Daftar Isi
Corak kehidupan sosial yang plural, penduduknya campur baur dengan berbagai ragam agama, berpotensi mengakibatkan tumbuhnya rasa cinta kepada lawan jenis yang berbeda agama yang berujung pada pernikahan. Wanita muslimah menikah dengan pria non-muslim, pria muslim menikah dengan wanita non-muslim. Pernikahan model seperti ini di dunia Barat dikenal dengan istilah Interfaith marriage.
Bagi warga muslim, ini akan menjadi persoalan tersendiri yang butuh solusi, terutama solusi syar’i terkait status pernikahan beda agama tersebut.
Pernikahan adalah ibadah ‘penyempurnaan separuh agama’ pada diri setiap muslim. Pernikahan adalah akad. Oleh sebab itu, ada syarat dan rukun pernikahan yang harus terpenuhi agar akad pernikahan antara mempelai pria dan wanita dihukumi sah.
Di antara syarat pernikahan yang harus terpenuhi adalah terbebasnya kedua mempelai dari penghalang keabsahan akad.
Untuk penjelasan rukun dan syarat pernikahan dalam Islam, silakan merujuk ke tulisan ini:
Syarat Dan Rukun Pernikahan Yang Harus Anda Ketahui
Persoalan pernikahan beda agama, masuk dalam kategori persoalan yang berhubungan dengan keabsahan akad.
Para ulama fikih menjelaskan, dibolehkan bagi pria muslim untuk menikah dengan wanita ahlul kitab—dalam bahasa inggris disebut dengan People of the Book—baik dari kalangan Yahudi atau pun kalangan Nasrani. Selain wanita dari kedua agama tersebut tidak dibolehkan.
Dalilnya firman Allah ‘azza wajalla,
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan menikahi) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.” (QS. Al-Maidah: 5)
Maksudnya adalah wanita baik-baik, bukan yang suka melakukan perbuatan tercela.
Hukum Wanita Muslimah Menikah dengan Pria non-Muslim
Adapun persoalan wanita muslimah menikah dengan pria non-muslim, maka ini hukumnya berbeda dengan hukum pria muslim menikah dengan wanita non-muslim.
Wanita muslimah menikah dengan pria non-muslim hukunya haram berdasarkan dalil al-Quran, as-Sunnah, Ijmak ulama, dan dalil aqli (nalar).
Allah ‘azza wajalla berfirman,
وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 221)
Seorang ulama ahli tafsir, Imam Abu Ja’far ath-Thabari, menjelaskan, sesungguhnya Allah ‘azza wajalla telah mengharamkan para wanita muslimah menikahi pria musyrik dalam bentuk apa pun dan di level kesyirikan mana pun. (Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Abu Ja’far ath-Thabari, 4/370)
Dalam ayat tersebut Allah ‘azza wajalla memberikan permisalan bahwa sebaik-baik pria itu jika ia musyrik tetap saja lebih buruk dari seorang budak laki-laki tapi ia muslim.
Wanita muslimah menikah dengan pria non-muslim yang merdeka dan memiliki nasab yang mulia di mata manusia adalah suatu keburukan yang jauh lebih rendah dan lebih hina dibanding wanita muslimah yang menikah dengan seorang budak tapi ia muslim.
Baca juga: Menunaikan Haji Dulu, Atau Melangsungkan Pernikahan Dulu?
Imam al-Qurthubi ketika menafsirkan ayat tersebut beliau menjelaskan, Jangan kalian nikahkan wanita muslimah dengan laki-laki musyrik. Telah menjadi kesepakatan umat (ijmak) bahwa laki-laki musyrik tidak boleh menggauli wanita muslimah sebab itu adalah bentuk tekanan terhadap Islam. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, Imam al-Qurthubi, 3/72)
Dalam ayat lain Allah ‘azza wajalla berfirman,
فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. Al-Mumtahanah: 10)
Ayat ini menjadi dalil atas haramnya wanita muslimah menikah dengan pria non-muslim (musyrik) yang sebelumnya pernikahan seperti ini belum dilarang. (Tafsir Al-Qur’anul ‘Adzim, Ibnu Katsir, 8/121)
Dalam ayat lain Allah ‘azza wajalla berfirman,
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 141)
Dalam ruang keluarga, suami berposisi sebagai pemegang kekuasaan dan kendali atas istri dan anak-anaknya. Dan posisi ini menjadi terlarang jika berada di tangan suami non-muslim atas istri muslimah.
Ibnu Qudamah rahimahullah menjelaskan, orang kafir sama sekali tidak boleh memiliki kuasa atas wanita muslimah berdasarkan ijmak ahlul ilmi. (Al-Mughni, Ibnu Qudamah al-Maqdisi, 7/27)
Hadits Haramnya Wanita Muslimah Menikah dengan Pria non-Muslim
Ada beberapa nash dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menginformasikan tentang keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memisahkan seluruh wanita muslimah dari suami mereka yang tidak mau beriman. Di antaranya adalah Zainab suami Abu al-‘Ash bin ar-Rabi’.
Kisah ini terdapat dalam riwayat Ahmad (1/261), Abu Daud (No. 2240), at-Tirmizi (No. 1143), dan Ibnu Majah (No. 2009).
Dalam sebuah riwayat al-Bukhari disebutkan,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ كَانَ الْمُشْرِكُونَ عَلَى مَنْزِلَتَيْنِ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْمُؤْمِنِينَ كَانُوا مُشْرِكِي أَهْلِ حَرْبٍ يُقَاتِلُهُمْ وَيُقَاتِلُونَهُ وَمُشْرِكِي أَهْلِ عَهْدٍ لَا يُقَاتِلُهُمْ وَلَا يُقَاتِلُونَهُ وَكَانَ إِذَا هَاجَرَتْ امْرَأَةٌ مِنْ أَهْلِ الْحَرْبِ لَمْ تُخْطَبْ حَتَّى تَحِيضَ وَتَطْهُرَ فَإِذَا طَهُرَتْ حَلَّ لَهَا النِّكَاحُ فَإِنْ هَاجَرَ زَوْجُهَا قَبْلَ أَنْ تَنْكِحَ رُدَّتْ إِلَيْهِ
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata:
“Orang-orang musyrik terbagi menjadi dua bila dilihat dari kedudukan mereka dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum mukminin. Yang pertama, Ahlul Harb. Yaitu orang-orang musyrik yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerangi mereka dan mereka juga memerangi beliau. Dan yang kedua, Ahlu ‘Ahd. Yakni, kaum musyrikin yang tidak diperangi oleh Rasulullah dan mereka juga tidak memerangi beliau. Dan apabila ada salah seorang wanita berhijrah dari Ahlul Harb, maka wanita itu tidak boleh dinikahi hingga ia haid hingga suci kembali. Setelah suci, maka menikah dengannya pun menjadi halal. Apabila suaminya juga ikut berhijrah sebelum wanita itu dinikahi, maka wanita itu akan dikembalikan padanya.” (HR. Al-Bukhari No. 4878)
Baca juga: Menikah Tanpa Sepengetahuan Orang Tua, Bagaimana Pandangan Syariat Tentang Ini?
Pria Non-muslim Seperti Apa yang Wanita Muslimah Haram Menikah Dengannya?
Redaksi yang digunakan dalam firman Allah ‘azza wajalla tentang pria yang wanita muslimah haram menikah dengannya adalah dengan kata musyrik,
وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا
“Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.” (QS. Al-Baqarah: 221)
Orang musyrik adalah orang yang menyekutukan Allah ‘azza wajalla dengan selain-Nya.
Al-Kasani menjelaskan (Bada’i’ ash-Shana’i’, Al-Kasani al-Hanafi, 2/272), meskipun redaksi dalam ayat di atas ditujukan kepada orang musyrik, akan tetapi illat hukumnya, yakni ajakan ke neraka, berlaku umum untuk segala bentuk kekafiran.
يَتَعَمَّمُ الْحُكْمُ بِعُمُومِ الْعِلَّةِ
“Cakupan persoalan yang dihukumi ikut meluas seiring dengan luasnya illat hukum.”
Sehingga, bagi wanita muslimah menikah dengan pria non-muslim dari kalangan ahlul kitab (Yahudi dan nasrani) sama haramnya dengan menikah dengan pria non-muslim dari kalangan (Watsani) penyembah berhala dan Majusi.
Baca juga: Nikah Gagal Gara-Gara Kesandung Weton, Aduh.. Kasihan
Hikmah Diharamkannya Wanita Muslimah Menikah dengan Pria non-Muslim
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin ketika menafsirkan surat al-Baqarah ayat 221 dan al-Mumtahanah ayat 10 beliau menerangkan, jika mempertahankan akad pernikahan wanita muslimah dengan pria non-muslim saja itu dilarang, maka membuat akad wanita muslimah menikah dengan pria non-muslim atau kafir tentu lebih utama untuk dilarang.
Tak mungkin seorang wanita muslimah berada di bawah kendali pria non-muslim, sebab suami itu berperan sebagai Sayyid, tuan, orang yang harus dihormati dan ditaati. (Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, 2/145)
Allah ‘azza wajalla berfirman,
وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ
“..Dan mendapati suami wanita itu di muka pintu.” (QS. Yusuf: 25)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اتَّقُوا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّهُنَّ عِنْدَكُمْ عَوَانٌ لَا يَمْلِكْنَ لِأَنْفُسِهِنَّ
“Maka takutlah kepada Allah ‘azza wajalla dalam masalah wanita, karena sesungguhnya mereka di sisi kalian ibarat tawanan yang tidak dapat menguasai diri mereka sedikit pun.” (HR. Ahmad No. 19774; HR. At-Tirmizi No. 1163; HR. Ibnu Majah No. 1851)
Baca juga: Menghadiri Pernikahan Padahal Tak Diundang: Thufaili!
Syaikh Shalih al-Munajjid fakkallahu asrah menjelaskan, sebagaimana telah diketahui bahwa suami merupakan pihak yang lebih kuat dan lebih dominan dalam keluarga dibanding istri dan anak-anak, maka tidaklah ada faedahnya jika seorang wanita muslimah menikah dengan pria non-muslim yang akan mendominasi dirinya dan anak-anaknya.
Bahkan, justru pernikahan ini dampaknya dapat sangat berbahaya bagi agama, dan anak-anak akan dididik sesuai keyakinannya.
Dampak negatif yang sangat berbahaya jika wanita muslimah menikah dengan pria non-muslim yang dimaksud syaikh Shalih al-Munajjid fakkallahu asrah barangkali seperti yang diuraikan oleh al-Kasani.
Al-Kasani, salah seorang ulama mazhab Hanafi menjelaskan, jika wanita muslimah menikah dengan pria non-muslim, akan timbul kekhawatiran yang cukup kuat terjatuhnya wanita muslimah tersebut pada kekufuran sebagaimana keyakinan suaminya yang kafir atau non-muslim itu.
Sebab, besar peluang bagi wanita muslimah tersebut untuk takluk di hadapan suaminya yang kafir. Suaminya akan mengajak si istri untuk masuk ke dalam agama dan keyakinannya yang kafir, dan memang seperti itulah tabiat kekafiran.
Ajakan kepada kekafiran sama artinya dengan ajakan untuk masuk neraka, karena kekafiran menjadi sebab jatuhnya seseorang ke dalam neraka.
Maka, karena jika wanita muslimah menikah dengan non-muslim itu adalah sebab adanya peluang ajakan menuju hal yang haram—dalam hal ini pindah agama, maka pernikahan itu hukumnya haram. (Bada’i’ ash-Shana’i’, Al-Kasani al-Hanafi, 2/271,272) Wallahu a’lam [Shodiq/dakwah.id]
Assalamualaikum….
Saya orang tua muslim yg mempunyai anak perempuan menjelang pernikahan.
Singkat cerita, anak saya ini bermaksud menikah dg pria yg beragama nasrani. Langsung saja saya tidak menyetujui.
Permasalahan yg timbul berikutnya, anak saya bersedia untuk membatalkan niatnya, tapi terus memutuskan untuk tdk menikah seumur hidupnya. Saya jadi serba salah dan bingung, kira2 menurut dakwah.id
1. Apakah memutuskan tdk menikah seumur hidup lebih baik dibanding menikah dengan pria nasarani?, atau
2. Dua2 nya diharamkan oleh Allah SWT?
Saya mohon pencerahannya, karena saat ini saya benar2 dalam posisi yg sangat sulit untuk memberikan penjelasan tentang keputusan tidak menikah seumur hidup itu dihadapan Allah SWT nanti seperti apa.
Terima kasih
Salam,
Sudiharyo