Daftar Isi
Kaidah amar makruf nahi munkar urgen dipelajari sebab amar makruf nahi munkar adalah perkara pokok dalam agama Islam. Sekaligus ia merupakan perkara yang menjadi kewajiban bagi setiap muslim.
Sebagaimana Ibnul Arabi menjelaskan bahwa perkara amar makruf nahi mungkar adalah perkara ushul atau pokok dalam agama. (Al-Amru bil Makrûf wa an-Nahyu anil Mungkar, Sulaiman al-Huqail, 21)
Kewajiban Amar Makruf Nahi Munkar
Kewajiban amar makruf nahi mungkar ini tidak hanya ditujukan kepada penguasa, tapi setiap personal muslim juga berkewajiban untuk melakukannya.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ اُمَّةٌ يَّدْعُوْنَ اِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali-Imran: 104)
Ibnu katsir dalam tafsirnya menjelaskan maksud dari ayat ini adalah hendaknya ada sekelompok orang yang bersedia untuk menunaikan perkara ini. Walaupun kewajiban ini merata ke seluruh personal umat Islam sesuai kemampuannya masing-masing. (Tafsir al-Quran al-Adhim, Ibnu katsir, 2/91)
Maka wajib bagi kaum muslimin untuk beramar maruf nahi mungkar sesuai dengan kemampuan masing-masing, karena di sisi lain terdapat ancaman azab yang akan turun, serta doa-doa yang terpanjatkan tidak kunjung dikabulkan lantaran meninggalkan kewajiban ini.
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ
“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hendaknya kalian beramar maruf dan nahi mungkar atau jika tidak niscaya Allah akan mengirimkan siksa dari sisi-Nya kepada kalian, kemudian kalian memohon kepada-Nya namun doa kalian tidak lagi dikabulkan.” (HR. At-Tirmidzi no. 2169)
Di sisi lain, dalam menjalankan kewajiban ini membutuhkan ilmu yang berkaitan dengan kaidah-kaidah serta rambu-rambu dalam menunaikan praktik amar makruf nahi mungkar.
Karena banyak dari kalangan kaum muslimin yang menjalankan kewajiban ini, namun mereka belum memahami kaidah-kaidah pokok dalam menjalankan kewajiban mulia ini. Alhasil, didapati beberapa kekeliruan dan kesalahan dalam menerapkannya.
Seperti, sikap tergesa-gesa, serampangan dalam nahi mungkar, tidak mengetahui tahapan-tahapan mengingkari kemungkaran, kasar dalam mengingatkan, dan tidak menimbang maslahat dan mudharatnya.
Sehingga hal-hal tersebut menjadi sebab kegagalan dalam menjalankan kewajiban ini, bahkan menimbulkan kerusakan yang lebih besar dari sebelumnya. Ini semua berangkat dari kurang pahamnya mereka terhadap kaidah-kaidah pokok dalam beramar makruf nahi mungkar.
Dr. Hamud ar-Ruhaili (Dosen di Universitas Islam Madinah) menjelaskan beberapa kaidah amar makruf nahi mungkar dalam kitabnya Qawâid Muhimmah fîl Amri bil Ma’rûf wa an-Nahyi ‘Anil Mungkar ‘Ala Dhauil Kitâb was Sunnah.
Walaupun dalam kitab ini porsi dalam membahas nahi mungkar lebih banyak ketimbang amar makrufnya.
Beliau menjelaskan bahwa setidaknya ada tujuh kaidah amar makruf nahi mungkar yang wajib diketahui oleh kaum muslimin secara umum.
Adapun beberapa kaidah penting tersebut adalah sebagai berikut.
Kaidah Amar Makruf Nahi Munkar
Pertama: Syariat menjadi dasar dari penetapan amar makruf nahi mungkar
Sesungguhnya barometer penetapan sesuatu itu baik (makruf) atau buruk (mungkar) adalah al-Quran dan Sunah.
Perbuatan makruf yang dimaksud adalah segala bentuk perbuatan yang terdapat perintah untuk mengerjakannya dalam al-Quran dan sunah, atau terdapat anjuran, dorongan untuk mengerjakannya, pujian terhadap pelakunya, atau khabar bahwa Allah mencintai atau meridhai suatu perbuatan tersebut.
Maka sebaliknya, perbuatan mungkar adalah segala bentuk perbuatan yang terdapat larangannya, peringatan, atau penjelasan akan bahayanya sesuatu, atau terdapat ancaman bagi pelakunya.
Ancaman tersebut berupa mendapatkan kemurkaan, azab, atau neraka yang itu semua tercantum dalam al-Quran dan Sunah. Itu semua adalah sesuatu yang mungkar yang dilarang untuk dikerjakan.
Ibnu Mandzur menjelaskan bahwa makruf adalah nama umum bagi setiap hal yang mencakup di dalamnya segala ketaatan kepada Allah, mendekatkan diri kepada-Nya (taqarrub), berbuat baik kepada manusia, dan apa-apa yang dianjurkan oleh syariat Islam. (Lisânul Arab, Ibnu Mandzur, 9/240)
Ibnu Atsir juga menerangkan bahwa yang dimaksud dengan mungkar adalah segala sesuatu yang buruk dalam pandangan syariat, baik sesuatu tersebut diharamkan ataupun dimakruhkan. (An-Nihâyah fî Gharîbil Hadîts, Ibnu Atsir, 5/115)
Maka pengertian makruf dan mungkar itu semua dikembalikan kepada al-Quran dan sunah sesuai dengan pemahaman salafushalih.
Kedua: Mengetahui hakikat amar makruf nahi mungkar
Kaidah amar makruf nahi munkar kedua adalah hendaknya seseorang yang beramar makruf nahi mungkar benar-benar mengetahui hal-hal yang diperintahkan oleh syariat dan perkara-perkara yang dilarangnya.
Maka seseorang wajib mengetahui mana perihal sesuatu yang diperintahkan dan dilarang secara syar’I, sehingga ia dapat beramar makruf nahi mungkar dengan benar.
Al-Qadhi Abu Ya’la menjelaskan bahwa seseorang tidaklah mampu beramar makruf nahi mungkar dengan benar, kecuali orang tersebut fakih terhadap apa-apa yang dilarang oleh syariat dan ramah serta sabar dalam menjalankan kewajiban tersebut. (Al-Amru bil Makrûf wa an-Nahyu ‘Anil Mungkar, Ibnu Taimiyyah, 21)
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menegaskan tentang pentingnya ilmu dan bashirah bagi seorang dai serta orang-orang yang beramar makruf nahi mungkar, bahwa satu hal yang seharusnya dipersiapkan seorang dai adalah ilmu yang berlandaskan kepada al-Quran dan sunah. (Qawâid Muhimmah fîl Amru bil Makrûf, Hamud ar-Ruhaili, 18)
Ketiga: Mengetahui syarat-syarat mengingkari kemungkaran
Adapun syarat-syarat mengingkari kemungkaran adalah sebagai berikut.
Pertama: Memastikan sesuatu yang diingkari tersebut adalah benar-benar kemungkaran
Sebagaimana telah diterangkan pada pembahasan sebelumnya bahwa mungkar adalah segala sesuatu yang buruk dalam pandangan syariat, baik sesuatu tersebut diharamkan ataupun dimakruhkan.
Abdul Karim menegaskan bahwa kemungkaran adalah segala perbuatan yang terdapat mafsadat di dalamnya atau dilarang oleh syariat. (Ushûl Da’wah, Abdul Karim, 189)
Maka, yang dimaksud dengan mungkar adalah segala perbuatan yang mencakup dosa-dosa kecil maupun dosa besar, baik dosa yang langsung berhubungan dengan hak Allah atau berhubungan dengan makhluk.
