Daftar Isi
Islam mengatur adab-adab berutang agar utang tidak menjadi beban yang merusak kehidupan dunia ataupun akhirat. Apa saja adab-adab berutang dalam Islam? Mari nikmati tulisan Ustadz Ashabul Yamin berikut.
Utang adalah fenomena lumrah yang nyaris tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat kita. Dari transaksi kecil di warung, pinjam kepada teman, kerabat, hingga pinjaman besar di lembaga keuangan.
Baik untuk kebutuhan mendesak, seperti biaya pendidikan, kesehatan, dan modal usaha, maupun untuk kebutuhan yang tidak mendesak seperti membeli barang mewah atau mengikuti gaya hidup yang hedonis.
Ditambah lagi saat ini akses yang semakin mudah terhadap layanan pinjaman, baik dari perbankan maupun perusahaan teknologi finansial, sehingga membuat jumlah orang yang berutang terus meningkat.
Data yang dirilis oleh CNN Indonesia pada akhir 2024, persentase warga Indonesia yang suka berutang bahkan sampai menyentuh angka 89%.
Sebagian dari mereka yang berutang tersebut memang mampu mengelola utangnya dengan baik, namun banyak pula yang akhirnya terjerat dalam siklus utang berkepanjangan. Awalnya hanya berutang dalam jumlah kecil, namun karena kurangnya perencanaan yang matang, beban utang pun semakin menumpuk.
Akibatnya, setelah beberapa waktu, kesulitan untuk melunasi kewajiban tersebut. Kehidupannya bukannya membaik, malah berantakan tidak karuan “gali lubang tutup lubang” sekedar untuk memenuhi tagihan utangnya tersebut. Tidak sedikit yang akhirnya frustrasi dan tertekan, lalu bunuh diri karena tidak kuat menghadapi kenyataan. Kasus maraknya bunuh diri akibat terjerat pinjol (pinjaman online) baru-baru ini adalah salah satu contohnya.
Maka perlu kiranya untuk mengetahui pandangan Islam terkait utang, sekaligus adab-adab berutang. Agar utang tersebut tidak membuat hidup semakin jatuh ke dalam lembah keterpurukan.
Ayat Terpanjang dalam Al-Quran Berbicara Masalah Utang
Dalam al-Quran, ada satu ayat yang lebih panjang daripada ayat-ayat lainnya, yaitu ayat 282 dalam Surat al-Baqarah. Ayat ini tidak berbicara tentang shalat, puasa, atau ibadah ritual lainnya, melainkan tentang utang dan transaksi keuangan.
Salah satu hikmahnya menurut Ibnu Asyur dalam tafsir beliau, at-Tahrir wa at-Tanwir (3/98), berutang adalah salah satu faktor utama yang membuat transaksi ekonomi berkembang. Sebab, ada orang yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengembangkan harta, tetapi ia kekurangan modal. Dalam kondisi seperti ini, ia terpaksa berutang agar bisa memanfaatkan keahliannya dalam berdagang, berbisnis, atau bertani.
Begitu juga dengan orang yang hidup berkecukupan, bisa saja hartanya habis untuk sementara waktu, padahal ia mampu melunasinya di kemudian hari. Jika ia tidak berutang, sistem keuangannya akan terganggu.
Karena itu, Allah menetapkan agar praktik utang piutang tetap berlangsung sebagaimana yang telah dikenal dalam masyarakat. Tujuannya adalah agar orang-orang tidak salah paham dan mengira bahwa pengharaman riba serta larangan mengambil keuntungan dari utang berarti menghapus seluruh sistem utang piutang.
Fikih Muamalah: Hukum Paylater Sangat Terkait dengan Riba
Allah juga melengkapi hukum ini dengan aturan tambahan, yaitu kewajiban mencatat dan menghadirkan saksi dalam transaksi utang piutang, sebagai bentuk perlindungan bagi kedua belah pihak.
Selain itu, menurut beliau ayat ini juga sebagai bentuk penjagaan syariat (hifdz al-maal) terhadap harta setiap orang mukmin, khususnya harta orang yang memberikan pinjaman kepada orang lain,
وَالْخِطَابُ مُوَجَّهٌ لِلْمُؤْمِنِينَ أَيْ لِمَجْمُوعِهِمْ، وَالْمَقْصُودُ مِنْهُ خُصُوصُ الْمُتَدَايِنِينَ، وَالْأَخَصُّ بِالْخِطَابِ هُوَ الْمَدِينُ لِأَنَّ مِنْ حَقٍّ عَلَيْهِ أَنْ يَجْعَلَ دَائِنَهُ مُطْمَئِنَّ الْبَالِ عَلَى مَالِهِ.
