilah yang menyelamatkan seseorang dari kubangan lumpur bumi menuju kedudukan tinggi yang dapat melampaui pandangan semesta dengan tetap bersikap rendah hati.”
Mari bercermin kepada Ibnu Taimiyyah rahimahullah, bagaimana beliau tegar tidak tergoyahkan meski dilanda segala macam bahaya. Pengasingan, penjara, olok-olokan, bahkan ancaman pembunuhan. Namun, beliau tetap tegar karena punya pola pikir unik, pola pikir yang terbentuk dari kekuatan iman dan akidah yang telah berurat dan berakar dalam sanubarinya.
Disebutkan dalam kitab Al-Wâbil ash-Shayib,
“Apa yang dapat diperbuat musuhku setelah ini? Aku, surgaku, dan tamanku ada di dadaku. Ke mana pun aku pergi, ia selalu bersamaku dan tidak akan pernah meninggalkanku. Sungguh penjara bagiku adalah khalwat, kematian bagiku syahid, dan pengusiran bagiku adalah siyâḥah (safar ibadah).”
Demikian. Umat Islam akan selalu kuat apabila mampu berpegang teguh terhadap keyakinan Islam yang benar. Itulah sejatinya tujuan kenapa kita harus mempelajari ilmu akidah dengan serius. Wallahu a’lam (Hadidullah Al-Haqqoni/dakwah.id)