Kemajuan Sains Barat Bukti Eksistensi Sunnah Kauniyah | Banyak orang yang silau dan terkagum-kagum terhadap kemajuan serta perkembangan sains Barat.
Sains adalah ilmu pengetahuan sistematis tentang alam dan dunia fisik, termasuk di dalamnya, botani, fisika, kimia, geologi, zoologi, dan sebagainya; atau ilmu pengetahuan alam. (Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003)
Karena kekagumannya, mereka menyimpulkan agar sains ini mengalami kemajuan dan perkembangan, harus mengikuti Barat. Bahkan, di antara mereka mengatakan bahwa agar umat Islam ini maju, harus berkiblat kepada Barat. Baik keyakinannya, budayanya, muamalahnya maupun peradabannya.
Tentu anggapan ini adalah anggapan yang kurang tepat, bahkan salah. Harusnya yang dicontoh adalah sebab-akibat (Sunnah Kauniyah) yang mereka tempuh dalam memajukan dan mengembangkan sains. Seperti kesungguhan dalam meneliti, tidak pantang menyerah, dan berusaha maksimal dalam menempuh segala sebab-musabab untuk meraihnya.
Dalam pandangan Islam, kemajuan serta perkembangan sains yang dicapai oleh Barat adalah perkara yang wajar dan biasa. Pandangan ini karena Allah yang Maha Adil telah menetapkan Sunnah Kauniyah atau sebab-akibat yang paten dalam dunia ini. Jika sebab itu terpenuhi maka muncullah akibatnya. Tidak mungkin ada akibat tanpa didahului sebelumnya oleh sebab tertentu.
Khazanah Fikih Islam: Pentingnya Kajian Sejarah Hukum Islam
Demikian pula dengan sains Barat yang maju dan berkembang. Tentu perkembangan tersebut terjadi karena sebab-sebab pendahulunya telah diwujudkan. Dalam cara pandang Islam, hal ini merupakan perkara wajar, bahkan Islam memandang dengan pandangan yang lebih dalam.
Tidak hanya dalam aspek sebab-akibat, Islam juga memandang dengan pandangan ketawakalan dan keimanan di dalamnya. Sehingga kegagalan tidak akan membuat kaum Muslimin kecewa, karena ketawakalannya kepada takdir Rabbnya. Jika berhasil, keimanan mereka pun akan bertambah kepada-Nya. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan menulis tentang kemajuan sains Barat merupakan bukti Sunnah Kauniyah yang Allah tetapkan.
Nalar Sunnah Kauniyah
Sunnah Kauniyah merupakan keadilan Allah kepada seluruh manusia, berupa sebab-akibat yang tegak di muka bumi ini. Ia bersifat tetap dan tidak berubah. Sehingga, seseorang tidak akan memiliki anak kecuali dengan berhubungan badan; tidak akan kenyang kecuali setelah makan; dan tidak akan sukses kecuali dengan menempuh sebab-sebab kesuksesannya.
Muhammad Sayyid al-Julainid berkata, “Sunnah Kauniyah tidak memiliki hubungan dengan agama atau pun budaya, maka setiap terpenuhi sebab-sebabnya, terjadilah hasilnya. Baik sebab-sebab tersebut diusahakan oleh orang kafir maupun muslim.” (Muhammad Sayyid al-Julainid, al-Wahyu wa al-Insan, 150)
Dalam perkara ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran).” (QS. Ali Imran: 140)
Materi Khutbah Jumat: 5 Sebab Kehancuran Umat
Ibnu Jarir ath-Thabari menyebutkan bahwa yang dimaksud ayat di atas—secara khusus—adalah perang Badar dan perang Uhud.
Ketika perang Badar pasukan Quraisy mengalami kekalahan dengan terbunuhnya tujuh puluh pasukan dan tujuh puluh lainnya yang menjadi tawanan perang.
Sebaliknya, ketika perang Uhud kaum Muslimin mengalami kepedihan dengan syahidnya tujuh puluh sahabat; Sedangkan—secara umum—ayat di atas merupakan Sunnatullah bahwa kemenangan itu dipergilirkan di antara manusia, agar Allah mengetahui siapa yang taat dan maksiat; serta jujur dan dusta. (Ibnu Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Al-Qur’an, 7/239)
Menyeimbangkan Usaha Maksimal dan Tawakal dalam Meraih Sunnah Kauniyah
Dalam beberapa ulasan di atas, kita mengetahui bahwa perkembangan sains Barat merupakan hasil dari Sunnah Kauniyah yang diusahakan. Baik karena kesungguhan, sikap pantang menyerah ataupun karena kerja keras dan usaha maksimal dalam mengeksplorasi ilmu pengetahuan (sains) yang telah mereka tempuh.
Tentu perkara ini tidak bisa dipungkiri adanya, akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah: apakah Islam—sebagai agama dan ajaran yang Allah ridhai—tidak mengajarkan perkara-perkara penunjang tersebut?
Ternyata Islam sangat memerhatikan dan mewajibkan untuk senantiasa bersungguh-sungguh serta memaksimalkan waktu yang ada.
Allah Ta’ala berfirman,
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (QS. Al-Insyirah: 7)
Rasulullah juga pernah bersabda,
“Bersungguh-sungguhlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu. Mohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah kamu menjadi orang yang lemah. Apabila kamu tertimpa suatu kemalangan, janganlah kamu mengatakan: ‘Andai saja tadi saya berbuat begini dan begitu, niscaya tidak akan menjadi begini dan begitu.’ Tetapi katakanlah: ‘ini sudah takdir Allah dan apa yang dikehendaki-Nya pasti akan dilaksanakan-Nya.’ Karena ungkapan kata ‘law’ (andai saja) akan membukakan jalan bagi godaan setan.” (HR. Muslim)
Abdurahman bin Hasan Alu Syaikh menjelaskan maksud dari hadits di atas, bersemangat dalam menjalankan sebab yang bermanfaat bagi hamba terhadap urusan dunia dan akhiratnya. Baik dalam sebab-sebab wajib, sunah, dan mubah yang Allah syariatkan.
Kemudian dalam mengerjakan sebab tersebut, hendaknya selalu diiringi dengan memohon pertolongan kepada Allah semata. Tidak kepada selain-Nya. Agar sebab itu menghasilkan dan memberi manfaat. Bersandar hanya kepada Allah Ta’ala dalam mengerjakannya. Karena Allah yang menciptakan sebab dan akibatnya.
Suatu sebab tidak akan bermanfaat kecuali jika Allah mengizinkannya. Sehingga hanya kepada Allah Ta’ala semata ia bertawakal dalam mengerjakan sebab.
Karena mengupayakan sebab adalah sunah, sementara tawakal adalah tauhid. Jika ia menggabungkan keduanya, maka akan terwujud tujuannya dengan izin Allah.” (Abdurahman bin Hasan, Fathul Majid Syarh Kitab at-Tauhid, 461)
Ibnu Rajab al-Hanbali juga mengatakan bahwa usaha dengan anggota badan untuk meraih sebab termasuk ketaatan kepada Allah, sedangkan tawakal dengan hati merupakan keimanan kepada-Nya. (Ibnu Rajab al-Hanbali, Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, 2/496)
Ketika seorang Muslim menggabungkan antara Sunnah Kauniyah yang telah Allah tetapkan dengan ketawakalan kepada-Nya, sains atau ilmu pengetahuan alam akan membuahkan keimanan pada dirinya sebagaimana tergambar pada firman Allah,
اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imran: 190)
الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Wahai Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’” (QS. Ali Imran: 191)
Artikel Akidah: Sebab lemahnya Iman dalam Diri Seorang Muslim yang Wajib Anda Ketahui
Dengan demikian, pada dasarnya kemajuan sains Barat merupakan bukti dari Sunnah Kauniyah yang Allah tetapkan di muka bumi ini, berupa sebab-akibat yang tepat. Jika ia diusahakan dengan benar dan maksimal maka akan membuahkan hasil seperti yang diinginkan dengan izin-Nya.
Bagi seorang Muslim, melihat kemajuan sains Barat tidak semestinya membuat pandangannya silau dan terkagum-kagum hingga membuat dirinya putus asa atau bahkan mundur ke belakang membanggakan Barat dan menghardik agamanya sendiri. Justru hal itu sebagai introspeksi, sejauh mana umat Islam telah memenuhi Sunnah Kauniyah yang ada.
Lebih dari itu, kaum Muslimin juga harus selalu berupaya menyeimbangkan ikhtiar dan tawakal kepada Allah sehingga perbuatan dan usahanya akan membuahkan keimanan pada dirinya. Wallahu a’lam (Amir Sahidin/dakwah.id)
Afwan, untuk ayat dimaksud tertulis An-Nisa 190 & 191, seharusnya Ali-Imran 190-191. di linknya sudah benar. syukron
Jazakumullah khairan atas koreksiannya. Sudah kami perbaiki.