“Ayat ini ditujukan kepada kaum mukmin secara umum, namun yang lebih dikhususkan adalah mereka yang melakukan transaksi utang piutang. Dalam hal ini, pihak yang lebih diutamakan untuk menerima pesan ini adalah orang yang berutang, karena ia berkewajiban untuk membuat pemberi pinjaman merasa tenang terhadap hartanya.”
Pada prinsipnya, Islam tidak melarang seseorang untuk berutang, akan tetapi menegaskan prinsip, atau adab-adab yang harus dipegang agar utang tidak menjadi beban yang merusak kehidupan dunia ataupun akhirat.
Apa saja adab-adab berutang dalam Islam?
Adab-Adab Berutang dalam Islam
Pertama: Berniat untuk membayar utangnya
Sebelum berutang, seseorang harus memastikan bahwa niatnya benar. Dalam arti, niat yang jujur untuk bertanggung jawab melunasi utang tersebut. Bukan sebaliknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَهَا يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
“Barang siapa berutang dengan niat ingin mengembalikannya, maka Allah akan membantunya untuk mengembalikan harta tersebut. Namun, barang siapa berutang tanpa niat untuk mengembalikannya, maka Allah akan membinasakannya.”(HR. Al-Bukhari no. 2387)
Hadits ini menegaskan bahwa niat seseorang dalam berutang menentukan keberkahannya. Jika niatnya tulus untuk membayar, Allah akan memudahkan jalan rezekinya. Sebaliknya, jika sejak awal berniat untuk lari dari tanggung jawab, maka kesulitan dan kebinasaan akan menghampirinya.
Kedua: Hanya berutang untuk kebutuhan mendesak saja
Utang seharusnya menjadi pilihan terakhir saat betul-betul mendesak, bukan untuk memenuhi gengsi, membeli barang-barang mewah, atau sekedar memenuhi gaya hidup dan memenuhi tren.
Sebab idealnya seorang muslim berusaha semaksimal mungkin untuk mencukupi kehidupannya dengan cara yang bijak, seperti bekerja lebih giat, menabung, atau menerapkan gaya hidup hemat.
Diriwayatkan dari Ibunda Aisyah,
أَنَّ رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو فِي الصَّلَاةِ وَيَقُوْلُ: اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ اْلمَأْثَمِ والْمَغْرَمِ، فَقَالَ لَهُ قَائِلٌ: مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مِنَ الْمَغْرَمِ؟ قَالَ: إنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ، وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ.
“Bahwasanya Rasulullah berdoa dalam shalatnya,‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan lilitan utang.’
Seorang sahabat pun bertanya kepada Nabi,‘Wahai Rasulullah, mengapa engkau sering meminta perlindungan dari utang?’
Maka beliau menjawab,‘Sesungguhnya seseorang yang berutang, ketika berbicara ia berdusta, dan ketika berjanji ia mengingkari.’” (HR. Al-Bukhari no. 2267; HR. Muslim no. 589)
Baca Juga: Tukang Kredit Jual Mahal, Dibeli Lagi dengan Harga Murah
Dalam hadits ini disebutkan bahwa Rasulullah meminta perlindungan dari utang, karena utang bisa membawa seseorang kepada keadaan buruk, seperti berdusta dan mengingkari janji. Karena dampak negatif inilah Rasulullah tidak menganjurkan umatnya untuk berutang, kecuali dalam kondisi yang terdesak saja.
Adab Berutang Ketiga: Menulis dan mencatat utang
Dalam Islam, menulis perjanjian utang adalah sesuatu yang sangat dianjurkan. Secara spesifik perintah ini disebutkan oleh Allah dalam Surat al-Baqarah ayat 282,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya.”
Hikmah Allah memerintahkan agar setiap transaksi utang ditulis dengan jelas adalah agar tidak ada kesalahpahaman di kemudian hari. Ini juga melindungi hak kedua belah pihak, baik pemberi utang, maupun orang yang berutang itu sendiri.
Keempat: Menyepakati jangka waktu pelunasan
Dalam Surat al-Baqarah ayat 282 yang disebutkan di atas, ada frasa ajalin musamma (أَجَلٍ مُسَمًّى) yang memiliki makna sangat penting dalam transaksi utang piutang.
Secara bahasa, ajalin bermakna waktu atau tenggat, sementara musamma berarti yang telah ditentukan atau disepakati. Maksudnya setiap utang harus memiliki batas waktu yang jelas dan tidak dibiarkan mengambang tanpa ada kejelasan kapan akan dilunasi.
Islam menegaskan bahwa utang bukan hanya tentang memberi dan menerima, tetapi juga tentang tanggung jawab dan keadilan. Ketika seseorang berutang, ia harus memahami kapan dan bagaimana akan melunasinya.
Jika utang itu dibiarkan dalam jangka panjang tanpa jangka waktu tertentu, baik pemberi utang maupun peminjam bisa mengalami ketidakpastian yang biasanya berujung dengan perselisihan.
Adab Berutang Kelima: Melunasi utang tepat waktu
Salah satu yang menjadi patokan kebaikan seseorang berdasarkan hadits Rasulullah adalah orang yang paling baik dalam membayar utangnya,
فإنَّ مِن خِيارِ النَّاسِ أحْسَنَهُمْ قَضاءً.
“Sesungguhnya yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik dalam membayar utang.” (HR. Al-Bukhari no. 2262)
Berniat melunasi utang dengan sekuat tenaga merupakan sikap yang baik, dan menundanya merupakan perbuatan dosa dan memiliki konsekuensi berat di akhirat, salah satunya adalah terhalang masuk surga.
Disebutkan dalam hadits,
مَنْ فَارَقَ الرُّوحُ الْجَسَدَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ مِنَ الْكِبْرِ وَالْغُلُولِ وَالدَّيْنِ
“Barang siapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal:(1) sombong,(2) khianat, dan (3) utang, maka dia akan masuk surga.” (HR. Ibnu Majah no. 2412)
Selain itu menunda pembayaran utang padahal dia mampu adalah perbuatan zalim. Sabda Rasul,
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ
“Menunda-nunda membayar utang bagi orang yang mampu (membayar) adalah kezaliman.” (HR. Al-Bukhari no. 2166)
Keenam: Meminta kelonggaran jika belum mampu membayar
Apabila telah jatuh tempo pembayaran yang disepakati, namun benar-benar belum sanggup untuk melunasi utangnya, dianjurkan untuk berkomunikasi dengan pemberi utang dan meminta keikhlasan serta perpanjangan waktu darinya.
Jika dilakukan dengan jujur, hal ini bukan termasuk kezaliman sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas.
Syaikh Badruddin al-’Aini dalam Umdat al-Qari’ Syarh Shahih al-Bukhari (12/110) berkata,
لِأَنَّ الْمَعْنَى أَنَّهُ يُحَرِّمُ عَلَى الْغَنِيِّ الْقَادِرِ أَنْ يُمْطِلَ بِالدَّيْنِ بَعْدَ اسْتِحْقَاقِهِ، بِخِلَافِ الْعَاجِزِ.
“Makna hadits di atas bahwa haram bagi orang yang cukup secara finansial melakukan penundaan membayar utang, berbeda halnya dengan orang yang belum mampu (membayar).”
Baca Juga: Menunda Bayar Hutang, Apa Akibatnya?
Adapun bagi pemberi utang dianjurkan untuk bersikap empati dan memberikan kelonggaran kepada yang berutang apabila memang kondisi yang berutang benar-benar dalam kondisi yang sulit.
Firman Allah,
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Jika dia (orang yang Berutang itu) dalam kesulitan, berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Kamu bersedekah (membebaskan utang) itu lebih baik bagimu apabila kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280)
Ketujuh: Memohon agar dimudahkan dalam membayar utang
Utang memang sulit dihindari, nyaris setiap orang pasti pernah bersinggungan dengan utang. Namun, kondisi hidup bebas utang adalah kondisi yang dianjurkan dalam Islam, karena membawa ketenangan hidup di dunia dan keselamatan di akhirat.
Orang yang bebas dari utang juga akan lebih mudah khusyuk dalam ibadahnya. Hatinya tidak gelisah dihantui kecemasan.
Materi Kultum Ramadhan 09: Kebajikan yang Harus Disegerakan
Agar terbebas dari utang, Rasulullah mengajarkan kita doa berikut,
اللَّهُمَّ إنِّي أعُوذُ بكَ مِنَ الهَمِّ والحَزَنِ، والعَجْزِ والكَسَلِ، والجُبْنِ والبُخْلِ، وضَلَعِ الدَّيْنِ، وغَلَبَةِ الرِّجالِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari rasa sedih dan duka, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat pengecut dan kekikiran, dari beban utang yang berat, serta dari kezaliman manusia.” (HR. Al-Bukhari no. 2736)
Doa yang diajarkan oleh Rasulullah ini mengandung makna bahwa hidup tanpa utang adalah kondisi hidup yang ideal. Oleh karena itu, seorang muslim harus berusaha untuk tidak berutang jika tidak mendesak, dan berusaha melunasi utangnya agar tidak menjadi beban, baik di dunia maupun di akhirat.
Demikian artikel tentang “Adab-Adab yang Harus Dilakukan oleh Orang yang Berutang”. Semoga Allah subhanahu wata’ala memudahkan kita untuk menjalani hidup bebas dari utang, aamiin. Wallahu a’lam.(Ashabul Yamin/dakwah.id)
Baca juga artikel Adab atau artikel menarik lainnya karya Ashabul Yamin.
Penulis: Ashabul Yamin
Editor: Ahmad Robith