Artikel berjudul “Hilangnya Khusyuk dan Khasyah“ adalah artikel #05 dari serial Artikel Spesial Ramadhan 1444 H.
Pengetahuan manusia hari ini sudah melesat menembus batas yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Manusia sudah sampai menembus langit menginjakkan kaki di planet lain. Manusia sudah menyelam ke samudera terdalam. Manusia sudah menemukan cara bagaimana merekayasa genetika antarmakhluk hidup. Dan daftar panjang penemuan ilmiah lainnya.
Ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat. Melesat begitu cepat, bahkan sangat cepat. Setiap orang berlomba untuk mencapai apa yang disebut puncak peradaban, dengan sebuah harapan akan kehidupan yang lebih baik dan mapan.
Tapi setelah semua ini dicapai, kita harus berhenti pada sebuah rangkaian pertanyaan:
Untuk apa semua ini diraih?
Bukankah manusia akan pergi?
Semuanya akan mati?
Bukankah dunia ini tidak akan ditinggali selamanya?
Apa ujung dari pengetahuan yang menakjubkan ini?
Kenapa masih banyak yang bunuh diri dalam gemerlapnya kehidupan?
Kenapa masih didapati angka bunuh diri yang tinggi pada negara yang punya indeks kebahagiaan hidup paling tinggi?
Kenapa? Kenapa? Kenapa? Akan panjang sekali jika pertanyaan ini dilanjutkan.
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak akan mampu dijawab oleh mereka yang menilai bahwa kehidupan hanya sebuah cerita singkat yang akan selesai saat seseorang mati. Inilah pandangan hidup materialisme yang kering dari nilai-nilai spiritual.
Berbicara soal kehidupan manusia yang “menuhankan akalnya” dan mengedepankan syahwatnya, tentu kita sedikit bisa memaklumi dan mengerti mengapa itu terjadi. Tapi yang menyedihkan, suasana ini juga terjadi pada mereka yang berinteraksi dengan ilmu-ilmu agama.
Inilah yang dinubuwatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang datangnya suatu zaman di mana ilmu hanya menjadi gincu yang menghiasi lisan manusia; diamalkan tapi kehilangan ruh penghayatan.
Wafatnya Para Ulama
Dinubuwatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan terjadinya keadaan di mana ilmu akan Allah angkat, dihilangkan dari manusia dengan cara diwafatkannya para ulama.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh sahabat Abdullah bin ‘Amru bin al-‘Ash radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ العِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزعهُ مِنَ النَّاسِ، وَلكِنْ يَقْبِضُ العِلْمَ بِقَبْضِ العُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِماً، اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوساً جُهَّالاً، فَسُئِلُوا فَأفْتوا بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَضَلُّوا وَأضَلُّو
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan cara mencabutnya dari (dada) manusia, tapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga ketika Dia tidak menyisakan seorang pun yang berilmu, maka orang-orang pun menjadikan pemimpin mereka orang-orang yang bodoh, kemudian mereka ditanya lalu mereka pun memberi fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadis ini mengisyaratkan bahwa Allah akan mencabut ilmu dari manusia dengan cara mewafatkan para pemilik ilmu: ulama. Sehingga tidak ada lagi akses bagi manusia untuk mengenal Tuhannya, sehingga memunculkan orang-orang bodoh yang menyesatkan manusia.
Ada faedah menarik yang dituliskan oleh Syaikh Musthafa Dieb al-Bugha, beliau menjelaskan bahwa, keberadaan para ulama adalah kunci keamanan dan sumber kebaikan bagi manusia. (Nuzhatul Muttaqin, Musthafa Dieb al-Bugha, 507)
Para ulama sebagai pewaris kenabian bukan hanya berfungsi sebagai “mesin penjawab” setiap pertanyaan yang diajukan kepada mereka, keberadaan mereka di tengah umat punya fungsi yang sangat kompleks, lebih dari sekedar transfer ilmu pengetahuan semata.
Imam al-Munawi menjelaskan bahwa maksud dari ilmu yang diangkat adalah ilmu yang membawa seorang hamba mengenal Tuhannya; Allah, lalu mengantarkannya pada keimanan. (Faidh al-Qadir, Abdur Rauf al-Munawi, 2/273)
Diwafatkannya para ulama tidak dipahami sebagai hilangnya pengetahuan atau ilmu zahir, karena ilmu pengetahuan telah dibukukan secara luas, bahkan mesin pencari seperti Google dan aplikasi kecerdasan buatan lainnya telah menghimpun nyaris seluruh ilmu pengetahuan di muka bumi ini, dan cukup sepersekian detik setelah keyword dimasukkan, jawaban yang kita butuh akan didapatkan.
Tapi tidak seperti itu Islam memandang ilmu. Karena hakikat dari ilmu bukan apa yang memenuhi kepala, tapi apa yang bersemayam dalam hati, yaitu rasa takwa dan khasyah kepada Allah.
Allah berfirman,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir: 28)
Lewat ayat ini Allah Ta’ala seakan-akan ingin membatasi bahwa orang-orang yang takut kepada-Nya hanyalah para Ulama, karena hanya para ulama yang dengan ilmu mereka mengerti apa yang menjadi hak-hak Allah dan larangannya, sehingga itu membuat mereka memiliki sifat takut (khasyah) melebihi manusia lainnya.
Imam Hasan al-Bashri punya ungkapan yang indah ketika menafsirkan ayat ini,
الْعَالِمُ مَن خَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ، وَرَغِبَ فِيمَا رَغِبَ اللَّهُ فِيهِ، وَزَهِدَ فِيمَا سَخط اللَّهُ فِيهِ
“Ulama itu adalah yang takut kepada ar-Rahman (Allah), mencintai apa yang Allah cintai, dan menjauh dari yang Allah benci.” (Tafsir Al-Qur’an Al- ‘Adzhim, Ibnu Katsir, 6/545).
Pendapat senada juga disampaikan oleh Imam Fakhruddin ar-Razi dalam tafsirnya, bahwa rasa takut diukur dengan seberapa jauh kita mengenali sosok yang ditakuti. Dan seorang ‘alim yang mengenal Allah, maka ia takut dan berharap kepada-Nya. Dan ayat ini, menurut beliau, adalah dalil akan keutamaan seorang ‘alim atas ‘Abid. (Mafatih al-Ghaib, Fakhruddin ar-Razi, 26/21)
Dapat dipahami bahwa peran ulama adalah melakukan ishlahun nafs, penyucian jiwa manusia, membimbing manusia untuk lebih dekat kepada Allah, atau dalam istilah lain disebut tarbiyah ruhiyah, mendidik jiwa manusia agar diisi dengan ketakwaan kepada Allah, memiliki rasa khasyah dan khusyuk dalam ketakwaannya.
Maka wafatnya para ulama itu menjadi penyebab; pertama, hilangnya khusyuk; kedua, lenyapnya khasyah kepada Allah Ta’ala.
Hilangnya Khusyuk Dari Hati
Semua orang bisa membaca, bisa melakukan ketaatan, tapi tidak semua orang kemudian bisa meresapi apa yang dia baca, dan menghayati apa yang dia lakukan. Dalam sebuah riwayat disebutkan,
Suatu hari Nabi shallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan tentang bagaimana Allah akan mengangkat ilmu dari manusia, kemudian ada yang bertanya,
كَيْفَ يَذْهَبُ الْعِلْمُ وَقَدْ قَرَأْنَا الْقُرْآنَ، وَأَقْرَأْنَاهُ نِسَاءَنَا وَأَبْنَاءَنَا؟
“Bagaimana ilmu bisa pergi padahal kami membaca al-Quran, dan kami juga membacakannya kepada istri dan anak-anak kami?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda,
هَذِهِ التَّوْرَاةُ وَالْإِنْجِيْلُ عِنْدَ الْيَهُوْدِ وَالنَّصَارَى، فَمَاذَا تُغْنِي عَنْهُمْ؟
“Kitab Taurat dan Injil yang diberikan kepada orang-orang Yahudi, apakah itu bermanfaat untuk mereka?”
Kemudian ditanyakan kepada ‘Ubadah bin ash-Shamit tentang hadis ini, dia berkata,
لَوْ شِئْتَ لَأَخْبَرْتُكَ بِأَوَّلِ عِلْمٍ يُرْفَعُ مِنَ النَّاسِ: اَلْخُشُوْعُ.
“Kalau kau mau aku akan beritahukan tentang ilmu yang pertama kali akan diangkat (hilang) dari manusia, yaitu rasa khusyuk.” (HR. At-Tirmidzi dan Hakim)
Hilangnya penghayatan dalam ibadah dan ketaatan yang dilakukan adalah awal hilangnya perasaan khusyuk dalam hati manusia.
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan contoh orang-orang Yahudi, yang selalu membaca dan mempelajari kitab-kitab mereka, tapi justru membuat mereka semakin jauh dari kebenaran, dan tetap pada kekufuran.
Khusyuk adalah lawan kata lalai. Maka muncul pertanyaan, apa yang membuat seseorang lalai dan kehilangan kekhusyukan dalam hatinya?
Kiranya itu pertanyaan yang juga perlu kita lontarkan pada hati kita yang selalu shalat tapi tidak merasakan manfaat, selalu membaca al-Quran tapi bacaan itu tidak berkesan, selalu berzikir tapi justru merasa semakin fakir.
Allah memberikan salah satu sifat al-Quran adalah Nūr; cahaya. Sebagai sumber ilmu, ia ibarat cahaya yang menunjukkan jalan terang, sebuah petunjuk yang diikuti agar manusia bisa keluar dan selamat dari kegelapan.
Sebuah petunjuk yang mengantarkan manusia untuk bisa lebih dekat kepada Allah, terhubung dengan pencipta-Nya, dan peta navigasi untuk sampai ke sana adalah ilmu.
Aktikel Fikih: 5 Tingkatan Khusyuk dalam Shalat. Kamu di Level Mana?
Zaman ini sudah sangat luar biasa, akses terhadap ilmu sudah begitu mudahnya. Klik. Maka semua hadis yang ingin didapat akan muncul. Klik. Semua jenis tafsir yang ingin diketahui segera muncul. Klik. Semua persoalan fikih para ulama segera antre untuk dibaca.
Persis sebagaimana janggalnya para sahabat kala itu, “Bukankah kami membaca, begitu juga istri dan anak-anak kami” lantas kenapa ilmu itu bisa diangkat?
Ilmu memang bertebaran, tapi itu tidak lebih sekedar kumpulan kata-kata, penjelasan-penjelasan, lembar-lembar yang tidak punya ruh. Kosong. Karena ilmu sesungguhnya adalah apa yang tersemat dalam hati pemilik ilmu.
Ilmu bukan sekedar kumpulan maklumat, pengetahuan dan wawasan. Jika ilmu hanya itu, maka tentu mesin pencari Google adalah ulamanya para ulama.
Penjelasan Imam Ibnu Rajab perlu disimak untuk direnungkan dalam-dalam.
“Ilmu itu ada dua bagian, ilmu yang ada di hati manusia, dan ilmu yang sekedar ada di lisan manusia.” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, Ibnu Rajab, 645-646)
Pembagian ini adalah konfirmasi bahwa tidak selalu mereka yang punya pengetahuan paling banyak menjadi yang paling berilmu. Karena hakikat ilmu, sejatinya bukan hafalan dan rapalan. Tapi perasaan khasyah dan khusyuk di dalam hati dan jiwa.
Lebih lanjut, Imam Ibnu Rajab menjelaskan bahwa hakikat ilmu adalah yang mengantarkan pemiliknya kepada status “terhubung” kepada Allah; menumbuhkan rasa takut pada-Nya, menghadirkan dalam hati tentang kebesaran dan kemuliaan-Nya, menjadikan rasa khusyuk, cinta dan harap kepada-Nya, mendorong untuk selalu berdoa dan tawakal hanya kepada-Nya. Inilah ilmu yang sesungguhnya bermanfaat (al-ilmu an-Nafi’).
Sedangkan ilmu kategori kedua adalah ilmu lisan, dan ini adalah ilmu hujjah (argumentatif) yang Allah berikan kepada manusia, berupa pengetahuan, riwayat, konsep, dst.
Imam Ibnu Rajab kemudian menggaris bawahi penjelasannya, bahwa yang pertama kali akan hilang adalah ilmu nafi’; ilmu batin. Ilmu yang merasuk ke dalam hati, bukan ilmu yang hanya bertengger dalam kepala. Ilmu yang menghadirkan rasa khasyah dan khusyuk, bukan ilmu yang membuat jumawa dan lalai.
Lantas, bagaimana cara hilangnya ilmu tersebut?
Caranya adalah dengan diwafatkannya para pemilik ilmu tersebut. Para ulama meninggal satu demi satu seiring dengan usia zaman yang kian senja.
Maka yang tersisa hanya ayat-ayat dalam al-Quran, hadis-hadis di dalam kitab, tapi tidak adanya pembimbing yang membuatnya berbekas dalam hati manusia; rasa khusyuk itu dicabut, jika dalam hati manusia sudah tidak ada lagi kekhusyukan, kemudian Allah akan lenyapkan juga rasa khasyah mereka.
Jika masa itu telah tiba, maka dunia siap untuk diakhiri. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Tidak terjadi kiamat kecuali atas manusia-manusia terburuk.” Dalam riwayat lain, “Tidak terjadi kiamat hingga tidak ada satu pun di dunia ini yang mengucapkan: Allah, Allah.” (HR. Muslim, no. 2949 dan no. 143) Wallahu a’lam. (Fajar Jaganegara/dakwah.id)
Artikel Spesial Ramadhan terbaru:
Assalamualaikum wr wr.
Artikel sangat menggugah insyaallah pembacanya tambah taat beribadah dan tambah takut kepada Allah SWT. Dan tentunya tidak lagi menyia-nyiakan waktu dalam mengikuti perintah Allah SWT.
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Alhamdulillah, semoga mencerahkan
Jazakumullah khoiran
Amiin
Bsgus dan berfaidah bagi kaum muslimin dan muslimah…..lanjutkan dg tema yg lain
Jszakumullah khoiran..