Semakin merebaknya penyakit menular AIDS yang dapat melemahkan sistem imunitas tubuh, berdampak pada rasa was-was para orang tua yang anak gadisnya akan dilamar oleh seseorang sehingga mereka mensyaratkan para pelamar untuk melakukan tes darah sebelum menikah.
Sebab penyakit berbahaya tersebut memang tidak tampak secara transparan pada fisik seseorang kecuali setelah mencapai level tertentu.
Fenomena ini persis dengan sebuah kisah yang pernah dituliskan oleh DR. Ali bin Sulaiman ar-Rumaikhan bahwa seorang pemuda meminta kepada seorang bapak agar diperkenankan menyunting putrinya sebagai istri. Lalu si bapak meminta agar si pemuda memperlihatkan surat keterangan hasil tes darah dari rumah sakit atau para ahli yang diakui, yang menyatakan bahwa ia bebas dari penyakit AIDS. Si pemuda pun menyangkal permintaan itu dengan alasan bahwa persyaratan itu tidak wajib untuk ditunaikan ditinjau dari sisi syariat.
Yang menjadi persoalan adalah hukum menetapkan persyaratan yang mengharuskan calon suami untuk melakukan tes darah guna memperoleh kepastian bahwa dirinya terbebas dari penyakit AIDS. Apakah syarat ini sah dan boleh untuk diajukan?
DR. Ali bin Sulaiman ar-Rumaikhan menjelaskan dalam bukunya, Al-Ahkam wal Fatawa asy-Syar’iyyah li Katsir Minal Masa’il ath-Thibbiyah, bahwa persyaratan yang demikian itu (untuk melakukan tes darah) diperbolehkan.
Jika dilihat dari tinjauan umum, orang yang melakukan satu akad berhak mengajukan persyaratan untuk kemaslahatannya atau kemaslahatan orang yang ia wakili. Ini dengan catatan bahwa dalam syarat tersebut tidak ada hal yang bertentangan dengan hukum syariat.
Pernyataan ini berdasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اَلْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
“Setiap muslim itu tergantung kepada persyaratan di antara mereka, kecuali persyaratan yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.” (Fathul Bari bi Syarhi Shahih al-Bukhari, 4/528)
Sementara dari tinjauan khusus, pihak bapak atau walinya berhak mengajukan satu persyaratan yang menurutnya akan memberi kemanfaatan baginya ketika dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Tentunya selama syarat itu tidak menyelisihi hukum syariat.
Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari ‘Uqbah bin Amir bahwasanya beliau bersabda,
أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوْفُوْا بِهَا مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ
“Syarat yang paling berhak untuk kalian penuhi adalah, syarat yang dengannya farji dihalalkan (menikah).” (HR. Al-Bukhari no. 4754)
BENTUK SYARAT MELAMAR YANG MENGUNTUNGKAN PIHAK PEREMPUAN
Perlu diketahui, syarat yang menguntungkan bagi pihak perempuan yang akan dilamar ada tiga kriteria:
Pertama, apabila seorang bapak atau wali seorang perempuan memberikan persyaratan yang bertentangan dengan hukum syariat.
Misalnya, ia memberi syarat kepada calon menantu bahwa apabila pernikahan terjadi, ia harus menceraikan istrinya yang lain. Persyaratan yang seperti ini tidak dibolehkan.
Dalilnya sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تَسْأَلُ طَلاَقَ أُخْتِهَا لِتَسْتَفْرِغَ صَحْفَتَهَا فَإِنَّمَا لَهَا مَا قُدِّرَ لَهَا
“Seorang perempuan tidak dibolehkan memohon kepada suaminya agar menceraikan madunya, agar ia menguras habis isi bejana madunya. Bagian yang ia dapatkan tak lain adalah apa yang telah ditetapkan untuknya.” (Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, 9/126)
Contoh lain, bila disyaratkan agar perempuan tadi diberi perlakuan istimewa dibanding istri lainnya, dalam hal suami bermalam bersamanya, atau dalam hal nafkahnya, atau dalam hal lainnya yang melebihkan diri dari istri-istri yang lain, maka hal ini jelas bertentangan dengan perintah Allah ‘Azza wa Jalla agar suami berbuat adil di antara semua istrinya.
Dalilnya firman Allah ‘Azza wa Jalla,
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
“Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (QS. An-Nisa’: 3)
Contoh lain, jika diajukan persyaratan agar suami kelak meninggalkan kedua orang tuanya, atau suami harus memberinya jatah khusus dari harta yang akan diwariskan, padahal bagian tersebut bukan menjadi haknya secara syar’i, atau pun syarat-syarat serupa lainnya yang bertentangan dengan hukum-hukum dan tujuan syariat itu sendiri.
Kedua, pihak perempuan memberikan syarat tertentu yang menjadi beban berat baginya, misalnya agar memberikan mahar lebih. Atau memberikan nafkah berlebih. Atau memberikan persyaratan yang mengekang kebebasannya dalam beberapa hal, seperti syarat agar suami tidak menikah lagi setelah menikah dengan dirinya, atau agar suami tidak berpindah dari daerah asal istri menuju tempat lain. Persyaratan semacam ini masih diperselisihkan oleh para ulama apakah wajib atau tidak.
Imam Malik rahimahullah berpendapat, persyaratan semacam ini tidak wajib ditunaikan, kecuali jika persyaratan itu mengandung sumpah untuk perceraian atau memerdekakan budak. Sebab, sumpah itu hukumnya wajib untuk ditunaikan kecuali pihak yang disumpah (suami) yang menceraikan atau memerdekakan.
Maka, dalam kondisi ini tentu syarat di atas tidak dapat mengikatnya. Imam Abu Hanifah, Imam asy-Syafi’i, dan Imam Abu Yusuf juga berpendapat demikian. Mereka berargumen dengan sabda Nabi dari riwayat Aisyah,
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِيْ كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَلَوْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Setiap persyaratan yang tidak terdapat dalam kitab Allah adalah batil, walaupun berjumlah seratus persyaratan.” (Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd, 2/59; Manhul Jalil, Syaikh ‘Alaisy, 3/471; Badai’i’ ash-Shana’i’, Al-Kasani, 2/326,327)
Selain itu, pendapat ini juga didasarkan pada sebuah riwayat, bahwa ada seorang laki-laki menikahi seorang perempuan. Laki-laki itu membuat persyaratan untuk hidup Bersama istrinya di kota istri. Kemudian laki-laki itu berkeinginan memindahkan istrinya ke tempat lain. Lalu mereka memperdebatkan persoalan itu di hadapan Umar bin Khattab.
Umar pun bertutur, “Perempuan itu tetap pada persyaratannya.”
Laki-laki itu menjawab, “Jika demikian, hal itu bisa menjadikan kami bercerai.”
Umar bertutur kembali, “Persyaratan itu tidak dapat memutuskan hak-hak yang ada.” (Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, 9/129)
Beberapa sahabat radhiyallahu anhum juga berpendapat sama, di antaranya Sa’ad bin Abi Waqash, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan Amru bin ‘Ash. Selain mereka, ada pula Umar bin Abdul Aziz, Thawus, dan al-Auza’i yang berpendapat demikian. (Al-Mughni Syarh al-Kabir, 7/448,449; Kasysyaful Qina’ ‘Ala Matnil Iqna’, 5/90)
Ibnu Rusyd menyebutkan, sebab perselisihan di kalangan para ulama dala persoalan di atas adalah adanya dalil umum yang berbenturan dengan dalil yang bersifat khusus. Hadits riwayat ‘Aisyah tentang batalnya persyaratan yang tidak terdapat dalam Al-Quran bersifat umum.
Sedangkan hadits riwayat ‘uqbah bin Amir tentang wajibnya menunaikan persyaratan dalam rangka untuk menghalalkan pernikahan adalah bersifat khusus. Sementara, pendapat yang popular di kalangan para pakar ushul fikih adalah menetapkan makna yang khusus dibandingkan dengan makna yang masih umum, yaitu harus ditunaikan syaratnya. (Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd, 2/59)
Ketiga, seorang bapak memberikan persyaratan kepada calon menantunya satu hal yang dapat menghindarkan satu marabahaya dari putrinya.
Umpamanya, ia harus mengetahui kadar kemampuannya (kesuburannya) untuk mempunyai anak. Atau, ia terbebas dari berbagai penyakit seperti kusta, AIDS, atau penyakit apa saja yang bisa menular kepada putrinya dari calon menantunya itu, sehingga dengan demikian akan mengancam kehidupan putrinya. Sebab, prinsip dasar yang ada adalah menolak bahaya, kapan saja bisa dilakukan tindakan untuk mencegahnya.
Seorang bapak dan siapa saja yang menjadi wali di perempuan memiliki tanggung jawab menjaga putrinya. Maka jika ia merasa khawatir kalua-kalau ada bibit penyakit dari pihak calon suami yang bisa menular kepada putrinya, maka orang tua harus mengantisipasinya sejak dini, yaitu dengan mengecek kesehatan kondisi calon menantunya dengan seksama.
Karena memang ada sebagian penyakit, sebagaimana penyakit yang dapat menurunkan sistem imunitas tubuh semacam AIDS, merupakan penyakit menular. Di mana gejalanya tidak tampak kecuali setelah berselang beberapa waktu.
Dan mengingat terjangkit atau tidaknya penyakit itu menuntut adanya tes darah, maka seorang ayah atau walinya berhak mengajukan syarat adanya hasil tes darah kepada orang yang hendak menikahi putrinya, bahwa ia terbebas dari penyakit tersebut.
Bahkan wajib bagi calon suami untuk memaparkan semua aib dan penyakit yang dideritanya sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits, Umar bin Khattab pernah mengutus seorang laki-laki untuk menarik zakat. Lalu laki-laki itu menikah dengan seorang perempuan, sementara kondisi laki-laki itu adalah mandul.
Lalu Umar bertanya kepadanya, “Apa engkau telah memberitahukan kepada istrimu bahwa engkau mandul?”
Laki-laki itu menjawab, “Tidak.”
Umar pun berkata lagi, “Beritahukan kepadanya. Kemudian berilah ia pilihan!” (Al-Mushannaf, Abdurrazaq, 6/162)
Abu Muhammad, sahabat imam Abu Hanifah menyatakan, “Bahwa semestinya seorang suami harus terbebas dari semua aib yang dapat membuat istri tidak mungkin hidup bersamanya kecuali dengan menanggung derita, seperti aib gila atau lepra. Dan membuat persyaratan untuk kepentingan istri itu lebih wajib lagi dibandingkan persyaratan suami untuk kepentingan dirinya sendiri. Yang demikian itu karena si suami bisa menolak kerugian dari dirinya dengan menjatuhkan talak karena hak talak ada di tangannya, sedangkan itu tidak mungkin dilakukan oleh istri, karena ia tak mempunyai hak untuk menjatuhkan talak.” (Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, 6/258)
Imam Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa hukum asal dari syarat adalah sah-sah saja dan bersifat mengikat (harus ditunaikan), kecuali apabila ada dalil yang menyelisihinya.
Beliau juga menyebutkan pendapat yang menyatakan bahwa hukum asal dari syarat adalah tidak sah, kecuali ada dalil yang menyelisihinya.
Berliau berpandangan bahwa pendapat pertama itulah yang paling benar, apabila hal yang disyaratkan itu tidak bertentangan dengan al-Quran. (Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Abdurrahman bin Qasim, 29/346,347; Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad, Ibnu Qayyim, 4/4,5)
Baca juga: Syarat Dan Rukun Pernikahan Yang Harus Anda Ketahui
Kesimpulannya adalah bahwa persyaratan yang diajukan seorang bapak atau wali si perempuan agar orang yang hendak menikahi putrinya membuktikan dirinya terbebas dari penyakit AIDS melalui tes darah, itu merupakan syarat sah.
Maka jika terbukti setelah terjadi pernikahan si suami ternyata terjangkit penyakit ini, atau penyakit lainnya yang menular, si istri berhak untuk membatalkan pernikahan.
Adapun bila yang diderita adalah penyakit yang sulit disembuhkan, si istri mempunyai hak khiyar (memilih) untuk membatalkan pernikahan, atau melanjutkannya. Demikian pula dengan suami yang mendapatkan istrinya ternyata mengidap penyakit.
Apabila ada yang mengatakan, “Apa pula hukumnya, jika seorang calon suami meminta keterangan yang membuktikan calon istri terbebas dari penyakit ini, terlebih lagi bila statusnya adalah seorang yang pernah ditalak (janda)?”
Jawab, “Pihak lelaki boleh melakukannya. Karena hukum dari dua keadaan di atas adalah satu, selama maksud dari syarat itu adalah berjaga-jaga dari penyakit akut yang dapat menular dan membahayakan bagi salah seorang dari pasutri.” (Majallatul Buhuts al-Fiqhiyyah al-Mu’ashirah, edisi 11) Wallahu a’lam [Shodiq/dakwah.id]
Artikel Fikih terbaru: