Daftar Isi
Ada beberapa hadits perihal perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: taati suamimu yang sering dibawakan oleh para dai ketika menyampaikan ceramah dengan topik parenting.
Tentu niat para dai tersebut sebenarnya baik walau ada beberapa hal yang perlu diluruskan dari kandungan konten dakwahnya. Di antaranya adalah kisah yang akan dibahas dalam tulisan ini.
Tidak sedikit juga kaum lelaki yang mengeksploitasi kisah ini untuk “kepentingan” mereka jika terjadi perselisihan antara mereka dengan keluarga istri.
Tentu pembahasan hukum izin atau tidaknya suami terhadap istri untuk mengunjungi orang tua atau keluarganya adalah masalah lain yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut dan bukan di sini tempat menjelaskannya.
Pembahasan ini hanya berkutat pada kisah tersebut, agar kita hati-hati dalam menyampaikan dakwah. Jangan sampai karena hendak menyampaikan ilmu agama dan menyentuh hati orang banyak, justru kita terperosok pada lubang dosa akibat berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sebagian dai ada yang menyampaikan kisah ini dengan mengganti ayah si istri menjadi ibu si istri, padahal yang terdapat riwayatnya adalah ayah si istri. Ini mungkin kekeliruan yang terjadi akibat kisah ini kebanyakan disampaikan dari mulut ke mulut, tanpa ada yang mau mengonfirmasi kisahnya. Berikut kisahnya….
Hadits Pertama
أَنَّ رَجُلًا خَرَجَ، وَأَمَرَ امْرَأَتَهُ أَنْ لَا تَخْرُجَ مِنْ بَيْتِهَا، وَكَانَ أَبُوهَا فِي أَسْفَلِ الدَّارِ، وَكَانَتْ فِي أَعْلَاهَا، فَمَرِضَ أَبُوهَا، فَأَرْسَلَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَتْ لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ: “أَطِيعِي زَوْجَكِ” فَمَاتَ أَبُوهَا، فَأَرْسَلَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ:”أَطِيعِي زَوْجَكِ” ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنَّ اللَّهَ غَفَرَ لِأَبِيهَا بِطاعَتِهَا لِزَوْجِهَا”
“Seorang lelaki keluar dari rumahnya (untuk suatu keperluan) dan memerintahkan istrinya agar jangan keluar dari rumahnya. Sementara ayah si istri tinggal di bawah rumah tersebut dan ia di bagian atasnya.
Ayahnya pun sakit. Ia lantas mengutus orang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam guna menceritakan hal tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, “Taati suamimu.”
Ayahnya pun wafat, lalu ia mengutus orang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (untuk menanyakan hal itu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab, “Taatilah suamimu!”
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus orang untuk berkata kepadanya, “Sungguh Allah Ta’ala telah mengampuni ayahnya karena ketaatannya kepada suaminya.” (HR. At-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath: 7648 dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Penjelasan Sanad dan Status Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam at-Thabarani rahimahullah dengan sanad dari Muhammad bin Musa al-Ishthakhry, dari Muhammad bin Sahl bin Makhlad al-Ishthakhry, dari Ishmah bin al-Mutawakkil, dari Zafir bin Sulaiman, dari Tsabit bin al-Bunani, dari Anas bin Malik.
Kredibilitas rawi: Ismah bin al-Mutawakkil
Hadits ini dilemahkan oleh al-Hafizh al-Iraqi rahimahullah dalam Takhrij Ihya Ulumid Din Jilid 1 halaman 498. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Haitsami rahimahullah mengatakan, “Dalam sanadnya terdapat Ishmah bin al-Mutawakkil dan ia dhaif (lemah).” (Majma’ az-Zawaid, Ibnu Hajar al-Haitsami, 4/313)
Kredibilitas Ishmah juga dilemahkan oleh beberapa ulama hadits. Al-Imam al-Uqaili rahimahullah mengatakan, “Sedikit kekuatan hafalannya dalam hadits dan sering melakukan kekeliruan.” (Adh-Dhuafa’ al-Kabir, Abu Ja’far al-‘Uqaili, 3/340)
Al-Imam Ibnu al-Jauzi rahimahullah mengatakan, “Ishmah bin al-Mutawakkil meriwayatkan dari Syu’bah. Ia sedikit hafalannya dan banyak salah meriwayatkan hadits.” (Adh-Dhu‘afa’ wa al-Matrukin, Ibnu al-Jauzi, 2/175)
Imam Al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan, “Para ulama membicarakannya karena kesalahannya (meriwayatkan hadits).” (Al-Mughni fi ad-Dhu‘afa’, adz-Dzahabi, 2/433)
Juga dilemahkan oleh al-Hafizh as-Suyuthi rahimahullah dalam az-Ziyadat ‘ala al-Maudhua’at Jilid 2 halaman 607.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menukil dari Imam Ahmad rahimahullah, “Imam Ahmad mengatakan, ‘Aku tidak mengenalnya (Ishmah bin al-Mutawakkil).’” Lalu disebutkan salah satu hadits Ishmah, beliau pun menjawab, “Hadits itu tidak ada asalnya.” (Lisanu al-Mizan, Ibnu Hajar al-Asqalani, 4/171)
Asal penukilan dari al-Hafizh al-Asqalani rahimahullah tersebut berasal dari al-Uqaili rahimahullah dalam adh-Dhu‘afa’ al-Kabir Jilid 3 halaman 340.
Hadits yang tidak ada asalnya yang dimaksud oleh Imam Ahmad itu adalah hadits Musa bin Muhammad al-Hanafi, dari Ishmah bin al-Mutawakkil, dari Syu’bah bin al-Hajjaj, dari Abu Hamzah, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Barang siapa yang menikahi seorang wanita, maka janganlah ia menggaulinya hingga ia memberikan kepadanya sesuatu, walau ia tidak menemukan apa pun selain salah satu sandalnya.”
Al-Imam Ibnu al-Jauzi rahimahullah berkata terkait hadits ini, “Hadits ini tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Ishmah telah keliru serta tidak bagus hafalannya. Hadits ini tidak ada asalnya.” (Al-Maudhu’at min al-Ahadits al-Marfu‘at, Ibnu al-Jauzi, 2/263)
Al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah menambahkan, “Ini adalah hadits dusta atas nama Syu’bah.” (Mizanu al-I’tidal, adz-Dzahabi, 3/68)
Al-Hafizh Ibnu Iraq al-Kinani rahimahullah mengatakan, “Ini hadits dusta.” (Tanzihu asy-Syari‘ah, al-Hafizh Ibnu Iraq al-Kinani, 2/200)
Inilah hadits yang membuat Ishmah dipermasalahkan oleh para ulama hadits. Sebab, ia bisa dianggap telah berdusta atas nama rawi lain. Meriwayatkan hadits dusta atau hadits palsu atau hadits yang tidak ada asalnya bukanlah perkara remeh bagi para ulama dalam menilai kredibilitas seorang rawi (periwayat) hadits.
Kesimpulannya, Ishmah dilemahkan oleh al-Uqaili, al-Haitsami, Ibnu al-Jauzi, al-Iraqi, adz-Dzahabi, dan al-Asqalani radhiyallahu ‘anhum.
Meski demikian, sebagian kecil ulama ada yang men-tsiqah-kan Ishmah. Imam Ibnu Hibban menyebutkan bahwa Ishmah bin al-Mutawakkil sebagai rawi yang lurus haditsnya (mustaqimul hadits) dalam kitab beliau ats-Tsiqah Jilid 8 halaman 520.
Imam Abu Dawud rahimahullah menjawab tatkala ditanya oleh Imam al-Ajurri rahimahullah mengenai Ishmah bin al-Mutawakkil, “Aku melihatnya tidak masalah (periwayatannya).” (Sualat Abi Ubaid al-Ajurri Aba Dawud as-Sijistani , Abu Dawud, 1/328)
Kesimpulannya, Ishmah ditsiqahkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Hibban rahimahumallah.
Kredibilitas rawi: Zafir bin Sulaiman
Cacat hadits ini bukan hanya pada Ishmah saja, tetapi juga pada Zafir bin Sulaiman, rawi yang darinya Ishmah bin Mutawakkil meriwayatkan hadits ini.
Imam Ibnu Hibban rahimahullah berkata tentang Zafir,
“Ia banyak salah dalam meriwayatkan khabar dan sering keliru dalam menukil atsar, meski ia jujur. Menurutku, statusnya adalah riwayatnya boleh diambil jika berkesesuaian dengan riwayat para rawi tsiqat lainnya dan riwayat-riwayat yang ia menyendiri di dalamnya dicampakkan saja.” (Al-Majruhin min al-Muhaditsin, Ibnu Hibban, 1/316)
Imam Ibnu Adi rahimahullah mengatakan,
“Masih banyak riwayat Zafir selain yang aku sebutkan dan hadits-haditsnya sanadnya sering terbolak-balik, begitu juga matannya. Mayoritas yang ia riwayatkan tidak memiliki mutaba’ah (diikuti riwayat dari sanad lain). Haditsnya boleh ditulis (sebagai pendukung) walau ia dhaif.” (Al-Kamil fi Dhuafa’ ar-Rijal, Ibnu ‘Adi aj-Jurjani, 4/206)
Al-Hafizh Ibnu al-Jauzi rahimahullah mengatakan ketika meriwayatkan sebuah hadits dari Zafir, “Ini hadits palsu, tidak ada asalnya. Zafir-lah yang tertuduh di dalam sanadnya.” (Al-Maudhu’at, Ibnu al-Jauzi, 1/380)
Al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah mengomentari ucapan Ibnu al-Jauzi tersebut, “Dari Zafir tanpa menyebut lelaki yang menjadi rawi tersebut. Bisa jadi ia yang memalsukannya.” (Talkhis Kitab al-Maudhu’at, adz-Dzahabi, 1/126)
Imam al-Bukhari rahimahullah memasukkan Zafir di kalangan rawi-rawi lemah sembari berkomentar, “Ia memiliki beberapa riwayat mursal dalam hadits dan keliru. Haditsnya boleh ditulis.” (Adh-Dhuafa’ as-Shaghir, Muhammad bin Ismail al-Bukhari, 1/48)
Imam an-Nasai rahimahullah mengatakan, “Ia memiliki hadits mungkar dari Malik.” (Adh-Dhuafa wal Matrukin, Ahmad bin Syuaib an-Nasai, 1/43)
Imam Ibnu al-Qaysarani rahimahullah mengatakan, “Lemah periwayatan haditsnya.” (Dzakhiratu al-Huffazh, Muhammad bin Thahir al-Qaysarani, 3/1469)
Artikel Tsaqafah: Membantah Syubhat Orientalis Tentang Keotentikan Hadits
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Jujur, tetapi banyak salahnya.” (Taqribu at-Tahdzib, Ibnu Hajar al-Asqalani, 1/213)
Ibnu Iraq al-Kinani rahimahullah menukil ucapan al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitabnya Tanzihu asy-Syari‘ah Jilid 2 halaman 105, “Zafir adalah syaikh dari Bashrah, jujur, tapi buruk hafalannya dan sering salah (meriwayatkan).”
Al-Hafizh al-Mughalitay rahimahullah menukilkan bahwa Zafir dianggap tidak kuat oleh al-Ijli, ditinggalkan haditsnya oleh Ibnul Mubarak, dan dilemahkan oleh Ibnul Jarud, Ibnus Sakan, dan al-Balkhy, lalu beliau berkomentar, “Zafir adalah seorang laki-laki yang lalai (dalam meriwayatkan).” (Ikmalu Tahdzib al-Kamal, Alaudiin al-Mughalitay, 5/ 26)
Al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah meriwayatkan dari Yahya as-Saji rahimahullah, “Zafir banyak keliru.” (Tarikh Baghdad, al-Khatib al-Baghdadi, 8/496)
Al-Hafizh as-Suyuthi rahimahullah juga melemahkan kredibilitas Zafir sebagaimana dalam az-Ziyadat Jilid 2 halaman 607. Demikian juga al-Uqaili rahimahullah dalam adh-Dhu‘afa’ al-Kabir Jilid 2 halaman 95, dan Abu Zur’ah rahimahullah dalam adh-Dhu‘afa’ Jilid 2 halaman 619.
Kesimpulannya, kredibilitas Zafir bin Sulaiman dilemahkan oleh Ibnul Mubarak, Abu Zur’ah, al-Bukhari, an-Nasai, al-Uqaili, Ibnu Adi, Ibnu Hibban, al-Ijli, Ibnu as-Sakan, Ibnu al-Jarud, al-Balkhy, Yahya as-Saji, Ibnul Qaysarani, adz-Dzahabi, dan al-Asqalani, bahkan dituduh oleh Ibnu al-Jauzi rahimahumullah.
Di samping itu, sebagian ulama ada yang mentsiqahkan Zafir. Ini diisyaratkan oleh al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah ketika memasukkannya di antara rawi yang lemah sembari berkomentar, “Zafir bin Sulaiman al-Qahastani di-tsiqah-kan sebagian ulama dan dilemahkan oleh ulama lainnya.” (Al-Mughni fi adh-Dhuafa, Syamsu ad-Din adz-Dzahabi, 1/236)
Di antaranya adalah Imam Ahmad, sebagaimana yang diriwayatkan oleh anak beliau Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam al-Ilal wa Ma’rifati ar-Rijal Jilid 2 halaman 380.
Demikian juga Imam Yahya bin Ma‘in rahimahullah, Ibnul Junaid rahimahullah bertanya kepada Ibnu Ma’in rahimahullah tentang Zafir. Ibnu Ma’in rahimahullah menjawab, “Tidak mengapa. Kami telah meriwayatkan darinya.” (Sualat Ibnu al-Junaid, Yahya bin Ma‘in, 1/413)
Imam Ibnu Abi Hatim rahimahullah meriwayatkan dari Yahya bin Ma’in rahimahullah, “Zafir bin Sulaiman tsiqah.” Aku mendengar ayahku (Abu Hatim) mengatakan, “Zafir bin Sulaiman statusnya jujur.” (Al-Jarh wa at-Ta’dil, Ibnu Abi Hatim, 3/625)
Khathib al-Baghdadi rahimahullah meriwayatkan dari jalur al-Ajurri rahimahullah bahwa Abu Dawud rahimahullah berkata ketika ditanyai tentang Zafir, “Ia tsiqah dan ia adalah seorang lelaki saleh.” (Tarikh Baghdad, al-Khatib al-Baghdadi, 8/496)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga menegaskan pembelaan terhadap Zafir meski beliau melemahkannya, “Zafir tidak tertuduh sebagai rawi pendusta.” (Dinukil oleh Ibnu Iraq al-Kinani dalam Tanzihus Syariah, 2/105)
Al-Hafizh al-Haitsami rahimahullah juga cenderung membela Zafir, “Zafir bin Sulaiman ditsiqahkan oleh Ahmad, Ibnu Main, dan Abu Dawud, tetapi diperbincangkan (dilemahkan) oleh Ibnu Adi dan Ibnu Hibban, di mana itu tidaklah memudharatkan.” (Majma’ az-Zawaid, Ibnu Hajar al-Haitsami, 2/253)
Kesimpulannya, Zafir bin Sulaiman ditsiqahkan oleh Imam Ahmad, Abu Hatim, Yahya bin Main, dan Abu Dawud as-Sijistani rahimahumullah. Al-Hafizh al-Mizzi rahimahullah menyebutkan dalam Tahdzibu al-Kamal Jilid 9 halaman 270 bahwa sanad dari Zafir diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah dalam kedua sunan mereka rahimahumallah.
Kesimpulan akhir terkait Zafir adalah ia jujur, namun banyak salah. Apabila ia berkesendirian meriwayatkan sebuah hadits, maka haditsnya tidak bisa dipegang dan hadits ini adalah salah satu hadits yang ia berkesendirian dalam meriwayatkannya. Tidak ada sanad lain yang meriwayatkan darinya (tidak ada riwayat mutaba’ah–riwayat pengiring).
Cacat lainnya adalah, Zafir tidak diketahui mendengar dari Tsabit al-Bunnani. Di dalam berbagai referensi rawi, tidak ditemukan bahwa Tsabit menjadi salah satu guru yang ia dengar haditsnya. Ini semakin menguatkan kesalahannya dalam meriwayatkan hadits, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Adi dan Ibnu Hibban.
Kredibilitas rawi: Muhammad bin Musa al-Isthakhry
Cacat terakhir adalah kredibilitas Muhammad bin Musa al-Isthakhry, gurunya Imam ath-Thabarani rahimahullah.
Beliau dilemahkan oleh para ulama hadits, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Imam al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra Jilid 4 halaman 201 dan Imam ad-Daruquthni dalam Sunan ad-Daruquthni Jilid 3 halaman 35. Sebagian ulama lagi menegaskan bahwa mereka tidak mengenalnya (majhul).
Al-Hafizh al-Haitsami rahimahullah mengatakan tatkala mengomentari sebuah hadits,
“Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al-Ausath dan al-Kabir. Dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Musa al-Ishthakhry dari al-Hasan bin Katsir bin Yahya bin Abi Katsir, namun aku tidak mengenal keduanya.” (Majma’ az-Zawaid, Ibnu Hajar al-Haitsami, 8/117)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,
“Muhammad bin Musa bin Ibrahim al-Isthakhry, Syaikh majhul (tidak diketahui jati dirinya). Ia meriwayatkan sebuah riwayat palsu dari Syuaib bin Imran….” (Lisanu al-Mizan, Ibnu Hajar al-Asqalani, 5/401)
Syaikh al-Manshuri rahimahullah mengatakan, “Muhammad bin Musa lemah sekali karena ada riwayatnya yang palsu.” (Irsyadu al-Qasy wa ad-Dany, Abu ath-Thayyin al-Manshuri, 1/621)
Kesimpulan sanad hadits
Maka, jelas bahwa hadits ini memiliki empat cacat.
Pertama, diriwayatkan oleh seorang rawi majhul yang pernah meriwayatkan riwayat palsu (Muhammad bin Musa).
Kedua, diriwayatkan oleh seorang rawi yang bermasalah hafalannya dan dilemahkan oleh mayoritas ulama hadits (Ishmah bin al-Mutawakkil).
Ketiga, diriwayatkan oleh rawi yang sering dan banyak salah dalam meriwayatkan hadits, hingga harus diwaspadai jika meriwayatkan tanpa adanya riwayat mutaba’ah (riwayat pengiring) dan ini adalah riwayatnya tanpa mutaba’ah (Zafir bin Sulaiman).
keempat, tidak mendengarnya Zafir dari Tsabit (Kemungkinan terputusnya sanad).
Kesimpulannya, hadits ini lemah sekali–mendekati palsu–serta tidak halal untuk disebarkan. Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Irwa‘ al-Ghalil Jilid 7 halaman 76. Namun Syaikh al-Albani hanya mempermasalahkan Ishmah dan Zafir, tanpa mempermasalahkan Muhammad bin Musa.
Padahal Muhammad bin Musa yang menambah kelemahan hadits ini, karena tertuduh meriwayatkan sebuah riwayat palsu. Bukan hanya lemah, namun lemah sekali, yakni kelemahannya tidak bisa ditoleransi sama sekali. Wallahu a’lam.
Hadits Kedua
Matan pertama: hadits riwayat al-Harits
Terdapat riwayat lain yang meriwayatkan mirip dengan hadits di atas:
أَنَّ رَجُلًا غَزَا وَامْرَأَتُهُ فِي عُلُوٍّ وَأَبُوهَا فِي السَّفَلِ وَأَمَرَهَا أَنْ لَا تَخْرُجَ مِنْ بَيْتِهَا فَاشْتَكَى أَبُوهَا, فَأَرْسَلَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَتْهُ وَاسْتَأْذَنَتْهُ, فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا: أَنِ اتَّقِي اللَّهَ وَأَطِيعِي زَوْجَكِ, ثُمَّ إِنَّ أَبَاهَا مَاتَ, فَأَرْسَلَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَسْتَأْذِنُهُ وَأَخْبَرَتْهُ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا: أَنِ اتَّقِي اللَّهَ وَأَطِيعِي زَوْجَكِ فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَصَلَّى عَلَى أَبِيهَا, فَقَالَ لَهَا: إِنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لِأَبِيكِ بِطَوَاعِيَتِكِ لِزَوْجِكِ
“Seorang lelaki pergi berperang, sementara istrinya tinggal di bagian atas rumahnya dan ayah si istri tinggal di bawah rumah tersebut dan ia memerintahkan istrinya agar jangan keluar dari rumahnya.
Ayahnya pun sakit. Ia lantas mengutus orang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam guna meminta izin dan menceritakan hal tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus orang untuk berpesan kepadanya,
“Bertakwalah kepada Allah Ta’ala dan taati suamimu.”
Ayahnya pun wafat, lalu Ia lantas mengutus orang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam guna meminta izin dan menceritakan hal tersebut.
Khutbah Jumat Singkat: Contoh Sifat Pemaaf Para Kekasih Allah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus orang untuk berpesan kepadanya,
“Bertakwalah kepada Allah Ta’ala dan taati suamimu.”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar rumah untuk menyalati jenazah ayahnya, lalu beliau bersabda kepadanya,
“Sungguh Allah Ta’ala telah mengampuni ayahmu karena ketaatanmu kepada suamimu.” (HR. Al-Harits dalam Musnad al-Harits: 499 dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Matan kedua: hadits riwayat al-Bushiri
Hadits di atas juga dicatutkan oleh al-Bushiri rahimahullah dalam Ithafu al-Khairati al-Maharah: 3206 dari jalur ‘Abd bin Humaid dari Anas radhiyallahu ‘anhu dengan redaksi,
أَنَّ امْرَأَةً كَانَتْ تَحْتَ رَجُلٍ فَمَرِضَ أَبُوهَا فَأَتَتِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أَبِي مَرِيضٌ وَزَوْجِي يَأْبَى أَنْ يَأْذَنَ لِي أَنْ أُمَرِّضَهُ، فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: أَطِيعِي زَوْجَكِ. فَمَاتَ أَبُوهَا فَاسْتَأْذَنَتْ زَوْجَهَا أَنْ تُصَلِّيَ عَلَيْهَ، فَأَبَى زَوْجُهَا أَنْ يَأْذَنَ لَهَا فِي الصَّلَاةِ، فَسَأَلَتِ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فقال: أطيعي زوجك. فأطاعت زوجها ولم تُصَلِّ عَلَى أَبِيهَا، فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: قَدْ غَفَرَ اللَّهُ لِأَبِيكِ بِطَوَاعِيَّتِكِ زَوْجَكِ
“Ada istri seorang lelaki, di mana ayahnya jatuh sakit. Ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata,
‘Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sungguh ayahku jatuh sakit, sementara suamiku tidak mengizinkanku untuk merawatnya.’
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda kepadanya, ‘Taati suamimu!’
Ayahnya pun wafat dan ia meminta izin kepada suaminya agar bisa menshalati ayahnya. Namun suaminya tidak mengizinkannya untuk menshalati ayahnya.
Ia pun menanyai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau bersabda, ‘Taati suamimu!’
Ia pun mematuhi suaminya dan tidak jadi menshalati ayahnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya,
“Sungguh Allah Ta’ala telah mengampuni ayahmu karena ketaatanmu kepada suamimu.” (Ithafu al-Khairati al-Maharah, al-Bushiri, 4/83 dengan sanad dari Abd bin Humaid dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Matan ketiga: hadits riwayat Ibnu Adi
Juga diriwayatkan oleh Ibnu Adi dalam al-Kamil fi Dhuafai ar-Rijal dengan redaksi:
أَنَّ رَجُلا انْطَلَقَ غَازِيًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأَمَرَ امْرَأَتَهُ أَنْ لا تَخْرُجَ مِنْ بَيْتِهَا فَاشْتَكَى أَبُوهَا فَأَرْسَلَتْ إِلَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسلَّمَ تَسْأَلُهُ وَتَسْتَخِيرُهُ وَتَسْتَأْمِرُهُ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسلَّمَ اتَّقِي اللَّهَ وَأَطِيعِي زَوْجَكِ ثُمَّ إِنَّ أَبَاهَا تُوُفِّيَ فَأَرْسَلَتْ إِلَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسلَّمَ تخبره وَتَسْتَأْمِرُهُ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا اتَّقِي اللَّهَ وَأَطِيعِي زَوْجَكِ قَالَ فَشَهِدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسلَّمَ أَبَاهَا قَالَ فَلَمَّا دَفَنَهُ أَرْسَلَ إِلَيْهَا يُقْرِيهَا السَّلامَ وَقَالَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لأَبِيكِ بِطَوَاعِيَتَكِ زَوْجَكِ
“Seorang lelaki pergi berperang di jalan Allah Ta’ala dan memerintahkan istrinya agar jangan keluar dari rumahnya. Ayahnya pun sakit. Ia lantas mengutus orang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam guna menanyai, meminta izin, dan meminta arahan dari beliau.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus orang untuk berpesan kepadanya, ‘Bertakwalah kepada Allah Ta’ala dan taati suamimu.’
Lalu ayahnya pun wafat, lalu Ia lantas mengutus orang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam guna menceritakan hal tersebut dan meminta arahan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus orang untuk berpesan kepadanya, ‘Bertakwalah kepada Allah Ta’ala dan taati suamimu.’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menyalati jenazah ayahnya.
Setelah ayahnya dikubur, beliau mengutus orang agar menyampaikan salam kepadanya dan bersabda kepadanya, “Sungguh Allah Ta’ala telah mengampuni ayahmu karena ketaatanmu kepada suamimu.” (HR. Ibnu Adi dalam al-Kamil Fi Dhuafai ar-Rijal, 8/481–482)
Penjelasan Sanad Hadits
Sanad dari al-Harits berasal dari Yazid bin Harun, dari Yusuf bin Athiyyah, dari Tsabit al-Bunani, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Sedangkan sanad dari al-Bushiri berasal dari Abd bin Humaid, dari Yahya bin Abdul Hamid, dari Yusuf bin Athiyyah, dari Tsabit al-Bunani, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Adapun riwayat Ibnu Adi dari al-Husain bin Abdullah, dari Amru bin Yazid An-Naisaburi, dari Yusuf bin Athiyyah, dari Tsabit, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
Maka, ketiga hadits tersebut berasal dari satu jalur, yaitu melalui Yusuf bin Athiyyah, dari Tsabit al-Bunani, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Dari Yusuf bin Athiyyah terdapat 3 jalur, yaitu Yazid bin Harun (riwayat al-Harits), Yusuf bin Abdul Hamid (jalur al-Bushiri), dan Amru bin Yazid An-Naisaburi (riwayat Ibnu Adi).
Kredibilitas rawi: Yusuf bin Athiyyah
Mengenai Yusuf bin Athiyyah, al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan, “Yusuf bin Athiyyah maula Anshar as-Shaffar meriwayatkan dari Qatadah dan Tsabit. Para ulama sepakat mengenai kelemahannya.” (Al-Mughni fi ad-Dhu‘afa’, adz-Dzahabi, 2/763)
Imam al-Bukhari rahimahullah mengatakan, “Yusuf bin Athiyyah al-Bashri munkarul hadits.” (Adh-Dhuafa’ as-Shaghir, Muhammad bin Ismail al-Bukhari, 1/142)
Imam Ibnu Abi Hatim rahimahullah meriwayatkan dari ayahnya (Abu Hatim ar-Razi) penilaian yang sama dengan Imam al-Bukhari dalam al-Jarh wa at-Ta’dil Jilid 9 halaman 226.
Imam an-Nasai rahimahullah mengatakan, “Yusuf bin Athiyyah matruk (haditsnya ditinggalkan). Ia penduduk Bashrah.” (Adh-Dhuafa wal Matrukin, Ahmad bin Syuaib an-Nasai, 1/106)
Penilaian yang sama juga diberikan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Ithafu al-Maharah jilid 1 halaman 569.
Al-Hafizh Ibnu Adi rahimahullah mencatutkan hadits di atas ketika membahas tentang biografi Yusuf bin Athiyyah lalu berkomentar,
“Seluruh hadits tersebut ia riwayatkan dari Tsabit dan ada juga dari selain Tsabit, dan seluruhnya tidak terpelihara (kesahihannya).” (Al-Kamil fi Dhuafa’ ar-Rijal, Ibnu ‘Adi aj-Jurjani, 8/482)
Imam Ibnu Hibban rahimahullah mengatakan,
“Ia (Yusuf bin Athiyyah) termasuk orang yang membolak-balikkan sanad dan menyisipkan riwayat-riwayat yang palsu ke dalam sanad-sanad yang sahih lalu meriwayatkannya. Tidak boleh berhujah dengan riwayatnya sedikit pun.” (Al-Majruhin min al-Muhaditsin, Ibnu Hibban, 3/134)
Abu Ishaq al-Jauzajani rahimahullah mengatakan, “Yusuf bin Athiyyah tidak terpuji haditsnya.” (Ahwalu ar-Rijal, Abu Ishaq al-Jauzajani, 1/200)
Masih banyak ulama hadits yang melemahkan Yusuf bin Athiyyah.
Ucapan al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah yang menyatakan adanya kesepakatan para ulama hadits dalam melemahkan Yusuf bin Athiyyah sebenarnya sudah cukup untuk mewakili seluruh penilaian para pakar hadits terhadapnya.
Namun kelemahan yang terdapat pada Yusuf bin Athiyyah bukan kelemahan biasa. Tetapi sudah termasuk pada kelemahan yang parah, sampai al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menilainya sebagai rawi matruk (ditinggalkan haditsnya) dalam Taqribu at-Tahdzib Jilid 1 halaman 611.
Imam al-Bukhari rahimahullah juga memvonisnya sebagai munkarul hadits. Bahkan, Imam Ibnu Hibban rahimahullah–yang terkenal longgar dalam menilai para rawi hadits–melarang meriwayatkan atau berhujah dengan riwayatnya.
Penilaian Imam al-Bukhari rahimahullah tersebut hakikatnya sama dengan penilaian Ibnu Hibban rahimahullah.
Al-Imam Ibnu al-Qatthan rahimahullah mengatakan,
“Dia sendiri (al-Bukhari) yang mengatakan dalam kitabnya al-Ausath, ‘Setiap rawi yang aku nilai sebagai munkarul hadits, maka tidak halal riwayatnya untuk diambil.’” (Bayanu al-Wahm wa al-Iham, Abu al-Hasan bin al-Qatthan, 2/264)
Al-Hafizh al-Asqalani rahimahullah menanggapi ucapan Ibnu al-Qatthan rahimahullah tersebut,
“Ucapan tersebut diriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Abdussalam bin Ahmad al-Khifaf dari al-Bukhari.” (Lisanu al-Mizan, Ibnu Hajar al-Asqalani, 1/220)
Yusuf bin Athiyyah as-Shaffar al-Bashri ini termasuk dari rawi yang dinilai oleh al-Bukhari rahimahullah sebagai munkarul hadits, sebagaimana yang dijelaskan di atas.
Imam an-Nasai dan al-Asqalani rahimahumallah menilai Yusuf bin Athiyyah dengan istilah matruk (ditinggalkan haditsnya). Penilaian matruk merupakan penilaian yang serius untuk seorang rawi.
Artikel Akidah: Konsekuensi Hukum Orang yang Mendatangi Dukun
Al-Hafizh as-Suyuthi rahimahullah mengatakan ketika mensyarah ucapan Imam an-Nawawi rahimahullah,
“Apabila mereka (para ulama hadits) mengatakan ia rawi yang matruk, wahiyah, atau pendusta, maka ia rawi yang cacat parah, tidak boleh ditulis haditsnya.”
As-Suyuthi menambahkan, “Tidak boleh dijadikan sebagai penguat maupun sebagai pendukung.” (Tadribu ar-Rawi, Jalaluddin as-Suyuti, 1/409)
Sementara Yusuf bin Athiyyah mendapatkan predikat matruk dari an-Nasai dan al-Asqalani rahimahumallah, mendapatkan predikat munkarul hadits dari Abu Hatim ar-Razi dan al-Bukhari rahimahumallah, dan tidak boleh berhujah dengan riwayatnya menurut Ibnu Hibban rahimahullah.
Ditambah tidak ada satu pun ulama yang memujinya karena para ulama sepakat mengenai kelemahannya sebagaimana yang disampaikan oleh adz-Dzahabi rahimahullah.
Kesimpulannya, hadits ini lemah sekali dan tidak bisa dijadikan sebagai penguat atau untuk mendukung hadits sebelumnya (hadits pertama) karena status rawi yang bernama Yusuf bin Athiyyah as-Shaffar al-Bashri yang terlalu rendah kredibilitasnya dan terlalu parah statusnya.
Terdapat Idhtirab dalam Matan Hadits
Hadits ini juga memiliki idhtirab (keguncangan) dalam matannya.
Sebab, jalur Yusuf bin Abdul Hamid dari Yusuf bin Athiyyah yang dinukil oleh al-Bushiri menyebutkan bahwa wanita tersebut meminta izin agar merawat ayahnya dan dilarang oleh suaminya.
Sedangkan sanad lainnya dari Yusuf bin Athiyyah baik dari jalur Yazid bin Harun maupun dari jalur Amru bin Yazid menyebutkan bahwa wanita tersebut dilarang keluar dari rumah oleh suaminya, bukan dilarang merawat ayahnya. Ini semakin menambah kecacatan dan kelemahan hadits tersebut.
Kesimpulan Akhir Hadits “Taati Suamimu”
Kesimpulan akhir dari seluruh pembahasan ini adalah:
Pertama, Lemahnya riwayat tentang kisah tersebut dan kelemahannya sangat parah;
Kedua, Lemahnya riwayat, menyebabkan tidak halal meriwayatkan kisah tersebut atau menceritakannya kepada orang banyak meski untuk keutamaan amal (fadhail amal);
Ketiga, Boleh menyampaikan hadits terebut, jika dibarengi dengan menyampaikan status kelemahannya yang parah; dan
Keempat, Tidak menyertakan informasi terkait lemahnya riwayat dapat menjerumuskan orang yang menceritakannya kepada kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sedikit catatan, sebagian dai ada yang menyampaikan kisah tersebut dengan mengganti kandungannya yang seharusnya ayah si istri yang menderita sakit menjadi ibu si istri yang menderita sakit. Ini keliru dan tidak ada varian riwayat yang menyebutkan tentang ibu sedikit pun. Wallahu a’lam. (Fathan Abu Uswah/dakwah.id)
Baca juga artikel Tabayun atau artikel menarik lainnya karya Fathan Abu Uswah.
Penulis: Fathan Abu Uswah
Editor: Ahmad Robith
Artikel Tabayun terbaru: