Artikel yang berjudul “Ingin Maksiat? Jawab dulu Pertanyaan Ini!” ini adalah artikel ke-11 dari serial artikel #MadrasahRamadhan
Maksiat atau dalam bahasa Arab معصية berasal dari kata عصى – يعصى yang bermakna keluar dari ketaatan, atau tidak menaati perintah. Setiap sikap tidak taat terhadap perintah disebut maksiat. (Al-Mufradaat Fi Gharib al-Quran, Ar-Raghib al-Ashfahani, 438)
Kata maksiat adalah lawan dari kata taat. Yaitu perbuatan durhaka atas perintah yang seharusnya dikerjakan atau melanggar larangan yang seharusnya ditinggalkan.
Gambaran penggunaan kata ini ada pada firman Allah dalam surat Thaha, Allah berfirman,
وَعَصَىٰٓ ءَادَمُ رَبَّهُۥ فَغَوَىٰ
“Dan durhakalah (maksiat) Adam kepada Rabbnya dan sesatlah ia.” (QS. Thaha: 121)
Nabi Adam ‘alahissalam menyelisihi perintah Allah dengan memakan buah dari pohon yang telah dilarang Allah di Surga. Dan perbuatan tersebut disebut oleh Allah dengan kata عصى yang berarti bentuk sebuah kemaksiatan. (Shafwatu at-Tafasir, Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, 2/250)
Perbuatan maksiat adalah perbuatan yang mendatangkan dosa, di mana seseorang melanggar aturan dan perintah yang telah Allah tetapkan.
Artikel Refleksi: Belajar Mengendalikan Amarah di Madrasah Ramadhan
Ahli maksiat adalah sebutan untuk orang yang terbiasa melakukan perbuatan maksiat.
Menyekutukan Allah, membunuh, berzina, mencuri, meminum khamr, berbuat zalim, dan melakukan transaksi ribawi adalah beberapa contoh bermaksiat kepada Allah subhanahu wata’ala. Masih banyak contoh perbuatan maksiat lainnya tentunya.
Nafsu dan godaan setan yang tak henti-henti membisiki hati dan pikiran adalah dua faktor yang menjerumuskan manusia pada perbuatan maksiat.
Lantas, apa yang harus dilakukan seorang muslim agar terhindar dari perbuatan maksiat?
Kisah Ibrahim bin Adham dan Seorang Ahli Maksiat
Ada kisah menarik. Adalah Ibrahim bin Adham (w.161 H), seorang ulama kenamaan yang dikenal sebagai ahli zuhud. Ia seorang Ulama yang banyak menghabiskan usianya untuk berjihad, bahkan beliau menutup usianya sebagai syahid dalam sebuah medan pertempuran. (Tokoh-tokoh besar Islam sepanjang Sejarah, Muhammad Sa’id Mursi, 372-373)
Syahdan, suatu ketika ada seseorang yang mendatanginya dan mengadukan perihal dirinya yang sering melakukan perbuatan maksiat. Sedangkan dia susah untuk mencegahnya, dan ingin bertobat.
Maka ia menemui Ibrahim bin Adham, yang dikenal sebagai seorang alim dengan nasehat-nasehatnya yang mampu menembus hati dan menggugah diri.
“Wahai Abu Ishaq (panggilan Ibrahim bin Adham), sungguh saya telah menjerumuskan diri dalam banyak maksiat. Maka nasihatilah aku agar aku berhenti melakukan kemaksiatan lagi.”
Ibrahim bin Adham menjawab, “Ada lima hal. Jika kau bisa melakukannya, maka kau boleh bermaksiat. Akan tetapi jika tidak, maka berhentilah dari mendurhakai Allah Ta’ala.”
“Pertama, jika kau ingin bermaksiat kepada Allah, maka janganlah kau makan sedikit pun dari rezeki-Nya.”
Materi Khutbah Jumat: Cara Menghentikan Cobaan Berat dari Allah
Lelaki tadi tersentak heran mendengar kalimat Ibrahim bin Adham, “Bagaimana mungkin bisa begitu. Bukankah semua rezeki di semesta ini dari Allah?”
Ibrahim bin Adham menjawab, “Jika kau menyadari hal tersebut, lantas apakah pantas kau bermaksiat kepada Allah sementara kau masih makan dari rezeki-Nya?” Lelaki tadi termenung dan membenarkan pertanyaan retoris Ibrahim bin Adham.
“Kedua, jika kau ingin bermaksiat kepada Allah, maka jangan tinggal di bumi-Nya?” jawaban kedua semakin membuatnya heran, “Bagaimana bisa seseorang tidak tinggal di bumi-Nya. Sedangkan seluruh alam raya ini milik-Nya?”
Ibrahim bin Adham berkata, “Jika demikian, masihkah pantas kau bermaksiat pada-Nya, sementara kau masih tinggal di bumi-Nya?” pertanyaan retoris kedua yang tidak terjawab kembali oleh lelaki tadi.
“Ketiga, jika kau akan bermaksiat kepada Allah, maka cobalah cari sebuah tempat di mana Allah tidak akan melihatmu.” Syarat ketiga sudah diberikan, dan ini sama mustahilnya dengan dua syarat sebelumnya.
Lelaki tadi menjawab, “Bagaimana bisa seperti itu? bukankah Allah Maha Mengetahui segala rahasia. Bahkan Allah mengetahui merayapnya seekor semut di sebuah batu hitam di malam yang kelam.”
“Lantas jika seperti itu, masihkah pantas kau bermaksiat kepada-Nya? Sedangkan Allah Maha Mengetahui segala-Nya?” untuk ketiga kalinya lelaki tadi harus termenung dengan logika yang diberikan Ibrahim bin Adham.
“Keempat, coba bayangkan! Jika Malaikat Maut datang menjemputmu untuk mencabut nyawamu. Bisakah kau memintanya untuk menunda kematian itu hingga waktu tertentu?”
Lelaki tadi menjawab, “Bagaimana mungkin bisa begitu, Ibrahim. Bukankah Allah telah berfirman:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٍۖ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمۡ لَا يَسۡتَأۡخِرُونَ سَاعَة وَلَا يَسۡتَقۡدِمُونَ
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al-A’raf: 34)
Bahkan lelaki yang gemar maksiat ini pun hafal tentang ayat tersebut, bahwa ajal kematian tidak akan bisa mundur ataupun maju meski sesaat.
Ibrahim bin Adham berkata, “Lantas, jika engkau menyadari hal tersebut. mengapa engkau masih merasa selamat sedangkan engkau berbuat maksiat?”
“Kelima, bayangkan kelak, di hari kiamat, saat malaikat Zabaniyah (malaikat penjaga Neraka) akan menyeretmu ke Neraka Jahanam karena maksiatmu. Maka bisakah kau menolaknya?”
Belum usai penjelasan Ibrahim bin Adham tantang syarat kelima, namun wajah pria tadi telah basah oleh air mata. Tangisnya pecah, dadanya bergemuruh karena rasa takut yang diam-diam telah meresap di relung kalbunya.
“Cukup, Cukup, Ibrahim. Saya memohon ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya.”
Kisah ini selesai sampai di sini.
Lelaki tadi, kemudian berbenah diri, menginsafi segala kesalahan yang telah ia lakukan, menyesali setiap maksiat yang pernah ia kerjakan. Ia mengisi sisa usianya dengan ibadah hingga meninggal dunia. (Hiburan orang-orang Shalih, Muhammad Amin al-Jundi, 85-57)
Materi Khutbah Idul Fitri: Amal Shalih Bertambah, Kuatkan Hidayah
Ibrahim bin Adham memberikan lima pertanyaan yang berfungsi sebagai langkah preventif bagi siapa saja yang ingin bermaksiat kepada Allah.
Lima pertanyaan logika yang meruntuhkan keinginan seseorang yang ingin berbuat dosa. Sebuah perenungan sangat mendalam yang membuat siapa saja yang akan bermaksiat berpikir ulang. Lima syarat yang disebutkan tidak akan pernah mampu diwujudkan.
Jika hingga detik ini, di Ramadhan yang penuh kebaikan ini, masih ada lintasan untuk bermaksiat. Maka renungkanlah lima syarat itu. Bahwa kita; para hamba pendosa, tidak akan pernah bisa dan mampu menggenapi kelimanya, bahkan untuk satu pun tidak.
Jika kita, para pendosa ini, terdetik keinginan untuk bermaksiat kepada Allah. Maka hadirkan lima pertanyaan tersebut.
Bahwa kita makan dari rezeki-Nya, tinggal di bumi-Nya, sedangkan ia Maha Mengetahui saat kita tengah bermaksiat kepada-Nya, kita juga tidak mampu menolak malaikat maut yang akan datang menjemput, dan kita tidak mampu menolak jika kelak, Malaikat azab melemparkan kita ke dalam Neraka.
Lantas, masih pantaskah kita bermaksiat kepada-Nya?
Tobat Adalah Jalan Selamat dari Perbuatan Maksiat
Ibnu Qayyim al-Jauziyah menjelaskan bahwa pengertian tobat adalah kembalinya seorang hamba kepada Allah dari jalan orang-orang yang dimurkai dan disesatkan. (Madarij as-Salikin, Ibnu Qayyim, 1/535)
Setiap manusia pasti pernah berbuat dosa, seseorang tidak ada yang terlepas dari salah dan khilaf dalam hidupnya, baik sengaja maupun tidak, baik dosa besar maupun kecil.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan hal tersebut dalam sabdanya:
عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ.
Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Setiap anak Adam berbuat salah, dan sebaik-baik yang berbuat salah adalah yang bertobat.” (HR. At-Tirmidzi)
Artikel Tadabur: Banyak Berdoa di Bulan Ramadhan
Tobat adalah jalan selamat. Dengan tobat Allah akan menghapuskan dosa-dosa yang disebabkan oleh perbuatan maksiat. Dengan bertobat, seorang mukmin akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan.
Allah berfirman,
وَتُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
“Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An-Nur: 24)
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di menjelaskan, bahwa keimanan seseorang akan menuntunnya untuk bertobat dari maksiat, dan itu yang akan membuatnya selamat. Maka tidak ada jalan untuk meraih kebaikan dan keberuntungan kecuali dengan tobat, yaitu dengan kembali kepada Allah dari segala hal yang Dia benci (maksiat) dan menggantinya dengan amalan yang Ia cintai. (Taisir Karim ar-Rahman fii Tafsir Kalam al-Mannan, Abdurrahman as-Sa’di, 663)
Dalam madrasah Ramadhan ini, di bulan penuh ampunan dan keberkahan. Allah telah membuka pintu-pintu Surga berikut ampunan-Nya bagi mereka yang mau berbenah diri, bertobat dari keburukan maksiat dan dosa.
Memohon ampun, melafalkan istighfar, dan tobat diri adalah hal harus dilazimi. Karena orang-orang yang merugi saat Ramadhan adalah mereka yang mendapatkan hari-harinya, tapi tidak mendapat ampunan-Nya.
Artikel Fikih: Shalat Tarawih di Rumah, Bolehkah Shalat Sambil Membaca Mushaf?
Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari Jabir bin Abdillah,
“Celaka seorang hamba, yang mendapati Ramadhan, namun tidak mendapatkan ampunan dari Allah Ta’ala.” (HR. Al-Bukhari)
Semoga Ramadhan kali ini Allah berkenan menerima tobat kita, menghapuskan dosa dan kesalahan, memberikan ampunan-Nya. Agar saat bulan penuh berkah ini pergi, tidak tersisa lagi dosa dan salah yang melekat dalam diri. Aamiin. (Fajar Jaganegara/dakwah.id)