اَلْحَمْدُ لِلّهِ، اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ هَدَانَا صِرَاطَهُ الْمُسْتَقِيْمَ، صِرَاطَ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَالصِّدِيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَحَسُنَ أُوْلٓـئِكَ رَفِيْقاً.
أشْهَدُ أنْ لاَ إِلٰه إلاَّ اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Amma Ba’du,
Pertama, marilah kita panjatkan puji syukur kita ke hadirat Allah ‘azza wajalla yang telah menganugerahi kita berbagai macam nikmat, terutama nikmat iman, nikmat bertauhid, dan nikmat Islam.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh umat yang mengikuti jejak langkahnya hingga hari kiamat kelak.
Kami wasiatkan kepada diri kami pribadi dan kepada jamaah shalat Jumat untuk senantiasa memperbanyak aktivitas yang memompa bertambahnya derajat iman dan takwa kita, memperbanyak muhasabah diri, dan memperbanyak istighfar di setiap waktu dan tempat.
Jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah
Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla telah mengirim para Rasul dan mengutus para Nabi ke tengah-tengah umat. Lalu menjadikan beberapa di antara umat dan generasi setelahnya sebagai utusan dan pemberi peringatan. Orang-orang terpilih itu membawa risalah para Nabi dan Rasul hingga kebenaran tidak sirna dari muka bumi. Sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau,
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ
“Dulu Bani Israel diurusi dan dipelihara oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi yang lain.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Maksudnya, bahwasannya Allah ‘azza wajalla telah menjadikan al-Haq itu sebagai sesuatu yang abadi dan tetap akan ada, tidak akan pernah hilang dari orang-orang yang mencarinya dengan penuh semangat.
Allah ‘azza wajalla juga telah menetapkan hujjah atau argumentasi yang sangat tampak dan jelas yang telah tertanam dalam jiwa-jiwa setiap insan, serta petunjuk atau dalil-dalil yang terang dalam pengelihatan, pendengaran, dan perasaan manusia. Bahkan, Allah ‘azza wajalla telah menetapkan bahwa pendengaran saja sudah cukup untuk mengetahui sang Pencipta. Sebab, jika manusia mau berpikir sedikit saja tanpa harus menggunakan pengelihatannya maka dia akan mengetahui bahwa Allah ‘azza wajalla itu Esa dalam Rububiyah, Uluhiyah, Asma’ dan Sifat-Nya.
Oleh karena itu, Allah ‘azza wajalla Allah ‘azza wajalla tetap menetapkan orang yang buta itu sebagai Mukallaf, tetap terbebani hukum syar’i. Ini merupakan petunjuk bahwa sebenarnya di dalam jiwa manusia itu telah tertanam sebuah fitrah pengetahuan terhadap kemahapenciptaan Allah ‘azza wajalla, bahwa Allah ‘azza wajalla adalah Sang Pengatur seluruh isi Alam Semesta, Dialah satu-satunya Dzat yang berhak disembah dan diibadahi.
Fitrah yang telah ditetapkan Allah ‘azza wajalla dalam jiwa tersebut adalah perkara tersendiri yang digunakan manusia untuk mengetahui Dzat yang telah menciptakan dirinya. Kemudian hal itu akan membimbing dirinya untuk beribadah yang rincian aturan dan tata caranya akan diketahui dari wahyu yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul.
Oleh sebab itu, Allah ‘azza wajalla berfirman,
طْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ
“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” (QS. Ar-Ruum: 30)
Dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Tidak ada seorang anak pun yang terlahir kecuali dia dilahirkan dalam keadaan fithrah. Maka kemudian kedua orang tuanyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Al-Bukhari No. 1270)
Jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah
Maksud dari hadits itu, bahwa manusia sejatinya terlahir dalam keadaan baik, berideologi, lurus, dan telah mengetahui hak dan kewajibannya kepada Allah ‘azza wajalla.
Oleh karena itu, tak ada seorang pun yang terlahir di dunia ini kecuali dia telah tahu bahwa pembunuhan itu adalah terlarang, mencuri adalah terlarang, merampas, memukul, dan mencederai kehormatan, serta mengambil harta manusia adalah tindakan kriminal, terlarang, dan haram.
Oleh karena itu, manusia yang terlahir telah tahu bahwa ghibah, namimah, dan pelecehan terhadap kehormatan manusia dengan lisan, serta membuat perpecahan di antara manusia melalui hasutan lisan adalah perbuatan yang tercela dan hina.
Bahkan, petunjuk berupa fitrah ini juga telah tegak di dalam jiwa manusia-manusia yang lisannya mengingkari adanya wujud Sang Pencipta. Keberadaan tabiat orang-orang yang mengingkari wujud Allah ‘azza wajalla ini di tengah-tengah orang-orang yang tetap di atas fitrah yang baik yang Mengesakan Allah ‘azza wajalla sejatinya adalah petunjuk bahwa Allah ‘azza wajalla itu ada.
Karena, Sang Pencipta itu ketika menciptakan sesuatu kemudian memutuskan sebuah ketetapan atas ciptaannya tersebut, kemudian memperbanyak jumlah tersebut dengan ragam yang berbeda-beda, itu adalah bukti bahwa Sang Pencipta itu adalah Maha Kuasa, Maha Mengetahui, dan Maka Bijaksana.
Oleh sebab itu, Allah ‘azza wajalla menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Allah ‘azza wajalla berfirman,
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS. At-Tiin: 4)
Allah ‘azza wajalla menetapkan bahwa pesan-pesan yang dibawa oleh para nabi hanyalah satu, yaitu Tauhidullah, pesan untuk mengesakan Allah ‘azza wajalla. Allah ‘azza wajalla berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada sesembahan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’.” (QS. Al-Anbiya’: 25)
Puncak dari pesan yang dibawa dan didakwahkan oleh seluruh nabi adalah mentauhidkan Allah ‘azza wajalla. Ketika hamba-hamba Allah ‘azza wajalla berpecah, maka berpecahnya mereka adalah karena kalimat tauhid. Ketika para hamba bersatu, maka bersatunya mereka adalah karena kalimat tauhid.
Ketika Allah ‘azza wajalla memerintah untuk bersatu, maka bersatunya mereka adalah di atas kalimat tauhid. Ketika Allah ‘azza wajalla menyebut kata perpecahan atau iftiraq, maka itu adalah berpecahnya manusia dari kalimat tauhid, bergeser ke arah persekutuan dengan selain-Nya, atau perpecahan yang dampaknya memengaruhi pokok tauhid, atau kesempurnaan tauhid, seperti bid’ah dan mengada-ada dalam urusan agama.
Jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abi Umamah dan Abi Hurairah dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu, beliau bersabda,
افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفَرَّقَتْ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً
“Yahudi terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, Nasrani terpecah menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan.” (HR. Abu Daud No. 3980)
Hadits di atas mengandung maksud bahwa ukuran terjadinya perpecahan dan persatuan terletak pada ada dan tidaknya unsur tauhid dan ittibaus sunnah.
Oleh sebab itu, Allah ‘azza wajalla memerintah hamba-Nya melalui firman-Nya,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali Imran: 103)
Maksud dari hablullah (tali Allah) adalah mengesakan-Nya, mentauhidkan-Nya. Yakni dengan berpegang kepada kitab-Nya hal mana itu telah ditetapkan Allah ‘azza wajalla sebagai sebab yang akan mengarahkan dan menunjukkan bagi para pencari hidayah.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan peristiwa atau kabar tertentu tentang perpecahan, maka perpecahan tersebut sejatinya disebabkan oleh jauhnya seseorang dari perintah Allah ‘azza wajalla dan menyelisihi perintah-perintah-Nya.
Allah ‘azza wajalla berfirman,
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nuur: 63)
Maka, setiap kali umat ini menjauh selangkah dari perintah Allah ‘azza wajalla, seukuran itu pula perselisihan yang berkembang di tengah mereka. Jika pengingkaran terhadap tauhid membesar, maka jarak jarak Allah ‘azza wajalla dengan umat tersebut juga semakin menjauh. Jika Allah tidak menghentikan dan mencegah mereka melalui rahmat-Nya, niscaya akhir hayat umat tersebut adalah kehancuran di dunia dan tempat Neraka di akhirat.
Oleh sebab itu, Allah ‘azza wajalla jadikan tauhid itu sebagai jalan kesuksesan, dan menyekutukan-Nya sebagai jalan menuju kehancuran. Maka, selain mengetahui jalan kesuksesan, hendaknya umat juga perlu tahu dan mengenali jalan kehancuran dan penyimpangan yang sering menyesatkan, merusak, dan menghasut Ahlul Haq/para pemegang kebenaran.
Jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah
Hikmah lain dari adanya penciptaan adalah, bahwa kesesatan itu sangat beragam sementara al-Haq atau kebenaran itu hanyalah satu. Kalau kita cermati dengan seksama, kita mendapati bahwa Allah ‘azza wajalla menyebut kata al-Haq (kebenaran) dalam al-Quran dengan bentuk tunggal, dan menyebut kata adh-Dhalal (kesesatan) dalam bentuk plural/jamak.
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman).” (QS. Al-Baqarah: 257)
Allah ‘azza wajalla mengeluarkan mereka dari kegelapan yang bermacam-macam bentuknya kepada cahaya yang satu.
Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla hanya menjadikan satu jalan bagi kebenaran, oleh sebab itu Allah ‘azza wajalla juga hanya menjadikan shiratal mustaqim itu kecuali hanyalah satu saja. Sedangkan penyimpangan itu memiliki banyak sekali jalan dan bentuk sesuai dengan waktu, tempat, dan kadar hawa nafsu masing-masing.
Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya disebutkan, sahabat abdullah bin Mas’ud pernah bertutur,
خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا خَطًّا، وَخَطَّ عَنْ يَمِينِهِ خَطًّا، وَخَطَّ عَنْ يَسَارِهِ خَطًّا، ثُمَّ قَالَ: «هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ»، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا فَقَالَ: «هَذِهِ سُبُلٌ، عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ» وَقَرَأَ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat sebuah garis lurus bagi kami, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan Allah’, kemudian beliau membuat garis lain pada sisi kiri dan kanan garis tersebut, lalu bersabda, ‘Ini adalah jalan-jalan (yang banyak). Pada setiap jalan ada syetan yang mengajak kepada jalan itu,’ kemudian beliau membaca,
﴿أَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ﴾ (الأنعام: 153)
‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya’.” (QS. Al-An’am: 153)
Jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah
Allah ‘azza wajalla ketika menunjukkan kepada umat jalan tauhid untuk penghambaan dan beribadatan melalui wahyu-Nya, Dia memerintahkan umat-Nya untuk tetap melazimi jalan tersebut, tanpa menoleh ke jalan yang ada di sebelah kanan kirinya yang di masing-masing jalan tersebut ada setan yang akan selalu menyeru dan merayu.
Artinya, dengan perintah tersebut, Allah ‘azza wajalla membimbing kita agar tidak terjatuh ke dalam jalan yang penuh syubhat dan kesamaran, yang di atasnya terdapat bias antara kebenaran dan kebatilan. Dengan demikian, tampak jelaslah mana yang disebut dengan al-Haq, dan mana yang disebut dengan al-Bathil.
Di antara jebakan setan yang sering menimpa pola berfikir umat adalah pemikiran bahwa akal dan wahyu itu adalah sama dan setara. Mereka memahami bahwa akal tidak butuh wahyu. Sehingga, untuk memahami al-Haq/kebenaran itu cukup dengan akal saja, tidak perlu menggunakan wahyu. Padahal, ini adalah jebakan setan yang sangat berbahaya bagi umat. Inilah jalan kesesatan yang pertama kali dilakukan oleh iblis ketika ia diperintah oleh Allah ‘azza wajalla untuk sujud kepada Adam namun ia menolak. Ia menolak karena secara akal ia merasa lebih mulia sebab ia diciptakan dari api, sedangkan Adam diciptakan dari tanah.
Akal ibarat mata, dan wahyu itu ibarat cahaya. Mata gunanya untuk melihat, tapi tanpa adanya secercah cahaya mata tak bisa melihat dalam kegelapan yang pekat. Akal digunakan untuk berpikir, tapi akal tak akan bisa menemukan kebenaran hasil pikirnya tanpa adanya wahyu.
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ
وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآياَتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ
وَأَسْتَغْفِرُهُ لِي وَلَكُمْ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ
KHUTBAH KEDUA
اَلْحَمْدُ للهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَحْسَنِ خَلْقِ اللهِ مُحَمَّدٌ بْنِ عَبْدِ اللهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ
أَمَّا بَعْدُ،
Saudaraku yang dirahmati Allah ‘azza wajalla, sesungguhnya manusia itu jika telah mengetahui al-Haq maka ia juga harus berusaha mengenali kebatilan dan langkah-langkah musuh dalam menghalangi dari al-Haq, sebagaimana dahulu Allah ‘azza wajalla juga memerintah para nabi-nya untuk mengenali dengan jelas jalan-jalan orang-orang yang berdosa.
وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ
“Dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.” (QS. Al-An’am: 55)
Setiap kali langkah-langkah para penyeru kesesatan itu menguat, semestinya usaha kaum Muslimin untuk mengenali narasi, strategi, dan tipu daya mereka juga harus lebih kuat lagi.
Sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman adalah sosok sahabat yang maju ke depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mempertanyakan tentang eksistensi keburukan di saat para sahabat lainnya asyik menanyakan tentang kebaikan. Kata Hudzaifah Ibnul Yaman,
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي
“Orang-orang semua bertanya kepada Rasulullah shallAllahu alaihi wa sallam tentang kebaikan, sementara aku bertanya tentang keburukan karena aku takut akan menimpa diriku.” (HR. Al-Bukhari, no. 3606 & 7084; Muslim, no. 1847)
Kenapa Hudzaifah melakukan itu? Karena Hudzaifah adalah sosok sahabat yang banyak mengetahui hal-hal yang tersembunyi. Ia memiliki banyak informasi soal gerak-gerik orang munafik di sekeliling Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia juga mengetahui berbagai macam fitnah yang diprediksi akan terjadi di kemudian hari.
Oleh sebab itu, yang ia tanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pengetahuan tentang hal buruk, sebab ia takut hal itu akan menimpa dirinya. Dengan mengenali dan mengidentifikasi keburukan sejak dini, ia bisa mengatur langkah untuk tidak terjebak ke dalamnya.
Jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah
Sungguh, salah satu strategi andalan musuh dalam menyesatkan umat dan memalingkan mereka dari al-Haq adalah dengan mendestruksi lalu mendefinisikan ulang istilah-istilah dan pemaknaan dari arti yang sebenarnya, sesuai dengan misi dan kepentingan hawa nafsu mereka.
Sehingga, kita banyak melihat istilah-istilah Islam yang sebenarnya itu baik, positif, dan bersumber dari wahyu yang otentik, mereka rusak dan didefinisikan ulang hingga terkesan itu adalah istilah yang buruk, tercela, dan kriminal.
Dengan kejinya para musuh-musuh Allah ‘azza wajalla melakukan kriminalisasi istilah tauhid, iman, khilafah, jihad, kufur dan kafir, jamaah, yang semuanya itu adalah istilah-istilah yang bersumber dari wahyu Allah ‘azza wajalla. Mereka tak henti-hentinya membangun opini publik yang negatif guna memburukkan citra Islam, yang hakikatnya itu adalah sebuah tindakan menjauhkan umat ini dari jalan al-Haq.
Apa yang mereka lakukan ini, sama persis dengan yang dilakukan oleh Iblis laknatullah ketika ia berusaha menjatuhkan kemuliaan Adam dengan cara menghasutnya dengan narasi-narasi indah namun sesat dan menipu agar Adam mau makan buah dari pohon terlarang di Jannah.
Begitu banyak jalan dan strategi yang mereka tempuh. Semua mengarah pada satu kepentingan: menjauhkan umat dari al-Haq.
Maka, umat ini harus segera sadar kembali. Bahwa segala bentuk perbedaan warna kulit, suku, bangsa, bahasa, dan kasta, tak boleh dijadikan penghalang untuk terwujudnya persatuan umat. Karena jika manusia itu mau berusaha berjalan sesuai dengan fitrahnya, maka dengan sendirinya umat akan bersatu padu di atas kalimat tauhid.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا ثُمَّ شَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
“Seorang mukmin dengan mukmin yang lain ibarat bangunan yang saling menguatkan antara satu dengan yang lain.’ Kemudian beliau menjalin jari-jemarinya.” (HR. Al-Bukhari No. 5567)
Jika bangunannya adalah bangunan iman, namun jasadnya bukan jasad iman dan tauhid maka antar bagian tubuh tidak akan bisa merasakan sakit yang diderita bagian tubuh yang lain. Keterikatan iman dan persatuan jasad adalah perumpamaan ikatan kemanusiaan, kebangsaan, kesukuan, bahasa, warna kulit, dan keberagaman lainnya yang jika seluruhnya bersatu padu dengan fitrah yang shahih, maka tentu itu akan menambah kokoh persatuan umat di atas kalimat tauhid.
Jamaah shalat Jumat yang dimuliakan Allah
Tidaklah Allah ‘azza wajalla telah menjadikan persatuan dan kekuatan kecuali hanya pada persatuan di atas Dinul Islam meskipun terdapat keberagaman suku, bangsa, dan bahasa. Seorang mukmin itu senantiasa mencintai mukmin lainnya meskipun jarak antara mereka berjauhan. Dan musuh Allah ‘azza wajalla adalah dibenci meskipun jaraknya hanya sebelah rumah. Sebab, ukhuwah itu adalah ukhuwah di atas keimanan dan mentauhidkan Allah ‘azza wajalla, bukan di atas kekafiran dan kemusyrikan.
Semoga Allah ‘azza wajalla senantiasa meletakkan dan meneguhkan kita di atas jalan fitrah yang lurus hingga akhir hayat kelak, yaitu jalan tauhid dan iman. Amin. (www.dakwah.id)
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعَوَاتِ.
رَبَّنا لا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنا، وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمة، إِنّكَ أنتَ الوَّهابُ
رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ. وَالْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
Alhamdulillah,.. Terimakasih