Namun, yang perlu diketahui adalah dalam perkara ini, otoritas yang menentukan sesuatu tersebut masuk ke dalam mungkar atau tidak adalah syariat itu sendiri.
Kedua: Kemungkaran terjadi di beberapa keadaan
• Kemungkaran yang benar-benar tampak terjadi.
Di antara contohnya adalah kemungkaran yang sering terjadi di pasar seperti saling curi pandangan antara lawan jenis.
Maka hendaknya seseorang itu beramar makruf nahi mungkar dengan cara memperingati, menasihati, memberikan arahan, dan mengingatkannya dengan bahaya dari maksiat tersebut.
• Kemungkaran yang masih samar.
Seperti seseorang yang melihat di hadapannya sebuah botol khamr yang diminum darinya, atau melihat seseorang yang memasukkan wanita asing ke dalam rumahnya.
Maka dalam keadaan seperti ini seseorang tetap dituntut untuk beramar makruf nahi mungkar selama ia mampu untuk menghilangkan kemungkaran tersebut dan terbebas dari mudharat atas dirinya.
• Kemungkaran yang telah usai dilakukan.
Yaitu seperti seseorang yang mendapati orang lain telah usai meminum khamr dan hanya meninggalkan sisa-sisa dari kemungkaran tersebut.
Dalam posisi ini, seseorang tidak dapat mengubahnya karena kemungkaran telah dilakukan. Namun, tugas dia adalah memberikan hukuman dan peringatan atas kejahatan tersebut.
Perkara ini bukan diserahkan kepada personal setiap orang, melainkan diserahkan kepada pihak yang berwajib yaitu para pemimpin dan pegawainya. Maka laporan tersebut diangkat kepada hakim untuk segera diputuskan hukuman baginya. (Qawâid Muhimmah fîl Amru bil Makrûf, Hamud ar-Ruhaili, 23)
Ketiga: Kemungkaran itu tampak bukan sebab tajassus, selama pelaku tidak ber-mujaharah (terang-terangan)
Sesungguhnya syariat Islam melarang seseorang untuk tajassus. Tajassus adalah kegiatan memata-matai seseorang atau mencari-cari aib orang lain.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ، وَلَا تَحَسَّسُوا، وَلَا تَجَسَّسُوا، وَلَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا
“Jauhilah prasangka buruk, karena prasangka buruk adalah ucapan yang paling dusta, janganlah kalian saling mendiamkan, janganlah suka mencari-cari isu, saling mendengki, saling membelakangi, serta saling membenci.” (HR. Al-Bukhari no. 5717)
Adapun seseorang yang melakukan kemungkaran secara terang-terangan baik itu dengan memperlihatkannya atau memperdengarkannya, maka sungguh dia telah menjerumuskan dirinya kepada kehinaan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
“Setiap umatku dimaafkan (dosanya) kecuali orang-orang yang menampak-nampakkannya. Sesungguhnya, di antara menampak-nampakkan (dosa) adalah seorang hamba yang melakukan amalan di waktu malam sementara Allah telah menutupinya, kemudian di waktu pagi dia berkata, ‘Wahai fulan, semalam aku telah melakukan ini dan itu,’ padahal pada malam harinya (dosanya) telah ditutupi oleh Rabbnya. Ia pun bermalam dalam keadaan (dosanya) telah ditutupi oleh Rabbnya dan di pagi harinya ia menyingkap apa yang telah ditutupi oleh Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 5721)
Ibnu Bathal memberikan keterangan bahwa gemar dan terang-terangan dalam berbuat maksiat adalah berangkat dari meremehkan hak Allah dan Rasul-Nya (Istikhfâf). (Fathul Bârî, Ibnu Hajar, 10/487)
Dr. Hamud ar-Ruhaili menjelaskan bahwa dalil-dalil di atas menunjukkan larangan untuk tajassus atau mencari-cari aib orang lain. Namun, larangan ini khusus bagi siapa-siapa yang tidak melakukan kemungkaran secara terang-terangan.
Adapun bagi mereka yang terang-terangan dalam melakukan kemungkaran, maka wajib dicegah dan dihalangi. Hal tersebut bertujuan untuk menghentikan keburukannya. (Qawâid Muhimmah fîl Amru bil Makrûf, Hamud ar-Ruhaili, 27)
Keempat: Tindakan nahi mungkar hanya pada perkara-perkara yang tidak ada perselisihan ulama di dalamnya
Hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah bersikap lapang dada terhadap perbedaan pendapat dalam perkara ijtihadi. Yaitu pada perkara yang furuk bukan pada perkara ushul.
Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata,
إِذَا رَأَيْتَ الرَجُلَ يَعْمَلُ العَمَلَ الَّذِيْ قَدْ اُخْتُلِفَ فِيْهِ وَأَنْتَ تَرَى غَيْرَهُ فَلَا تَنْهَهُ
“Apabila engkau melihat seseorang melakukan suatu amalan yang terdapat perbedaan pendapat di dalamnya, sedangkan engkau berbeda pendapat dengannya maka janganlah kau melarangnya.” (Ushûl ad-Da’wah wa Thuruquha, UIM, 255)
Keempat: Mengetahui tahapan-tahapan nahi mungkar
Adapun tahapan-tahapan nahi mungkar adalah sebagai berikut.
Pertama: Menggunakan tangan
Tahapan ini adalah tahapan yang paling tinggi dalam nahi mungkar. Tahapan ini ditujukan bagi seseorang yang mempunyai kekuasaan. Seperti penguasa atau wakilnya dan juga seorang bapak dengan keluarganya.
Mereka semua mendorong untuk melakukan ketaatan kepada Allah dan mencegah dari hal-hal yang dilarang Allah.
Perlu diketahui bahwa tahapan nahi mungkar dengan menggunakan tangan tidak cocok dijalankan oleh semua orang, sebab hal tersebut justru akan menghantarkan kepada mudharat yang lebih besar.
Badruddin al-Ba’li menjelaskan bahwa hendaknya seseorang tidak nahi mungkar dengan mendatangkan kemungkaran yang lebih besar darinya.
Misalnya, menegakkan hudud tanpa adanya penguasa. Maka hendaknya persoalan ini dipusatkan kepada orang-orang yang ditaati seperti para penguasa. (Mukhtashar al-Fatâwa al-Mishriyyah, al-Ba’li, 2/445)
Kedua: Menggunakan lisan
Adapun langkah-langkah mengubah kemungkaran dengan lisan adalah sebagai berikut.
• Mengingatkan dengan lemah lembut.
Langkah pertama adalah mengingatkannya dengan lemah lembut, sehingga hal tersebut lebih mudah diterima dan orang yang ia nasihati tidak menolak nasihatnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الرِفْقَ فِيْ الأَمْرِ كُلِّهِ
“Sesungguhnya Allah mencintai sikap lemah lembut pada setiap perkara.” (HR. Al-Bukhari no. 5678)
Para salafushalih juga demikian dalam beramar makruf nahi mungkar dengan membiasakan diri dalam mengingatkan seseorang dengan lembut, disertai ilmu, bashirah, dan kesabaran.
• Memperingati dan melarang dengan cara menasihati.
Yaitu dengan memperingati akan bahaya-bahaya dari suatu kemungkaran dan menjelaskan ancaman Allah ketika seseorang melakukan kemungkaran itu.
Tentunya, nasihat tersebut diberikan secara empat mata bukan di tempat umum, untuk menjaga kehormatannya, sehingga nasihat itu lebih mudah diterima.
Abu Hatim menjelaskan bahwa nasihat itu hendaknya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, karena barang siapa yang menasihati kawannya di keramaian maka sungguh dia telah menghinakannya. (Raudhatul ‘Uqala’, Abu Hatim, 196)
• Menegur dengan tegas.
Langkah ini ditempuh setelah tahapan-tahapan sebelumnya telah ditempuh, tetapi belum berhasil. Maka masuk ke dalam langkah selanjutnya yaitu menegurnya dengan tegas.
Sebagaimana uslub (cara) ini juga pernah digunakan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang Allah abadikan dalam firman-Nya,
اُفٍّ لَّكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗاَفَلَا تَعْقِلُوْنَ
“Celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah! Tidakkah kamu mengerti?” (QS. Al-Anbiyâ: 67)
• Mengancam dengan hukuman.
Ini adalah langkah terakhir dari mengubah kemungkaran dengan lisan. Seperti seseorang yang berkata, “Jika kamu tidak berhenti dari kemungkaran ini, sungguh aku akan hukum kau dengan ini dan ini, atau aku laporkan kamu ke pihak berwajib agar menghukummu.”
Langkah-langkah ini dilakukan sesuai dengan urutan tahapannya. Namun, apabila hal tersebut belum juga mampu dijalankan, maka masuk ke tahap selanjutnya yaitu mengingkari kemungkaran dengan hati.
Ketiga: Menggunakan hati
Apabila seseorang tidak mampu untuk mengubah kemungkaran dengan tangannya, lalu dengan lisannya, maka selanjutnya adalah mengingkari kemungkaran dengan hati. Yaitu dengan membenci kemungkaran tersebut dan tidak meridhainya.
Hal ini harus ada pada jiwa seorang mukmin, tidak ada uzur untuk meninggalkan hal ini. Karena tidak ada cara lain yang lebih rendah daripada cara mengingkari kemungkaran dengan hati. Sehingga ini menjadi batas dari keimanan seseorang.
Sebagaimana hadits dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنْ الْإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
“Dan setelah itu tidak ada keimanan sebiji sawi.” (HR. Muslim no. 50)
Hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan. Jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49)
Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah memberikan keterangan bahwa hadits di atas menunjukkan kewajiban untuk nahi mungkar sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Adapun nahi mungkar dengan hati haruslah tetap ada. Siapa pun yang tidak mengingkari kemungkaran meski hanya dengan hatinya, maka hal itu menunjukkan imannya telah pergi darinya. (Jâmi’ Al-Ulûm wal Hikam, Ibnu Rajab, 2/245)
Kelima: Memprioritaskan hal yang lebih penting
Yaitu dengan mendahulukan perbaikan dalam perkara ushul Akidah, seperti menyeru kepada tauhid, ikhlas dalam beribadah kepada Allah, dan melarang dari syirik dan sihir, lalu mengajak kepada shalat, menunaikan zakat, dan ibadah lainnya, serta mengajak kepada sunah dan meninggalkan hal yang makruh.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah selama tiga belas tahun di Makkah dan hal pertama yang beliau serukan adalah tauhid dan melarang dari syirik sebelum mengajak mereka kepada shalat, zakat, puasa, haji, dan seterusnya.
Khutbah Jumat Bahasa Jawa: Faedah Amar Makruf lan Nahi Mungkar
Sebagaimana pesan Rasulullah kepada sahabat Mu’adz radhiyallahu ‘anhu ketika hendak diutus ke Yaman, beliau bersabda,
إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ أَهْلِ كِتَابٍ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ عِبَادَةُ اللَّهِ فَإِذَا عَرَفُوا اللَّهَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي يَوْمِهِمْ وَلَيْلَتِهِمْ فَإِذَا فَعَلُوا فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ فَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِذَا أَطَاعُوا بِهَا فَخُذْ مِنْهُمْ وَتَوَقَّ كَرَائِمَ أَمْوَالِ النَّاسِ
“Kamu akan mendatangi ahlul kitab, maka hendaklah dakwah yang pertama kali lakukan kepada mereka adalah mengajak mereka untuk beribadah kepada Allah. Jika mereka telah mengenal Allah, maka beritahukanlah bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Dan jika mereka telah melaksanakannya, maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (zakat) dari harta mereka yang akan diberikan kepada orang-orang fakir dari mereka. Jika mereka telah menaatinya, maka ambillah dari mereka (sesuai ketentuannya) dan peliharalah kesucian harta manusia.” (HR. Al-Bukhari no. 1389)
Keenam: Mempertimbangkan antara maslahat dan mudharat sebelum nahi mungkar
Hendaknya seseorang yang beramar makruf nahi mungkar itu selalu mempertimbangkan maslahat dan mudharat sebelum dia melakukannya dan selalu bersikap bijak dalam menjalankan kewajiban ini.
Jangan sampai nahi mungkar yang ia lakukan justru menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam kaidah fikih:
دَرْءَ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Mencegah kerusakan itu lebih didahulukan daripada meraih maslahat atau manfaat.” (Al-Muwâfaqât, asy-Syatibi, 3/300)
Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala,
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.” (QS. Al-An’am: 108)
Dr. Hamud ar-Ruhaili menjelaskan bahwa ayat di atas melarang kita untuk mencela sesembahan kaum musyrikin karena terdapat mafsadah yang lebih besar.
Walaupun mencela sesembahan mereka juga terdapat maslahat, tapi menolak mafsadat lebih didahulukan daripada meraih manfaat. (Qawâid Muhimmah fîl Amri bil Makrûf, Hamud ar-Ruhaili, 47)
Diriwayatkan dari al-Bukhari bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu berkata,
حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ، أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
“Berbicaralah dengan manusia sesuai dengan kadar pemahaman mereka, apakah kalian ingin jika Allah dan Rasul-Nya didustakan?” (Shahih al-Bukhari no. 127)
Ibnul Qayyim al-Jauziyah rahimahullah menambahkan bahwa apabila dalam nahi mungkar akan menyebabkan kemungkaran yang lebih besar, maka nahi mungkar tersebut menjadi hal yang dilarang. (‘Ilâm al-Muwâqi’in, Ibnul Qayyim, 3/12)
Ketujuh: Memeriksa, memastikan, dan tidak tergesa-gesa dalam nahi mungkar
Kaidah amar makruf nahi munkar terakhir yang dijelaskan oleh Dr. Hamud adalah memeriksa terlebih dahulu dan tidak tergesa-gesa. Selai itu, tetap mengedepankan kelembutan, kesabaran, dan keramahan dalam nahi mungkar.
Selalu menimbang maslahat dan mudharat dan memperhatikan perkataan yang keluar dari mulutnya serta akibat-akibat setelahnya.
Hendaknya seseorang yang beramar makruf nahi mungkar mengetahui bahwa sikap tergesa-gesa dan tidak memperhatikan akibat-akibat setelahnya adalah sebab dari kegagalan dalam dakwahnya.
Inilah beberapa kaidah penting dalam amar makruf nahi mungkar yang wajib dipahami kaum muslimin secara umum.
Semoga ketujuh kaidah amar makruf nahi munkar di atas menjadi acuan dalam menjalankan kewajiban mulia ini, sehingga pelaksanaannya selalu dibersamai oleh ilmu yang berlandaskan al-Quran dan Sunah sesuai dengan pemahaman salaf. (Qawâid Muhimmah fîl Amru bil Makrûf, Hamud ar-Ruhaili, 66). Wallahu ‘A’lam bish Shawab. (Syamil Robbani/dakwah.id)
Baca juga artikel Ilmu dan Dakwah atau karya menarik lainnya karya Syamil Robbani.
Artikel Ilmu dan Dakwah terbaru:
Assalamualaikum..
Tadz..yg ini gada file pdf nya utk di download ya…