Materi Kultum ramadhan kecerdasan finansial adalah kemampuan dalam mengelola uang dakwah.id

Materi Kultum 25: Kecerdasan Finansial Ilmu Penting bagi Setiap Muslim

Terakhir diperbarui pada · 2,076 views

Tulisan yang berjudul Kecerdasan Finansial itu Penting bagi Setiap Muslim adalah seri ke-25 dari serial Materi Kultum Ramadhan yang ditulis oleh ustadz Muhammad Faishal Fadhli.

Kecerdasan finansial adalah kecerdasan dalam mengelola uang. Kemampuan mengelola keuangan dengan baik merupakan ilmu yang harus dimiliki oleh setiap muslim.

Islam sangat melarang para pemeluknya untuk melakukan tabzir; perilaku boros atau menghamburkan uang untuk berfoya-foya dan menghamburkannya untuk hal-hal yang kurang bermanfaat.

Karenanya, membangun kecerdasan finansial bagi seorang muslim adalah sebuah tuntutan.

Allah menyebutkan bahwa orang yang melakukan tabzir adalah teman setan.

Wa āti żal-qurbā ḥaqqahụ wal-miskīna wabnas-sabīli wa lā tubażżir tabżīrā. Innal-mubażżirīna kānū ikhwānasy-syayāṭīn, wa kānasy-syaiṭānu lirabbihī kafụrā

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya.” (QS. Al-Isra: 26-27)

Dalam al-Quran disebutkan, di antara sifat ‘ibadurrahman (hamba-hamba pilihan Allah) adalah mereka yang mempunyai kecerdasan finansial dalam mengatur harta; bersifat tengah-tengah antara kikir dan boros.

Mereka yang menghias diri dengan sifat tersebut, sungguh terpuji karena begitu dicintai oleh Ar-Rahman.

وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامًا

Wallażīna iżā anfaqụ lam yusrifụ wa lam yaqturụ wa kāna baina żālika qawāmā

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak kikir, dan (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan: 67)

Ayat ini menekankan pentingnya sikap wasathiyah, antara israf (berlebihan) dan bakhil (pelit). Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya, khairul umuri awsathuha. Sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengah.

Kaitannya dengan ayat ini, tidak membelanjakan harta melebihi kebutuhan dan tidak pelit dalam mengeluarkannya. Khususnya saat memberi nafkah kepada keluarga; tidak terlalau royal tapi juga terlalu perhitungan.

Senada dengan ayat ini, dalam surah yang lain Allah berfirman,

وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُوْلَةً اِلٰى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُوْمًا مَّحْسُوْرًا

Wa lā taj’al yadaka maglụlatan ilā ‘unuqika wa lā tabsuṭ-hā kullal-basṭi fa taq’uda malụmam maḥsụrā.

Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Isra: 29)

Ayat di atas dengan gamblang menyatakan, janganlah kamu menahan tanganmu dari berinfak di jalan kebaikan, sebagai tindakan menyempitkan dirimu, keluargamu, dan orang-orang yang membutuhkan.

Janganlah pula berlebihan dalam berinfak, hingga kamu memberikan apa yang melebihi kemampuanmu, akibatnya kamu akan berakhir dalam keadaan tercela dan sengsara. Karena cepat atau lambat, kamu akan menyesal atas sikap mubadzirmu dan habisnya hartamu.

Berbicara tentang kecerdasan finansial, mengaitkan manajemen finansial dengan urusan akhirat merupakan salah satu di antara poin-poin penting dalam kecerdasan finansial seorang muslim.

Karena nikmat berupa kekayaan materi, tidak lain dan tidak bukan adalah amanah dari Allah. Semua yang kita miliki harus digunakan untuk ibadah.

Maka dari itu, kita tidak pernah mendapati para nabi dan sahabat-sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallama, berlomba-lomba menumpuk harta untuk kemudian dibangga-banggakan atau demi kepentingan pribadi dan kesenangan duniawi.

Teladan yang mereka berikan adalah menginfakkan harta itu untuk kepentingan agama Allah, untuk menebar manfaat; membantu dan membahagiakan orang lain.

Ada satu kisah unik yang sangat relevan dengan tema pembahasan ini, sebagai contoh kecerdasan finansial yang dipraktikkan oleh pendahulu kita. Sebuah cerita nyata dari Konstantinopel yang sangat melegenda.

Di kota Konstantinopel yang sekarang bernama Istanbul, terdapat sebuah kawasan yang disebut kawasan Al-Fatih.

Salah seorang warganya yang bernama Khairuddin Afandi, mempunyai jasa yang luar biasa. Dia dikenal miskin, hidup serba pas-pasan, tetapi berhasil mewujudkan cita-citanya yang mulia, yakni ingin membangun masjid Jami’.

Setiap hari, ia hanya mengeluarkan sedikit uang untuk sekedar bertahan hidup. Tidak lebih. Sehingga setiap kali Afandi lewat pinggir jalan dan melihat jajanan yang begitu menggiurkan, ia hanya berkata dalam diri, “Shanke Yadem.”

Dalam bahasa Turki, ucapan “Shanke Yadem” berarti: “Anggap saja sudah makan.”

Selalu begitu. Hanya itu yang dikatakannya demi menahan diri dari menikmati sesuatu yang enak.

Ia berhasil menepis dan mengenyahkan setiap desiran hasrat hendak menyantap hidangan lezat. Meskipun ia mampu, ia lebih memilih untuk mengurungkan niatnya.

Dan hasilnya, masyaallah. Luar biasa!

Hari berganti pekan. Pekan berganti bulan. Bulan berganti tahun. Hingga tiba saatnya, uang yang selama ini ia tabung, dialokasikan untuk membangun masjid. Warga sekitar begitu takjub melihat kegigihan Khairuddin Afandi.

Maka demi mengenangnya, masjid itu mereka beri nama, “Masjid Shanke Yadem.”

Inilah hakikat dari kecerdasan finansial.

Ketika seseorang mampu mengalahkan jiwa konsumerisme di dalam dirinya: mampu membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan. Dan tentunya lebih mengutamakan kebutuhan (need) dari pada sekedar keinginan (want).

Hal ini penting untuk diutarakan. Sebab, menjelang Ramadhan, terlebih menjelang lebaran Idul Fitri, biasanya umat Islam punya list barang-barang yang akan dibeli. Pastikan tidak membelanjakan harta untuk sesuatu yang sia-sia.

Belajar dari kisah Afandi, kita diingatkan tentang hadits Nabi bahwa harta yang kita miliki, halalnya akan dihisab, dan haramanya akan diazab. Maka ambillah pilihan untuk menebar manfaat dengan harta yang kita punya.

Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam at-Tirmizi dalam kitab Sunan-nya, hadits nomer 2417,

لَا تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ عَنْ عُمُرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ جَسَدِهِ فِيْمَا أَبْلَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ مَاذَا عَمِلَ فِيْهِ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ.

Tidak akan bergeser kedua telapak kaki seorang hamba di hari kiamat sehingga ditanya dengan empat macam, yaitu: Tentang umurnya, dihasbikan untuk apa. Jasadnya, digunakan untuk apa. Ilmunya, diamalkan untuk apa. Hartanya; dari mana didapat dan kemana dibelanjakan.”

Afandi juga mengingatkan kita sebuah nasihat yang sangat mengena dari ulama terkemuka, Syaikh Aidh Al-Qarni,

Yang pertama kali merasakan nikmat memberi manfaat adalah mereka yang melakukannya. Mereka akan merasakan buahnya seketika itu juga di dalam jiwa, akhlak, dan nurani mereka. Sehingga, mereka pun selalu lapang dada, tenang, tenteram, dan damai.”

Wallāhul muwaffiq ilā aqwamith tharīq. (Muhammad Faishal Fadhli/dakwah.id)

Baca juga artikel Materi Kultum Ramadhan atau artikel menarik lainnya karya Muhammad Faishal Fadhli.

Penulis: Muhammad Faishal Fadhli
Editor: Sodiq Fajar

Artikel Materi Kultum Ramadhan sebelumnya:

Topik Terkait

Muhammad Faishal Fadhli

Pengkaji Literatur Islami. Almnus Program Kaderisasi Ulama (PKU) Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor angkatan 14.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *