Konsep Wilayatul Faqih Ternyata Juga Ditolak Oleh Tokoh Syiah dakwah.id

Konsep Wilayatul Faqih Ternyata Juga Ditolak Tokoh Syiah

Terakhir diperbarui pada · 503 views

Republik Iran menetapkan legitimasi rezim yang berkuasa berdasarkan dengan konsep Wilayatul Faqih. Dengannya, ulama memiliki hak absolut untuk memimpin masyarakat dan memimpin sistem politik.

Hal ini berlangsung semenjak keberhasilan revolusi Iran pada tahun 1979 M yang telah berhasil menumbangkan rezim diktator Syah Reza Pahlavi.

Keberhasilan revolusi yang dipimpin oleh Khumaini ini menghasilkan sebuah sistem politik baru yang belum dikenal dalam konsep negara modern sebelumnya. (Majallat ad-Dirasat al-Iraniyyah, Vol. 02, hal. 82 dalam artikel yang berjudul Wilayat al-Faqih fi al-‘Aql al-Mazhabi oleh DR. Fathi Abu Bakr al-Maraghi)

Sistem ini merupakan kelanjutan dari ajaran Imamah, yang membedakan antara Syiah Itsna ‘Asyariyah dengan aliran Syiah yang lain.

Imamah merupakan inti dari ajaran Syiah. Karenanya, ia memiliki posisi terpenting dalam rukun iman, sehingga masuk dalam ranah usuluddin (pokok agama) bukan furu’ (cabang). Keyakinan terhadap Imamah berperan penting dalam melahirkan seluruh inti beserta cabang ajaran Syiah yang lain.

Ajaran politik Syiah Itsna ‘Asyariyah ini tidak muncul begitu saja, tetapi berkembang seiring berjalannya waktu.

Konsep ini tidak memiliki dalil yang kuat (qath’i), lebih dominan produk ijtihad, tetapi dalam praktiknya mengikat dalam Aqidah sehingga para penolaknya dianggap musuh bagi agama dan negara.

Ini terbukti pada sikap Khumaini kepada kelompok yang menolak konsep tersebut. Pun setelah diterapkan, ini hanya mengeluarkan dari satu pemerintahan fasisme otoriter ke pemerintahan fasisme lain atas nama agama.

Penolakan Konsep Wilayatul Faqih di awal Revolusi

Penolakan konsep ini sudah ada semenjak Wilayatul Faqih dideklarasikan pertama kali, karena tidak ada penerimaan konsep tersebut oleh sebagian besar fukaha Syiah saat itu. Hanya Ayatullah Borujerdy yang menyetujuinya dengan memberikan batasan-batasan dan syarat-syarat tertentu. (DR. Fathi Abu Bakr al-Maraghi, 84)

Artikel Akidah: Takwil Batini, Cara ‘Nyeleneh’ Syiah Mengakali Tafsir Al-Quran

Berikut ini beberapa tanggapan dan sebab penolakan atas konsep tersebut dari tokoh-tokoh Syiah yang hidup semasa dengan Khumaini:

Pertama: Berhukum pada Kemusyrikan dan Kekafiran

Penyeru konsep ini dihukumi sebagai seorang musyrik dan kafir. Karena kepemimpinan mutlak (al-Wilayah al-Mutlaqah) bagi seorang fakih tidak ada landasannya sama sekali dalam al-Quran.

Dua tokoh besar pencetus konsep tersebut, Mullah Ahmad an-Niraqi (1828 M) dan Khumaini (1989 M), tidak beristidlal menggunakan al-Quran dalam merumuskan konsep tersebut.

Menurut Khumaini, seorang Fakih telah ditunjuk secara spesifik oleh Allah, Rasul-Nya, atau para Imam agar mereka mengatur urusan agama dan politik umat.

Khumaini secara eksplisit telah menyebutkannya di banyak ceramah dan tulisannya. Semisal, tanggapannya terhadap oposisi yang menolak konsep tersebut, Mehdi Bazargan, yaitu seorang kepala pemerintahan sementara setelah revolusi.

Khumaini mengatakan,

Saya harus memperingatkan Anda sekali lagi, pelantikan saya (sebagai Waliyyul faqih) merupakan mandat dari Allah subhanahu wata’ala. Bila saya sudah dilantik maka menaati saya hukumnya wajib, dan rakyat harus mengikuti saya.

Kafirnya para pengusung konsep ini dikuatkan dengan pidato Khumaini yang ditunjukkan kepada Ali Khamenei pada tahun 1988 M. Khumaini mengatakan,

Pemerintahan Iran saat ini merupakan kelanjutan dari kepemimpinan mutlak yang dimiliki Rasulullah…ia lebih didahulukan dari hukum-hukum agama yang ada, bahkan lebih didahulukan dari shalat, puasa, dan ibadah haji.” (DR. Fathi Abu Bakr al-Maraghi, 85)

Artikel Fikih: Permainan Menyerupai Judi, Bagaimana Hukumnya?

Kafirnya para pengusung konsep ini telah diungkapkan oleh Ayatullah Sayyid Abu al-Fadl bin ar-Ridha al-Burqa’i al-Qumi (w. 1991 M) di dalam kitabnya Sawaniḥ al-Ayyam.

Tanggapannya ialah,

Pertama, kita jangan menamakan undang-undang syirik ini atas nama Islam. Tidak didapati ada satu ayat atau hadits pun yang mengatakan kalau seorang fakih memiliki wilayah (berkuasa) atas kaum muslimin. Mereka berhujah hanya berdasarkan dengan sebuah riwayat dari Imam Mahdi,

فَارْجِعُـوْا إِلَـى رُوَاةِ أَحَادِيْثُنَـا

Kembalikanlah urusan kaum muslimin ini (pada masa kegaiban) kepada para perawi hadits kami.

Kedua, tidak boleh menerima riwayat yang bertentangan dengan al-Quran. Mereka (Khumaini dkk.) ingin menguasai rakyat dengan dalil riwayat tersebut.

Fukaha Syiah pada generasi awal memberikan otoritas bagi seorang Fakih al-Jami’ li asy-Syarait (seorang fakih yang memenuhi persyaratan) sebatas pada anak yatim, anak kecil, dan orang gila yang tidak memiliki wali.

Tetapi, mereka hari ini (Khumaini dkk.) tidak membatasinya, sehingga mereka mendapatkan otoritas atas seluruh manusia. Mereka juga meletakkan al-‘amaim (sorban) di atas kepala mereka. Menyeru manusia kepada konsep Wilayatul Faqih.

Umat memang wajib menaati para penguasa, dengan syarat, jika mereka berhukum dengan hukum Allah dan taat pada-Nya.

Hakikatnya, kita menaati mereka sebagai bentuk ketaatan kita dalam menjalankan perintah Allah subhanahu wata’ala. Bukan karena diri seorang fakih itu. Baik dia mujtahid maupun tidak. Karena hak dalam kepemimpinan bukan milik seorang mujtahid. Istilah mujtahid baru muncul pada abad keempat Hijriyah.

Hal ini dapat menjerumuskan pada perbuatan syirik, yakni syirik ketaatan. Karena siapa yang memberikan ketaatan secara mutlak kepada hamba, selain Allah subhanahu wata’ala, maka itu adalah thaghut. Menjadikan tandingan bagi Allah subhanahu wata’ala.

Kita wajib mengatakan kebenaran! Memberikan wilayah yang universalitas bagi selain Allah subhanahu wata’ala merupakan bentuk kekafiran dan kemusyrikan.” (Sawaniḥ al-Ayyam, al-Burqa’i, 178)

Al-Burqa’i memiliki pandangan tersendiri terhadap Khumaini, ia mengatakan,

“Khumaini terbenam dalam filsafat Yunani. Dia tidak memiliki pemahaman yang mendalam akan al-Quran, menafsirkan al-Quran menggunakan metodenya para filsuf, dan berkeyakinan bahwa al-Quran (maknanya) tidak dapat dipahami. Saya dapat memastikan bahwa Khumaini terlampau jauh tenggelam dalam takhayul.” (Sawaniḥ al-Ayyam, al-Burqa’i, 149)

 

Kedua: Konsep Wilayatul Faqih Tidak ada Riwayat dari Ahlu Bait

Ulama Syiah yang berpendapat demikian tidak sampai mengkafirkan Khumaini. Mereka menolak konsep tersebut karena lemahnya riwayat dari ahlu bait.

Mulanya, mereka berada di barisan Khumaini ketika terjadi revolusi yang menumbangkan Syah Reza Pahlavi pada tahun 1979 M, dan mendukung pembentukan Republik Islam (baca: Syiah) Iran.

Mereka berbalik melawan setelah mengetahui bahwa konsep Wilayatul Faqih ini ternyata memberikan seorang fakih sebuah kedudukan yang lebih tinggi dari kedudukan yang pernah dimiliki Syah Reza. Baik itu dalam kekuasaan politik, militer dan administrasi negara.

Di antara mereka adalah Ayatullah Al-Uzma Muhammad Hasan Thabathaba’i Al-Qumi (2007 M) dan seorang marja’ Ayatullah Muhammad Kazem Shariatmadari (1986 M). (DR. Fathi Abu Bakr al-Maraghi, 87)

Ketiga: Konsep Wilayatul Faqih Tidak Tercantum dalam Kitab Ulama Syiah Terdahulu

Sejumlah penulis modern, terutama pada era reformasi di bawah kepemimpinan Presiden Muhammad Khatami, telah mendeklarasikan penolakan terhadap konsep Wilayatul Faqih.

Mereka mengungkapkan fakta yang ada. Yaitu, tidak ada ulama Syiah mulai dari abad keempat Hijriyah hingga masa tersebut yang memberikan otoritas kekuasaan mutlak kepada seorang fakih.

Yang ada, mereka hanya mendapatkan wewenang pada perkara peradilan, hudud, takzir, dan sebagai wali atas orang yang tidak memiliki wali: anak yatim, orang gila dan orang idiot.

Fakta lain, sebelum abad kesepuluh Hijriyah, ajaran Syiah hanya mengenal bahwa seorang penguasa itu harus dari seseorang yang maksum (Imam). Bagi mereka, sifat maksum adalah syarat dari seorang penguasa, ini hanya dimiliki oleh Nabi dan kedua belas Imam.

Ulama Syiah masa itu tidak membicarakan politik apa pun, konsep Wilayatul Faqih baru muncul pada fase terakhir perkembangan fikih Syiah.

Mereka berusaha membuktikan bahwa Wilayatul Faqih tidak datang dari Allah subhanahu wata’ala dan bahwa itu adalah murni teori politik yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama.

Walhasil, para wali fakih tidak memiliki hak atas kekuasaan absolut yang mereka yakini itu merupakan mandat ilahi dari para Imam.

Artikel Sejarah: Aisyah Istri Rasulullah yang Sangat Dibenci Kaum Syiah

Para penulis pandangan ini diwakili oleh Mohsen Kadivar, yang telah mewarnai kancah perpolitikan Iran sejak tahun 1990-an. Ia memperolah ijazah dalam berijtihad dari Ayatullah Montazeri (2009 M) setelah menyelesaikan sekolah selama 17 tahun di Hauzah Ilmiyah (Sekolah khusus kaderisasi ulama Syiah). Ia juga mendapat gelar Ph.D. di bidang Filsafat di Universitas Tarbiat Modares, Teheran.

Dia dijatuhi hukuman penjara dan kemudian dideportasi dan dilarang mengajar, dan akhirnya tinggal di luar Iran. (DR. Fathi Abu Bakr al-Maraghi, 87–88)

Keempat: Menolak Kalangan Agamawan Menduduki Kursi Pemerintahan

Menurut mereka, tak seorang fakih pun yang sanggup memikul tanggung jawab tersebut dikarenakan mereka manusia biasa. Akan berpotensi memutuskan perkara yang tidak mendatangkan maslahat. Dan akan lebih banyak kerusakan yang bakal ditimbulkan darinya.

Mereka masih konsisten dengan syarat yang diberikan oleh ulama Syiah terdahulu bahwa syarat seorang penguasa haruslah Imam yang maksum.

Banyak ulama Syiah yang berpandangan seperti ini dipenjarakan hingga mereka wafat, diusir, disiksa, atau mendapatkan perlakuan buruk lainnya dari Khumaini.

Di antara mereka adalah: Ayatullah Ali shafa’i al-Qumi, Ayatullah Ahmad Khawanisary, Sayyid Ridha Sadr, Ayatullah Sayyid Rasul, dan Ayatullah Thasujy.

Masih banyak lagi tokoh Syiah yang menolak konsep Wilayatul Faqih dan mendapatkan perlakuan buruk. (Ahmad Robith/dakwah.id)

 

Baca juga artikel Akidah atau artikel menarik lainnya karya Ahmad Robith.

Penulis: Ahmad Robith
Editor: Sodiq Fajar

Artikel Akidah terbaru: 

Topik Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *