Daftar Isi
Ada yang tahu tentang sosok Abu Ishaq al-Ilbiriy?
Kawan saya yang pernah beberapa tahun mulazamah menuntut ilmu di negeri Sudan tempo hari membuat status WhatsApp yang cukup menarik perhatian saya.
Status whatsapp putra seorang kyai pesantren modern yang santrinya ribuan itu berisi syair yang membuat penasaran berat.
Hanya dua bait. Tapi menarik. Tentang sifat zuhud.
Rasa penasaran itu berlanjut dengan chat WhatsApp. Saya mencoba menelusuri lebih dalam terkait dua baris syair itu. Pasalnya, nama الإلبيري al-Ilbiriy yang tercantum sebagai pencipta syair itu benar-benar asing di benak saya.
“Al-Ilbiriy? Daerah manakah yang dimaksud dari nama laqab ini?”
Kawan dekat yang sekarang pindah mulazamah di negeri Yaman bersama istrinya ini segera menjelaskan dengan fasih.
Nama Al-Ilbiry itu maksudnya adalah al-Gharnathy. Berasal dari Granada Andalusia. Divan (dalam bahasa Arab: diwan) syairnya yang dikaji di Sudan bernama “Manzhūmat al-Ilbīrīy” atau “Tā’iyyat al-Ilbīrīy.”
Bukannya membuat puas, jawaban singkat itu justru semakin membuat saya penasaran.
Saya coba googling ke Wikipedia sub Arab yang biasanya cukup bagus untuk menjadi pintu awal ketika menelisik sebuah istilah asing sebelum merujuk ke literatur.
Ketemu! Ternyata daerah al-Ilbiriy ini nama latinnya adalah Elvira. Kaget. Itu adalah nama yang diadopsi untuk ipar saya dan juga menjadi nama yang saya hibahkan untuk anak pertama dari kawan yang saat ini sedang menekuni bisnis coffee shop.
Ternyata Al-Ilbiry adalah penyair alim yang menulis tentang zuhud, keutamaan thalabul ilmi, dan akhlak.
Catatan Sejarah di Balik Penulisan Manzhūmat al-Ilbīrīy” atau Tā’iyyat al-Ilbīrīy
Kenapa kitab syair beliau ini menjadi salah satu buku yang dipelajari di Sudan? Bahkan, mata kuliah akhlak dan adab thalibul Ilmi yang pertama kali dipelajari oleh kawan saya di Sudan ini menggunakan divan syair al-Ilbiriy.
Apa kehebatannya sehingga berkah dipelajari sampai hari ini di Sudan?”
Ternyata, deretan bait syair yang sebenarnya sangat panjang itu memiliki perjalanan sejarah yang cukup menakjubkan.
Dalam penelitian sederhana terhadap beberapa turats versi digital yang saya lakukan, Abu Ishaq al-Ilbiriy ini diketahui tinggal di negara kota (Taifa) Granada pada era dinasti Zirid dari zaman Muluk Thawaif.
Nama lengkap al-Ilbiriy adalah Abu Ishaq Mas’ud bin Sa’ad at-Tujibiy. Tersohor dengan nama Abu Ishaq al-Ilbiriy.
Beliau menjadi “katib” bagi seorang Qadhi Granada yang terkenal, yaitu Abul Hasan bin Taubah.
Katib bukan sekedar sekretaris yang kita pahami dalam manajemen pemerintahan modern saat ini. Katib dalam pemerintahan Islam adalah jabatan yang tugasnya lebih luas dari sekedar sekretaris. Ia juga memiliki peran sebagai wakil ketika Qadhi berhalangan, selain juga menjadi rekan musyawarah kerja.
Abu Ishaq Elvira al-Ilbiriy ini juga mengajarkan kitab-kitab karya gurunya yang bernama Ibnu Abi Zamanain.
Beliau sangat tekun dan ulet mengajar di pelbagai tempat. Pasalnya, itulah jalan satu-satunya bagi Abu Ishaq untuk bisa mengetahui kondisi masyarakat Granada. Sekaligus sebagai perantara untuk menjelaskan kepada masyarakat Granada tentang hakikat makar tipu daya dan pengaruh Yahudi yang amat kuat dalam tubuh pemerintahan dinasti Ziryd di era amir Badis bin Habbus.
Nah, al-Ilbiriy, Abul Hasan bin Taubah dan para fuqaha Granada lain inilah yang merencanakan ishlah dan menyusun strategi untuk melakukan sebuah ‘revolusi’ perbaikan.
Saat itu, Andalusia berada pada era muluk thawaif. Satu era yang pekat dengan perpecahan dan perselisihan. Negara Andalusia terbagi menjadi negara-negara kecil bernama thaifa di tiap kota. Satu dengan yang lain saling menjatuhkan bahkan bersekongkol dan mengundang kerajaan kristen untuk ikut masuk membantu mengalahkan negara kota lain yang dianggap sebagai lawannya, padahal sesama muslim.
Thaifa di Granada saat itu dipimpin oleh Sultan Badis yang bernama lengkap bernama Bādīs bin Habbūs as Shanhājīy dari Dinasti Bani Ziriy (Ziryd) asal Kabilah besar bangsa Berber Amazigh bernama kabilah Shanhaji asal Maghreb.
Perlu diketahui juga bahwa kabilah besar Berber Amazigh yang bernama Shanhājiy ini telah mencetak tiga dinasti besar yang berperan penting di wilayah Maghreb dan Andalusia.
Generasi pertamanya adalah Dinasti Ziryd, Dinasti Aoudaghost yang hari ini disebut sebagai negara Mauritania dan paling terkenal adalah Dinasti Almoravid atau Murabithun.
Sultan Badis memerintah antara tahun 428 hingga 465 H (1037 – 1073 M), mengangkat seorang Yahudi bernama Samuel ibn Naghrillah sebagai wazir negara.
Konon Yahudi inilah yang memiliki peran dalam memuluskan Badis naik menjadi sultan dengan cara meracuni saudaranya yang juga putra mahkota, yaitu Bulugghin bin Habbūs.
Samuel & Yusuf Ibnu Naghrillah: Yahudi Penebar Narasi Syubhat hingga Dominasi Kendali Pemerintahan
Secara track record, Samuel (Ismail) ibn Naghrillah ternyata adalah seorang Yahudi Andalusia yang ahli falak, menguasai Talmud, sastra Arab, dan Ibrani sekaligus.
Selain itu, di kancah politik ia adalah seorang politikus dan panglima militer. Mengaku sebagai keturunan Nabi Daud. Ia menjadi wazir negara kota (Thaifa) Granada semenjak era ayah Badis, yaitu Habbus bin Maksen al-Muzhaffar.
Yahudi ini juga dikenal dengan julukan an-Naghid (الناغير او الناغيد او الناغيذ او الناغيدله) yang artinya kepala istana, panglima militer, atau mudabbir.
Perlu diketahui, bahwa era thaifa di Granada abad 11 di bawah dinasti Ziryd ini merupakan suatu era dimana Yahudi berada pada puncak pencapaian kekuatan politik militer dan perkembangan keagamaan serta keilmuan dalam sepanjang sejarah.
Samuel Ibnu Naghrillah menulis banyak buku baik sastra maupun keagamaan Yahudi. Bahkan, ia belajar al-Quran dan menulis beberapa karya yang menyusupkan narasi syubhat seputar kebenaran al-Quran.
Upaya dia dalam mencemari khazanah keilmuan Islam itu akhirnya memaksa seorang Ulama pendiri mazhab fikih Zhāhiri, Ibnu Hazm, menyusun sebuah tulisan yang membantah syubhat tersebut dengan judul “Ar-Radd alā Ibn Naghrillah”.
Samuel Ibnu Naghrillah juga menjadi panglima perang dinasti Ziryd dan pemimpin semua masyarakat Yahudi Sephardim di Granada.
Kemudian Samuel mewariskan jabatan wazir dinasti Ziryd ini kepada anaknya, yaitu Yusuf ibn Samuel ibn Naghrillah. Samuel ibn Naghrillah sendiri menemui ajalnya di tahun 1056 M/448 H.
Dua tahun kemudian, al-Qadhi Abul Hasan juga meninggal (1058 H/450 M). Akhirnya, penyair Abu Ishaq Elvira al-Ilbiriy ini pun berjuang sendirian. Tak ada lagi sosok yang melindungi dirinya dari makar Wazir Yahudi yang makarnya dilanjutkan oleh anaknya, yaitu Yusuf ibn Samuel Ibn Naghrillah.
Dalam episode selanjutnya, atas takdir Allah subhanahu wata’ala, ternyata kemampuan anak dari wazir Yahudi ini tidak sehebat ayahnya. Ia memiliki karakter lebih gegabah dan terlalu bernafsu ketika menggantikan ayahnya sebagai wazir.
Ia tak secerdas ayahnya yang sangat berhati-hati dan rapi dalam berencana dan bertindak. Anak Yahudi ini justru menampakkan kebejatannya dengan lebih jelas. Satu celah yang sebenarnya kurang menguntungkan bagi seorang pelaku makar.
Abu Ishaq al-Ilbiriy dan Upaya Nahi Mungkar dengan Syair
Singkat cerita, penyair Abu Ishaq Elvira al-Ilbiriy akhirnya dibuang ke pengasingan di benteng al-Uqab. Dalam suasana pengasingan itu ia memanfaatkan kesempatan untuk menulis kembali syair-syair revolusi yang ia tulis dalam bahasa sastra sederhana namun sangat menyentuh.
Sastra itu muncul dari hati yang bersih. Jujur dan murni menginginkan kebaikan bagi masyarakat Granada. Tanpa menyisipkan tendensi duniawi ataupun jabatan politik sedikit pun.
Benar saja, untaian syair yang sangat dalam maknanya itu segera viral ke seluruh negeri hingga sampai kepada para perwira Berber di Thaifa Granada.
Bait-bait syair itu mampu memompa nafas perjuangan revolusi di Granada sebagai respons terhadap kezaliman dan dominasi Yahudi di internal pemerintahan, baik dalam urusan sosial, perpajakan, izin dagang, dan regulasi dan birokrasi serta urusan bidang.
Bagaimana tidak, dominasi Yahudi saat itu melebihi semua pejabat muslim, bahkan hampir seluruh kendali pemerintahan Granada ada di tangan wazir Yahudi Ibn Naghrilla junior dan kroni Yahudi lainnya yang kaya raya lantaran jabatan mereka.
Masyarakat Granada pun bergerak untuk nahi mungkar terhadap penguasa Granada. Menembus benteng istana dan berusaha menangkap wazir Yahudi Ibn Naghrillah junior sembari menggemakan syair-syair revolusioner karya Abu Ishaq Elvira al-Ilbiriy.
Wazir Yahudi Yusuf Ibn Naghrillah sempat ketakutan. Ia kabur bersembunyi di dalam istana. Ia mencoba untuk menyamarkan wajah dengan debu hitam batu bara di ruangan bahan bakar. Namun upayanya ternyata gagal. Akhirnya ia dibunuh dan jasadnya digantung di tiang salib tepat di depan gerbang kota Granada.
Setelah itu, para pebisnis, para pejabat, dan komunitas Yahudi di Granada pun banyak yang turut ditumpas oleh kaum muslimin. Kekayaan mereka dirampas dan dijadikan harta Baitul Mal (harta negara) Granada. Kaum Yahudi yang berhasil diberangus oleh kaum muslimin saat itu diperkirakan hingga 4.000 orang. (Dirasat Andalusia, Thahir Ahmad Makki, 75)
Selang beberapa waktu pasca peristiwa itu, sang Penyair Syaikh Abu Ishaq Elvira al-Ilbiriy pun meninggal di tahun yang sama. Yaitu di penghujung tahun 1067 M/456 H.
Artikel Sejarah: Keislaman Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Pengaruhnya Terhadap Dakwah
Dua ratusan tahun kemudian, sejarawan asli Andalusia bernama Lisanuddin Ibnul Khathib dalam kitabnya Al-Ihāthah menegaskan bahwa sebab utama yang paling memengaruhi untuk revolusi ini adalah syair-syair tajam milik Abu Ishaq Elvira al-Ilbiriy ini.
Syair al-Ilbiriy saat itu berfungsi layaknya narasi pembakar ruh perjuangan dan kekuatan media yang sangat dahsyat. Para orientalis Barat mengakui hal ini.
Ibnul Khathib menguatkan faktor tersebut dengan kalimatnya,
وَكَانَ مُهْلِكُ هَذَا الْيَهُوْدِي بِسَبَبِ شِعْرٍ حَفِظَ عَنْهُ، يُحَرِّضُ صَنْهَاجَةَ عَلَيْهِ
“Faktor utama kehancuran (wazir) Yahudi ini adalah lantaran gubahan syair-syair Abu Ishaq al-Ilbiriy yang menggelorakan masyarakat Berber, dan Arab muslim di Granada untuk bangkit melawan.” (Dirasat Andalusia, Thahir Ahmad Makki, 75)
Syair Abu Ishaq Elvira al-Ilbiriy tentang Adab Ilmu dan Zuhud
Kembali lagi ke gubahan syair adab thalabul ilmi dan zuhud Abu Ishaq Elvira ini. Berikut ini adalah contoh gubahan syair beliau dari Tā’iyyat al-Ilbīrīy yang dikaji di negeri Sudan,
إِذَا مَا لَمْ يُفِدْكَ الْعِلْمُ خَيْرًا
فَخَيْرٌ مِنْهُ أَنَّ لَوْ قَدْ جَهِلْتَ
Seandainya ilmu yang kau miliki tak memberi dampak kebaikan,
Lebih baik seandainya kau tetap menjadi bodoh.
Lalu, penggalan syair beliau terkait tazkiyat nafs (penyucian jiwa);
تَفِرُّ مِنْ الْهَجِيرِ وَتَتَقِيهِ
فَهَلا مِن جَهَنَّمَ قَدْ فَرَرْتَا
Engkau selalu menghindari dan berlindung dari panas terik matahari,
Lantas mengapa kau tak pernah berusaha menghindar dari siksa Jahanam?
وَمَا يُغْنِيْكَ تَشْيِيْدُ الْمَبَانِي
إِذَا بِالْجَهْلِ نَفْسَكَ قَدْ هَدَمْتَا
Tak ada gunanya kau membangun bangunan megah,
Sedangkan dirimu sendiri kau hancurkan dengan kebodohan.
Sebagian manuskrip syair milik Abu Ishaq Elvira ini ada disimpan di museum perpustakaan istana yang dibangun Raja Philip II di Madrid Spanyol. Wallahu a’lam (Akbar Fakhreza/dakwah.id)
Bahan Bacaan:
Ar-Radd alā Ibn Naghrillah, Ibnu Hazm al-Andalusy, (Maktabah Dar al Urubah: Kairo)
Diwan Abi Ishaq al-Ilbiriy al-Andalusy, (Dar Fikr: Beirut)
Dirāsāt Andalusiyyah fil Adab wat Tārīkh wal Falsafat, DR Thahir Ahmad Makkiy
Al-Ihāthah fī Akhbār al Gharnāthah, Lisānuddin Ibnu al Khathīb.
The Jews of Islam (Yahudi Yahudi Islam), Bernard Lewis.
At-Tibyān ‘anil Hāditsah al-Kāinah bi Daulati Banī Zīrīy fī Gharnāthah, Amir Abdullāh bin Bulugghin bin Bādis bin Habbūs.
Mengenal buku At-Tibyān ‘an al-Hāditsah al-Kāinah bi Daulati Banī Zīrīy fī Gharnāthah
At-Tibyan adalah kitab sejarah dinasti Ziryd Berber yang ditulis oleh sultan ke empat penguasa Granada (Amir terakhir dinasti Ziriy) pada era perpecahan Taifa atau Muluk Thawaif saat di pengasingannya oleh Yusuf bin Tasyfin.
Buku ini merupakan sebuah catatan sejarah pribadi Amir terakhir dinasti Ziriy. Melalui buku ini, ia meriwayatkan era perpecahan Muluk Thawaif di Andalus. Termasuk pula kronologi hijrahnya dinasti Ziriy oleh pemimpinnya yaitu Zawiy bin Ziriy (tahun 416 H/1025 M) yang berasal dari kabilah besar Berber bernama Shanhaji dari Maghreb ke Andalusia, hingga akhirnya mendirikan dinasti Ziriy di Granada. Lalu berakhirnya dinasti ini di tangan Yusuf bin Tasyfin pada tahun 1091.
Buku ini ia tulis ketika berada di pengasingannya di Aghmat (30 km selatan kota Marrakesh, Maroko hari ini). Beliau akhirnya juga wafat di sana.
Buku ini dapat diunduh di sini:
Baca juga artikel tentang Sejarah atau artikel menarik lainnya karya Akbar Fachreza.
Artikel selanjutnya:
Uighur Turkistan Timur Sebagai ‘Tunas Peradaban’ (Cradle Of Civilizations)