Daftar Isi
Tuduhan bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu pernah membuat putri Nabi Fatimah keguguran adalah satu dari sekian banyak bualan kelompok sempalan yang membenci sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum.
Tentu saja mereka amat senang melontarkan tuduhan seperti ini. Karena apa saja yang dapat merendahkan sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum amat mereka sukai dan akan mereka populerkan, bahkan tanpa rasa malu mereka menggunakan riwayat-riwayat palsu sebagai penguat dalil.
Di zaman ini pun muncul beberapa orang yang berusaha menyesatkan umat dengan mengangkat kembali riwayat-riwayat invalid tersebut untuk mengecoh umat, menebar keraguan, dan tentunya menguntungkan kelompok sempalan yang sedari dulu membenci Islam dan kaum muslimin.
Namun sayangnya perbuatan mereka ini hanya menjadi bahan tertawaan bagi para ulama dan penuntut ilmu yang mendalami ilmu-ilmu syar’i secara lurus.
Sejatinya, tidak ada satu pun riwayat dalam referensi Islam yang secara eksklusif menyebut bahwa Fatimah radhiyallahu ‘anha pernah mengalami keguguran. Baik keguguran itu akibat perbuatan Umar radhiyallahu ‘anhu maupun akibat lainnya. Juga tidak ada riwayat bahwa Fatimah radhiyallahu ‘anha wafat akibat dari keguguran tersebut.
Berbeda dengan kelompok sempalan yang mengklaim bahwa Fatimah pernah mengalami keguguran akibat perbuatan Umar yang hendak memaksa Ali agar mau berbaiat kepada Abu Bakar. Lalu Umar radhiyallahu ‘anhu pun masuk ke rumah Ali dan Fatimah radhiyallahu ‘anhuma, kemudian membakar rumah tersebut.
Setelah itu, Umar radhiyallahu ‘anhu menendang pintu rumah tersebut hingga mengakibatkan tulang rusuk Fatimah radhiyallahu ‘anha patah dan menyebabkan janin yang tengah dikandungnya gugur. Konon anak yang gugur itu bernama al-Muhsin bin Ali.
Kisah Fatimah keguguran dapat Anda lacak di Kitab Sulaim bin Qais al-Hilali (Asrar Ali Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam) karya Sulaim bin Qais.
Dalam kitab Minhaju as-Sunnah an-Nabawiah (8/208; 4/287) terdapat kritikan Ibnu Taimiyyah rahimahullah terhadap kisah tersebut.
Kisah Fatimah keguguran tersebut tampak amat dramatis, persis seperti alur sinetron kekinian yang selalu memosisikan kaum wanita sebagai objek penindasan. Maka jadilah Fatimah radhiyallahu ‘anha sebagai tokoh protagonis dan Umar serta Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma sebagai tokoh antagonis. Lengkap sudah kisah fiktif khayalan tersebut.
Teks Riwayat
Mereka pun mencari riwayat untuk dicocok-cocokkan dengan tuduhan dan riwayat palsu yang mereka ciptakan guna membenarkan riwayat “playing victim” mereka.
Di antara riwayat yang berusaha mereka cocokkan adalah atsar (riwayat) berupa ucapan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ketika akan wafat,
أَمَا إِنِّي لَا آسَى عَلَى شَيْءٍ، إِلَّا عَلَى ثَلَاثٍ فَعَلْتُهُنَّ، وَدِدْتُ أَنِّي لَمْ أَفْعَلْهُنَّ، وَثَلَاثٍ لَمْ أفْعَلْهُنَّ وَدِدْتُ أَنِّي فَعَلْتُهُنَّ، وَثَلَاثٍ وَدِدْتُ أَنِّي سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُنَّ،
فَأَمَّا الثَّلَاثُ اللَّاتِي وَدِدْتُ أَنِّي لَمْ أَفْعَلْهُنَّ: فَوَدِدْتُ أَنِّي لَمْ أَكُنْ كَشَفْتُ بَيْتَ فَاطِمَةَ وَتَرَكْتُهُ، وَأَنْ أَغْلِقَ عَلَيَّ الْحَرْبَ، وَوَدِدْتُ أَنِّي يَوْمَ سَقِيفَةَ بَنِي سَاعِدَةَ كُنْتُ قَذَفْتُ الْأَمْرَ فِي عُنُقِ أَحَدِ الرَّجُلَيْنِ: أَبِي عُبَيْدَةَ أَوْ عُمَرَ، فَكَانَ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، وَكُنْتُ وَزِيرًا
“Aku tidak menyesal atas apa pun (kebijakanku) kecuali atas: tiga perbuatan yang aku lakukan di mana aku berharap tidak pernah melakukannya; tiga perbuatan yang tidak aku lakukan di mana aku berharap melakukannya; dan tiga hal yang aku harap pernah aku tanyakan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Adapun tiga perbuatan yang aku harap tidak pernah melakukannya: pertama, aku berharap andai tidak menyingkap rumah Fatimah dan membiarkan rumah itu begitu saja sehingga aku dapat menutup penentangan terhadapku.
Kedua, aku berharap pada momen Saqifah Bani Saidah, aku melimpahkan kepemimpinan (kekhalifahan) kepada punggung (tanggung jawab) salah satu dari dua orang saja, yaitu Abu Ubaidah atau Umar. Sehingga salah satu mereka saja yang menjadi amirul mukminin (pemimpin umat Islam) sedangkan aku menjadi penasihat….” (Mu’jam al-Kabir, ath-Thabarani, 1/62; Tarikh at-Thabari, ath-Thabari, 3/430 dari Abdurrahman bin Auf)
Atsar tersebut diriwayatkan dengan redaksi yang panjang, dan dijadikan sebagai pembenar oleh kelompok sempalan (Rafidhah) atas klaim mereka bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu yang menyebabkan Fatimah keguguran.
Sebab, menurut mereka, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu-lah yang mengutus Umar radhiyallahu ‘anhu untuk mendatangi rumah Ali radhiyallahu ‘anhu dan Fatimah radhiyallahu ‘anha guna memaksa Ali berbaiat kepadanya.
Abu Bakar pun menyesal di penghujung hidupnya karena pernah melakukan hal tersebut. Terlebih, tatkala membiarkan Umar membakar rumah Fatimah dan menjadi sebab gugurnya janin yang tengah dikandungnya.
Takhrij Atsar
Atsar ini diriwayatkan oleh Imam ath-Thabarani dan al-Qasim bin Sallam rahimahumallah dengan sanad,
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُفَيْرٍ، حَدَّثَنِي عُلْوَانُ بْنُ دَاوُدَ الْبَجَلِيُّ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، عَنْ أَبِيهِ
“Said bin ‘Ufair menceritakan kepada kami, Ulwan bin Dawud al-Bajali menceritakan kepadaku, dari Humaid bin Abdurrahman bin Humaid bin Abdurrahman bin Auf, dari Shalih bin Kaisan, dari Humaid bin Abdurrahman bin Auf, dari ayahnya.”
Adapun dari Imam at-Thabari rahimahullah dengan sanad,
حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى، قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُكَيْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا اللَّيْثُ بْنُ سَعْدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عُلْوَانُ، عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ، عَنْ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، عَنْ أَبِيهِ
“Yunus bin Abdil A’la menceritakan kepada kami, ia berkata,‘Yahya bin Abdullah bin Bukair menceritakan kepada kami, ia berkata,‘al-Laits bin Sa’ad menceritakan kepada kami, ia berkata,‘Ulwan menceritakan kepada kami, dari Shalih bin Kaysan, dari Umar bin Abdurrahman bin Auf, dari ayahnya.’”
Sanad lainnya dari Imam al-Qasim bin Sallam dan Ibnu Zanjawaih rahimahumallah,
أَنْبَأَنَا حُمَيْدٌ أَنْبَأَنَا عُثْمَانُ بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنِي اللَّيْثُ بْنُ سَعْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْفَهْمِيُّ، حَدَّثَنِي عُلْوَانُ، عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ، أَنَّ أَبَاهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ
“Humaid menginformasikan kepada kami, Utsman bin Shalih menginformasikan kepada kami, al-Laits bin Sa’ad bin Abdurrahman al-Fahmi menceritakan kepadaku, Ulwan menceritakan kepadaku, dari Shalih bin Kaisan, dari Humaid bin Abdurrahman bin Auf, bahwa ayahnya….”
Imam Ahmad pernah ditanya terkait atsar Abu Bakar ini oleh al-Muhanna. Al-Muhanna mengisahkan,
سَأَلْتُ أَحْمَدَ، عَنْ حَدِيثِ اللَّيْثِ بْنِ سَعْدَ، عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ، عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي مَرَضِهِ، فسلَّم عَلَيْهِ، فَقَالَ: “أَمَا إِنِّي مَا آسَى إِلَّا عَلَى ثَلاثٍ فَعَلْتُهُنَّ” -الْحَدِيثَ؟ فَقَالَ أَحْمَدُ: لَيْسَ صَحِيحًا قلتُ: كَيْفَ ذَا؟ قَالَ: أُخِذَ مِنْ كِتَابِ ابْنِ دَابٍ، فَوَضَعَهُ عَلَى اللَّيْثِ
“Aku bertanya kepada Ahmad (bin Hanbal) mengenai hadits al-Laits bin Sa’ad dari Shalih bin Kaisan, dari Humaid bin Abdurrahman bin Auf, dari ayahnya, bahwa ia masuk menemui Abu Bakar dalam sakitnya, lalu mengucapkan salam kepadanya. Abu Bakar pun berkata, ‘Aku tidak menyesal atas apa pun (kebijakanku), kecuali atas tiga perbuatan yang telah aku lakukan.’
Ahmad menjawab, ‘Atsar itu tidak sahih.’
Aku bertanya, ‘Bagaimana bisa?’
Ahmad menjawab, ‘Riwayat itu diambil dari kitab Ibnu Dab lalu dipalsukan atas nama al-Laits.’” (Al-Muntakhab min ‘Ilalil Khallal, Ibnu Qudamah, 1/296–297)
Imam Ahmad rahimahullah menjawab dengan tegas. Beliau menganggap palsu kisah ini secara keseluruhan. Alasannya, riwayat ini dipalsukan atas nama Al-Laits bin Sa’ad. Meski demikian, sanadnya tetap kita periksa sehingga terang dari mana pemalsuan itu berasal.
Jika kita cermati sanadnya, maka muara dari kedua sanad ini adalah Ulwan, yakni Ulwan bin Dawud al-Bajali. Hanya saja, dari riwayat ath-Thabari, Ulwan langsung meriwayatkan dari Shalih bin Kaisan, sedangkan dari riwayat at-Thabarani dan Ibnu Sallam, melalui perantara Humaid bin Abdurrahman, lalu dari Shalih bin Kaisan.
Versi ath-Thabari, Shalih bin Kaisan meriwayatkan dari Umar bin Abdurrahman bin Auf. Versi ath-Thabarani, Shalih bin Kaisan meriwayatkan dari Humaid bin Abdurrahman bin Auf. Sedangkan versi Ibnu Zanjawaih dan Ibnu Sallam, Ulwan langsung meriwayatkan dari Shalih bin Kaisan, dari Humaid bin Abdurrahman bin Auf.
Tinjauan Terhadap Sanad
Permasalahan pada sanad di atas terletak pada perawi yang bernama Ulwan bin Dawud al-Bajali. Sebab, persamaan kedua sanad tersebut adalah pada Ulwan. Ini disebutkan secara tegas oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Haitsami rahimahullah ketika mengomentari sanad dari atsar tersebut. Beliau berkata,
وَفِيهِ عُلْوَانُ بْنُ دَاوُدَ الْبَجَلِيُّ، وَهُوَ ضَعِيفٌ، وَهَذَا الْأَثَرُ مِمَّا أُنْكِرَ عَلَيْهِ
“Dalam sanadnya terdapat Ulwan bin Dawud al-Bajali dan ia adalah rawi yang dhaif. Atsar ini termasuk riwayatnya yang diingkari oleh para ulama.” (Majma’ az-Zawaid, Ibnu Hajar al-Haitsami, 5/203)
Al-Hafizh al-Uqaili rahimahullah berkata terkait kredibilitas Ulwan,
عُلْوَانُ بْنُ دَاوُدَ الْبَجَلِيُّ وَيُقَالُ عُلْوَانُ بْنُ صَالِحٍ وَلَا يُتَابَعُ عَلَى حَدِيثِهِ، وَلَا يُعْرَفُ إِلَّا بِهِ. حَدَّثَنِي آدَمُ بْنُ مُوسَى قَالَ: سَمِعْتُ الْبُخَارِيَّ قَالَ: عُلْوَانُ بْنُ دَاوُدَ الْبَجَلِيُّ وَيُقَالُ عُلْوَانُ بْنُ صَالِحٍ مُنْكَرُ الْحَدِيثِ
“Ulwan bin Dawud al-Bajali biasa dipanggil Ulwan bin Shalih. Haditsnya tidak memiliki pengiring dan tidak dikenali sama sekali, kecuali dari jalurnya sendiri. Adam bin Musa menceritakan kepadaku,‘Aku mendengar al-Bukhari mengatakan,‘Ulwan bin Dawud al-Bajali dan yang biasa dipanggil Ulwan bin Shalih itu adalah munkarul hadits.’” (Adh-Dhuafa’ al-Kabir, al-Hafidz al-Uqaili, 3/419)
Kemudian al-Hafizh al-Uqaili rahimahullah menampilkan atsar Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu di atas–yang tengah kita bahas–sebagai contoh haditsnya yang mungkar.
Hal yang sama juga al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah sebutkan sembari menukil ucapan al-Hafizh Abu Said bin Yunus rahimahullah mengenai Ulwan bin Dawud yang menyebutnya sebagai “munkarul hadits”. (Lihat: Mizan al-I’tidal, adz-Dzahabi, 3/108)
Dari sini jelas, Ulwan bin Dawud al-Bajali dinilai sebagai munkarul hadits oleh al-Bukhari, Ibnu Yunus, dan adz-Dzahabi rahimahumullah.
Munkarul Hadits adalah istilah untuk menyebut perawi yang memiliki kelemahan akurasi hafalan. Dan hadits yang dia riwayatkan banyak bertentangan dengan hadits-hadits lain yang derajatnya tsiqah (kuat). (Mu’jam Musthalahat al-’Ulum asy-Syar’iyyah, Tim Penulis, 1636)
Dengan demikian, berlaku ucapan Imam al-Bukhari rahimahullah yang dinukil oleh al-Imam Ibnu al-Qatthan, “Dia sendiri (al-Bukhari) yang mengatakan dalam kitabnya al-Ausath,‘Setiap perawi yang aku nilai sebagai munkarul hadits, maka tidak halal mengambil riwayatnya.’” (Bayan al-Wahm wa al-Iham, Ibnu al-Qatthan, 2/264)
Al-Hafizh al-Asqalani rahimahullah dalam kitabnya Lisan al-Mizan (1/22) menanggapi ucapan Ibnu al-Qatthan rahimahullah di atas, “Ucapan tersebut diriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Abdussalam bin Ahmad al-Khifaf, dari al-Bukhari.” Jadi, menurut al-Bukhari rahimahullah tidak halal mengambil riwayat yang berasal dari Ulwan bin Dawud al-Bajali.
Lebih parah lagi penilaian Imam Ibnu Syahin rahimahullah. Ia mengatakan,
وَفِي كِتَابِ جَدِّي عَنِ ابْنِ رِشْدِينِ قَالَ: سَأَلْتُ أَحْمَدَ بْنِ صَالَحٍ عَنْ حَدِيثِ عُلْوَانَ بْنِ دَاوُدَ. الَّذِي يَرْوِي أَصْحَابُنَا. فَقَالَ: هَذَا حَدِيثٌ مَوْضُوعٌ كَذِبٌ لَا يَنْبَغِي أَنْ يُكْتَبَ وَلَا يُقْرَأَ وَلَا يُحَدَّثُ بِهِ. وَكَأَنِّي رَأَيْتُ عُلْوَانَ عِنْدَهُ مَتْرُوكاً هُوَ وَحَدِيثُهُ. وَقَالَ: هَذَا بَاطِلٌ مَوْضُوعٌ
“Dalam kitab kakekku dari Ibnu Risydin, ia berkata,‘Aku bertanya kepada Ahmad bin Shalih mengenai hadits Ulwan bin Dawud yang diriwayatkan oleh rekan-rekan kami. Ia pun mengatakan,‘Ini hadits palsu lagi dusta. Tidak pantas untuk ditulis, dibaca, maupun disampaikan.’ Seolah-olah aku melihat Ulwan adalah perawi yang matruk (ditinggalkan haditsnya) menurutnya. Ia mengatakan,‘Ini riwayat batil lagi palsu.’” (Tarikh Asma adh-Dhuafa wa al-Kaddzabin, Ibnu Syahin, I/131)
Ulwan bin Dawud al-Bajali mendapat tiga penilaian negatif yang terbilang parah,
- penilaian sebagai munkarul hadits dari al-Bukhari, Ibnu Yunus, dan adz-Dzahabi rahimahumullah;
- dilemahkan oleh al-Uqaili rahimahullah dengan menyebut haditsnya tidak memiliki pengiring (mutaba’ah); dan
- dinilai sebagai matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya) oleh Ibnu Syahin rahimahullah.
Seakan-akan Ulwan adalah seorang pemalsu hadits, jika melihat penukilan Ibnu Syahin dari Ahmad bin Shalih rahimahumallah.
Ulwan juga dilemahkan oleh al-Hafizh Ibnu al-Jauzi rahimahullah dalam adh-Dhuafa’ wa al-Matrukun (2/190), al-Hafizh al-Haitsami rahimahullah dalam Al-Majma’ (5/203), dan al-Hafidz al-Asqalani rahimahullah dalam Lisan al-Mizan (5/472).
Meski demikian, Imam Ibnu Hibban rahimahullah memasukkan Ulwan bin Dawud ke dalam jajaran perawi yang tsiqah (terpercaya) dalam ats-Tsiqat (8/526).
Imam ad-Daruquthni rahimahullah juga tidak mengomentari status Ulwan tatkala ditanyai tentang atsar Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu tersebut dalam al-Ilal (1/181), hanya saja Ad-Daruquthni menyebut Ulwan bin Dawud dengan sebutan “Syaikh untuk penduduk Mesir” dan ini merupakan salah satu bentuk penilaian baik (ta’dil).
Al-Khallal berkata–sebagaimana penukilan dari Ibnu Qudamah dalam Al-Muntakhab min ‘Ilalil Khallal (1/297), “Dan Ulwan statusnya tidak mengapa (laa ba’sa) mengenai dirinya.”
Al-Hafizh adh-Dhiya’ al-Maqdisi rahimahullah ternyata juga menilai hasan atsar Abu Bakar tersebut,
“Aku katakan bahwa ini hadits hasan dari Abu Bakar. Hanya saja tidak ada sedikit pun terkandung sabda Rasulullah di dalamnya.” (Al-Ahaditsu al-Mukhtarah, adh-Dhiya al-Maqdisi, 1/90)
Kesimpulannya: Ulwan bin Dawud dinilai baik oleh Ibnu Hibban, al-Khallal, ad-Daruqutni, dan ad-Dhiya Al-Maqdisi rahimahumullah.
Ta’dil (Penilaian Positif) Terhadap Ulwan bin Dawud
Setidaknya ada tiga ulama yang menilai positif Ulwan, yakni Ibnu Hibban, al-Khallal, dan ad-Daruqutni rahimahumullah.
Terkait Ibnu Hibban, maka pembahasan tentang tautsiq (penilaian baik) dari beliau akan dibahas secara gamblang pada part-2 dari tulisan ini. Hanya saja perlu diketahui, Imam Ibnu Hibban tidak secara tegas menilai positif (ta’dil) Ulwan bin Dawud. Beliau hanya menampilkan saja dalam kitab At-Tsiqat.
Adapun al-Khallal menilai Ulwan bin Dawud dengan ucapan laa ba’sa (tidak mengapa), di mana ini merupakan penilaian ta’dil tingkat kedua yang tidak mengandung penilaian positif secara absolut. Artinya, perawi ini masih memiliki peluang untuk dipermasalahkan.
Imam Ibnu Abi Hatim dalam al-Jarh wa at-Ta’dil (2/37) berkata,
إِذَا قِيْلَ: إنَّهُ صَدُوْقٌ، أوْ مَحَلُّهُ الصِّدْقُ، أوْ لاَ بأسَ بهِ، فَهوَ مِمَّنْ يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ ويُنْظَرُ فِيهِ، وهِيَ المنْزِلَةُ الثَّانِيَةُ
“Apabila dikatakan ‘perawi itu jujur’, atau ‘ia bersifat jujur’, atau ‘laa ba’sa (tidak mengapa)’ maka ia termasuk perawi yang boleh ditulis haditsnya dan harus dilihat kredibilitasnya. Ini merupakan tingkatan kedua.”
Imam Ibnu Shalah dalam Muqaddimah Ibnu Shalah (1/243) menjelaskan ucapan Imam Ibnu Abi Hatim tersebut,
هَذَا كَما قَالَ؛ لِأَنَّ هَذِهِ العِبَاراتِ لاَ تُشْعِرُ بشَرِيْطَةِ الضَّبْطِ، فَيُنْظَرُ في حَدِيْثِهِ ويُخْتَبَرُ حَتَّى يُعْرَفَ ضَبْطُهُ
“Ucapannya ini benar maknanya. Sebab ungkapan ini belum memberi kesan terpenuhinya syarat dhabt (kemampuan menjaga riwayat). Maka haditsnya harus diperiksa dan diuji hingga dapat diketahui kemampuannya dalam menjaga riwayat.”
Demikian juga ungkapan ad-Daruqutni yang menyebut Ulwan bin Dawud sebatas “Syaikh” bagi orang Mesir tanpa adanya ketegasan dalam melakukan ta’dil.
Imam Ibnu Abi Hatim mengatakan,
إِذَا قِيْلَ: شَيْخٌ فَهُوَ بِالَمنْزِلَةِ الثَّالِثَةِ، يُكْتَبُ حَدِيْثُهُ، ويُنْظَرُ فِيْهِ، إلاَّ أنَّهُ دُوْنَ الثَّانِيَةِ
“Apabila disebut perawi itu “syaikh”, maka ia pada tingkatan ketiga. Haditsnya boleh dicatat dan harus dilihat kredibilitasnya. Hanya saja ia lebih rendah dari tingkatan kedua.” (Al-Jarh wa at-Ta’dil, Ibnu Abi Hatim, 2/37).
Al-Allamah az-Zarkasyi dalam al-Kalam fi Ulumi al-Hadits (3/434) menukil ungkapan al-Hafizh Jamaluddin al-Mizzi,
الْمُرَادُ بِقَوْلِهِمْ “شَيْخُ” أَنَّهُ لَا يُتْرَكُ وَلَا يُحْتَجُّ بِحَدِيثِهِ مُسْتَقِلاًّ
“Maksud dari ucapan ulama “Syaikh” adalah perawi tersebut tidak ditinggalkan haditsnya dan juga tidak dijadikan sebagai hujah secara independen.”
Kesimpulan penilaian positif ulama terhadap Ulwan
Meski al-Khallal dan ad-Daruqutni menilai positif Ulwan bin Dawud, namun penilaian mereka belum tegas dan masih mengandung kemungkinan perawi dapat dipermasalahkan jika dilihat dari ungkapan yang mereka gunakan, serta menyisakan peluang tertolaknya Ulwan bin Dawud jika terbukti memiliki riwayat-riwayat yang mungkar.
Sementara para pakar hadits lainnya seperti al-Bukhari, al-Uqaili, dan Ibnu Syahin menegaskan kemungkaran periwayatan dari Ulwan bin Dawud dan melemahkannya.
Dari sini terlihat bahwa ta’dil yang dilakukan oleh al-Khallal dan ad-Daruqutni sejatinya tidak bertentangan dengan jarh (penilaian negatif) yang dilakukan oleh mayoritas pakar hadits.
Karena, ungkapan ta’dil yang digunakan oleh al-Khallal dan ad-Daruqutni rahimahumallah masih bersifat relatif dan membutuhkan pembahasan lebih lanjut, sementara jarh yang dituduhkan amat jelas dan tegas oleh para ulama yang menilai negatif Ulwan bin Dawud.
Di sini terlihat betapa lemahnya kredibilitas Ulwan bin Dawud dan kelemahannya tidak dapat ditoleransi sama sekali.
Menilai Ulwan bin Dawud Al-Bajali Menurut Standar Ilmu Hadits
Dengan demikian, penilaian hasan oleh al-Hafizh adh-Dhiya’ rahimahullah terhadap hadits tersebut tentu perlu ditinjau ulang, menimbang ucapan Imam Ahmad yang secara tegas menganggap palsu atsar Abu Bakar ini dan parahnya penilaian para pakar hadits terhadap Ulwan bin Dawud.
Di samping itu, Ulwan dilemahkan dengan sangat oleh al-Bukhari, Ibnu Yunus, al-Uqaili, Ahmad bin Shalih, Ibnu Syahin, Ibnul Jauzi, adz-Dzahabi, dan al-Haitsami rahimahumullah.
Artinya, mayoritas ulama hadits melemahkannya dengan pelemahan yang terbilang tidak dapat ditoleransi. Sementara itu, Ibnu Hibban, al-Khallal, ad-Daruqutni, maupun ad-Dhiya’ rahimahumallah tidak menjelaskan apa pun untuk membela penilaian buruk mayoritas pakar hadits tersebut terhadap Ulwan bin Dawud.
Sehingga jelaslah penilaian hasan oleh adh-Dhiya’ rahimahumallah adalah sebuah kekeliruan fatal.
Andaikan pun dipaksakan untuk membela Ulwan bin Dawud dengan dalih telah mendapatkan ta’dil dari beberapa ulama hadits, tetap tidak dapat berhujah dengan Ulwan bin Dawud al-Bajali.
Ini berdasarkan kaidah ilmu hadits yang disampaikan oleh para ulama hadits. Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan,
وَلَوْ تَعَارَضَ جَرْحٌ وَتَعْدِيلٌ قُدِّمَ الْجَرْحُ عَلَى الْمُخْتَارِ الَّذِي قَالَهُ الْمُحَقِّقُونَ وَالْجَمَاهِيرُ وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ عَدَدُ الْمُعَدِّلِينَ أَكْثَرَ أَوْ أَقَلَّ
“Andaikan penilaian buruk (terhadap seorang perawi) berhadapan dengan penilaian baik (terhadap seorang perawi), maka penilaian buruk harus lebih didahulukan menurut pendapat yang dipilih oleh para peneliti riwayat dan mayoritas pakar hadits. Tidak ada perbedaan apakah jumlah yang menilai baik lebih banyak atau sedikit.” (Syarh Shahih Muslim, Imam an-Nawawi, 1/125)
Al-Hafizh as-Suyuthi rahimahullah menjelaskan dengan lebih spesifik lagi,
(وَإِذَا اجْتَمَعَ فِيهِ)، أَيِ الرَّاوِي (جَرْحٌ) مُفَسَّرٌ، (وَتَعْدِيلٌ، فَالْجَرْحُ مُقَدَّمٌ)، وَلَوْ زَادَ عَدَدُ الْمُعَدِّلِ، هَذَا هُوَ الْأَصَحُّ عِنْدَ الْفُقَهَاءِ وَالْأُصُولِيِّينَ، وَنَقَلَهُ الْخَطِيبُ عَنْ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ; لِأَنَّ مَعَ الْجَارِحِ زِيَادَةَ عِلْمٍ لَمْ يَطَّلِعْ عَلَيْهَا الْمُعَدِّلُ
“Apabila telah berkumpul padanya, maksudnya pada perawi, sebuah penilaian buruk yang spesifik dan sebuah penilaian baik, maka penilaian buruk lebih didahulukan meskipun jumlah yang menilai baik terhadapnya lebih banyak. Inilah yang lebih sahih menurut para pakar fikih dan ushul.
Al-Khathib (al-Baghdadi) menyandarkan pendapat ini pada jumhur ulama. Hal itu disebabkan pakar yang menilai buruk memiliki informasi tambahan (tentang jati diri perawi) yang belum diketahui oleh pakar yang menilai baik perawi tersebut.” (Tadribu ar-Rawi, Jalaluddin as-Suyuti, 1/364)
Maka penilaian ulama hadits yang menilai negatif Ulwan bin Dawud harus lebih diutamakan daripada penilaian baik atau positif yang berasal dari sebagian ulama hadits lainnya.
Sebab, para ulama yang menilai negatif memiliki alasan yang spesifik dan juga lebih banyak jumlahnya daripada yang menilai positif. Apatah lagi kalangan yang menilai positif ternyata tidak tegas dalam memberi penilaian dan ungkapannya masih bersifat relatif sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Keguncangan Sanad
Faktor yang semakin menambah kelemahan atsar ini adalah idhtirab (inkonsistensi) pada periwayatan sanadnya–tentunya Ulwan bin Dawud Al-Bajali yang tertuduh dalam hal ini.
Dalam riwayat ath-Thabarani dan salah satu sanad riwayat Ibnu Sallam, Ulwan bin Dawud meriwayatkan melalui Humaid bin Abdurrahman bin Humaid, dari Shalih bin Kaisan, dari Humaid bin Abdurrahman bin Auf.
Sedangkan dalam riwayat ath-Thabari, Ulwan meriwayatkan langsung dari Shalih bin Kaisan, dari Umar bin Abdurrahman bin Auf tanpa Humaid bin Abdurrahman.
Sementara dalam riwayat Ibnu Zanjawaih dan sanad lainnya riwayat Ibnu Sallam, Ulwan meriwayatkan langsung dari Shalih bin Kaisan dari Humaid bin Abdurrahman bin Auf, bukan dari Umar bin Abdurrahman bin Auf.
Inkonsistensi sanad ini semakin menambah kelemahan atsar dan kemungkaran riwayat Ulwan bin Dawud al-Bajali.
Hasil Telaah Atsar
Keberadaan Ulwan bin Dawud dalam sanad atsar Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sudah cukup untuk menjelaskan kepada kita status atsar tersebut. Karena keberadaannya yang dicap buruk sebagai munkarul hadits, matrukul hadits, dan dilemahkan oleh mayoritas ulama hadits.
Jika penilaian buruk lebih diutamakan atas penilaian baik meski jumlah yang menilai baik lebih banyak, lantas bagaimana dengan penilaian buruk yang dilakukan oleh lebih banyak pakar dan lebih spesifik daripada penilaian baik yang dilakukan oleh sebagian kecil pakar, seperti kasus pada perawi bernama Ulwan bin Dawud ini?!
Kesimpulan hasil telaah atsar
Atsar yang diriwayatkan dari Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu tersebut amat lemah sekali derajatnya bahkan mendekati palsu akibat kredibilitas Ulwan yang amat diragukan.
Apatah lagi, Imam Ahmad secara tegas menyatakan tidak sahihnya atsar ini secara utuh dan menuduhnya sebagai bagian dari pemalsuan–sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Di samping pada kandungannya juga tidak terdapat petunjuk bahwa Fatimah radhiyallahu ‘anha keguguran akibat perbuatan Umar dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma.
Ini tidak lebih dari klaim yang dibangun atas dasar cocoklogi oleh sekelompok aliran sempalan dan orang-orang yang terpengaruh dengan mereka.
Sebab mereka menafsirkan harapan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu itu sebagai penyesalan karena telah mengutus Umar radhiyallahu ‘anhu untuk mendobrak rumah Fatimah radhiyallahu ‘anha secara paksa lalu membakarnya sehingga mengakibatkan Fatimah keguguran.
Tentu saja penafsiran seperti ini mereka bangun di atas fondasi riwayat yang hanya ada dalam referensi mereka saja dan tidak terdapat dalam referensi sejarah Islam.
Sayangnya, riwayat yang hendak mereka manfaatkan untuk mendukung klaim dan riwayat palsu mereka, ternyata tidak kuat dan tidak bernilai sama sekali jika ditimbang berdasarkan standar ilmu riwayat (hadits) dalam Islam.
Sanad Lain
Pertama: dalam Tarikh Dimasyqi
Atsar tersebut juga diriwayatkan dalam Tarikh Dimasyq (30/417) tanpa keberadaan Ulwan bin Dawud al-Bajali. Ibnu Asakir rahimahullah menulis dengan sanad yang panjang,
نَا أَبُو الْعَبَّاسِ أَحْمَدُ بْنُ يَعْقُوبَ نَا الْحَسَنُ بْنُ مُكْرِمِ بْنِ حَسَّانَ الْبَزَّارَ أَبُو عَلِيٍّ بِبَغْدَادَ حَدَّثَنِي أَبُو الْهَيْثَمَ خَالِدُ بْنُ الْقَاسِمُ قَالَ حَدَّثَنَا الَّليْثُ بْنُ سَعْدَ عَنْ صَالِحٍ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ عَنْ أَبِيهِ
“Abu al-Abbas Ahmad bin Ya’kub mengabarkan kepada kami, al-Hasan bin Mukrim bin Hassan al-Bazzar Abu Ali mengabarkan kepada kami di Baghdad, Abu al-Haitsam Khalid bin al-Qasim menceritakan kepadaku, ia berkata bahwa al-Laits bin Sa’ad menceritakan kepada kami, dari Shalih bin Kaysan, dari Humaid bin Abdurrahman bin Auf, dari ayahnya….”
Pada sanad ini al-Laits langsung meriwayatkan dari Shalih bin Kaisan tanpa melalui Ulwan bin Dawud.
Ketiadaan Ulwan bin Dawud dalam riwayat ini tidak lantas menjadikan sanad atsar dari jalur ini sahih, karena adanya indikasi penghilangan Ulwan bin Dawud secara sengaja oleh seorang rawi di bawahnya.
Ini disadari oleh al-Hafizh Ibnu Asakir rahimahullah sendiri, “Demikianlah yang Khalid bin al-Qasim al-Madaini riwayatkan dari al-Laits dan adanya peniadaan nama perawi Ulwan bin Dawud, padahal aku memiliki sanad dari hadits al-Laits yang menyebutkan Ulwan.” (Tarikh Dimasyq, Ibnu Asakir, 30/419)
Dalam sanadnya juga terdapat Khalid bin al-Qasim al-Madaini yang kredibilitasnya dipermasalahkan. Al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah menukil ucapan al-Hafizh Ya’qub bin Syaibah rahimahullah,
“Khalid al-Madaini adalah seorang perawi hadits, mutqin (hafalannya kuat), namun matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan). Seluruh rekan kami (sesama pakar hadits) sepakat meninggalkan haditsnya, selain Ibnu al-Madini. Sebab, Ibnu al-Madini memiliki pandangan bagus terhadapnya.” (Mizanu al-I’tidal, Syamsuddin adz-Dzahabi, 1/638)
Ucapan al-Hafizh Ya’qub bin Syaibah rahimahullah ini sudah cukup menjelaskan bagaimana buruknya kredibilitas Khalid bin al-Qasim. Bahkan ucapan beliau tersebut perlu disempurnakan lagi, karena Imam Ali bin al-Madini (Ibnu al-Madini) rahimahullah ternyata juga meninggalkan hadits Khalid.
Imam al-Bukhari rahimahullah berkata,
“Khalid bin al-Qasim Abu al-Haitsam al-Madaini adalah matruk (perawi yang ditinggalkan riwayatnya). Ia ditinggalkan oleh Ali (Ibnu al-Madini) dan para ulama lainnya.” (Adh-Dhu’afa’ ash-Shaghir, Muhammad bin Ismail al-Bukhari, 1/55)
Maka jadilah seluruh ulama meninggalkan hadits Khalid bin al-Qasim. Ini semakin dikuatkan dengan ucapan al-Hafizh Abu al-Fath al-Azdi rahimahullah terhadap Khalid bin al-Qasim yang dinukil oleh al-Hafizh Ibnul Jauzi rahimahullah dalam adh-Dhuafa’ wa al-Matrukin (1/250), “Mereka (para ulama) telah sepakat meninggalkannya (Khalid)”.
Imam al-Bukhari rahimahullah dalam at-Tarikhu al-Kabir (3/167) dan Imam Muslim rahimahullah dalam al-Kuna wa al-Asma (2/882) sepakat meninggalkan Khalid bin al-Qasim.
Tidak hanya itu, bahkan Imam Ibnu Abi Hatim rahimahullah dalam al-Jarh wa at-Ta’dil (3/347–348) menukil bahwa Imam Ishaq bin Rahawaih dan Imam Abu Zur’ah rahimahumallah menyebut Khalid bin al-Qasim sebagai pendusta.
Demikian juga yang dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Adi rahimahullah dari al-Hafizh as-Sa’di rahimahullah yang menyebutnya sebagai pendusta dalam al-Kamil fi Dhuafa’ ar-Rijal (3/422).
Imam Ibnu Hibban rahimahullah secara tegas juga mengatakan,
“Khalid bin al-Qasim al-Madaini Abu al-Haitsam gemar menyambung-sambung sanad yang terputus dan memarfu’kan riwayat yang mursal, serta menyambungkan sanad yang maushul (hanya sampai sahabat) dan ia banyak melakukan itu pada riwayat dari al-Laits bin Sa’ad. Maka tidak halal menulis haditsnya.” (Al-Majruhin, Ibnu Hibban, 1/282)
Al-Hafizh Ibnu Adi rahimahullah mengatakan, “Dan al-Laits berlepas diri dari riwayat Khalid terhadap hadits-haditsnya.” (Al-Kamil fi Dhuafa’ ar-Rijal, Ibnu Adi al-Jurjani, 3/422)
Al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan dalam al-Mughni fi adh-Dhuafa (1/205), “Khalid bin al-Qasim Abu al-Haitsam al-Madaini, meriwayatkan dari al-Laits bin Sa’ad. Ia tertuduh memalsukan hadits.”
Dan Atsar Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ini termasuk riwayatnya dari al-Laits. Tidak mustahil dialah yang sengaja meniadakan Ulwan bin Dawud dari sanad yang diriwayatkan oleh Ibnu Asakir rahimahullah tersebut agar tampak sahih.
Sehingga sanad lain dari Ibnu Asakir rahimahullah ini jelas sanad dan riwayat yang palsu karena keberadaan Khalid bin al-Qasim al-Madaini di dalamnya. Wallahu a’lam.
Kedua: dalam Ansabu al-Asyraf
Atsar ini juga diriwayatkan melalui sanad lain secara mursal oleh al-Baladziri rahimahullah dalam Ansabu al-Asyraf (10/346) dengan sanad dari Hafsh bin Umar, dari al-Haitsam bin Adi, dari Yunus bin Yazid al-Aili, dari az-Zuhri, dari Abdurrahman bin Auf.
Tentu sanadnya terputus (munqathi’) dan termasuk atsar yang mursal. Sebab az-Zuhri rahimahullah tidak sezaman dengan Abdurrahman bin Auf radhiyallahu anhu.
Abdurrahman bin Auf radhiyallahu anhu wafat pada tahun 32 Hijriyah sebagaimana penuturan Imam Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat-nya (3/100), sedangkan az-Zuhri rahimahullah lahir pada tahun 50-an Hijriyah.
Para ulama berbeda pendapat mengenai tahun kelahiran az-Zuhri. Ada yang mengatakan tahun 50 H, 51 H, 56 H, dan tahun 58 H sebagaimana pemaparan al-Hafizh al-Mizzi rahimahullah dalam Tahdzib al-Kamal (26/441). Namun, tidak satu pun yang mengatakan bahwa az-Zuhri lahir sebelum tahun 50 Hijriyah.
Terkait mursal az-Zuhri, ucapan al-Hafizh al-Alai rahimahullah dalam Jami’u at-Tahsil (1/89) sudah cukup dijadikan penilaian. Beliau berkata, “Mursal az-Zuhri memang masih diperselisihkan, namun mayoritas ulama melemahkannya.”
Al-Hafizh adz-Dzahabi dalam al-Muqidzhah (1/40) berkata,
“Di antara riwayat mursal paling lemah menurut mereka (ahli hadits) adalah riwayat mursalnya al-Hasan (al-Bashri) dan yang paling parah dari itu adalah riwayat mursal az-Zuhri, Qatadah, dan Humaid ath-Thawil, di mana mereka berasal dari para tabiin junior. Mayoritas para peneliti hadits menganggap berbagai riwayat mursal mereka termasuk riwayat-riwayat yang penuh cacat dan terputus.”
Namun kenyataannya lebih parah lagi. Sebab, pada sanad mursal az-Zuhri ini terdapat al-Haitsam bin Adi ath-Thai. Dia dituduh sebagai pendusta oleh Yahya bin Main, Abu Dawud, dan Ahmad bin Hanbal rahimahumullah. Sebagaimana yang al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah nukil dalam Mizan al-I’tidal (4/324).
Al-Hafizh Ibnu Adi rahimahullah menukil bahwa an-Nasai yang menyebutnya sebagai matrukul hadits dalam al-Kamil (8/401). Demikian juga penilaian Imam Abu Hatim rahimahullah terhadapnya dalam al-Jarh wa at-Ta’dil (9/85).
Ringkasnya, riwayat mursal ini adalah riwayat palsu karena keberadaan al-Haitsami bin Adi ath-Thai. Wallahu a’lam.
Kedua sanad riwayat tanpa Ulwan bin Dawud ini jauh lebih parah. Yaitu, terindikasi palsu dan terdapatnya rawi-rawi palsu pada sanadnya. Tentu ini sedikit pun tidak bisa dijadikan sebagai pendukung maupun penguat atsar Abu Bakar yang tengah kita bahas ini.
Kesimpulan Akhir Riwayat Fatimah Keguguran
Cacat pada atsar yang diriwayatkan dari Abu Bakar radhiyallahu anhu ini setidaknya ada empat sisi.
Pertama: rawi Ulwan bin Dawud al-Bajali
Cacat pertama dari sisi rawi Ulwan bin Dawud al-Bajali yang dinilai negatif (lemah) oleh mayoritas ulama dan dituduh sebagai munkarul hadits oleh sebagian ahli hadits. Bahkan matrukul hadits oleh Ibnu Syahin.
Kedua: alur sanad yang inkonsisten (idhtirab)
Cacat kedua dari sisi alur sanad yang inkonsisten sehingga semakin menambah keraguan pada kebenaran atsar tersebut. Sebab idhtirab-nya adalah Ulwan bin Dawud.
Ketiga: ada penilaian bahwa sanad riwayat ini sengaja dipalsukan
Penilaian ini berasal dari Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah.
Keempat: riwayat pengiring berisi rawi pendusta
Beberapa riwayat pengiring yang memuat kandungan yang sama ternyata berisi perawi yang divonis sebagai pendusta oleh sebagian ulama hadits, seperti Khalid al-Madaini dan al-Haitsam bin Adi ath-Thai.
Kesimpulan akhir
Atsar Abu Bakar yang dijadikan sebagai pembenar atas dakwaan gugurnya janin Fatimah akibat perbuatan Umar yang diprakarsai oleh Abu Bakar (menurut versi kaum Rafidhah) adalah atsar yang munkar, amat lemah sekali dan terindikasi palsu.
Maka atsar ini sama sekali tidak bisa menguatkan dakwaan konyol mereka atas keguguran yang Fatimah alami sebagaimana yang mereka tuduhkan kepada Umar bin Khatthab dan Abu Bakar as-Shiddiq.
Riwayat mungkar ini terdapat di beberapa kitab sejarah di mana muara riwayat tersebut adalah sanad yang telah kita bahas dalam artikel ini.
Beberapa kitab sejarah tersebut menampilkan atsar Abu Bakar ini tanpa menampilkan sanadnya sehingga banyak yang terkecoh, khususnya para pembaca yang tidak memiliki kemampuan untuk memverifikasi kisah tersebut berdasarkan standar ilmu riwayat.
Dengan ini, diharapkan kita tidak lagi terjebak dengan klaim-klaim kelompok sempalan yang sering menggunakan riwayat-riwayat mungkar dan palsu untuk mendukung klaim, dakwaan, dan tuduhan mereka terhadap para sahabat Nabi radhiyallahu anhum. Wallahu a’lam. (Fathan Abu Uswah/dakwah.id)
Baca juga artikel Tabayun atau artikel menarik lainnya karya Fathan Abu Uswah.
Penulis: Fathan Abu Uswah
Editor: Ahmad Robith
Artikel Tabayun terbaru:
kalian menganalisa dari dan dengan pendapat ulama kalian :))