Daftar Isi
Kemunduran Turki Utsmani terjadi sejak pemerintahan Sultan Muhammad III (1594). Namun, sebagai negara yang besar dan kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat, karena masih ada usaha para Sultan dalam menyelamatkan negara, tetapi keadaan ini sangat mengganggu pola kehidupan Daulah Utsmaniyah. Setelah itu pemerintahannya dilanjutkan oleh 19 orang Sultan Turki Utsmani sampai berdirinya Republik Turki. Namun, kekuasaan para sultan tersebut tidak sebesar dan sekuat sultan-sultan sebelumnya.
Dalam 88 tahun berikutnya (1595-1683) Turki Utsmani tidak hanya menderita kerugian teritorial, tetapi daerah penaklukan mereka diambil alih. Pada saat di bawah pimpinan Sultan Murad IV, Kesultanan tampaknya menghidupkan kembali kemegahan yang telah dicapai di bawah Sultan Sulaiman. Namun, penampilan eksternal ini menipu, benih disintegrasi menyerang struktur dalam negara dengan hasil yang menjadi nyata dalam abad berikutnya. Bencana melanda Daulah Utsmaniyah antara 1683 dan 1699 atau dalam 16 tahun, yang diikuti kegagalan upaya Turki Utsmani kedua untuk menyerbu Wina.
Baca juga: Rencana Ilahi di Balik Proses Perjuangan Rasulullah dalam Mempersiapkan Kemenangan Islam
Pada masa kemundurannya, sebagian sultan Turki Utsmani lebih suka bersenangsenang sehingga melupakan kepentingan perjuangan umat Islam. Akibatnya, Daulah Utsmaniyah dapat diserang oleh musuh dari Eropa, seperti Inggris, Prancis, dan Rusia. Abu al-Hasan Ali al-Hasani an-Nadwi dalam bukunya, Madza Khasira al-‘Alam bi Inhithath al-Muslimin menggambarkan dengan sangat jelas kelemahan ekonomi, sains, agama, dan sosial serta moral, yang mengakibatkan kemunduran politik dan militer Daulah Utsmaniyah.
Faktor Kemunduran Turki Utsmani: Ekonomi yang Semakin Melemah
Keberhasilan Portugal dan Spanyol untuk menemukan jalan perdagangan dunia ke Asia, telah menjadi titik awal kebangkitan Eropa. Mereka berhasil merebut rute, pangsa pasar dan sumber bahan baku perdagangan dunia. Usaha mereka semakin mengakar kuat dengan keberhasilan mereka menjajah dan memonopoli kekayaan dunia Islam yang sangat kaya. Hal ini mengakibatkan kemiskinan dan kemunduran ekonomi yang berat di dunia Islam.
Ketika Sultan Abdul Aziz menjadi Sultan Turki Utsmani pada tahun 1861, para sultan terdahulu telah meninggalkan hutang Negara sebanyak 15 juta Pound Steling. Pada tahun itu pula, utang Negara membengkak menjadi 103 juta Franc.
Pada tahun 1870-1880, Daulah Utsmaniyah mengalami krisis ekonomi berkepanjangan, untuk menutupinya Turki Utsmani harus berhutang kepada Inggris dimana Inggris mensyaratkan pendirian bank-bank Inggris di Istanbul dan lembaga pengawas keuangan Inggris.
Baca juga: Pembaruan Ajaran Agama di Era Jahiliyah
Daulah Utsmaniyah juga mempunyai hutang yang sangat besar kepada perusahaan raksasa Prancis, Orlando, dan Toynbee Ltd. Ketika Negara tidak mampu membayar hutang, Prancis memaksa pembayaran segera utang tersebut. Ketika hal itu tidak dipenuhi, Prancis marah besar pada tahun 1901 M dan merebut pulau Midley dan Maltien.
Hal ini mendorong sejumlah Negara Eropa untuk merebut beberapa pulau penting lain sehingga memaksa Daulah Utsmaniyah untuk menuruti segala tekanan ekonomi mereka. Sampai Perang Dunia I, utang Daulah Utsmaniyah mencapai 3900 juta Franc, mayoritas dari Perancis, Jerman, dan Inggris.
Faktor Kemunduran Turki Utsmani: Kelemahan Sains dan Agama
Dalam belenggu kehidupan akidah Murji’ah dan tarekat Sufi, dinilai wajar bila umat Islam mengalami kemunduran dan keterbelakangan yang parah dalam aspek agama dan sains. Tentang kemunduran bidang teknologi dan industri, Imam al-Ghazi dalam Nahr adz-Dzahab fi Tarikhi Halb menyebutkan, ketika telegraf pertama kali masuk kota Aleppo tahun 1278 H, masyarakat mengangapnya sebagai setan.
Ustadz Abu al-Hasan Ali al-Hasani an-Nadawi juga menyebutkan bahwa industri pekapalan baru masuk ke Turki pada abad XVI M, percetakan, alat-alat medis, dan sekolah-sekolah militer baru masuk pada abad XVII M. pada abad-abad tersebut, Daulah Utsmaniyah sangat asing dari industri, teknologi, dan sains sehingga menganggap segala penemuan baru di bidang teknologi dan industri sebagai sihir. (Ali bin Bukhait az-Zahrani, Al-Inhirafat, hlm. 783-783)
Faktor Kemunduran Turki Utsmani: Kelemahan Sosial dan Moral
Dekadensi moral yang sangat parah telah menggejala di seantero Dunia Islam. Penyalahgunaan harta wakaf untuk kepentingan memperkaya para pegawai wakaf, menjamurnya warung-warung khamar, rumah-rumah judi, minuman keras, dan pelacuran—Husain bin Muhammad Nashif bahkan menyebutkan kota suci Makkah telah ramai dengan warung-warung minuman keras dan pelacuran—, tenggelamnya masyarakat dalam musik dan nyanyian, dan aneka ragam kebejatan moral lainnya menjadi pemandangan umum di tengah masyarakat.
Baca juga: 5 Langkah Rasulullah dalam Membangun Masyarakat Islam di Madinah
Berbagai akhlak mulia sudah dianggap sebagai sebuah tradisi kuno, kering dari nilai-nilai keimanan, dan setiap saat bisa ditinggalkan dengan alasan kemajuan zaman. Jilbab yang menjadi busana wanita Muslimah, misalnya, telah dianggap sebagai sekedar budaya setempat, dan manakala penjajah salibis Eropa datang dengan emansipasi wanitanya, dengan serta merta banyak yang melepaskan jilbabnya. (Ali bin Bukhait az-Zahrani, Al-Inhirafat, hlm. 798 dst)
Kemunduran Turki Utsmani, Sinyal Runtuhnya Sebuah Peradaban Islam
Kemerosotan internal tersebut sejalan dengan penjelasan Ibnu Khaldun di dalam Muqaddimah-nya tentang runtuhnya peradaban. Menurutnya, faktor-faktor penyebab runtuhnya sebuah peradaban lebih bersifat internal daripada eksternal. Suatu peradaban dapat runtuh karena timbulnya materialisme, yaitu kegemaran penguasa dan masyarakat menerapkan gaya hidup malas yang disertai sikap bermewah-mewah. Sikap ini tidak hanya negatif, tapi juga mendorong tindak korupsi dan dekadensi moral.
Dalam peradaban yang telah hancur, masyarakat hanya memfokuskan pada pencarian kekayaan secepat-cepatnya dengan cara-cara yang tidak benar. Sikap malas masyarakat yang telah diwarnai oleh materialisme pada akhirnya mendorong orang mencari harta tanpa berusaha.
“Tindakan amoral, pelanggaran hukum dan penipuan, demi tujuan mencari nafkah meningkat di kalangan mereka. Jiwa manusia dikerahkan untuk berfikir dan mengkaji cara-cara mencari nafkah, dan menggunakan segala bentuk penipuan untuk tujuan tersebut. Masyarakat lebih suka berbohong, berjudi, menipu, menggelapkan, mencuri, melanggar sumpah, dan memakan riba,” kata Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun melanjutkan, “Tindakan-tindakan amoral di atas menunjukkan hilangnya keadilan di masyarakat yang akibatnya merembes kepada elite penguasa dan sistem politik. Kerusakan moral, penguasa dan sistem politik mengakibatkan berpindahnya Sumber Daya Manusia (SDM) ke Negara lain (Braindrain) dan berkurangnya pekerja terampil karena mekanisme rekrutmen yang terganggu. Semua itu bemuara para turunnya produktivitas kerja, dan di sisi lain menurunnya sistem pengembangan ilmu pengetahuan dan keterampilan”.
Baca juga: Keislaman Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Pengaruhnya Terhadap Dakwah
John L. Esposito (2009:55) juga menegaskan bahwa kegagalan militer dan kemerosotan ekonomi Daulah Utsmaniyah menyebabkan pemerintah tidak mampu lagi melakukan pengerahan politik dan memenuhi kewajiban-kewajiban sosialnya yang mana hal itu sangat menurunkan wibawa pemerintah. Dalam dunia politik, “Tanpa kesultanan yang kuat dan didukung perangkat birokrasi yang sehat, militer yang tangguh dan loyal serta kemampuan pemerintah mensejahterakan rakyat, maka kesultanan tidak lagi mempunyai arah dan tujuan yang jelas dalam bernegara.”
Sejak kekalahan Turki dalam pegepungan kota Wina pada tahun 1683, Kesultanan Turki Utsmani terus mengalami kemunduran sehingga mendorong para sultan pemerintahannya mengadakan pembaruan dan perubahan (Bernard, 1993: 218). Reformasi internal tertentu dilakukan. Namun, reformasi tidak menyentuh organisasi yang paling membutuhkan itu, yaitu korps militer Jennisari. Ini dipandang sebagai penyebab kekalahan Turki Utsmani dalam perang melawan Rusia pada tahun 1768-1774.
Di bawah perjanjian Carlowitz, Turki Utsmani mengakui kekalahannya. Mereka harus kehilangan Polandia, Hungaria, dan Transylvania. Meskipun demikian, Turki Utsmani mampu memulihkan keadaan dan membanggun kembali posisi mereka sebagai kekuatan tunggal terkuat di area sampai tahun 1768. Selanjutnya antara tahun 1768-1838, di bawah Sultan Abdul Hamid I, Salim III, dan Mahmud II terguncang oleh munculnya sejumlah perang.
Kemunduran Turki Utsmani, Awal Isu Westernisasi dan Gerakan Pembaruan
Kekalahan demi kekalahan yang dialami oleh Turki Utsmani dari Barat menjadi awal isu tentang pembaruan, modernisasi, dan westernisasi. Pada awal abad ke-18, usaha-usaha pembaruan itu sifatnya lain sebab Khilafah Utsmaniyah mulai membuka pintu bagi Barat. Kontak-kontak diplomatik dan kultural dengan Negara Eropa meyakinkan para negarawan Utsmani akan keunggulan teknik Barat, dan menjadikan mereka berupaya mencari bantuan teknis dalam urusan-urusan kemiliteran dari para ahli Barat (Ankara State, 1972: 30-31)
Menjelang akhir abad ke-18, hubungan-hubungan yang dijalin dengan Barat itu mengakibatkan meningkatnya “pencarian jati diri” karena kaum intelektual dan negarawan Utsmani mulai memandang westernisasi sebagai prasyarat pembaruan Kerajaan Utsmani. Karena itu, abad ke-19, perhatian pokok para pembaru Utsmani ialah membaratkan angkatan bersenjata, lembaga-lembaga pendidikan, hukum dan politik Kerajaan Utsmani. Permasalahan yang mereka hadapi ialah bagaimana cara melakukannya dalam suatu masyarakat, di mana Islam sudah berpenetrasi ke dalam sub-struktur sistem sosio-politik Turki Utsmani. (Binnaz Toprak, Islam dan Perkembangan Politik di Turki, 1999, hlm. 59)
Baca juga: Pembunuhan Khalifah Umar bin Khattab
Namun, pada akhir abad ke-18, kekuasaan Turki Utsmani tidak mampu lagi untuk mempertahankan dirinya menghadapi perkembangan kekuasaan dan kekuatan militer Eropa, serta tidak mampu mengelak dari penetrasi komersial Eropa. Tahun 1908 terjadi krisis politik internal di dalam tubuh kekuasaan Turki Utsmani yang mengganggu perimbangan kekuatan. Perang Dunia I menyempurnakan proses kesendirian Turki Utsmani sehingga pada bulan Desember 1914 Turki Utsmani melibatkan diri dalam Perang Dunia I dan masuk ke dalam kubu Jerman dan Austria (Lapidus, 2000: 66).
Kekuasaan Turki Utsmani juga semakin lemah dan berkurang karena beberapa negeri kekuasaannya memisahkan diri, di antaranya Rumania melepaskan diri dari Turki Utsmani pada bulan Maret 1877 M. Inggris diizinkan menduduki Siprus bulan April 1878 M. Bezarabia, Karus, Ardhan, dan Bathum dikuasai Rusia. Mesir, Hijaz, Syam, dan Irak memisahkan diri pada fase akhir Khilafah Utsmaniyah lewat Revolusi Arab yang dipimpin oleh Syarif Husain. [Diadaptasi dari 1924 Runtuhnya Khilafah; Lembaga Kajian Syamina, F. Irawan/dakwah.id]
Tema Terkait: Dakwah, Khilafah Islamiyah, Turki Utsmani, Negara Islam, Khalifah, Sejarah Islam, Wawasan, Tarikh Islam.