Daftar Isi
Di antara kisah yang berseliweran di lisan sebagian para dai adalah kisah Rasulullah menjenguk Yahudi.
Kisah yang biasa diangkat untuk mengesankan kebagusan akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan kelembutan Islam. Kisah yang biasa “digoreng” oleh sebagian kalangan untuk menepis tindakan nahi munkar oleh sebagian umat Islam.
Bahkan ada yang menjadikannya sebagai legitimasi bahwa seorang muslim seharusnya tidak marah apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ajaran Islam dihina. Ini sama saja dengan menaruh sesuatu bukan pada tempatnya.
Bukan berarti kita menafikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sosok yang lembut dan penyayang serta berakhlak yang bagus. Hanya saja, mengada-ada dan memanfaatkan sikap lembut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menihilkan sikap tegas terhadap kemungkaran dan kezaliman, terlebih jika menimpa Islam dan syariat-Nya adalah sebuah tindakan hipokrit yang tidak dilakukan kecuali oleh orang yang memiliki kebusukan hati terhadap Islam.
Kisah Rasulullah Menjenguk Yahudi yang Memusuhinya
Berikut redaksi kisah Rasulullah menjenguk Yahudi tersebut,
كَانَ رَسُولُ اللهِ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) يُجَاوِرُهُ جَارٌ يَهُودِيٌّ، وَكَانَ الْيَهُودِيُّ يُحَاوِلُ أَنْ يُؤْذِيَ الرَّسُولَ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ)، وَلَكِنْ لَا يَسْتَطِيعُ خُوْفاً مِنْ بَطْشِ أَصْحَابِ النَّبِيِّ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ)، فَمَا كَانَ أَمَامَهُ إِلَّا اللَّيْلُ وَالنَّاسُ جَمِيعًا نِيَامٌ، حَيْثُ كَانَ يَأْخُذُ الشَّوْكَ وَالقَاذُورَاتِ وَيَرْمِي بِهَا عِنْدَ بَيْتِ الرَّسُولِ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ)، وَلَمَّا يَسْتَيْقِظُ رَسُولُنَا الْكَرِيمُ فَيَجِدْ هِذِهِ الْقَاذُورَاتِ كَانَ يَضْحَكُ ، وَيَعْرِفُ أَنَّ الْفَاعِلَ جَارُهُ الْيَهُودِيُّ، فَكَان نَبِيُّنَا الْكَرِيمُ يُزِيحُ القَاذُورَاتِ عَنْ مَنْزِلِهِ وُيعَامِلُهُ بِرَحْمَةٍ وَرِفْقٍ، وَلَا يُقَابِلُ إِسَاءَتَهُ بِالْإِسَاءَةِ، وَلَمْ يَتَوَقَّفِ الْيَهُودِيُّ عَنْ عَادَتِهِ حَتَّى جَاءَتْهُ حُمَى خَبِيثَةٌ، فَظَلَّ مَلَازِمَا الْفِرَاشِ يَعْتَصِرُ أَلَمًا مِنَ الْحُمَى حَتَّى كَادَتْ تُوشَكُ بِخَلَاصِهِ، وَبَيْنَمَا كَانَ الْيَهُوِديُّ بِدَارِهِ سَمِعَ صَوْتَ الرَّسُوْلِ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ) يَضْرِبُ الْبَابَ يَسْتَأْذِنُ فِي الدُّخُولِ، فَأَذِنَ لَهُ الْيَهُودِيُّ فَدَخَلَ صَلَوَاتُ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى جَارِهِ الْيَهُودِيِّ وَتَمَنَّى لَهُ الشِّفَاءَ، فَسَأَلَ الْيَهُودِيُّ الرَّسُولَ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ): “وَمَا أَدْرَاكَ يَا مُحَمَّدٌ أَنِّي مَرِيضٌ؟ فَضَحِكَ الرَّسُولُ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ) وَقَالَ لَهُ: عَادَتُكَ الَّتِي انْقَطَعَتْ (يَقْصِدُ نَبِيُّنَا الْكَرِيمُ القَاذُورَاتِ الَّتِي يَرْمِيهَا الْيَهُودِيُّ أَمَامِ بَابِهِ)، فَبَكَى الْيَهُودِيُّ بُكَاءً حَارًّا مِنْ طِيبِ أَخْلَاقِ الرَّسُولِ الْكَرِيمِ (صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ) وَتَسَامُحِهِ، فَنَطَقَ الشَّهَادَتَيْنِ وَدَخَلَ فِي دِينِ الْإِسْلَامِ.
“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertetangga dengan seorang Yahudi dan Yahudi tersebut berusaha untuk mengganggu beliau. Namun, dia tidak sanggup karena adanya penjagaan dari para sahabat Rasulullah radhiyallahu ‘anhum.
Dia hanya bisa mengusik Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada malam hari ketika orang-orang tengah terlelap tidur, di mana ia sengaja mengambil duri dan kotoran lalu melemparkannya ke dekat rumah beliau.
Setiap kali beliau bangun dan mendapati kotoran tersebut, beliau hanya tertawa saja sembari mengetahui bahwa yang melakukannya adalah tetangga beliau sendiri si Yahudi tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun membersihkan kotoran tersebut dari dekat rumah beliau dan tetap memperlakukannya dengan lembut dan simpati. Beliau tidak membalas perbuatan buruknya itu dengan perbuatan buruk.
Yahudi itu tidak berhenti melakukan hal yang sama sampai tiba-tiba ia ditimpa demam yang amat menyiksa. Dia hanya bisa diam di kasurnya sembari mengeluh kesakitan karena demam tersebut hingga hampir saja ia menyerah karena sakitnya.
Ketika dia ada di rumahnya, dia pun mendengar suara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengetuk pintunya dan meminta izin untuk masuk. Dia pun mengizinkan beliau masuk. Beliau pun masuk menemui Yahudi tersebut dan mengharapkan kesembuhan untuknya.
Yahudi itu bertanya, “Wahai Muhammad, siapakah yang memberitahukan kepadamu kalau sedang sakit?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Kebiasaanmu tiba-tiba tidak berlanjut lagi.” (Beliau maksudkan adalah kotoran yang biasa dilemparkannya ke depan rumah beliau).
Yahudi itu lantas menangis dengan keras karena menyaksikan kebaikan akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan toleransi beliau terhadapnya. Akhirnya ia pun mengucapkan dua kalimat syahadat dan masuk Islam.” (Diambil dari situs alwafd.news)
Kisah ini sering diceritakan dengan berbagai bentuk versi maupun redaksi. Adakalanya dengan penambahan maupun pengurangan. Tetapi substansinya sama, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjenguk Yahudi yang pernah mengganggu dan menghina beliau.
Artikel Fikih: Inilah 3 Kelebihan Seorang Muadzin
Pertanyaannya, apakah kisah Rasulullah menjenguk Yahudi ini benar adanya? Atau hanya sekedar kisah fiktif (dusta) yang sengaja dimunculkan para tukang kisah untuk membumbui bahan cerita mereka?
Pastinya, kisah ini tidak didapatkan di dalam referensi manapun dalam literatur Islam, baik referensi hadits maupun sejarah Islam. Kisah Rasulullah menjenguk Yahudi ini juga baru populer akhir-akhir ini, dalam artian tidak dikenal oleh seorang ulama klasik pun.
Ringkasnya, ini adalah kisah “baru” tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak memiliki sandaran riwayat sedikit pun. Ini telah dikonfirmasi oleh sebagian ulama kontemporer masa kini yang mengingkari dan menepis validitas dan keaslian kisah ini serta menyebutnya sebagai kisah fiktif.
Komentar Syaikh DR. Syauqi Ibrahim ‘Allam
Syaikh DR. Syauqi Ibrahim ‘Allam hafizhahullah, mufti negara Mesir hari ini, berkomentar,
قِصَّةُ الْيَهُودِيُّ الَّذِي كَانَ يَقُومُ بِوَضْعِ الْمُخَلَّفَاتِ أَمَامَ بَيْتِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسلَّمَ وَعِنْدَمَا مَرِضَ ذَهَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ لِزِيَارَتِهِ، هِيَ قِصَّةٌ مُشْتَهِرَةٌ بَيْنَ النَّاسِ، وَلَكِنَّهَا لَمْ تَرِدْ فِي كُتُبِ السُّنَّةِ أَوِ السِّيرَةِ، وَإِنَّمَا يُوْرِدُهَا النَّاسُ لِضَرْبِ الْمَثَلِ لِلتَّسَامُحِ وَالْعَفْوِ عِنْدَ الْمَقْدَرَةِ، وَلَا بَأْسَ بِمَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ بِشَرْطٍ أَلَّا يُنْسَبُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ
“Kisah Yahudi yang meletakkan kotoran di depan rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan ketika ia sakit beliau datang untuk menjenguknya, adalah kisah yang masyhur di tengah orang-orang banyak. Namun sayangnya, kisah ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab Sunnah (hadits) maupun Sirah (sejarah Islam).
Kisah ini sengaja disampaikan orang-orang semata untuk menjadi bahan permisalan untuk menunjukkan toleransi dan bersikap lapang hati jika mampu. Hal seperti ini tidak mengapa dengan syarat tidak boleh disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Dinukil dari situs resmi Darul Ifta Al-Mishriyah; lembaga fatwa resmi Mesir)
Komentar Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid
Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid hafizhahullah wa fakka asrahu, seorang ulama Suriah pengampu situs Islam QA, juga mengonfirmasi,
وَنُنَبِّهُ هُنَا إِلَى زِيَادَةٍ اشْتُهِرَتْ عِنْدَ كَثِيرٍ مِنَ النَّاسِ الْيَوْمِ، أَنَّ هَذَا الْجَارَ الْيَهُودِيَّ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَيَضَعُ الْقُمَامَةَ وَالشَّوْكَ فِي طَرِيقِهِ، وَالْحَقُّ أَنَّ هَذِهِ الزِّيَادَةَ لَا أَصْلَ لَهَا فِي كُتُبِ السُّنَّةِ، وَلَمْ يَذْكُرْهَا أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ، وَإِنَّمَا اشْتُهِرَتْ لَدَى الْمُتَأَخِّرينَ مِنَ الوَعَّاظِ وَالزُّهَّادِ مِنْ غَيْرِ أَصْلٍ وَلَا إِسْنَادٍ، وَالْأَصْلُ فِي الْمُسْلِمِ الْوُقُوفُ عِنْدَ الثَّابِتِ وَالْمَقْبُولِ، خَاصَّةً وَأَنَّ مَتَنَهَا فِيهِ نِكَارَةٌ
“Kami ingatkan bahwa adanya tambahan redaksi yang populer menurut sebagian besar orang hari ini bahwa tetangga beragama Yahudi tersebut pernah mengganggu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan cara menaruh kotoran dan duri di jalan (yang biasa dilalui Nabi), maka yang benar tambahan ini tidak ada dasarnya sama sekali dalam kitab-kitab Sunnah dan tidak ada disebutkan oleh seorang ahli ilmu pun. Ini baru populer di tengah-tengah tukang kisah dan pemberi nasehat akhir-akhir ini tanpa ada dasar sandaran dan sanadnya. Sejatinya, bagi seorang muslim hanya berpegang pada kisah yang valid dan dapat dikonfirmasi kebenarannya. Khususnya jika pada matan (redaksi)nya terhadap hal-hal yang ganjil.” (Diambil dari situs resmi Islam QA)
Kecacatan dari Sisi Matan
Dari sisi matan (redaksi), kisah Rasulullah menjenguk Yahudi ini juga terbilang ganjil. Dalam sejarah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hanya pernah bermukim pada dua tempat saja, yaitu Makkah dan Madinah.
Di Makkah beliau menerima kenabian dan kerasulan serta memulai dakwah Islam selama kurang lebih 13 tahun, sedangkan Madinah adalah tempat beliau hijrah dan memimpin umat Islam selama kurang lebih 10 tahun.
Jika kisah itu terjadi di Makkah, maka ini tidak mungkin. Karena tidak ada seorang Yahudi pun yang tinggal di Makkah. Tetangga beliau adalah penduduk Makkah yang umumnya orang musyrik.
Apabila kisah itu terjadi di Madinah, maka mungkin saja terjadi. Namun, selama di Madinah hingga beliau wafat, rumah beliau dan istri-istri beliau berdampingan dengan Masjid Nabawi sehingga apabila ada Yahudi yang berani menaruh kotoran atau benda-benda membahayakan di depan rumah pintu beliau, tentu aksinya akan dekat dengan Masjid Nabawi dan tidak mungkin tidak dilihat oleh para sahabat beliau—terlebih di Madinah saat itu terdapat Ashabus Shuffah, yaitu para sahabat yang tinggal dan menginap di Masjid Nabawi.
Belum lagi dengan beberapa sahabat Nabi yang rutin menghidupkan malam di masjid Nabawi, sehingga tidak mungkin para sahabat hanya diam saja ketika melihat seorang Yahudi mencoba melecehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan cara menaruh kotoran tersebut di depan rumah beliau atau jalan yang biasa beliau lalui.
Kisah Rasulullah menjenguk Yahudi ini juga bertentangan dengan lahiriah firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Wahai Nabi! Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. At-Tahrim: 9)
Ayat ini turun kepada beliau di Madinah, di mana beliau diperintah oleh Allah Ta’ala agar bersikap keras dan tegas terhadap orang kafir dan munafik jika mereka terang-terangan menampakkan perlawanannya dan makarnya terhadap Islam.
Maka mustahil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersikap lunak dan lembek kepada kaum Yahudi yang terang-terangan melecehkan dan menghina beliau dengan cara menaruh kotoran dan duri yang dapat mencelakakan beliau di depan pintu rumah beliau sendiri.
Tidak menutup kemungkinan kotoran dan duri itu mengenai umat Islam lainnya yang akan pergi shalat ke Masjid Nabawi mengingat rumah beliau berdampingan dengan masjid. Tidak mungkin beliau membiarkan dan mendiamkan tindakan tersebut begitu saja melihat efeknya yang dapat menyakiti orang lain dan mengarah kemungkaran.
Faidah
Pertama: Nabi menjenguk pelayan Yahudi beliau
Meski kisah tersebut fiktif, palsu, dan hasil gubahan para tukang kisah yang tidak bertanggung jawab, bukan berarti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menjenguk orang Yahudi.
Terdapat kisah sahih bahwa beliau menjenguk seorang Yahudi yang tengah sakit, tetapi berbeda dengan kisah di atas. Kisah ini disebutkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya,
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كَانَ غُلاَمٌ يَهُودِيٌّ يَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَمَرِضَ، فَأَتَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُهُ، فَقَعَدَ عِنْدَ رَأْسِهِ، فَقَالَ لَهُ: أَسْلِمْ، فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُ: أَطِعْ أَبَا القَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَسْلَمَ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ: الحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Dahulu ada seorang anak beragama Yahudi yang menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ia pun jatuh sakit. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam datang menjenguknya. Beliau pun duduk di dekat kepalanya. Beliau bersabda, ‘Masuklah ke dalam Islam!’ Ia pun melirik ke arah ayahnya yang tengah berada di dekatnya. Ayahnya berkata kepadanya, ‘Taatilah Abul Qasim (Rasulullah) shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Anak itu akhirnya masuk Islam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun keluar sembari bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka’.” (HR. Al-Bukhari no. 1356)
Di sini terlihat, Yahudi tersebut bukanlah tetangga beliau, justru pelayan atau pembantu beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bukan hanya sekadar menjenguknya, namun juga mendakwahinya agar mau masuk Islam.
Hal yang sama juga pernah beliau lakukan di Makkah tatkala menjenguk Abu Thalib paman beliau yang tengah sakit menjelang wafatnya. Sayangnya paman beliau tersebut enggan untuk mengucapkan kalimat tauhid dan akhirnya mati dalam keadaan kafir.
Kedua: Riwayat Nabi memiliki tetangga Yahudi
Terdapat riwayat yang menyebut bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki tetangga yang beragama Yahudi dan menjenguknya ketika ia akan wafat. Namun, riwayat tersebut tidak lepas dari kecacatan.
Pertama: riwayat Ibnu Abi Husain
أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ: أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ عَلْقَمَةَ يُحَدِّثُ، عَنِ ابْنِ أَبِي حُسَيْنٍ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَهُ جَارٌ يَهُودِيٌّ لَا بَأْسَ بِخُلُقِهِ، فَمَرِضَ فَعَادَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِأَصْحَابِهِ، فَقَالَ: «أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ؟»، فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ، فَسَكَتَ أَبُوهُ، وَسَكَتَ الْفَتَى، ثُمَّ الثَّانِيَةَ، ثُمَّ الثَّالِثَةَ، فَقَالَ أَبُوهُ فِي الثَّالِثَةِ: قُلْ مَا قَالَ لَكَ، فَفَعَلَ، فَمَاتَ، فَأَرَادَتِ الْيَهُودُ أَنْ تَلِيَهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «نَحْنُ أَوْلَى بِهِ مِنْكُمْ»، فَغَسَّلَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَفَّنَهُ، وَحَنَّطَهُ، وَصَلَّى عَلَيْهِ
Ibnu Juraij mengabarkan kepada kami. Ia berkata, Abdullah bin Amru bin Alqamah mengabarkan kepadaku sebuah hadits dari Ibnu Abi Husain, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki seorang tetangga Yahudi yang akhlaknya tidak bermasalah.
Ia sakit dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam serta para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum menjenguknya. Rasulullah bertanya, “Apakah engkau tidak bersaksi laa ilaah illallah dan aku adalah Rasul Allah?”
Ia pun memandang ayahnya dan ayahnya hanya diam, maka ia pun hanya diam. Kemudian ditanyakan lagi kedua kalinya dan ketiga kalinya. Ayahnya pun berkata pada ketiga kalinya, “Katakan apa yang dikatakan olehnya (Muhammad) kepadamu!” Ia pun melakukannya, lalu meninggal.
Ketika kaum Yahudi hendak mengurus jenazahnya, Rasulullah pun berkata kepada mereka, “Kami lebih berhak atasnya daripada kalian.” Beliau pun memandikannya, mengafaninya, membawa jenazahnya, serta menyalatkannya.” (HR. Abdurrazzaq no. 9919)
Cacat yang terdapat pada riwayat ini ada Ibnu Abi Husain yang meriwayatkan langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara ia adalah seorang tabi’in sebagaimana yang dicantumkan Imam Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat (6/33). Namanya adalah Umar bin Said bin Abi Husain. Ia adalah seorang tabi’in Makkah tingkat ketiga menurut penilaian Imam Ibnu Sa’ad rahimahullah.
Bahkan terlihat lebih parah, karena Imam Ibnu Hibban rahimahullah memasukkannya dari jajaran tabi’ut tabi’in dalam ats-Tsiqat (7/166).
Artinya, Ibnu Abi Husain bukan hanya tidak bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun juga tidak bertemu dengan seorang pun dari sahabat Nabi. Inilah yang benar. Wallahu a’lam.
Al-Hafizh al-Mizzi rahimahullah dalam Tahdzib al-Kamal ketika menjelaskan biografi Ibnu Abi Husain, ia tidak menuliskan adanya seorang sahabat pun yang riwayatnya diriwayatkan oleh Ibnu Abi Husain.
Maka jadilah hadits ini hadits munqathi’ (terputus sanadnya) dan hadits munqathi’ termasuk dari salah satu jenis hadits paling lemah. Apalagi jika keterputusannya sampai dua tingkatan (sahabat dan tabi’in). Wallahu a’lam.
Kedua: riwayat sahabat Buraidah
أَخْبَرَنِي أَبُو عَرُوبَةَ، حَدَّثَنَا جَدِّي عَمْرُو بْنُ أَبِي عَمْرٍو، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ، عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ، ثنا عَلْقَمَةُ بْنُ مَرْثَدٍ، عَنِ ابْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: اذْهَبُوا بِنَا نَعُودُ جَارَنَا الْيَهُودِيَّ. قَالَ: فَأَتَيْنَاهُ، فَقَالَ: كَيْفَ أَنْتَ يَا فُلَانُ؟ فَسَأَلَهُ، ثُمَّ قَالَ: يَا فُلَانُ، اشْهَدْ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ. فَنَظَرَ الرَّجُلُ إِلَى أَبِيهِ، فَلَمْ يُكَلِّمْهُ، ثُمَّ سَكَتَ ثُمَّ قَالَ: وَهُوَ عِنْدَ رَأْسِهِ فَلَمْ يُكَلِّمْهُ، فَسَكَتَ، فَقَالَ: يَا فُلَانُ، اشْهَدْ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللَّهِ. فَقَالَ لَهُ أَبُوهُ: اشْهَدْ لَهُ يَا بُنَيَّ. فَقَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ. فَقَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَعْتَقَ رَقَبَةً مِنَ النَّارِ
Abu Arubah mengabarkan kepadaku. Kakekku Amru bin Abi Amru menceritakan kepada kami. Muhammad bin al-Hasan menceritakan kepada kami dari Abu Hanifah. Alqamah bin Martsad menceritakan kepada kami, dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya, ia berkata,
“Kami pernah duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pun bersabda, ‘Mari kita jenguk tetangga Yahudi kita ini!’ Kami pun menjenguknya. Lalu beliau bertanya (kepadanya), ‘Bagaimana keadaanmu wahai fulan?’
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun menanyainya lagi lalu berkata kepadanya, ‘Hai fulan, bersaksilah laa ilaah illallah dan aku adalah Rasul Allah!’
Ia pun memandang ayahnya dan ayahnya tidak berbicara kepadanya, ia pun hanya diam. Ayahnya saat itu ada di dekat kepalanya tanpa berbicara padanya, ia pun hanya diam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata lagi, ‘Hai fulan, bersaksilah laa ilaah illallah dan aku adalah rasul Allah!’ Ayahnya pun berkata kepadanya, ‘Bersaksilah untuknya wahai anakku!’
Ia pun berkata, ‘Aku bersaksi laa ilaaha illallah dan engkau adalah rasul Allah.’
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah membebaskan leher seorang hamba dari api neraka’.” (HR. Ibnu as-Sunni, ‘Amal al-Yaum wa al-Laylah, no. 554)
Kecacatan riwayat sahabat Buraidah
Pada sanad hadits ini terdapat beberapa catatan,
Pertama, pada Ibnu Buraidah yakni Sulaiman bin Buraidah al-Aslami. Sejatinya beliau adalah perawi yang tsiqah. Ditsiqahkan oleh Yahya bin Ma’in dan Abu Hatim ar-Razi rahimahumallah sebagaimana penuturan Ibnu Abi Hatim rahimahullah dalam al-Jarh wa at-Ta’dil (4/102).
Termasuk perawi yang riwayatkan diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagaimana yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Manjawaihi rahimahullah dalam Rijal Shahih Muslim (1/273).
Namun, al-Bukhari tidak meriwayatkan darinya dalam Shahih-nya sekaligus memberi catatan padanya,
وَلَمْ يَذْكُرْ سُلَيْمَانُ سِمَاعًا مِنْ أَبِيهِ
“Sulaiman tidak menyebut penyimakannya dari ayahnya sendiri.” (At-Tarikh al-Kabir, al-Bukhari, 4/4)
Meski demikian, ini catatan yang tidak begitu berdampak buruk pada hadits ini, karena adanya kemungkinan Sulaiman mendengar dari ayahnya, karena ia lahir sementara ayahnya yaitu sahabat Buraidah bin Hashib al-Aslami masih hidup dan Imam Muslim rahimahullah berhujah dengan riwayatnya dari ayahnya melalui Alqamah bin Martsad dalam Shahih beliau.
Kedua, pada Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit. Tidak ada yang tidak mengenal beliau karena kemasyhuran beliau di bidang fikih, karena para ulama memuji keilmuan beliau di bidang fikih. Beliau adalah fondasi utama mazhab Hanafi.
Materi Khutbah Jumat: Muslim Palestina Dizalimi Lagi, Saatnya Berbagi
Meski demikian, mayoritas ulama hadits memberi penilaian negatif terhadap beliau di bidang hadits. Di antaranya adalah Ibnu al-Mubarak, Yahya bin Sa’id al-Qatthan, Sufyan ats-Tsauri, Ahmad bin Hanbal, Abdu ar-Razzaq, Ibrahim al-Jauzajani, Ya’qub bin Syaibah, Muslim bin al-Hajjaj (penulis Shahih Muslim) rahimahumullah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah dalam Tarikhu Baghdad (15/573).
Termasuk Imam an-Nasai rahimahullah yang berkata, “An-Nu’man bin Tsabit Abu Hanifah tidak kuat dalam hadits.” (Ad-Dhuafa wa al-Matrukin, an-Nasai, I/100).
Imam Ibnu Sa’ad rahimahullah mengatakan, “Abu Hanifah lemah di bidang hadits.” (At-Thabaqat, Ibnu Sa’ad, 6/348)
Al-Hafizh Ibnu Syahin rahimahullah memasukkannya ke dalam jajaran perawi lemah dalam Tarikh Asma adh-Dhuafa (1/184). Imam al-Bukhari rahimahullah juga melemahkannya dan memasukkannya ke dalam jajaran perawi yang lemah dalam kitab adh-Dhuafa as-Shaghir (1/132).
Demikian juga Imam al-Uqaili dalam ad-Dhuafa al-Kabir (4/268) dan Ibnu Hibban dalam al-Majruhin (3/63) serta al-Hafizh Ibnu al-Jauzi dalam adh-Dhuafa wa al-Matrukin (3/163) rahimahumullah.
Al-Imam Ibnu Adi rahimahullah memasukkan Abu Hanifah ke dalam jajaran perawi lemah sembari mengatakan,
وَأَبُو حَنِيفَةَ لَهُ أَحَادِيثُ صَالِحَةٌ وَعَامَّةٌ مَا يَرْوِيهِ غَلَطٌ وَتَصَاحِيفُ وَزِيَادَاتٌ فِي أَسَانِيدِهَا وَمُتُونِهَا وَتَصَاحيفُ فِي الرِّجَالِ وَعَامَّةٌ مَا يَرْوِيهِ كَذَلِكَ وَلَمْ يَصِحْ لَهُ فِي جَمِيعِ مَا يَرْوِيهِ إِلَّا بِضْعَةَ عَشَرَ حَدِيثًا وَقَدْ رَوَى مِنَ الْحَدِيثِ لَعَلَّهُ أَرْجَحُ مِنْ ثَلَاثَمِئَةِ حَدِيثٍ مِنْ مَشَاهِيرَ وَغَرَائِبَ وَكُلُّهُ عَلَى هَذِهِ الصُّورَةِ لِأَنَّهُ لَيْسَ هُوَ مِنْ أَهْلِ الْحَدِيثِ
“Abu Hanifah memiliki hadits yang bagus. Hanya saja keumuman hadits riwayatnya mengandung kekeliruan, penyisipan, penambahan pada sanad dan matan, serta penyisipan pada rawi-rawinya. Mayoritas riwayatnya seperti itu. Seluruh riwayatnya tidak ada yang shahih kecuali hanya belasan hadits saja, padahal ia telah meriwayatkan hadits setidaknya sekitar 300-an hadits, baik yang masyhur maupun yang mengandung keganjilan. Semuanya dengan bentuk seperti itu, karena memang ia bukanlah termasuk ahli hadits.” (Al-Kamil fi Dhuafa ar-Rijal, Ibnu Adi, 8/246)
Terdapat pembelaan dari Yahya bin Main rahimahullah yang menilai tsiqah beliau, namun dalam riwayat lain Ibnu Main juga melemahkan beliau. Yang jelas Ibnu Main rahimahullah secara tegas menafikan sifat dusta dari beliau, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Khathib al-Baghdadi rahimahullah dalam Tarikhu Baghdad (15/573).
Sementara sebagian ulama hadits mutaakkhirin cenderung menilai tsiqah beliau seperti Al-Hafizh adz-Dzahabi yang tidak memasukkan beliau dalam jajaran perawi lemah dalam al-Mughny fi ad-Dhuafa. Demikian juga al-Hafizh al-Mizzi yang hampir saja tidak menuliskan penilaian negatif tentang beliau dalam Tahdzib al-Kamal.
Tentu para pakar hadits yang sezaman atau yang lebih dekat zamannya dengan Abu Hanifah rahimahullah lebih mengetahui kapasitas dan kualitas Abu Hanifah rahimahullah di bidang hadits daripada selain mereka. Wallahu a’lam.
Ketiga, Muhammad bin al-Hasan bin Farqad asy-Syaibani. perawi yang meriwayatkan dari Abu Hanifah, sekaligus murid Abu Hanifah dan pondasi utama dalam madzhab Hanafi rahimahumullah. Keadaannya tidak jauh beda dengan Imam Abu Hanifah rahimahullah. Para ulama hadits muktabar melemahkannya.
Muhammad bin al-Hasan dilemahkan oleh para imam mutaqaddimin di antaranya Yahya bin Ma’in, Ahmad bin Hanbal, as-Shayrafi, Abu Dawud as-Sijistani (penulis Sunan Abu Dawud), dan ad-Daruquthni rahimahumullah sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah dalam Tarikhu Baghdad (2/561).
Demikian juga sebagian ulama hadits mutaakkhirin semisal Ibnu Syahin dalam Tarikh Asma ad-Dhuafa (1/163), al-Uqaili dalam ad-Dhuafa al-Kabir (4/55), dan Ibnu al-Jauzi dalam ad-Dhuafa wa al-Matrukin (3/50) rahimahumullah.
Imam Ibnu Hibban rahimahullah juga melemahkannya dan meriwayatkan bahwa Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata mengenai Muhammad bin al-Hasan, “Ia tidak tsiqah demi Allah dan tidak amanah.” (Al-Majruhin, Ibnu Hibban, 2/276).
Imam Ibnu Adi rahimahullah melemahkannya sembari berkata,
وَمُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ هَذَا لَيْسَ هُوَ مِنْ أَهْلِ الْحَدِيثِ، وَلاَ هُوَ مِمَّنْ كَانَ فِي طَبَقَتِهِ يُعْنُونَ بِالْحَدِيثِ حَتَّى أَذْكُرَ شَيْئًا مِنْ مُسْنَدِهِ عَلَى أَنَّهُ سَمِعَ مِنْ مَالِكٍ الْمُوَطَّأَ
“Muhammad bin al-Hasan ini tidaklah termasuk kalangan ahli hadits dan tidak juga termasuk tingkatan yang diperhitungkan dalam bidang hadits. Hanya saja aku teringat sedikit terdapat dalam Musnadnya yang menyebut bahwa ia mendengar al-Muwattha’ dari Malik.” (Al-Kamil fi Dhuafa ar-Rijal, Ibnu Adi, 7/378)
Al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah juga melemahkan Muhammad bin al-Hasan rahimahullah dengan mengatakan,
مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ الشَّيْبَانِيّ عَن مَالِكٍ وَغَيْرِهِ ضَعَّفَهُ النَّسَائِيُّ مِنْ قِبَلِ حِفْظِهِ
“Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani, meriwayatkan dari Malik dan lainnya. Ia dilemahkan oleh an-Nasai dari sisi hafalannya.” (Al-Mughny fi ad-Dhuafa, ad-Dzahabi, 2/567)
Keempat, ke-majhul-an Amru bin Abi Amru. Sebab tidak ditemukan sedikit pun biografi mengenai dirinya maupun penilaian para pakar hadits tentangnya selain sedikit penuturan Khathib al-Baghdadi rahimahullah tentangnya,
عَمْرُو بْنُ أَبِي عَمْرُو جَدُّ أَبِي عَرُوبَةَ الْحَرَّانِيِّ لِأُمِّهِ وَهُوَ عَمْرُو بْنُ سَعِيدٍ بْنِ زَاذَانَ حَدَّثَ عَنْ أَبِي يُوسُفَ الْقَاضِيِّ وَمُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ صَاحِبَي أَبِي حَنِيفَةَ
“Amru bin Abi Amru, kakek Abu Arubah al-Harrani dari jalur ibunya. Ia adalah Amru bin Said bin Zadzan. Ia meriwayatkan dari Abu Yusuf al-Qadhi dan Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani.” (Al-Muttafiq wa al-Muftariq, Khathib al-Baghdadi, 3/1667)
Syaikh Syauqi Allam dalam fatwanya dan Syaikh Salim al-Hilali dalam ‘Ajalat ar-Raghib (2/628) hafizhahumallah menisbahkan riwayat ini pada kitab Al-Atsar yang disusun oleh Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani rahimahullah.
Maka jadilah muara riwayat ini pada Muhammad bin al-Hasan dan Abu Hanifah rahimahumallah. Lalu Amru bin Amru meriwayatkannya dari Muhammad bin al-Hasan hingga diriwayatkan oleh Ibnu as-Sunni dari Abu Arubah selaku cucunya Amru bin Amru.
Artinya, ke-majhul-an Amru bin Abi Amru tidak begitu berpengaruh di sini. Sebab ia terdapat pada sanad Ibnu as-Sunni, namun tidak terdapat pada sanad milik Muhammad bin al-Hasan.
Artikel Refleksi: Black Friday: Peluang atau Bencana?
Hadits ini lemah karena beberapa cacat di atas. Yang paling kontras adalah keberadaan Abu Hanifah dan Muhammad bin al-Hasan rahimahumallah yang dilemahkan oleh mayoritas ulama hadits.
Walaupun khusus pada redaksi pengislaman lelaki Yahudi tersebut terdapat riwayat pendukung yang terdapat dalam Shahih al-Bukhari. Namun, dalam Shahih al-Bukhari status lelaki tersebut sebagai pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan tetangga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Di sini letak permasalahannya.
Ringkasnya hadits riwayat Ibnu as-Sunni ini lemah dan dilemahkan oleh Syaikh Salim bin Ied al-Hilali hafizhahullah dalam ‘Ajalat ar-Raghib al-Mutamanni (2/268—269).
Kesimpulan Kisah Rasulullah Menjenguk Yahudi
Kisah Rasulullah menjenguk Yahudi yang gemar menaruh kotoran dan duri untuk menyakiti beliau sebagaimana yang sering diceritakan oleh sebagian dai adalah kisah yang tidak ada dasarnya.
Tidak berlebihan jika dikatakan sebagai kisah fiktif (palsu), karena tidak memiliki sanad riwayat sedikit pun dengan redaksi seperti itu. Bahkan mungkin kisah Rasulullah menjenguk Yahudi ini sengaja diramu untuk tujuan tertentu.
Maka tidak layak menceritakan apalagi memercayai kisah tersebut dan menyandarkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab akan terjatuh pada berdusta atas nama beliau yang diancam dengan ancaman yang keras sebagaimana sabda beliau,
إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ، مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Sesungguhnya dusta atas namaku tidak seperti dusta atas nama orang lain. Barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 1291; HR. Muslim no. 933, dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu)
Terdapat kisah Rasulullah menjenguk seorang Yahudi lainnya, tetapi bukan Yahudi yang berbuat jahat kepada beliau. Justru Yahudi yang melayani beliau dan berakhir dengan keislamannya sebagaimana dalam Shahih Bukhari.
Walaupun, kita tidak menafikan bagaimana lembutnya dan bagusnya akhlak beliau kepada manusia yang tidak seagama dengan beliau. Ini terlihat dari perbuatan beliau ketika pembebasan kota Makkah (Fathu Makkah) yang memaafkan mayoritas penduduk Makkah yang dahulunya menyakiti dan memerangi beliau.
Tidak perlu mengada-adakan kisah palsu atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengajarkan akhlak dan toleransi yang bahkan adakalanya menjurus pada toleransi yang melampaui batas. Karena Islam sejak dahulu mengajarkan toleransi dengan cara yang benar tanpa perlu didikte oleh kelompok dan agama lain. (Fathan Abu Uswah/dakwah.id)
Baca juga artikel Tabayun atau artikel menarik lainnya karya Fathan Abu Uswah.
Penulis: Fathan Abu Uswah
Artikel Tabayun terbaru: