Daftar Isi
Artikel berjudul “Kisah Inspiratif Pernikahan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi” adalah artikel #04 dari serial artikel spesial Ramadhan 1444 H.
Sejarah mengabadikan beberapa nama ulama terkemuka dari Nusantara. Seperti Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syaikh Yasin al-Fadani, Imam Nawawi al-Bantani, dan masih banyak lagi. Kiprah dan kealiman mereka diakui dan disegani oleh ulama lainnya dari seluruh dunia.
Layaknya pejuang yang mengukir kemenangan dan mewarisi kebanggaan, para ulama pun meninggalkan kisah-kisah penuh hikmah dari perjalanan hidup mereka.
Kisah Pernikahan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
Kali ini, sosok ahli ilmu yang akan kita telusuri kisahnya adalah seorang pemuda dari Nusantara, tepatnya dari Ranah Minang, yang telah sukses menjadi bintang bersinar di tanah suci: Makkah al-Mukarramah.
Sebagaimana dituturkan dengan gaya bahasanya yang khas oleh Buya Hamka, dalam magnum opus-nya, Tafsir al-Azhar, yang ia dapat langsung dari anak keturunannya, bahwa ketika Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi masih berstatus seorang santri yang mencari ilmu di Masjidil Haram, ia kerap singgah di Babus Salam, pada sebuah toko buku kepunyaan seorang Kurdi, yang bernama Sayid Hamid Kurdi.
Syaikh Ahmad Khatib berkunjung ke toko buku itu untuk membeli kitab-kitab yang penting. Kadang-kadang kalau dia tidak ada uang, dia meminta permisi kepada pemilik toko, agar diizinkan menelaah salah satu kitab penting di situ, dan dia duduk beberapa saat membalik-baliknya; memperhatikan satu masalah yang sedang hendak dia pecahkan.
Hamid Kurdi senantiasa memperhatikan buku yang dibaca pemuda ini atau buku yang dibelinya. Maka tahulah dia bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan. Ia berfirasat bahwa kelak, pemuda ini akan menjadi ulama besar.
Lalu dia bertanya kepada pemuda itu dengan siapa dia belajar dan dari mana asal-usulnya dan apa Mazhab yang dianutnya. Ahmad Khatib telah menceritakan siapa-siapa gurunya, di antaranya ialah Sayid Zaini Dahlan. Ulama Syafi’iyah yang terkenal di masa itu.
Dikatakannya bahwa dia berasal dari Bukittinggi (Kotogadang) Minangkabau, dari keturunan orang-orang terkemuka juga dalam adat dan agama di negeri itu. Mendengar jawaban itu, timbullah persahabatan yang erat di antara si penjual kitab dengan pemuda bernama Ahmad Khatib. Dan terbukalah toko kitab Hamid Kurdi untuk Ahmad Khatib bermutalaah sesuka hatinya. Mana yang berkenan kepada hatinya, boleh diambil.
Hamid Kurdi tahu bahwa pemuda ini kaya dengan cita-cita, tetapi kurang dalam hal harta, meskipun dia dari keluarga orang baik-baik di negerinya. Akhirnya rasa suka itu telah lebih mendalam, sehingga Hamid Kurdi menawarkan kepada Ahmad Khatib supaya sudi menjadi menantunya. Apatah lagi Mazhab orang Kurdi umumnya ialah Syafi’i. Sama dengan Mazhab orang “Jawi” bangsanya Ahmad Khatib.
Baca juga Artikel Sejarah: Akar Pertumbuhan Mazhab Syafi’i di Nusantara
Oleh karena sangat pandainya Hamid Kurdi membujuk pemuda ini, akhirnya Ahmad Khatib tunduk. Tetapi dia menyatakan terus-terang bahwa dia tidak ada uang. Dan kalau diminta ke kampung, belum tentu ayahnya akan memberi, atau terlalu lama baru datang, menunggu orang akan naik Haji akan membawanya.
Hamid Kurdi mengatakan, bahwa asal dia mau kawin dengan anaknya, urusan maskawin itu tidak perlu dia susahkan.
Dalam hati, Ahmad Khatib masih bimbang; akan diterima atau tidak tawaran itu. Namun, Hamid Kurdi yang telah mantap hati, mengumpulkan keluarganya; lalu memberi tahu kepada mereka bahwa pemuda yang alim ini meminang putrinya dan telah sedia membayar maskawin 500 riyal.
Setelah dia terangkan kelebihan pemuda ini, terutama sekali persamaan Mazhab, seluruh keluarga menyambut hangat. Tanpa ragu untuk setuju.
Setelah mereka bubar diserahkannyalah uangnya sendiri 500 riyal kepada Ahmad Khatib. Dikatakannya uang ini hadiahku kepadamu, buat maskawin istrimu kelak, yang akan engkau bayar kontan di hadapan Qadhi. Dan berlangsunglah perkawinan yang penuh berkah itu.
Demikianlah. Ahmad Khatib membayar mahar istrinya dari uang yang disodorkan dari jalan belakang oleh bakal mertuanya sendiri. Setelah Ahmad Khatib bertemu dan bergaul dengan istrinya, dan uang mahar tersebut telah diterima oleh sang istri, maknanya, sang istri telah menyerahkan jiwa raganya. Dan kini, ia berniat menyerahkan hartanya kepada sang suami, yang dinilainya sebagai Alim besar. Ia memberi hadiah selayaknya murid menghadiahi gurunya.
Buya Hamka berkomentar, “Anak tidak mengetahui bahwa ayahnyalah yang menyodorkan maskawin itu, dari jalan belakang untuk membela air muka menantu. Karena yang diharapkannya dari menantu itu bukan hartanya melainkan ilmunya. Dan si ayah pun tidak tahu bahwa uang itu telah dihadiahkan pula kembali oleh anak perempuannya kepada suaminya, sebagai hadiah murid kepada gurunya.”
Kisah pun berlanjut, “Bertahun-tahun di belakang, setelah harapan dari Hamid Kurdi tercapai, telah bermenantu seorang Ulama Besar, pengarang kitab-kitab Agama yang terkenal, Profesor Agama Islam di Masjidil Haram, bermurid beratus-ratus orang datang dari seluruh pelosok tanah Indonesia. Yang waktu itu masih bernama Jawi. Barulah kedua rahasia ini terbuka. Dan semuanya disyukuri kepada Tuhan.
Beberapa tahun kemudian, istri yang salihah itu meninggal dunia. Sekali lagi, Hamid Kurdi meminta Ahmad Khatib untuk menikah dengan adik almarhumah. Tapi maskawin buat istrinya yang keduanya tidak lagi disodorkan dari jalan belakang. Sebab Ahmad Khatib telah menjadi salah seorang penduduk Makkah yang terkemuka, dan kaya, dikenal di dalam istana Syarif Makkah sendiri.
Pada saat itu Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi telah menjadi salah satu bintang Ulama Syafi’iyah yang terkenal di seluruh pelosok dunia Islam. Dan Ahmad Khatib telah diangkat oleh Syarif Makkah menjadi Imam dan Khatib dari Masjidil Haram.
Hikmah dari Pernikahan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
Ada beberapa hikmah yang bisa dipetik dari sekelumit kisah indah pernikahan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dengan putri Sayyid Hamid Kurdi ini.
Pertama:Ketajaman firasat Hamid Kurdi
Dalam sebuah hadits disebutkan, bahwa orang mukmin yang berfirasat, sejatinya melihat sesuatu dengan cahaya dari Allah. Bukan sekedar ramalan. Tetapi sebagian kecil dari nubuwah bagi orang-orang terpilih yang senantiasa meningkatkan kualitas iman dan takwanya.
Kedua: Ketekunan Ahmad Khatib dalam belajar
Hal inilah yang sepertinya langka didapati dari para penuntut ilmu hari ini. Kebanyakan mahasiswa tidak betah belajar berlama-lama di perpustakaan. Mereka lebih suka mengandalkan aplikasi, meskipun memang memudahkan dan itu sah-sah saja.
Tetapi, sejatinya, keseriusan dalam menelaah sesuatu ialah bersentuhan langsung dengan kitab fisik warisan ulama klasik.
Ketiga: Bukan hanya rajin membaca, Ahmad Khatib juga lelaki yang saleh
Bisa dilihat bagaimana Allah memberinya rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka. Mendapat istri salihah. Pegiat ilmu.
Bahkan kisah pernikahan Syaikh Ahmad Khatib mengingatkan kita pada sahabat Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu. Dzu Nurain. Yang menikahi dua anak Rasulullah Shallallahu ‘alaih wa Sallama, Ruqayyah dan Ummu Kultsum.
Keempat: Mengingatkan kita kepada QS. An-Nisa: 24
Sebagaimana dikatakan oleh Buya Hamka, cerita ini mengingatkan kita kepada ayat yang tengah kita tafsirkan (QS. An-Nisa: 24).
Yaitu, membayar maskawin adalah wajib. Tetapi keridhaan di antara suami dan istri adalah di atas segala maskawin atau nafkah. Bahkan keridhaan kedua belah pihak adalah alat sejati di dalam menempuh pasang naik atau pasang turun di dalam melayarkan kehidupan.
Kelima: Konsep al-kafa’ah
Konsep al-kafa’ah, kesepadanan dalam pernikahan, menyatakan bahwa menikah itu harus dengan yang sekufu yang sepadan.
Namun terkadang, ia disalah pahami seperti ini, “Mestinya seorang lelaki tidak menikahi perempuan yang lebih kaya darinya, karena tidak sekufu!” Padahal, anggapan ini tidak selalunya benar. Kesekufuan dalam pernikahan adalah sekufu dalam iman dam komitmen menjalankan agama.
Terbukti dari kisah ini. Ketika seorang pemuda dari negeri yang jauh di sana, kekurangan harta, diterima dan disambut baik-baik oleh keluarga berada. Karena mereka dipersatukan oleh keimanan, kecintaan pada ilmu dan visi misi perjuangan. Al-Arwaahu Junudun Mujannadah.
Keenam: Kewajiban seorang ayah mencarikan pasangan yang saleh untuk anak gadisnya
Sebagaimana yang telah ditunaikan dengan baik oleh Hamid Kurdi.
Ketujuh: Tidak ada syarat dan ketentuan bahwa menikah harus dengan yang satu mazhab atau satu harakah
Tidak ada syarat dan ketentuan bahwa menikah harus dengan yang satu mazhab atau satu harakah. Tetapi, menikahi akhwat yang semazhab atau satu harakah, bisa menjadi list utama dan prioritas.
Dengan harapan, hal tersebut lebih memudahkan komunikasi, sinergi, dan kontribusi untuk umat: Meminimalkan terjadinya gesekan-gesekan kecil karena perbedaan dalam hal teknis dan perkara furuk. Wallahu a’lam bish shawab. (Muhammad Faishal Fadhli/dakwah.id)
Artikel Spesial Ramadhan terbaru: