Asal-Usul Istilah Ramadhan dalam Kalender Qamariyah—Momen hijrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membentangkan lembaran-lembaran sejarah baru. Banyak peristiwa luar biasa yang mengiringi perjalanan dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketika di Mekkah, beliau lebih banyak menerima wahyu tentang akidah atau keyakinan. Setelah hijrah ke Madinah, kali ini beliau lebih banyak menerima wahyu yang berbicara soal hukum syariah. Salah satunya adalah turunnya perintah wajib puasa Ramadhan.
Awalnya, setelah tiba di Madinah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintah Allah ‘azza wajalla berpuasa Asyura. Beliau pun melaksanakannya. Tetapi, setelah turun perintah wajib puasa Ramadhan, beliau memberi kebebasan kepada kaum muslimin untuk berpuasa Asyura atau tidak (HR. Al-Bukhari No. 2002). Supaya berbeda dengan kaum Yahudi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menambahkan puasa satu hari sebelum Asyura dan satu hari setelahnya.
Penjelasan tentang puasa asyura, dapat dibaca di sini:
-
Sejarah puasa (Shaum) Asyura Tanggal 10 Muharram
-
Waktu Pelaksanaan Puasa Asyura
-
Shaum Asyura itu yang Paling Utama Satu Hari, Dua Hari, atau Tiga Hari?
-
Hadits Puasa Asyura Riwayat al-Bukhari dan Muslim
Sepanjang kehidupannya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menjumpai bulan Ramadhan sembilan kali. Keterangan ini dapat dijumpai dalam pernyataan Imam an-Nawawi,
صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ تِسْعَ سِنِينَ لِأَنَّهُ فُرِضَ فِي شَعْبَانَ فِي السَّنَةِ الثَّانِيَةِ مِنْ الْهِجْرَةِ وَتُوُفِّيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَهْرِ رَبِيعٍ الْأَوَّلِ سَنَةَ إحْدَى عَشْرَةَ مِنْ الْهِجْرَةِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakan puasa Ramadhan selama sembilan tahun, sebab puasa ini mulai diwajibkan pertama kali pada bulan Sya’ban tahun 2 Hijriyah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat pada bulan Rabi’ul Awal tahun 11 Hijriyah.” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Imam an-Nawawi, 6/250)
Ada diskusi menarik soal bulan Ramadhan yang masih agak jarang diketahui oleh masyarakat muslim. Yakni tentang istilah Ramadhan itu sendiri. Sebagai bentuk perhatian terhadap arti penting bulan Ramadhan, pengetahuan soal asal usul istilah Ramadhan ini perlu diketahui setiap muslim.
Para ulama ahli bahasa arab memiliki beragam pendapat soal asal usul dan pemaknaan istilah Ramadhan.
Secara etimologi, istilah Ramadhan (رَمَضَانَ) berasal dari akar kata ra-ma-dha (رَمَضَ) yang memiliki dua arti. Arti pertama, panas yang sangat tinggi; panas matahari yang mengenai bebatuan dan kerikil. Arti kedua, hujan lebat yang turun di penghujung musim panas sehingga tanah permukaan terasa sangat panas sekali.
Arti bahasa yang tepat untuk istilah Ramadhan adalah arti yang pertama; panas yang sangat tinggi; panas matahari yang mengenai bebatuan dan kerikil.
Abu Bakar al-Anbari (w.328H) menjelaskan, Ar-Ramdhu (اَلرَّمْضُ) menurut bangsa Arab berarti al-Harru (اَلْحَرُّ): panas. (Az-Zahir fi Ma’ani Kalimati an-Nasi, Abu Bakar al-Anbari, 2/356)
Abu Zakaria Yahya bin Ziyad al-Farra’ (w. 207 H) menjelaskan, ahli bahasa menyebutkan beberapa bentuk plural dari kata Ramadhan, yakni Ramadhanat (رَمَضَانَاتِ), Ramadhin (رَمَاضِيْنَ), Armidhah (أَرْمِضَةٌ), dan Armadh (أَرْمَاضٌ).
Beberapa Versi Sebab Penggunaan Istilah Ramadhan dalam Bulan Hijriyah
Secara historis, para ahli tata bahasa Arab menyebutkan beragam versi sebab penamaan bulan Ramadhan.
Muhammad Rafiq Mukmin asy-Syubaki seorang magister syariah wal qanun yang aktif menulis di website alukah.net sejak 2014 ini berhasil mengumpulkan tujuh versi sebab penamaan istilah Ramadhan.
Pertama, dinamakan Ramadhan karena bulan tersebut bertepatan dengan musim panas dimana suhu udara di jazirah Arab sangat tinggi.
Kedua, dinamakan Ramadhan karena bulan-bulan itu diberi nama berdasarkan kondisi zaman pada bulan tersebut, dan bulan Ramadhan bertepatan pula dengan cuaca yang sangat panas.
Ketiga, dinamakan Ramadhan karena orang-orang yang sedang berpuasa merasakan panasnya keadaan karena lapar dan dahaga.
Keempat, dinamakan Ramadhan karena pada bulan tersebut hati manusia lebih banyak mendapatkan ‘panasnya’ peringatan dan penyadaran terhadap urusan akhirat sebagaimana batu dan kerikil yang terkena panasnya terik matahari.
Baca juga: Khazanah Fikih Islam: Pentingnya Kajian Sejarah Hukum Islam
Kelima, dinamakan Ramadhan karena pada bulan tersebut adalah saat dileburnya dosa-dosa; lebur karena dibakar dengan amal shalih. Ramadhan adalah isim mashdar dari ra-ma-dha yang memiliki padanan kata ihtaraqa; terbakar.
Keenam, dinamakan Ramadhan karena pada bulan ini terjadi peleburan dosa. Dosa-dosa dicuci bersih dengan amal kebaikan. Menurut versi ini, istilah Ramadhan berasal dari kata ar-Ramidh (الرميض), yakni awan dan hujan di akhir musim panas dan di awal musim gugur. Dinamakan ramidh karena ia menolak panasnya matahari. Demikian pula istilah Ramadhan, membersihkan badan dari dosa-dosa.
Ketujuh, dinamakan Ramadhan karena orang-orang Arab zaman dahulu pada bulan tersebut memanasi (menajamkan) senjata mereka sebagai persiapan untuk peperangan di bulan Syawal. (Sababu Tasmiyyati Syahri Ramadhana wa Hukmihi, Muhammad Rafiq Mukmin asy-Syubaki)
Teori Penamaan Bulan Qamariyah dengan Istilah Ramadhan dan Lainnya
Sebuah teori menjelaskan bahwa istilah Ramadhan ini mulai ada pasca-jahiliyah. Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911H) menyebutkan, pada asalnya nama-nama bulan Qamariyah yang ada saat ini dahulu memiliki nama jahiliyah. Nama jahiliyah bulan Ramadhan adalah Nathiq (ناتق). (Al-Mazhar fi ‘Ulum al-Lughah wa Anwa’uha, Jalaluddin as-Suyuthi, 1/175)
Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari al-Harawi (w. 370H) yang populer dengan sebutan Abu Manshur al-Azhari menyebutkan riwayat yang menginformasikan nama-nama bulan di era jahiliyah.
رَوَى أَبُو الْعَبَّاس عَنْ سَلَمَةَ عَنْ الفَرَّاءَ أَنَّهُ قَالَ: سَمِعْتُ الْمُفَضَّلَ الضِّبِيّ يَقُوْلُ: كَانَتْ الْعَرَب تَقوْلُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ لِشَعْبَانِ: عَاذِلٌ، وَلِشَهْرِ رَمَضَان: نَاتِقٌ، وَلِشَوَّال: وَعِلٌ، وَلِذِي القَعْدَةِ: وَرْنَةٌ، وَلِذِي الحِجَّةِ: بُرَكٌ، وَلِمُحَرَّمِ: مُؤْتَمَرٌ، وَلِصَفَر: نَاجِرٌ، وَلِرَبِيْعِ الْأَوَّلِ: خَوَّانٌ، وَلِرَبِيْعِ الْآخِرِ: وَبْصَانٌ. وَلِجُمَادِي الْأُوْلَى: رُنَى، وَلِلآخِرَةِ: حُنَيْن، وَلِرَجَبٍ: اَلْأَصَمّ.
Abu al-Abbas meriwayatkan dari Salamah dari al-Farra’, ia berkata, aku mendengar al-Mufadhdhal adh-Dhibbi berkata,
“Dahulu, pada masa jahiliyah orang Arab menyebut bulan Sya’ban dengan Azhil, bulan Ramadhan dengan Natiq, bulan Syawal dengan Wa’il, bulan Dzul Qa’dah dengan Warnah, bulan Dzul Hijjah dengan Burak, bulan Muharram dengan Mu’tamar, bulan Shafar dengan Najir, bulan Rabi’ul Awwal dengan Khawwan, bulan Rabi’ul Akhir dengan Wabshan, bulan Jumadil Ula dengan Runa, bulan Jumadil Akhirah dengan Hunain, dan bulan Rajab dengan al-Asham.” (Tahzhib al-Lughah, Muhammad bin Ahmad bin al-Azhari al-Harawi, 2/192)
Materi Khutbah Jumat: Jujur itu Berat, tapi Harus!
Teori lain menyebutkan bahwa istilah Ramadhan—dan nama bulan lainnya—dikaitkan dengan kondisi cuaca yang terjadi pada saat itu.
Abu Zakaria Yahya bin Ziyad Al-Farra’ (w. 207H) menyebutkan, dinamakan dengan Ramadhan karena suhu panas yang sangat tinggi dan sangat teriknya pancaran sinar matahari pada bulan itu. Sebagian ahli bahasa lain menyebutkan, karena membaranya tanah karena panas. (Al-Ayyam wa al-Layali wa asy-Syuhur, Abu Zakaria Yahya bin Ziyad al-Farra’, 45)
Ahmad bin Faris bin Zakaria al-Qazwaini ar-Razi (w. 395H) menyebutkan,
وَذَكَرَ قَوْمٌ أَنَّ رَمَضَانَ اشْتِقَاقُهُ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ; لِأَنَّهُمْ لَمَّا نَقَلُوا اسْمَ الشُّهُورِ عَنِ اللُّغَةِ الْقَدِيمَةِ سَمَّوْهَا بِالْأَزْمِنَةِ، فَوَافَقَ رَمَضَانُ أَيَّامَ رَمَضِ الْحَرِّ
“Orang Arab jaman dahulu menyebutkan bahwa Ramadhan berasal dari suhu yang sangat panas. Karena mereka dahulu ketika menetapkan nama bulan dengan bahasa lama mereka menetapkannya berdasarkan kondisi waktu itu. Sehingga bulan Ramadhan itu bertepatan dengan panasnya cuaca pada hari-hari tersebut.” (Mu’jam Maqayis al-Lughah, Ahmad bin Faris bin Zakaria al-Qazwaini ar-Razi, 2/440)
Seorang pakar bahasa Arab yang wafat pada tahun 521 Hijriyah, Abu Muhammad Abdullah bin as-Sayyid al-Bathalyusi atau populer dengan nama Ibnu as-Sayyid al-Bathalyusi menjelaskan, sesuatu itu dinamai dengan sebuah nama yang diambil dari suatu peristiwa yang sangat penting dan berkesan di waktu tertentu. Kemudian akhirnya ditetapkanlah nama tersebut meskipun sebab penamaannya telah tiada.
Beliau memberi contoh proses terbentuknya nama-nama bulan Qamariyah yang ada saat ini. Istilah Ramadhan muncul karena cuaca yang sangat panas yang terjadi pada bulan tersebut. Istilah Jumada diambil dari kata jumud karena membekunya air pada bulan tersebut (jumudu al-Ma’ fihi). Istilah Muharram yang diambil dari kata harrama, karena haramnya berperang pada bulan tersebut. Kemudian peristiwa yang menjadi sebab penamaan tersebut telah tiada dan nama-nama tersebut tetap diterapkan. (Rasail fi al-Lughah, Abu Muhammad Abdullah bin as-Sayyid al-Bathalyusi, 193)
Teori Ibnu as-Sayyid al-Bathalyusi tersebut juga dikuatkan dengan pernyataan seorang pakar bahasa arab lain yang bernama Muhammad bin Abi Bakar bin Abdul Qadir al-Hanafi (w. 666H). Ia menjelaskan, ketika orang-orang jaman dahulu memberi nama bulan dengan bahasa kuno, mereka menamainya berdasar kondisi yang terjadi pada saat itu. Termasuk bulan Ramadhan di mana cuaca sepanjang hari di bulan tersebut sangat panas. (Mukhtar ash-Shihhah, Muhammad bin Abi Bakar bin Abdul Qadir al-Hanafi ar-Razi, 129)
Baca juga: Bacaan Ruqyah dan Doa Ketika Sulit Melahirkan
Pemaknaan Ramadhan yang dikaitkan dengan akar katanya dan kondisi cuaca yang terjadi pada bulan tersebut (الرمضاء) ini juga ditunjukkan melalui sebuah hadits,
عَنْ حَارِثَةَ بْنِ مُضَرِّبٍ الْعَبْدِيِّ عَنْ خَبَّابٍ قَالَ: شَكَوْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – حَرَّ الرَّمْضَاءِ، فَلَمْ يُشْكِنَا
Dari Haritsah bin Mudharrib Al ‘Abdi dari Khabbab ia berkata, “Kami mengeluhkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan panasnya ramdha’ (pasir panas karena sengatan matahari), namun beliau tidak pernah mengeluh kepada kami.” (HR. Ibnu Majah No. 675, hadits shahih)
Penjelasan di atas menguatkan pendapat bahwa sebenarnya istilah Ramadhan telah ada sejak zaman pra-Islam, meskipun di zaman jahiliyah telah ada penetapan nama-nama bulan dengan istilah lain.
Konklusi ini dikuatkan pula oleh Syaikh Abdullah bin Mani’ ar-Ruqi al-‘Utaibi dalam penjelasan beliau tentang pertanyaan apakah Ramadhan itu adalah istilah yang dibawa oleh Islam atau istilah ini sebenarnya telah ada sejak jaman jahiliyah.
Jawaban beliau, Ramadhan adalah istilah yang telah ada sejak lama sebelum Islam datang. Oleh sebab itu ada pendapat yang menyatakan bahwa sebab penamaan nama-nama bulan itu karena bangsa Arab menamainya berdasar peristiwa-peristiwa perang atau duka cita yang terjadi saat itu di sepanjang tahunnya. Dan penamaan Ramadhan karena pada bulan tersebut cuacanya sangat panas. (Syarh Kitab ash-Shiyam min Shahih al-Bukhari, Abdullah bin Mani’ ar-Ruqi al-‘Utaibi, 25)
Kemudian setelah datang Islam dimana syariat wajibnya puasa Ramadhan turun, lahir beberapa penafsiran yang mengangkat nilai-nilai kemuliaan bulan Ramadhan tersebab adanya syariat Allah ‘azza wajalla yang sangat agung yang diberlakukan di bulan tersebut. Di sinilah sebab penamaan istilah Ramadhan mulai dikaitkan dengan persoalan peleburan dosa, menahan lapar serta dahaga, dan semisalnya.
Ibnu Asakir (w. 571H) menyebutkan,
عَنْ مَالِكٍ بْنِ اَنَسٍ عَنْ الزُّهْرِي عَنْ سَالِم عَنْ اَبِيْهِ قَالَ اِنَّمَا سُمِيَ رَمَضَانَ لِاَنَّ الذُّنُوْبَ تُرْمِضُ فِيْهِ وَاِنَّمَا سُمِيَ شَوَّالُ لِاَنَّهُ يَشُوْلُ الذُّنُوْبَ كَمَا تَشُوْلُ النَّاقَةُ ذَنْبَهَا
Dari Malik bin Anas dari az-Zuhri dari Salim dari Bapaknya, ia berkata, “Dinamakan Ramadhan karena dosa-dosa melebur pada waktu itu. Dinamakan Syawal karena pada waktu itu dosa-dosa diangkat seperti onta betina yang mengangkat ekornya.” (Tarikh Damsyiq, Ibnu Asakir, 47/335)
Baca juga: Uighur Turkistan Timur Sebagai ‘Tunas Peradaban’ (Cradle of Civilizations)
Alauddin al-Muttaqi al-Hindi (w. 975H) menyebutkan sebuah riwayat dalam kitabnya,
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “تَدْرُوْنَ لِمَ سُمِيَ شَعْبَانُ شَعْبَانَ لِأَنَّهُ يَتَشَعَّبُ فِيْهِ لِرَمَضَانَ خَيْرٌ كَثِيْرٌ، تَدْرُوْنَ لِمَ سُمِيَ رَمَضَانُ رَمَضَانَ لِأَنَّهُ يُرْمِضُ الذُنُوْبَ،
“Dari Anas ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tahukah kalian mengapa bulan Sya’ban dinamakan Sya’ban? Karena ia adalah percabangan dari kebaikan yang banyak menuju Ramadhan. Tahukah kalian mengapa bulan Ramadhan disebut dengan Ramadhan? Karena pada bulan itu dosa-dosa dilebur’.” (Kanzul Ummal fi Sunani al-Aqwal wa al-Af’al, Alauddin al-Muttaqi al-Hindi No. 24293, 8/591.)
Hadits ini diriwayatkan pula oleh al-Ashbahani (w. 535H) dalam kitabnya At-Targhib wa at-Tarhib (No. 1758, 2/535), disebutkan pula oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitabnya Ad-Dur al-Mantsur fi Tafsir bil Ma’tsur (1/444).
Penulis kitab Kanzul Ummal fi Sunani al-Aqwal wa al-Af’al menyebutkan, “Perawi hadits ini yang bernama Ziyad bin Maimun statusnya adalah Kazzab; pendusta.”
Jadi kesimpulannya, istilah Ramadhan telah ada sejak zaman pra-Islam (sebelum hijrah) yang terbentuk berdasarkan kondisi cuaca yang sangat panas pada bulan itu, meskipun jauh sebelumnya pada zaman jahiliyah telah ada istilah lain untuk menyebut nama-nama bulan.
Kemudian setelah Islam datang, syariat mengangkat istilah Ramadhan menuju kedudukan yang lebih mulia karena adanya syariat puasa wajib dan amalan-amalan yang menyertai di dalamnya. Wallahu a’lam [Sodiq Fajar/dakwah.id]