Ngaji Fikih 22 Syariat Mandi dalam Islam dakwah id

Ngaji Fikih #22: Syariat Mandi dalam Islam

Terakhir diperbarui pada · 440 views

Syariat mandi dalam Islam merupakan gambaran kesempurnaan ajaran Islam; bahwa Islam telah menetapkan syariat dan ajarannya sampai pada hal yang sangat rinci semacam ini.

Mandi dalam Islam itu disyariatkan. Ada orang yang mandi untuk bersuci, untuk membersihkan tubuhnya, ataupun untuk menyegarkan tubuhnya. Semua itu disyariatkan dalam Islam.

Ada beberapa ayat yang menjadi dasar pensyariatan mandi. Salah satunya adalah firman Allah,

إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ

Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dan menyukai orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)

Maksud ayat di atas adalah; Allah menyukai orang-orang yang senantiasa menjaga kesucian dirinya dari segala kotoran, baik kotoran pada jasad maupun hatinya.

Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

حَقٌّ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يَغْتَسِلَ فِيْ كُلِّ سَبْعَةِ أَيَّامٍ يَوْمًا، يَغْسِلُ فِيْهِ رَأْسَهُ وَجَسَدَهُ

Sudah menjadi kewajiban bagi setiap Muslim untuk mandi pada satu hari dari setiap tujuh hari, pada hari itu dia basuh kepala dan tubuhnya.” (HR. Al-Bukhari No. 847)

Sedangkan Imam Muslim menggunakan lafal; (حَقٌّ لِلَّهِ), “Merupakan hak Allah (atas setiap muslim).” (HR. Muslim No. 1402)

Maksud dari kata “Haq” pada hadits tersebut adalah; suatu perkara yang mana seorang muslim tidak boleh meninggalkannya.

Ulama mengartikan bahwa mandi yang dimaksud adalah mandi pada hari Jumat, sebagaimana Mazhab Syafii yang menyunahkannya.

Artikel Fikih: Saat Masuk Islam, Haruskah Mandi Dahulu?

Kaum muslimin sepakat, mandi untuk menyucikan diri wajib hukumnya bagi orang yang ingin mendapatkan keabsahan shalat. Mereka menyebutnya sebagai syarat sebelum melakukan shalat. Sedangkan mandi untuk membersihkan badan atau untuk mendapatkan kesegaran tubuh, termasuk amalan yang disunahkan.

 

Macam-macam Mandi dalam Islam

Mandi dalam Islam ada dua macam.

Pertama, mandi wajib.

Yaitu mandi yang menjadi syarat sah suatu ibadah dan ibadah tersebut tidak akan sah kecuali dilakukan setelah suci oleh sebab mandi.

Kedua, mandi sunah.

Mandi ini bukan termasuk syarat ibadah apa pun, hanya menjadi mandi yang disunahkan dan dianjurkan.

 

Kepada Siapa Mandi Wajib Berlaku?

Beberapa ibadah menjadikan suci dari hadats sebagai salah satu syarat sah pelaksanaannya. Baik hadats kecil seperti buang angin atau buang air, untuk menyucikannya cukup dengan berwudhu.

Adapun hadats besar seperti; haid, nifas, dan junub maka untuk menyucikannya seseorang harus melakukan mandi wajib.

Sebab-sebab seseorang wajib mandi adalah; ketika suci dari haid, suci dari nifas, mati, masuk agama Islam, dan junub.

Berikut ini penjelasannya secara ringkas.

Pertama: Wanita Haid

Haid merupakan salah satu dari hadats besar. Wanita haid tidak boleh shalat. Jika haidnya berhenti maka dia wajib mandi, guna menyucikan dan menghalalkan dirinya mendirikan shalat.

Allah berfirman,

وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَ ۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُ ۗ

Dan mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah sesuatu yang kotor.” Karena itu jauhilah istri pada waktu haid; dan jangan kamu dekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 222)

Kedua: Wanita Nifas

Nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan. Hukumnya sama dengan wanita haid: tidak boleh mendirikan shalat, puasa, disetubuhi, dan larangan-larangan yang lainnya. Oleh sebab itulah, begitu seorang wanita telah suci dari darah nifas maka dia wajib untuk mandi dan mengerjakan ibadah wajibnya.

Ngaji Fikih #18: Muslimah Wajib Belajar Fikih Haid dan Nifas

Dalam Mazhab Syafi’i, mandi juga diwajibkan bagi wanita yang melahirkan namun tidak mendapati darah setelahnya. Alasannya, karena sejatinya anak yang dilahirkan berasal dari mani. Akibatnya, sekalipun tidak mendapati darah setelah melahirkan dia tetap mandi oleh sebab kelahiran anaknya, bukan karena sebab adanya darah.

Ketiga: Orang Mati

Ketika seorang muslim wafat maka seorang muslim lainnya berkewajiban untuk memandikannya. Kewajiban di sini bersifat kifayah, bila sebagian kaum muslimin telah menunaikannya maka kewajiban tersebut gugur bagi kaum muslimin yang lain.

Keempat: Orang yang Masuk Islam

Bagi orang kafir yang baru memeluk agama Islam maka dia berkewajiban untuk mandi. Hanya saja ada beberapa perincian, yaitu

Pertama, mualaf dari kalangan anak-anak. Anak-anak bukanlah kalangan yang mendapatkan kewajiban mandi. Oleh karena itu, orang kafir yang masih kanak-kanak, kemudian masuk Islam maka tidak wajib mandi. Namun, disunahkan.

Materi Khutbah Jumat: Syariat Allah Butuh Sikap Totalitas, Bukan Tebang Pilih

Masuk ke dalam agama Islam adalah bentuk meninggalkan kemaksiatan. Oleh karena itu, seorang mualaf dari kalangan anak kecil tidak wajib mandi seperti wajibnya mandi seseorang yang bertobat dari kemaksiatannya.

Kedua, mualaf dari kalangan dewasa. Orang yang telah balig, maka begitu masuk ke dalam Islam dia wajib melakukan mandi. Baik bagi kafir asli, kafir murtad, atau kafir dzimmi sekalipun.

Proses mandi ini harus dilakukan setelah dia menyatakan masuk ke dalam agama Islam. Mandi yang pernah dilakukan saat masih dalam kekafiran tidak dianggap sah sebab mandi termasuk ibadah mahdhah (murni), seperti shalat, puasa, dan lainnya. Akibatnya, tidak sah dilakukan oleh orang yang masih kafir.

Kelima: Orang yang Junub

Junub adalah hadats yang disebabkan oleh persetubuhan. Orang yang junub itu tidak suci, dia berhadats besar. Karena itu, dia berkewajiban untuk mandi. Hukum wajib ini berlaku bagi semuanya: laki-laki, wanita, orang dewasa, atau anak-anak yang sedang tumbuh dewasa.

 

Jenis Mandi dalam Islam yang Hukumnya Sunah

Islam mengajarkan umatnya untuk mencintai kebersihan. Di antaranya, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan mandi pada waktu-waktu tertentu yang disunahkan. Tidak lain hanya agar umat Islam senantiasa tampil bersih, terutama saat dia melakukan ibadah atau saat berkerumun bersama orang lain.

Sebab itulah, ada beberapa mandi yang disunahkan oleh syariat menurut Mazhab Syafi’i. Dalam konteks ini, sebagai berikut:

  1. Mandi di hari Jumat;
  2. Mandi di hari raya idul fitri dan adha;
  3. Mandi untuk shalat gerhana matahari dan bulan;
  4. Mandi untuk shalat istisqa’ (memohon hujan);
  5. Mandi setelah memandikan jenazah;
  6. Mandi sebelum ihram baik untuk haji maupun umrah;
  7. Mandi dalam rangka masuk ke dalam kota Mekah Al-Mukarramah;
  8. Mandi ketika wukuf di Arafah;
  9. Mandi untuk melempar jumrah pada hari tasyriq; dan
  10. Mandi dalam rangka masuk ke dalam kota Madinah Al-Munawwarah.

 

Mandi Sekali untuk Beberapa Tujuan, Bisakah?

Dalam mazhab Syafii, mandi sekali bisa digunakan untuk beberapa tujuan dengan tetap memerhatikan kaidah berikut ini.

  1. Satu mandi boleh digunakan untuk menghilangkan najis dan sekaligus menghilangkan hadats.
  2. Satu mandi boleh digunakan untuk menghilangkan dua hadats besar atau lebih sekaligus.
  3. Satu mandi boleh digunakan untuk menghilangkan hadats kecil dan hadats besar sekaligus.
  4. Apabila seseorang wajib mandi namun tidak mendapati air, dia boleh bertayamum seperti tayamum shalat. Setelah itu, dia suci dan boleh melakukan amalan yang dilakukan oleh orang yang suci.
  5. Suami dan istri boleh mandi dengan satu wadah. Artinya, sisa air mandi wajib laki-laki tidak memberi pengaruh apa pun jika digunakan untuk mandi wanita. Kecuali jika telah menjadi air mustamal (bekas pakai taharah wajib).

 

Demikian pembahasan pokok terkait dengan syariat mandi dalam Islam menurut mazhab Syafii yang disarikan dari kitab Al-Mutamad fi Al-Fiqhi Asy-Syafii karya DR. Muhammad az-Zuhaili. Wallahu a’lam (Arif Hidayat/dakwah.id)

 

Baca juga artikel Serial Ngaji Fikih atau artikel menarik lainnya karya Arif Hidayat.

Penulis: Arif Hidayat
Editor: Ahmad Robith

 

Serial Ngaji Fikih sebelumnya:
Ngaji Fikih #21: Air Kencing Itu Najis, Kotoran Juga Najis

Topik Terkait

Arif Hidayat

Pemerhati fikih mazhab Syafi'i

0 Tanggapan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *