Pada serial sebelumnya, dakwah.id telah mengupas 6 Syarat Istinja Menggunakan Batu. Kali ini, pembahasan serial Ngaji Fikih selanjutnya adalah Yang Keluar Dari Dua Lubang Adalah Pembatal Wudhu.
Untuk membaca serial Ngaji Fikih secara lengkap, silakan klik tautan berikut:
Kesucian orang yang berwudhu akan dianggap batal jika ada sesuatu yang keluar dari dua lubang, yaitu lubang kubul dan dubur.
Syarat-syarat Sesuatu yang Keluar dari Kubul dan Dubur Disebut Sebagai Pembatal Wudhu
Keluarnya sesuatu dari kubul maupun dubur harus didasari atas keyakinan bahwa ada yang keluar dari dua lubang tersebut. Sehingga untuk menyatakan batal atau tidaknya wudhu seseorang adalah dengan rasa yakinnya.
Jika seseorang yakin ada yang keluar dari salah satu lubang kubul ataupun dubur, maka wudhunya batal. Sebaliknya, jika dia tidak yakin maka kembali pada hukum asalnya; yaitu masih dalam keadaan suci.
Sesuatu yang keluar dari kubul atau dubur hanya akan membatalkan kesucian orang yang masih hidup. Sehingga yang keluar dari kubul atau dubur orang yang sudah mati (mayit) tidaklah membatalkan kesucian mayit tersebut.
Jika tubuh mayit mengeluarkan kotoran setelah dimandikan, maka ia tidak perlu dimandikan lagi, cukup mandi yang pertama. Hanya saja kotoran tersebut harus dibersihkan.
Sesuatu yang keluar dari kubul haruslah dari kubul yang jelas, bukan kubul yang tidak jelas.
Kubul yang tidak jelas itu seperti apa? Seperti kubul yang ada pada khuntsa musykil, yaitu orang yang memiliki dua kelamin, laki-laki dan wanita sekaligus.
Khunsta musykil adalah orang yang belum diketahui jati dirinya, apakah dia lebih dominan kelamin laki-laki atau kelamin wanita. Sehingga jika sesuatu keluar dari dua kelamin yang dimilikinya, maka dianggap sebagai hadats dan membatalkan wudhu. Namun, jika sesuatu keluar dari salah satu kelamin saja maka itu tidak membatalkan wudhu.
Begitu pula dengan apa saja yang keluar dari dubur. Baik sesuatu itu biasa keluar dari dubur seperti kotoran dan kentut, atau sesuatu itu tidak biasa keluar dari dubur seperti cacing, kerikil, nanah, darah, dan lain sebagainya.
Segala apa pun yang keluar dari dubur, baik ia berupa sesuatu yang biasa keluar darinya atau tidak biasa maka itu adalah pembatal wudhu.
Bagaimana Jika yang Keluar adalah Mani?
Dalam masalah ini, ada yang menyebutkan bahwa mani tidak membatalkan wudhu, ini merupakan pengecualian masalah.
Misalnya ada orang yang ‘mengkhayal’ lalu keluar mani, atau tidur lalu mimpi basah dan keluar mani, maka dengan keluarnya mani tersebut tidak dianggap sebagai pembatal wudhu.
Alasannya adalah keluar mani mewajibkan seseorang untuk mandi. Jika diperhatikan, antara mandi dan wudhu tingkatannya lebih tinggi mandi. Jika mani keluar membuat seseorang wajib mandi, maka tidak perlu lagi wajib wudhu.
Sebagaimana dalam perkara rajam. Orang muhshan yang berzina maka hukumannya adalah rajam. Orang yang tidak muhshan hukumannya dicambuk 100 kali dan diasingkan. Tingkatan hukuman antara rajam dan pengasingan lebih tinggi rajam sehingga orang yang wajib dirajam tidak perlu diasingkan dan dicambuk terlebih dahulu.
Dalil Landasan Pembatal Wudhu
Kesimpulan hukum pembatal wudhu berdasarkan firman Allah Ta’ala,
اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ
“Atau salah seorang di antara kalian kembali dari tempat buang air (kakus).” (QS. Al-Maidah: 6)
Berdasarkan pula hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim rahimahumallah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian jika berhadats, sampai dia berwudhu.” (HR. Al-Bukhari no. 135 dan 6554; HR. Muslim no. 225)
Seorang laki-laki dari Hadramaut berkata,
“Hadats seperti apa yang Rasulullah maksud wahai Abu Hurairah?”
Kemudian Abu Hurairah menjawab,
“Yaitu kentut.”
Kenapa Abu Hurairah menyebutkan kentut? Karena kentut adalah hadats yang paling rendah tingkatannya, dan kentut terjadi kapan saja. Sehingga hadats yang lebih tinggi dari kentut juga termasuk dalam hukum ini. Wallahu a’lam. (Arif Hidayat/dakwah.id)
Daftar Pustaka:
Al-Bayan Wa at-Ta’rif bi Ma’ani Masa’ili wa Ahkam al-Mukhtashar al-Lathif, Syaikh Ahmad Yunus an-Nishf, hal. 70-71, cet. 2/2014 M, Dar adh-Dhiya’ Kuwait, dengan perubahan dan tambahan.
Al-Wajiz fi al-Fiqhi al-Islami, Wahbah az-Zuhaili, 1/86, cet. 2005 M, Dar al-Fikir Damaskus, dengan perubahan dan tambahan.
Baca juga artikel Serial Ngaji Fikih atau artikel menarik lainnya karya Arif Hidayat.
Penulis: Arif Hidayat
Editor: Ahmad Robith
Artikel Ngaji Fikih Terbaru:
Assalamualaikum wr wb mohon idzin ust apakah ada artikel perbandingan mazhab mengenai fiqih