Artikel berjudul “Itsar: Puncak Kedermawanan Seseorang” adalah artikel #09 dari serial Artikel Spesial Ramadhan 1444 H.

Itsar: Puncak Kedermawanan Seseorang

Terakhir diperbarui pada · 465 views

Artikel berjudul “Itsar: Puncak Kedermawanan Seseorang” adalah artikel #09 dari serial Artikel Spesial Ramadhan 1444 H.

Salah satu hikmah berpuasa adalah merasakan lapar dan dahaga dan darinya menumbuhkan sifat empati dan peduli terhadap sesama manusia. Membangun satu kesadaran bahwa di luar sana masih sangat banyak orang yang memiliki kehidupan yang jauh dari kata cukup.

Jadi, dengan berpuasa kita belajar menjiwai kehidupan bahwa hidup itu adalah soal berbagi, membantu, dan tolong-menolong dalam kehidupan.

Islam mengajarkan sebuah akhlak mulia yang disebut itsar; memprioritaskan orang lain dalam banyak hal. Itsar adalah salah satu akhlak mulia yang patut “diinstal” pada diri seorang muslim, dengannya kehidupan bersosial manusia akan menjadi harmonis di tengah kehidupan yang dinamis.

Dalam suasana kehidupan modernis hari ini yang setiap orang hanya peduli dengan perutnya sendiri, sikap egois dan mementingkan diri sendiri dianggap lazim dilakukan untuk bertahan hidup.

Saling sikut menjadi hal biasa, manusia berubah menjadi buas terhadap sesama, “saling makan”, yang kuat menindas yang lemah. Tanpa disadari hukum rimba berlaku kembali.

Maka sikap itsar ini adalah tuntunan bersikap seorang muslim kepada muslim lainnya. Sebuah proses belajar bagaimana menekan ego sendiri, untuk kemudian memberikannya kepada orang lain. Berbagi kemudahan, dan berbagi kebahagiaan.

Pengertian dan Penjelasan Kaidah Itsar

Itsar (‌الإيثار) dalam bahasa Arab memiliki arti mengutamakan atau memprioritaskan orang lain. Definisi itsar adalah seperti yang disebutkan oleh Muhammad Sidqi al-Burnu,

‌اَلْإِيْثَارُ: مَعْنَاهُ تَفْضِيْلُ الْغَيْرِ عَلَى نَفْسِهِ وَتَقْدِيْمُهُ عَلَيْهِ، وَيُقَابِلُ ‌الْإِيْثَارُ الْأَثَرَةَ وَمَعْنَاهَا اَلْاِسْتِئْثَارُ بِالشَّيْءِ وَمَنَعَهُ مِنَ الْغَيْرِ.


Itsar bermakna memprioritaskan orang lain atas diri sendiri. Lawan kata itsar adalah al-Atsarah yang bermakna mementingkan diri sendiri atau egois.” (Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Muhammad Sidqi al-Burnu, 2/336).

Imam az-Zarkasyi menambahkan dalam definisinya sebagai upaya memprioritaskan orang lain atas sesuatu yang sama-sama dibutuhkan. (Al-Mansur fi al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Muhammad bin Abdullah az-Zarkasyi, 1/210).

Definisi itsar di atas menjelaskan bahwa itsar adalah satu akhlak terpuji di mana seseorang lebih mengutamakan (memprioritaskan) orang lain pada satu kebutuhan atau lebih daripada dirinya sendiri.

Contoh dari itsar, seseorang yang sedang mengantre pembayaran di sebuah toko perbelanjaan, kemudian ia mendapati ada orang tua yang mengantre di belakangnya, ia mempersilahkanya untuk mendahului antriannya. Tindakan ini dapat disebut sebagai itsar.

Contoh lainnya, seseorang memiliki sepotong roti yang menjadi bekal makan siangnya di jam istirahat kerja, kemudian dia lebih memilih untuk memberikannya kepada teman kerjanya yang terlihat tidak punya makanan untuk disantap. Ini juga disebut itsar.

Imam az-Zarkasyi menjelaskan bahwa akhlak itsar dalam perkara duniawi adalah perbuatan yang dicintai dan tidak ada perbedaan pendapat tentang keutamaan itsar meskipun dengan konsekuensi ia tertimpa bahaya, yang demikian merupakan karakter orang-orang saleh. (al-Mansur fi al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Muhammad bin Abdullah az-Zarkasyi, 1/211).

Maksudnya adalah, sangat mungkin ketika seseorang lebih memprioritaskan orang lain maka dia mendapatkan madharat tertentu, seperti kisah mashyur tentang tiga orang muslim yang terluka dalam sebuah perang.

Dikisahkan ketiganya dalam keadaan terluka dan dahaga yang luar biasa, sedangkan air hanya cukup untuk satu orang. Mereka saling mendahulukan saudaranya, meskipun dia juga membutuhkan, hingga akhirnya ketiganya wafat dalam keadaan tidak satu pun dari mereka meminumnya.

Perbuatan itsar menjadi terpuji jika dipraktikkan dalam urusan duniawi, bukan dalam urusan ukrawi. Adapun dalam perkara ibadah (ukhrawi), itsar adalah sesuatu yang dibenci (makruh) atau bahkan haram.

Sebagaimana disebutkan dalam kaidah fikih:

اَلْإِيْثَارُ فِيْ الْقُرَبِ مَكْرُوْهٌ.

“Itsar dalam perkara ketaatan (hukumnya) makruh.”

Atau dalam ungkapan lain:

‌اَلْإِيْثَارُ فِيْ الْقُرَبِ مَكْرُوْهٌ، وَفِيْ غَيْرِهَا مَحْبُوْبٌ.

“Itsar dalam perkara ketaatan (hukumnya) makruh, dan pada selain itu (ketaatan) disukai.” (Al-Qawa’id al-Fiqhiyah wa Tahtbiqatuha fi al-Madzahib al-Arba’ah, Musthafa az-Zuhaili, 2/703).

Definisi yang disebutkan di atas menjelaskan bahwa itsar terbagi menjadi dua kategori.

Pertama, dalam perkara duniawi. Ini adalah itsar yang diperintahkan oleh agama dan termasuk amalan yang dicintai sekaligus mendapat ganjaran pahala yang besar.

Kedua, itsar dalam perkara akhirat atau ibadah. Inilah yang menjadi bagian pembahasan kaidah di atas.

Syaikh al-Burnu menjelaskan, al-qurabu (القُرَبُ) adalah bentuk plural dari qurbah (قُرْبَةُ) yang artinya segala bentuk ibadah dan amal ketaatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. (Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Muhammad Sidqi al-Burnu, 2/336).

Kaidah itsar di atas menjelaskan bahwa tidak dibenarkan memprioritaskan orang lain dalam ranah ketaatan atau ibadah kepada Allah yang memiliki keterkaitan dengan urusan ukhrawi.

Ulama Mazhab Syafii menjelaskan hukum itsar dalam ibadah,

أَنَّ ‌الْإِيْثَارَ فِيْ الْقُرَبِ مَكْرُوْهٌ وَقَدْ يَكُوْنُ حَرَامًا.

“Itsar dalam perkara ketaatan atau ibadah (hukumnya) makruh, dan terkadang bisa haram.”

Contoh itsar dalam ibadah: (1) Seseorang mengutamakan orang lain dalam penggunaan air yang terbatas untuk berwudhu saat waktu shalat akan habis. Itsar seperti ini hukumnya haram.

(2) Seseorang memberikan shaf yang lebih utama kepada orang lain dalam shalat berjamaah, maka hukumnya makruh karena ia meninggalkan sesuatu amalan yang lebih utama untuk diambil.

(3) Seorang suami menjimak istrinya, kemudian masuk waktu shalat sedangakan air yang dapat digunakan untuk mandi janabah hanya mencukupi untuk satu orang, maka itsar dalam hal ini tidak dibenarkan.

Alasan dilarangnya memprioritaskan orang lain dalam hal ibadah seperti yang dijelaskan oleh Al-‘Izz bin Abdissalam, ia berkata,

لَا إِيْثَارَ فِيْ الْقُرُبَاتِ، لِأَنَّ الْغَرْضَ بِالْعِبَادَاتِ اَلتَّعْظِيْمُ واَلْإِجْلَالُ، فَمَنْ آثَرَ بِهِ فَقَدْ تَرَكَ إِجْلَالَ اللهِ وَتَعْظِيْمَهُ.

Tidak ada itsar dalam perkara ketaatan, karena tujuan dari ibadah adalah mengagungkan dan memuliakan. Jadi, barang siapa yang mengutamakan orang lain (dalam ibadah) sungguh ia telah menginggalkan pengagungan dan pemulian terhadap Allah Ta’ala.” (Al-Qawa’id al-Fiqhiyah wa Tahtbiqatuha fi al-Madzahib al-Arba’ah, Musthafa az-Zuhaili, 2/ 703).

Ada beberapa konsekuensi hukum turunan dalam itsar, seperti yang dijelaskan dengan baik oleh Imam as-Suyuthi.

Pertama, haram. Yaitu ketika itsar dalam perkara yang diwajibkan, atau meninggalkan yang diwajibkan dan tidak dapat digantikan oleh orang lain, seperti air untuk bersuci, pakaian untuk menutup aurat, tempat untuk shalat berjamaah yang terbatas, dan yang semisal dengan kasus ini, maka tidak dibenarkan untuk memprioritaskannya kepada orang lain.

Kedua, jika terkait meninggalkan suatu amalan yang sunah, atau mengerjakan yang makruh. Itsar dalam keadaan demikian dihukumi makruh, seperti mendahulukan orang lain untuk mendapatkan shaf shalat yang lebih utama, atau penggunaan air musyammas dalam thaharah dan memberikan air mutlak kepada yang lainnya.

Ketiga, dalam perkara-perkara yang dimakruhkan yang tidak ada larangan yang khusus, maka ditinggalkan lebih utama. (al-Qawa’id al-Fiqhiyah wa Tahtbiqatuha fi al-Madzahib al-Arba’ah, Musthafa az-Zuhaili, 2/ 704).

Itsar dan Keutamaannya

Itsar adalah akhlak terpuji yang memiliki keutamaan yang besar. Keutamaan itsar berdasarkan dalil dari al-Quran dan hadis. Seperti Firman Allah Ta’ala dalam Surat al-Hasyr (59) ayat 9,

وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٌ.

Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.”

Ayat di atas menjelaskan tentang bagaimana sikap kaum Anshar yang memprioritaskan kaum Muhajirin melebihi diri mereka sendiri, meskipun mereka sendiri dalam keadaan yang sulit. (Tafsir al-Munir, Wahbah az-Zuhaili, 28/78).

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di menjelaskan, bahwa ayat ini merupakan pujian Allah kepada kaum Ansar yang memiliki sifat itsar pada diri mereka, kaum Ansar memiliki karakter dermawan yang paling tinggi (itsar). Mereka selalu mengutamakan orang lain dibandingkan diri mereka sendiri yang juga membutuhkan dan kekurangan. (Taisir Karim ar-Rahman, Abdurrahaman as-Sa’di, 850).

Itsaar termasuk amal yang bertujuan memudahkan dan meringankan urusan orang lain, dan hal tersebut memiliki nilai yang besar di sisi Allah Ta’ala.

Hal ini disebutkan dalam hadis Nabi shalallahu ‘alaihi wa salam, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau bersabda,

مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ ‌كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ ‌كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ.

Siapa yang melepaskan kesusahan seorang mukmin di dunia niscaya Allah akan melepaskan kesusahannya di akhirat. Siapa yang memudahkan orang yang kesusahan, niscaya Allah akan memudahkan (urusannya) di dunia dan di akhirat. Siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi (aibnya) di dunia dan di akhirat. Dan Allah selalu menolong hamba-Nya jika hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699).

Itsaar dapat dikategorikan sebagai amal sosial yang bernilai ibadah dan mendatangkan pahala yang besar.

Terlalu banyak buku yang menuliskan bagaimana sifat ini menghiasi akhlak orang-orang terdahulu, para sahabat, dan orang-orang saleh setelahnya. Mereka selalu mengedepankan kepentingan dan keperluan orang lain dibandingkan diri mereka sendiri.

Itsar adalah puncak tertinggi dari kedermawanan dan kebaikan seseorang. Dengan demikian, ia menjadi bagian dari akhlak mulia yang harusnya dimiliki oleh orang yang beriman kepada Allah dan mengharapkan balasan terbaik di hari akhir.

Pada bulan Ramadhan yang mulia ini, kita punya kesempatan besar menumbuhkan akhlak mulia ini, memupuknya, dan melatihnya agar melekat pada karakter kita. Semoga Allah selalu bimbing kita selalu. Wallahu a’lam. (Fajar Jaganegara/dakwah.id)

Artikel Spesial Ramadhan terbaru:

Topik Terkait

Fajar Jaganegara, S.pd

Pengagum sejarah, merawat ingatan masa lalu yang usang tertelan zaman. Mengajak manusia untuk tidak cepat amnesia. Pengagum perbedaan lewat khazanah fikih para ulama. Bahwa dengan berbeda, mengajarkan kita untuk saling belajar dan berlapang dada.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *