Jumhur ulama mazhab Mailiki, Syafi’I, dan Hanbali sepakat bahwa qashar shalat bagi musafir hukumnya sunnah. (Hasyiyah Ad-Dasuki, 1/358, Al-Majmu’, 4/337, Al-Mughni, 2/197) Para ulama berbeda pendapat tentang batasan jarak minimal perjalanan mulai dibolehkannya qashar shalat bagi musafir. Demikian pula, para ulama juga mempermasalahkan berapa lama minimal durasi waktu safar sehingga masih dibolehkan qashar shalat. Apakah waktu qashar shalat itu hanya boleh jika safar kurang dari empat hari?
Untuk menjawab permasalahan di atas, pertama kali yang harus dipahami bahwa masalah ini masuk dalam ranah ijtihadiyah. Sebab tidak dijumpai dalil yang secara tegas menjelaskan permasalahan ini. Boleh berbeda pendapat jika memang sebuah pendapat diyakini memiliki argumentasi yang cukup kuat.
Baca juga: Berapa Jarak Minimal Perjalanan Boleh Qashar Shalt bagi Musafir?
Permasalahan penentuan durasi minimal waktu dibolehkannya qashar shalat ini bisa dilihat dari niat dan berapa hari safarnya berlangsung.
Pertama, seseorang meniatkan diri untuk iqamah/tinggal di daerah tujuan safarnya. Seperti tinggalnya seorang pekerja di sebuah daerah area pekerjaannya, atau seorang pedagang yang tinggal di daerah tempat dia berbisnis, atau seorang pelajar yang sedang sekolah di luar daerah, dan semisalnya yang memang menghajatkan niat iqamah/tinggal secara mutlak.
Niat ini disebut oleh para ulama fikih dengan istilah niat iqamah mutlaqah. Seseorang yang berada dalam kondisi ini disebut dengan istilah Mustauthin.
Hukum yang berlaku baginya, ia tetap terkena kewajiban melaksanakan shaum wajib dan shalat wajib secara sempurna. Tidak boleh melakukan qashar shalat. Waktu qashar shalat hanya berlaku saat perjalanannya mencapai batas minimal boleh qashar sampai tiba di tempat tujuan. Selama tinggal di tempat tujuan, ia tak boleh melakukan qashar shalat. ini adalah pendapat Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan beberapa ulama kontemporer. (Majmu’ al-Fatawa, Syaikh Ibnu Taimiyah, 24/136, Zadul Ma’ad, 3/491)
Kedua, seseorang berniat untuk tinggal atau iqamah untuk tujuan tertentu yang tidak terikat dengan waktu. Ia tidak bisa menentukan kapan tujuan safarnya akan selesai. Kemudian jika tujuannya sudah terpenuhi, ia segera kembali ke tempat asalnya, orang dalam kondisi seperti ini disebut dengan musafir. Ia boleh melakukan qashar shalat.
Hal ini sebagimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau berada di tabuk selama 20 hari, beliau melakukan qashar shalat. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Baca juga: Bentuk Keringanan Syariat dalam Beribadah Sat Bepergian/Safar
Dalam hadits riwayat al-Bukhari juga disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah tinggal di Mekah saat peristiwa Fathul Makkah selama 20 hari, beliau melakukan qashar shalat. (fatwa.islamweb.net)
Syaikh Abdullah Ibn Baz dalam salah satu fatwanya menyebutkan, meskipun seorang yang bersafar itu tinggal dalam waktu yang lama di tempat tujuan safarnya, ia tetap boleh melakukan qashar shalat selama ia tidak meniatkannya untuk tinggal atau iqamah dalam durasi waktu tertentu dan ia tidak tahu kapan urusannya selesai dalam safarnya tersebut. (www.binbaz.org.sa)
Ketiga, seseorang berniat untuk tinggal atau iqamah dengan tujuan tertentu dalam durasi waktu yang telah ditentukan. Namun ulama fikih berbeda pendapat dalam hal durasi minimal waktu safar untuk boleh melaksanakan shalat qashar.
Pendapat pertama,
Waktu qashar masih berlaku jika safar terhitung kurang dari empat hari. Jika seorang musafir berniat untuk muqim atau tinggal selama empat hari atau lebih, maka ia harus menyempurnakan shalatnya. Tidak boleh qashar.
Ini adalah pendapat Jumhur Ulama dari mazhab Maliki, Syafi’I, dan sebuah riwayat dalam Mazhab Hanbali, dan mereka berpendapat apakah hari waktu berangkat dan puang safar dihitung dalam durasi jumlah empat hari tersebut atau tidak. (Mawahibul Jalil, 2/149, Mughnil Muhtaj, 1/519, Al-Inshaf, 2/329)
Baca juga: Siapa Mahram Bagi Perempuan yang Disebutkan dalam hadits Safar?
Pendapat kedua,
Jika ia tinggal atau iqamah lebih dari 15 hari, maka shalatnya harus disempurnakan, tidak boleh qashar. Jika kurang dari 15 hari, boleh qashar shalat. ini pendapat yang masyhur dalam mazhab Hanbali. (Al-Mughni, 2/212, Al-Inshaf, 2/329)
Pendapat ketiga,
Waktu qashar shalat itu masih berlaku jika safar terhitung kurang dari lima belas hari. Jika seorang musafir berniat untuk muqim atau tinggal selama 15 hari atau lebih, maka ia harus menyempurnakan shalatnya. Tidak boleh qashar. Ini adalah pendapat Mazhab Hanafi. (Durrul Mukhtar, 2/125)
Pendapat keempat,
Jika dia berniat untuk tinggal atau iqamah lebih dari 19 hari, maka shalat harus disempurnakan, tak boleh qashar shalat. jika kurang dari itu, baru boleh qashar shalat. Ini adalah pedapat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berdasarkan tindakan Nabi yang melakukan qashar shalat saat peristiwa Fathul Makah. (HR. Al-Bukhari: 4048)
Jika diuraikan lebih jauh lagi, akan tampak keempat pendapat di atas sama-sama memiliki dalil yang kuat. Namun, sebagai jalan ihtiyath, mengambil pendapat jumhur adalah sikap yang baik dan adil, waktu qashar shalat itu adalah kurang dari empat hari, jika telah melebihi empat hari, hendaknya tidak melakukan qashar shalat. Wallahu a’lam [M. Shodiq/dakwah.id]