Dalam Islam, seorang Ahli Ilmu—terkhusus dalam disiplin ilmu syar’i—memiliki level kehormatan yang cukup tinggi. Di Negara ini, mereka mendapat julukan Kyai, Gus, tuan Guru, dan sebagainya. Dengan kedudukannya itu, masyarakat memandang bahwa merekalah tokoh-tokoh Islam yang diaggap paling menguasai pelbagai ilmu syariat di bidang akidah, akhlak, fikih, dan sebagainya. Mereka diyakini memiliki daya nalar yang kuat, mampu menganalisis dan mengistimbath hukum dari dalil-dalilnya.
Orang-orang yang disebut Ahlul Ilmi telah mencapai derajat pewaris nabi, waratsatul anbiya’i. mereka yang digadang-gadang oleh umat sebagai tokoh-tokoh yang akan melanjutkan tugas penting para Nabi zaman dahulu; mendakwahkan Islam hingga masyarakat terbebas dari pekatnya dunia kejahiliyahan.
Posisi Ahli Ilmu atau ulama yang sebegitu penting menjadi alasan utama mengapa masyarakat Muslim harus menaruh takzim dan selalu hormat kepada mereka. Bentuk penghormatan tersebut biasanya diwujudkan dengan selalu meniru perilaku, menjadikan rujukan tempat bertanya seputar persoalan yang membutuhkan penyelesaian hukum syar’i (fatwa), meminta nasehat, mencium tangan saat bertemu, bahkan sampai pada tingkatan mengambil berkah. Dalam keyakinan masyarakat awam, pokoknya apa yang dikatakan oleh ulama/kyai/Ahli Ilmu harus didengar dan dilaksanakan, sendhiko dhawuh.
Baca Juga: Pintu Surga Tertutup Gara-Gara Syirik
Saking besarnya rasa takzim masyarakat terhadap seorang Ahlul Ilmi, menjadikan mereka lupa terhadap fitrah dasar seorang Ahlul Ilmi sebagai manusia biasa. Ahlul Ilmi juga berpotensi untuk melakukan kekeliruan baik sengaja ataupun tidak disengaja. Sebab, lupa dan membuat kesalahan adalah bagian dari fitrah manusia. Manusia tidak memiliki fitrah berupa kemaksuman sebagaimana sifat nabi.
Kekeliruan atau kesalahan di bidang penyimpulan hukum yang dilakukan oleh seorang ulama/Ahlul Ilmi dalam khazanah fikih Islam dikenal dengan istilah zallatul ‘alim. Ketergelinciran seorang Ahli Ilmu. Maksud ketergelinciran di sini adalah sebuah kekeliruan atau kesalahan yang dilakukan oleh seorang ulama/Ahli Ilmu dalam ranah penyimpulan atau istinbath hukum syar’i. ketergelinciran seorang Ahli Ilmu bisa terjadi dalam bentuk perkataan atau pernyataan, atau bisa juga berbentuk sikap.
Ibnul Qayyim mengatakan,
إِنَّ الْعَالِمَ قَدْ يَزَلُّ وَلَا بُدَّ إِذْ لَيْسَ بِمَعْصُوْمٍ
“Ada kalanya seorang Ahli Ilmu itu tergelincir/keliru, dan itu adalah keniscayaan, sebab Ahli Ilmu bukanlah orang yang terbebas dari dosa dan kesalahan.” (I’lamul Muwaqi’in, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, 3/453)
Fenomena zallatul ‘alim yang menimpa seorang Ahli Ilmu ini ternyata sampai mengantarkan masyarakat untuk bersikap ekstrim dalam meresponnya. Sebagian kalangan memandang ketergelinciran seorang Ahli Ilmu adalah cela yang luar biasa. Sehingga, dengan terjadinya ketergelinciran tersebut seolah-olah menyapu bersih segala ilmu, jerih payah pembinaan umat, usaha dakwah, dan seluruh kebaikannya kepada umat.
Sikap ekstrim pada ujung satunya lagi ditunjukkan dengan bersikap acuh terhadap kenyataan ketergelinciran seorang ulama yang menjadi panutan mereka. Sikap ta’ashub yang berlebihan menjadikan mereka taklid secara membabi buta. Sehingga meskipun ulama panutannya melakukan sebuah ketergelinciran, tanpa ba bi bu tetap pasang badan membelanya mati-matian. Sudah tahu itu sebuah zallat, namun tetap saja dibela dan dianggap benar.
Untuk menghindari dua sikap ekstrim seperti di atas, selayaknya seorang Muslim benar-benar memahami bagaimana manhaj Ahlu Sunnah dalam menyikapi fenomena zallatul ‘alim yang berpotensi menimpa Ahli Ilmu di manapun mereka berada.
Al-Ushaimi dalam karyanya yang berjudul al-Khilaf Anwa’uhu wa Dhawabituhu wa Kaifa Ta’amul Ma’ahu memaparkan penjelasan yang cukup memahamkan tentang cara menyikapi fenomena zallatul ‘alim.
CEK INFORMASI
Arus penyebaran informasi saat ini boleh dibilang sangatlah liar. Potensi untuk mengubah dan memodifikasi informasi di tengah jalan sangat mungkin terjadi. Tentu peluang ini memberikan efek kurang baik bagi ranah penyebaran dakwah Islam. Sebuah pernyataan seorang ulama bisa saja dimodifikasi oleh tangan-tangan jahil sehingga pernyataan A berubah menjadi B.
Sebuah pendapat Ahli Ilmu yang kita terima baik melalui tulisan berupa teks atau nukilan, atau berupa penyampaian verbal hendaknya diteliti terlebih dahulu. Dengan meneliti setiap informasi yang datang (tatsabbut), semoga pernyataan yang tadinya memuat pendapat miring seorang Ahli Ilmu dapat terverifikasi apakah benar-benar pendapat miring/zallat atau ternyata pernyataan itu adalah modifikasi dalam rangka menjatuhkan kredibilitas Ahli Ilmu yang bersangkutan. Jika informasi tersebut ternyata adalah informasi yang dhaif, maka tak perlu diambil atau dishare kembali.
Syaikh Ibnu Taimiyah mengatakan, “Bagi orang yang telah dilapangkan dadanya untuk menerima Islam, jika sampai kepadanya pendapat salah seorang Ahli Ilmu yang status riwayatnya dhaif, jangan sampai ia sampaikan kepada orang-orang yang bertaklid kepada Ahli Ilmu tersebut. Sebaiknya ia diam hingga benar-benar yakin atas kebenaran pendapat tersebut, ia cukup bersikap tawaquf. Betapa banyak pendapat yang tersebar atas nama seorang Ahli Ilmu namun kenyataannya adalah bukan pendapatnya.” (Al-Fatawa al-Kubra, Ibnu Taimiyah, 6/95)
JANGAN DISHARE
Jika anda menerima atau mendapati sebuah fenomena ketergelinciran seorang ulama dalam sebuah kasus (zallatul ‘alim), tak perlu anda share kepada siapapun. Langkah ini diambil dalam rangka menghindari dampak negatif dan kerusakan besar/mafsadat yang bakal timbul jika kasus ketergelinciran ulama tersebut tersebar luas.
Ibrahim an-Nakha’i mengatakan,
لَا تُحَدِّثُوا النَّاسَ بِزَلَّةِ الْعَالِمِ، فَإِنَّ الْعَالِمَ يَزَلُّ ثُمَّ يَتْرُكُهَا
“Jangan kalian sebar kasus tergelincirnya seorang Ahli Ilmu, karena pada hakikatnya seorang Ahli Ilmu itu jika saja tergelincir ia akan meninggalkan ketergelincirannya.” (Ihya’ Ulumid Din, Al-Ghazali, 2/183)
Menyikapi kasus zallatul ‘alim, al-Ghazali menyatakan bahwa siapapun yang mengetahui seorang Ahli Ilmu yang pendapatnya tergelincir/keliru, baginya haram untuk menyebarkan kasus itu karena dua alasan; pertama, menyebarkannya adalah bentuk ghibah; kedua, menyebarkannya justru akan membesar-besarkan kasus itu sehingga berimbas pada terkikisnya sikap takzim dan hormat umat kepada Ahli Ilmu yang bersangkutan.” (Ihya’ Ulumid Din, Al-Ghazali, 2/231)
Baca Juga: Pendidikan Iman, Mata Pelajaran ‘Wajib’ Dalam Dunia Pendidikan Tiap Harakah Islamiyah
Dengan tidak menyebarkan kasus zallat yang dilakukan oleh seorang Ahli Ilmu tersebut telah membantu dalam menekan dan meminimalisir timbulnya kerusakan besar sebagai dampak pennyebaran kasus tersebut. Jika yang dilakukan adalah sebaliknya, penyebaran informasi kasus ketergelinciran pendapat seorang Ahli Ilmu akan membuka lebar pintu fitnah di tengah masyarakat dan menyeruaknya kemaksiatan dengan dalih adanya legitimasi dari seorang Ahli Ilmu untuk mempraktikkan pendapat tersebut.
Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Para ulama mengibaratkan fenomena zallatul ‘alim dengan pecahnya sebuah kapal; jika kapal itu tenggelam, maka akan tenggelam apapun yang ada di kapal itu.” (Jami’u Bayanil Ilmi wa Fadhluhu, 2/982)
JANGAN IKUTI KESALAHANNYA
Jika anda menemui sebuah pendapat Ahli Ilmu yang sudah jelas-jelas itu adalah bagian dari zallatul ‘alim, ya jangan diikuti. Jauhi pendapat tersebut, dan jangan sampai orang lain juga terjebak untuk mengamalkannya. Dengan tetap meletakkan hormat dan takzim terhadap Ahli Ilmu tersebut.
Al-Auza’i pernah menyampaikan pengalamannya tentang menyikapi fenomena zallatul ‘alim yang dilakukkan oleh beberapa ulama. Dia mengatakan, “Kami menjauhi lima pendapat ulama ahlul Iraq dan lima pendapat ulama ahlul Hijaz. Lima pendapat ulama ahlul Iraq tersebut adalah: Meminum minuman yang memabukkan, bolehnya makan saat terbit fajar di bulan Ramadhan, tidak ada kewajiban shalat Jumat bagi tujuh penduduk, bolehnya mengakhirkan shalat Ashar hingga panjang bayangan empat kali lipatnya, dan melarikan diri dari hadapan musuh. Sedangkan lima pendapat ulama ahli Hijaz adalah: Mendengarkan lahwun, bolehnya jamak dua shalat tanpa uzur, bolehnya nikah Mut’ah, menukar satu dirham dengan dua dirham dan menukar satu dinar dengan dua dinar secara kontan, bolehnya menggauli istri melalui duburnya.” (As-Sunan al-Kubra, no. 20920, 10/356)
TAK BOLEH MENJADIKANNYA SEBAGAI PENDAPAT KHILAFIYAH
Jika memang sudah jelas sebuah pernyataan terbukti sebagai kasus zallatul ‘alim, maka tak boleh menjadikan dan menganggapnya sebagai sebuah pendapat khilafiyah yang disandingkan dengan pendapat-pendapat lain hasil ijtihad para ulama. Sebab, pada hakikatnya, pernyataan hasil dari zallatul ‘alim bukanlah terhitung sebagai ijtihad.
Zallatul ‘alim tidak sah sebagai sebuah ijtihad. Status pernyataan hasil zallat tersebut bukanlah pendapat yang layak disandingkan dengan pendapat hasil ijtihad ulama Mujtahid. Imam asy-Syathibi memberikan mencerahan yang cukup menarik tentang ini dalam buku beliau al-Muwafaqat.
HUKUM YANG DIBANGUN DI ATAS ZALLAT HARUS DICABUT
Jika ada seorang Qadhi yang memutuskan sebuah hukum dalam sebuah permasalahan yang di dalamnya ternyata ia melakukan zallat/ketergelinciran, atau memutuskan hukum yang dibangun di atas pendapat syadz yang diyakini oleh para ulama lain sebagai sebuah kasus zallat, maka hukum ini harus dicabut dan tidak diberlakukan. Sebab keputusan hukum tersebut sudah tentu menyelisihi nash-nash yang qath’i atau Ijmak atau Qiyas Jali. Kaedahnya, setiap hukum yang menyelisihi nash qath’i, atau Ijmak, atau Qiyas Jali, maka wajib dibatalkan/dicabut.
Baca Juga: Imam Madzhab Mengimbau Umat Untuk Meninggalkan Pendapat yang Menyelisihi Sunnah
Imam Al-Qarafi mengatakan, “Setiap fatwa yang diputuskan oleh seorang Mujtahid hal mana keputusan fatwa tersebut ternyata keluar dan menyelisihi Ijmak, atau kaedah, atau nash, atau qiyas Jali yang rajih, maka tidak boleh bagi pengikutnya untuk mempublikasikannya kepada khalayak dan berfatwa dengan pendapat tersebut. Karena sesungguhnya meskipun hakim menggunakan kesimpulan hukum tersebut, kami tetap akan membatalkannya.”
Lebih lanjut beliau menjelaskan, “Hukum yang belum kami tetapkan secara syar’i meskipun telah ditetapkan oleh seorang hakim lebih utama untuk tidak kami tetapkan secara syar’i jika belum diverifikasi. Karena hukum ini belum diverifikasi, maka kami tidak menetapkannya. Fatwa yang dibangun tidak secara syar’i adalah haram. Maka berfatwa dengan hukum tersebut juga haram.” (Al-Furuq, Imam Al-Qarafi, 2/205, Syarh al-Kaukab al Munir, 4/505-506) Wallahu a’lam. [Shodiq/Majalah Fikih Isam Hujjah]
Terima kasih ustad shodiq…atas pencerahanya…barokalloh.