Daftar Isi
Dalam materi rumah tangga atau pernikahan, kisah Umar dimarahi istrinya ini akan sering terdengar. Biasanya ditujukan untuk para suami agar dapat berlapang dada menghadapi kekurangan istri atau sikap dan tabiatnya yang lepas kendali terhadap suaminya.
Tak pelak, kisah ini pun berseliweran melalui ceramah maupun tulisan, baik di media sosial atau pun di lapangan. Karena kandungan kisah ini memang enak didengar dan disukai oleh jiwa, khususnya oleh kaum hawa.
Parahnya, bahkan ada yang menjadikan kisah ini sebagai legitimasi bolehnya istri membentak dan mengangkat suaranya kepada suaminya dan suami harus terima dengan hal itu, beralasan bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu saja diam ketika dimarahi istrinya. Tidak diragukan lagi ini adalah hal yang mungkar dan bukan ajaran dakwah yang benar. Lantas bagaimanakah kebenaran kisah tersebut?
Kisah ini juga terkadang disampaikan dengan redaksi yang berbeda-beda tergantung retorika orang yang membawakannya, meskipun substansinya sama. Berikut redaksi kisahnya secara lengkap:
Redaksi Kisah Umar Dimarahi Istrinya
وَذُكِرَ أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ يَشْكُو إِلَيْهِ زَوْجَتَهُ، فَلَمَّا بَلَغَ بَابَهُ سَمِعَ امْرَأَتَهُ أُمَّ كُلْثُومٍ تَطَاوَلَتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: “إِنِّي أَرَدْتُ أَنْ أَشْكُوَ إِلَيْهِ زَوْجَتِي، وَبِهِ مِنَ الْبَلْوَى مِثْلُ مَا بِي”، فَرَجَعَ فَدَعَاهُ عُمَرُ، فَسَأَلَهُ فَقَالَ: “إِنِّي أَرَدْتُ أَنْ أَشْكُوَ إِلَيْكَ زَوْجَتِي، فَلَمَّا سَمِعْتُ مِنْ زَوْجَتِكَ مَا سَمِعْتُ رَجَعْتُ”، فَقَالَ عُمَرُ: “إِنِّي أَتَجَاوَزُ عَنْهَا لِحُقُوقٍ لَهَا عَلَيَّ: أَوَّلُهَا: هِيَ سِتْرٌ بَيْنِي وَبَيْنَ النَّارِ، فَيَسْكُنُ بِهَا قَلْبِي عَلَى الْحَرَامِ وَالثَّانِي أَنَّهَا خَازِنَةٌ لِي إِذَا خَرَجْتُ مِنْ مَنْزِلِي وَتَكُونُ حَافِظَةً لِمَالِي وَالثَّالِثُ أَنَّهَا قَصَّارَةٌ لِي تَغْسِلُ ثِيَابِي وَالرَّابِعُ: أَنَّهَا ظِئْرٌ لِوَلَدِي وَالْخَامِسُ أَنَّهَا خَبَّازَةٌ وَطَبَّاخَةٌ لِي”، فَقَالَ الرَّجُلُ: ” إِنَّ لِي مِثْلَ مَا لَكَ فَمَا تَجَاوَزْتُ عَنْهَا فَأَتَجَاوَزُ”
“Disebutkan konon ada seorang lelaki datang kepada Umar bin al-Khatthab. Ia mengadukan kepadanya tentang istrinya. Ketika lelaki itu sampai di pintu rumah Umar, ia mendengar istri Umar yaitu Ummu Kultsum membentaknya. Lelaki itu pun berkata (dalam hatinya), ‘Aku mau mengadukan kepadanya mengenai istriku. Namun, justru keadaannya sama saja denganku.’ Ia pun kembali, tetapi Umar malah memanggilnya. Umar pun menanyainya (mengapa ia pergi), ia menjawab, ‘Aku ingin mengadukan kepadamu tentang istriku. Tetapi ketika aku mendengar bagaimana sikap istrimu kepadamu yang barusan aku dengar, aku pun memutuskan kembali saja.’ Umar berkata, ‘Aku membiarkannya seperti itu karena ada hak-haknya yang harus aku tanggung. Pertama, ia adalah penghalang antara aku dengan neraka. Karena aku menjadikannya sebagai ketenanganku dari perkara (syahwat) yang haram. Kedua, ia adalah perbendaharaanku, karena ketika aku keluar dari rumahku ia yang akan menjaga hartaku. Ketiga, ia harus capek karenaku karena ia yang mencuci bajuku. Keempat, ia adalah orang yang mendidik anak-anakku. Kelima, ia yang menyiapkan roti dan masakan untukku.’ Lelaki itu pun berkomentar, ‘Sesungguhnya keadaan kita sama namun justru aku tidak memaafkannya, maka aku akan memaafkannya.’”
Kisah ini disebutkan oleh Imam Abu al-Laits as-Samarqandi rahimahullah dalam Tanbih al-Ghafilin (1/518). Juga disebutkan oleh al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah dalam al-Kabair (1/179) dan diikuti oleh al-Allamah Ibnu Hajar al-Haytami rahimahullah dalam az-Zawajir (2/80), dengan redaksi yang sedikit berbeda.
Lalu diikuti oleh para ulama setelahnya yang secara estafet menyebutkan kisah ini dalam sebagian kitab mereka.
Jadilah kisah ini masyhur dan tersebar hingga hari ini. Ditambah sebagian dai sering menyampaikan kisah ini sebagai bumbu pembahasan mereka ketika berbicara soal pernikahan, keluarga, dan hubungan suami istri.
Validitas Riwayat
Mata rantai periwayatan (sanad) kisah ini tidak ditemukan dalam referensi mana pun. Baik referensi hadits maupun sirah. Para ulama yang menyebutkan kisah ini dalam kitab-kitab mereka juga tidak menyertakan sanadnya sama sekali. Bahkan mereka mencantumkannya dengan kalimat pasif yang menunjukkan tidak yakinnya mereka akan keshahihan kisah ini.
As-Samarqandi rahimahullah menggunakan kalimat “disebutkan”, sedangkan adz-Dzahabi rahimahullah dan diikuti oleh al-Haytami rahimahullah menggunakan kalimat “diriwayatkan”. Ironisnya, baik adz-Dzahabi maupun al-Haytami rahimahumallah tidak mengomentari kisah ini sedikit pun.
Adapun mengenai sikap adz-Dzahabi maupun al-Haytami rahimahullah dalam hal ini sama seperti sikap keduanya terhadap riwayat azab wanita yang membuka auratnya. Ini sudah pernah kami singgung ketika membahas riwayat tentang kisah azab wanita yang palsu.
Ketiadaan mata rantai periwayatan dan referensi riwayat kisah ini dikonfirmasi oleh Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid hafidzhahullah wa fakka asrahu ketika ditanyai tentang kisah ini. Syaikh al-Munajjid hafidzhahullah mengatakan,
فَهَذِهِ الْقِصَّةُ لَمْ نَجِدْ لَهَا أَصْلًا، وَلَا وَجَدْنَا أَحَدًا مِنْ أَهْلِ اْلعِلْمِ بِالْحَدِيثِ تَكَلَّمَ عَلَيْهَا بِشَيْءٍ وَإِنَّمَا ذَكَرَهَا الشَّيْخُ سُلَيْمَانُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْبُجَيْرِمِيِّ الْفَقِيهِ الشَّافِعِيِّ فِي “حَاشِيَتِهِ عَلَى شَرْحِ الْمِنْهَجِ” (3/ 441-442)، كَمَا ذَكَرَهَا أَيْضًا أَبُو الَّليْثِ السَّمَرْقَنْدِيُّ الْفَقِيهُ الْحَنَفِيُّ فِي كِتَابِهِ “تَنْبِيهُ الْغَافِلِينَ” (ص: 517) وَكَذَا ابْنُ حَجَرِ اْلهَيْتَمِيُّ فِي “الزَّوَاجِرِ” (2/80) وَلَمْ يَذْكُرْ وَاحِدٌ مِنْهُمْ إِسْنَادَهَا، بَلْ صَدَرُوهَا كُلُّهُمْ بِصِيغَةِ التَّمْرِيضِ الَّتِي تُفِيدُ التَّضْعِيفَ عَادَةً: ” ذُكِرَ أَنَّ رَجُلاً “، “رَوَى أَنَّ رَجُلاً”، وَهَذَا مِمَّا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْقِصَّةَ لَا تَصِحُّ
“Kisah ini tidak kami dapati sumber (asal)nya. Kami juga tidak mendapati seorang pun dari ahli ilmu di bidang hadits yang memperbincangkannya sedikit pun. Hanya saja kisah ini disebutkan oleh Syaikh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairimi, seorang faqih Syafii dalam “Hasyiah ‘ala Syarh al-Minhaj (3/441-442). Juga disebutkan oleh Abu al-Laits as-Samarqandi, seorang fiqh Hanafi dalam kitabnya Tanbih al-Ghafilin (hal. 517). Serta dicatutkan oleh al-Haytami dalam az-Zawajir (2/80). Namun tidak ada seorang pun dari mereka yang mencantumkan sanadnya. Bahkan mereka semuanya memaparkan kisah tersebut dengan bentuk nukilan pasif yang biasanya mengindikasikan kelemahannya (kisah tersebut), seperti lafaz “disebutkan bahwa seorang lelaki” dan “diriwayatkan bahwa ada seseorang.” Ini menunjukkan bahwa kisah tersebut tidak shahih.” (Dikutip dari situs resmi Islam QA dengan nomor pertanyaan: 179442)
Hal ini juga dikonfirmasi oleh situs pusat fatwa Islam web yang berada di bawah pengembangan resmi Kementerian Wakaf dan Urusan Keagamaan Qatar dengan Syaikh Jasim Abdullah al-‘Ali hafidzhahullah sebagai penanggung jawabnya. Situs fatwa Islam web menjawab,
فَلَمْ نَجِدْ أَثَراً بِهَذِهِ الصِّيغِةِ الَّتِي ذَكَرْتَ، وَلَكِنْ رَوَى الطَّبَرَانِيُّ أَثَراً قَرِيباً مِنْهُ
“Kami tidak menemukan atsar dengan bentuk yang anda sebutkan itu. Hanya saja terdapat atsar yang riwayat oleh ath-Thabarani yang mirip dengan kisah itu.” (Dikutip dari situs resmi fatwa Islam web dengan nomor fatwa: 112869)
Ketiadaan sanad kisah ini menunjukkan bahwa kisah itu tidak ada asalnya. Tidak memiliki sumber sama sekali. Tidak berlebihan jika disebut sebagai kisah rekaan atau kisah fiktif dan palsu.
Jika kisah yang memiliki mata rantai periwayatan saja bisa divonis sebagai riwayat palsu jika ada cacat parah pada perawi yang meriwayatkannya, maka kisah yang tidak memiliki sumber sanad (mata rantai periwayatan) sama sekali lebih layak untuk disebut sebagai “kisah palsu.” Sebab, keberadaan sanad tak ubahnya seperti saksi sejarah yang menyaksikan kisah tersebut. Jika tidak ada sanad, maka bagaimana bisa dipastikan kebenaran kisah itu sendiri?
Riwayat Yang Tidak Ada Asalnya (Laa Ashla Lahu)
Riwayat yang tidak memiliki sumber mata rantai periwayatan atau disebut dengan istilah sanad dikenal dengan istilah riwayat laa ashla lahu (tidak ada asalnya). Imam As-Suyuthi rahimahullah mengatakan sembari menukil ucapan Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah,
الثَّالِثَةُ: قَوْلُهُمْ هَذَا الْحَدِيثُ لَيْسَ لَهُ أَصْلٌ، أَوْ لَا أَصْلَ لَهُ قَالَ ابْنُ تَيْمِيَّةَ: مَعْنَاهُ لَيْسَ لَهُ إِسْنَادٌ
“Ketiga, “Perkataan mereka (para ulama), “hadits ini tidak memiliki asal (sumber) atau tidak ada asalnya,” Ibnu Taimiyah mengatakan, ‘Maknanya adalah riwayat yang tidak memiliki sanad.’” (Tadrib ar-Rawi, As-Suyuthi, 1/350)
Hadits atau riwayat yang tidak memiliki sumber sanad termasuk bagian dari riwayat palsu. Tentu menyebarkannya merupakan suatu kebohongan dan mengada-ada atas nama orang yang diriwayatkan. Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,
وَمِنْ هَهُنَا يَنْبَغِي التَّحَرُّزُ مِنَ الْكَذِبِ كُلَّمَا أَمْكَنَ، فَلَا يُحَدِّثُ إِلَّا مِنْ أَصْلٍ مُعْتَمَدٍ، وَيَجْتَنِبُ الشَّوَاذَّ وَالْمُنْكَرَاتِ
“Dari sini jelas, sudah sepantasnya menjauhi segala bentuk kedustaan sebisa mungkin. Maka tidak boleh menyebarkan riwayat kecuali berasal dari sumber yang telah valid sembari menjauhi berbagai riwayat yang ganjil dan mungkar.” (Al-Ba’its al-Hatsits, Ibnu Katsir, 1/103)
Riwayat yang tidak memiliki sumber asal (sanad) tidak ada bedanya dengan riwayat palsu. Bahkan lebih parah lagi. Karena adakalanya riwayat palsu memiliki silsilah sanad walaupun berisi para perawi yang terindikasi sebagai pemalsu, sedangkan riwayat yang tidak ada sanadnya justru tidak ada periwayatnya sama sekali.
Artikel Keluarga: Setelah Jatuh Talak Tiga Haram Rujuk Kembali. Kenapa?
Al-Hafizh Al-Hafizh Ibnu ‘Iraq al-Kinani rahimahullah mengatakan,
إِذَا قَالَ أَحَدُهُمْ فِي حَدِيثٍ لَا أَعْرِفُهُ أَوْ لَا أَصْلَ لَهُ كَفَى ذَلِكَ فِي الْحُكْمِ عَلَيْهِ بِالْوَضْعِ وَاللهُ أَعْلَمُ
“Apabilah ada seorang di antara mereka (para ulama hadits) berkata dalam sebuah hadits (riwayat), “Aku tidak mengenai hadits ini” atau “Riwayat ini tidak ada asalnya”, maka itu sudah cukup menghukumi riwayat itu sebagai riwayat palsu. Wallahu a’lam” (Tanzih asy-Syariah, Ibnu ‘Iraq, 1/8)
Kemasyhuran sebuah riwayat atau kisah tidak dapat menjadi alasan akan kebenaran riwayat atau kisah itu sendiri. Sebab, yang menjadi parameter benar atau tidaknya sebuah kisah adalah keberadaan sanad dan validitas silsilah sanad itu sendiri mengikuti standar ilmu riwayat yang berlaku dalam Islam. Hal ini telah diwanti-wanti oleh para ulama. Imam Ibnu Katsir mengatakan ketika menjelaskan tentang hadits masyhur,
وَقَدْ يُشْتَهَرُ بَيْنَ النَّاسِ أَحَادِيثُ لَا أَصْلَ لَهَا أَوْ هِيَ مَوْضُوعَةٌ بِالْكُلِّيَّةِ وَهَذَا كَثِيرٌ جِدًّا
“Telah masyhur banyak hadits (riwayat) di tengah-tengah masyarakat yang tidak ada asalnya atau riwayat palsu secara total dan ini banyak sekali jumlahnya.” (Al-Ba’its al-Hatsits, Ibnu Katsir, 1/155—156).
Karena itulah para ulama sedari dulu memberi parameter yang jelas dalam masalah ini, khususnya masalah periwayatan hadits dan atsar. Demi menjaga keorisinilan ajaran Islam beserta para tokohnya dan salah satu senjata bagi para dai dan ulama dalam berdakwah. Salah satunya adalah keberadaan silsilah mata rantai periwayatan (sanad).
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Imam Ibnul Mubarak rahimahullah,
الْإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ، وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ
“Sanad bagian dari agama. Andaikan bukan karena sanad, niscaya orang akan berbicara (tentang agama) semaunya.” (Muqaddimah Sahih Muslim, Muslim, 1/15)
Imam al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah meriwayatkan dengan sanad bersambung kepada Sufyan ats-Tsauri rahimahullah yang berkata,
الْإِسْنَادُ سِلَاحُ الْمُؤْمِنِ فَإِذَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ سِلَاحٌ، فَبِأَيِّ شَيْءٍ يُقَاتِلُ
“Sanad adalah senjata seorang mukmin. Jika ia tidak memiliki senjata, dengan apa ia akan berperang?!” (Syarf Ashab al-Hadits, Khathib al-Baghdadi, 1/42)
Kisah Lain
Walau kisah Umar rahimahullah tersebut tidak ada asalnya dan tentunya adalah kisah yang batil atau palsu, tetapi terdapat kisah lain di mana seorang lelaki mengadu kepada Umar radhiyallahu ‘anhu perihal istrinya, sebagaimana yang diisyaratkan oleh situs Islam web sebelumnya.
Namun, jawaban beliau berbeda dengan kisah di atas. Juga tidak ada keterangan bahwa Umar bin al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu dimarahi atau dibentak oleh istri beliau dalam keadaan beliau mendiamkannya. Imam ath-Thabarani rahimahullah mengatakan,
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَبْدِ الرَّزَّاقِ، عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ، عَنْ شَيْخٍ مِنْهُمْ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: جَاءَ جَرِيرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ إِلَى عُمَرَ يَشْكُو إِلَيْهِ مَا يَلْقَى مِنَ النِّسَاءِ، فَقَالَ عُمَرُ: “إِنَّا لَنَجِدُ ذَلِكَ حَتَّى إِنِّي لَأُرِيدُ الْحَاجَةَ” فَيُقَالُ لِي: “مَا تَذْهَبُ إِلَّا إِلَى فَتَيَاتِ بَنِي فُلَانٍ تَنْظُرُ إِلَيْهِنَّ”، فَقَالَ لَهُ عِنْدَ ذَلِكَ عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْعُودٍ: “أَمَا بَلَغَكَ أَنَّ إِبْرَاهِيمَ شَكَى إِلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ذَرَا خُلُقَ سَارَةَ، فَقِيلَ لَهُ إِنَّمَا خُلِقَتْ مِنْ ضِلْعٍ فَالْبَسْهَا عَلَى مَا كَانَ فِيهَا مَا لَمْ تَرَ عَلَيْهَا خِزْيَةً فِي دِينِهَا” فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: “لَقَدْ حَشَى اللهُ بَيْنَ أَضْلَاعِكَ عِلْمًا كَثِيرًا”
“Ishaq bin Ibrahim menceritakan kepada kami, dari Abdu ar-Razzaq, dari Ibnu Uyainah, dari seorang syaikh dari kalangan mereka, dari ayahnya. Ia berkata, “Jarir bin Abdullah datang menemui Umar guna mengadukan apa yang ia sampai kepadanya mengenai tabiat kaum wanita.” Umar berkata, “Kami benar-benar mendapati hal tersebut (dari kaum wanita) sampai-sampai aku betul-betul menginginkan sebuah hajat (kebutuhan syahwat darinya).” Lalu ada yang mengatakan kepadaku (Jarir), “Kamu jangan pergi kecuali ke wanita-wanita Bani fulan untuk melakukan nazhar (memandang wajah) mereka)!” Abdullah bin Mas’ud berkata kepadanya, “Belumkah sampai kepadamu riwayat bahwa Ibrahim pernah mengadu kepada Allah ‘Azza wa Jalla mengenai tabiat Sarah?! Namun, malah dikatakan kepada Ibrahim, “Sesungguhnya ia (Sarah) diciptakan dari rusuk yang bengkok, maka pakailah ia (tetaplah bersamanya) meski tabiatnya seperti itu selama kamu tidak melihat ada kecacatan pada dirinya dalam perkara agamanya!” Umar pun berkata kepada Ibnu Mas’ud, “Allah sungguh telah menaruh ilmu yang banyak di dalam hatimu.” (HR. Ath-Thabarani dalam al-Kabir: 9685)
Riwayat ini amat terang kelemahannya. Karena adanya 2 perawi yang mubham (tidak ada namanya dan identitasnya), yakni syaikh yang diriwayatkan oleh Ibnu Uyainah dan ayah syaikh tersebut. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Haitsami rahimahullah mengatakan,
رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ، وَفِيهِ رَاوِيَانِ لَمْ يُسَمِّيَا، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ رِجَالُ الصَّحِيحِ
“Diriwayatkan oleh ath-Thabarani. Dalam sanadnya terdapat 2 perawi yang tidak disebutkan namanya, sedangkan rawi-rawi lainnya adalah rawi-rawi kitab Shahih.” (Majmu’ az-Zawaid, al-Haitsami, 4/304)
Ketidakjelasan nama, identitas, apatah lagi kredibilitas 2 perawi tersebut sudah cukup untuk menjadikan kisah tersebut lemah. Apatah lagi jika yang mubham sampai 2 perawi.
Kisah ini juga hanya diriwayatkan oleh ath-Thabarani rahimahullah dari jalur Ishaq bin Ibrahim, dari Abdu ar-Razzaq, dari Sufyan bin Uyainah. Ishaq bin Ibrahim ini adalah Ishaq bin Ibrahim bin ‘Abbad ad-Duburi ash-Shan’ani Abu Ya’qub.
Beliau adalah guru Imam ath-Thabarani rahimahullah dan sebagaimana yang disebutkan oleh al-Hafizh al-Haitsami rahimahullah bahwa seluruh rawinya termasuk rawi kitab shahih, tak terkecuali Ishaq ad-Duburi ini.
Namun, kitab shahih yang dimaksud bukanlah kitab shahih al-Bukhari maupun Muslim. Karena tidak didapati Imam al-Bukhari maupun Imam Muslim rahimahumallah meriwayatkan darinya.
Akan tetapi, seperti yang disampaikan oleh al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah, “Abu Awanah telah berhujjah dengan ad-Duburi dalam Shahih-nya. Demikian juga para ulama lainnya. Ath-Thabarani sendiri banyak meriwayatkan darinya.” (Mizan al-I’tidal, adz-Dzahabi, 1/181)
Terlepas dari itu semua, Ishaq bin Ibrahim ad-Duburi ini ternyata tidak luput dari celaan. Di antaranya ucapan al-Hafizh Ibnu Adi rahimahullah,
اسْتَصْغَرَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَحْضَرَهُ أَبُوهُ عِنْدَهُ وَهُوَ صَغِيرٌ جِدًّا فَكَانَ يَقُولُ: قَرَأْنَا عَلَى عَبْدِ الرَّزَّاقِ أَيْ قَرَأَ غَيْرُهُ، وَحَضَرَ صَغِيرًا وَحَدَّثَ عَنْهُ بِحَدِيثٍ مُنْكَرٍ
“Ia dahulu dianggap masih kecil oleh Abdu ar-Razzaq. Ayahnya yang membawa Ishaq kepada Abdu ar-Razzaq dalam keadaan masih kanak-kanak sekali. Ishaq mengatakan, “Kami dahulu membacakan hadits terhadap Abdur ar-Razzaq, yakni orang lain yang membacakan hadits tersebut. Ia hadir (di majlis) ketika masa anak-anak dan meriwayatkan dari Abdu ar-Razzaq hadits mungkar.” (Al-Kamil, Ibnu Adi, 1/560)
Al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah memasukkannya dalam rawi-rawi lemah meski menilainya sebagai rawi yang shaduq (jujur), sembari memberi catatan kepadanya,
“Ishaq meriwayatkan dari Abdur Razzaq hadits-hadits mungkar, sehingga muncullah keraguan pada riwayat-riwayatnya tersebut, apakah riwayat itu berasal dari ad-Duburi yang menyendiri dengan riwayat tersebut atau riwayat terjaga (shahih) yang Abdu ar-Razzaq menyendiri riwayat itu. Sekelompok huffazh (ulama hadits) berhujjah dengannya seperti Abu Awanah dan lainnya.” (Al-Mughni fi adh-Dhuafa, adz-Dzahabi, 1/69)
Artikel Fikih: Keutamaan Shaum Daud
Riwayat ath-Thabarani ini termasuk riwayat yang Ishaq berkesendirian dengannya. Karena tidak ada yang meriwayatkan kisah ini selain Imam ath-Thabarani rahimahullah. Maka jadilah riwayat ini memiliki cacat yang terbilang parah.
Pertama, adanya 2 rawi yang mubham (tidak diketahui nama dan identitasnya), yakni antara Ibnu Uyainah dengan Jarir bin Abdullah al-Bajali.
Kedua, kredibilitas Ishaq bin Ibrahim ad-Duburi yang diketahui meriwayatkan riwayat mungkar dari Abdu ar-Razzaq.
Ketiga, berkesendirannya ia meriwayatkan kisah ini dari Abdu ar-Razzaq. Tafarrud atau infirad-nya Ishaq dalam hal ini semakin menambah keganjilan kisah dan kelemahan riwayat ini.
Tentunya dari segi matan, pada kisah ini tidak disebutkan bahwa Umar radhiyallahu ‘anhu dimarahi oleh istrinya. Hanya memiliki kemiripan dalam hal adanya seseorang yang mengadu kepada Umar radhiyallahu ‘anhu mengenai tabiat kaum wanita. Orang itu adalah shahabat Jarir bin Abdullah al-Bajali radhiyallahu ‘anhu. Asalnya bukan ini fokus pembahasan kita. Sebab, hakikatnya kandungan kisah ini hendak menunjukkan keutamaan atau kedudukan shahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu melalui ucapan Umar radhiyallahu ‘anhu sendiri kepadanya. Pembahasan pokok kita pada dasarnya adalah kisah Umar radhiyallahu ‘anhu yang dimarahi Istrinya. Namun, kami kira tidak mengapa melakukan takhrij pada kisah ini guna menambah faidah. Wallahu a’lam.
Kesimpulan
Kisah Umar radhiyallahu ‘anhu yang dimarahi istrinya sebagaimana yang masyhur hari ini adalah kisah yang tidak valid (shahih), karena tidak memiliki mata rantai periwayatan (sanad) sama sekali. Juga tidak pernah diperbincangkan oleh seorang ulama hadits atau ahli sejarah kenabian (sirah) dalam kitab-kitab mereka.
Tak berlebihan jika dikatakan bahwa ini adalah kisah fiktif atau palsu yang dibawakan atas nama Umar radhiyallahu ‘anhu. Tidak layak mendakwahkan kisah ini tatkala kita mengetahui statusnya. Karena sama saja berbohong atau berdusta atas nama Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu.
Jika berdusta atas nama seorang muslim saja merupakan dosa besar, bagaimana dengan berdusta atas nama sahabat mulia sekaligus mertua Rasulullah tersebut?! Tentu lebih besar dosanya.
Sebagaimana kata Imam Ibnul Mubarak rahimahullah di atas, “Andaikan bukan karena sanad, niscaya orang akan berbicara semaunya.” Demikian juga, jika bukan dengan sanad, maka orang akan mengarang cerita sesukanya. Wallahu a’lam bish shawab. (Fathan Abu Uswah/dakwah.id)
Baca juga artikel Tabayun atau artikel menarik lainnya karya Fathan Abu Uswah.
Artikel Tabayun terbaru: