Rukhsah Tidak Puasa Karena Safar — Hadits Puasa #18
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى المُفْطِرِ، وَلاَ المُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Kami pernah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berpuasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka juga tidak mencela yang berpuasa.” (HR. Al-Bukhari No. 1947; HR. Muslim No. 1121)
Baca juga: 4 Keutamaan Puasa — Hadits Puasa #3
Hadits di atas adalah dalil bahwa orang yang safar di bulan Ramadhan diberi pilihan; boleh berpuasa jika merasa kuat melaksanakannya, atau boleh tidak puasa jika merasa tidak kuat melaksanakan puasa selama perjalanan safar.
Hukum ini disimpulkan dari ketetapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana beliau menetapkan dan tidak menyalahkan ketika ada sahabat beliau yang puasa selama perjalanan safar, ada pula yang tidak puasa ketika safar di bulan Ramadhan.
Inilah salah satu dari sekian banyak bentuk kemudahan dalam syariat Islam.
Allah ‘azza wajalla berfirman,
وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)
وَالرُّخْصَةُ فِي الْإِفْطَارِ مَنُوْطَةٌ بِالسَّفَرِ لَا بِالْمَشَقَّةِ، فَلَوْ سَافَرَ عَلَى الطَّائِرَةِ -مَثَلاً- فَلَهُ الْفِطْرُ؛ لِأَنَّهُ مُسَافِرٌ فَارَقَ بَلَدَهُ
“Adanya rukhsah (keringanan) untuk berbuka puasa itu berkaitan dengan safar (perjalanan/jarak perjalanan), bukan dengan masyaqqah (beratnya tantangan yang dihadapi).”
Baca juga: Asal-Usul Istilah Ramadhan dalam Kalender Qamariyah
Sehingga, meskipun melakukan safar dengan menggunakan alat transportasi pesawat terbang, ia tetap boleh tidak puasa, sebab ia melakukan perjalanan jarak jauh.
Bahkan, ada nash yang mengisyaratkan bahwa jika seorang musafir mendapati situasi yang menyulitkannya untuk puasa (masyaqqah syadidah), maka puasa menjadi haram hukumnya bagi dirinya.
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِي رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ، فَصَامَ النَّاسُ، ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ، حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ، ثُمَّ شَرِبَ، فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ: إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ صَامَ، فَقَالَ: أُولَئِكَ الْعُصَاةُ، أُولَئِكَ الْعُصَاةُ
Dari Jabir bin Abdullah radhiallahu ‘anhuma,
Bahwa pada tahun Fathu Makkah (pembebasan kota Mekkah), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menuju Makkah, tepatnya pada bulan Ramadhan. Saat itu, beliau berpuasa hingga sampai di Kura’ Al-Ghamim, dan para sahabat pun ikut berpuasa. Kemudian beliau meminta segayung air, lalu beliau mengangkatnya hingga terlihat oleh para sahabat, kemudian beliau meminumnya. Setelah itu dikatakanlah kepada beliau, “Sesungguhnya sebagian sahabat ada yang terus berpuasa.”
Maka beliau bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang bermaksiat (kepadaku), mereka adalah orang-orang yang bermaksiat (kepadaku).”(HR. Muslim No. 1114)
Baca juga: Azimah: Hukum yang Boleh Ditinggalkan Karena Adanya Uzur
Kemudian, jika dengan berpuasa membawanya kepada situasi yang tidak terlalu memberatkan perjalanan (masyaqqah ghairu syadidah), maka yang lebih utama bagi dirinya adalah tetap tidak puasa.
Dalilnya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى مَعْصِيَتُهُ
Dari Ibnu Umar ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah lebih suka jika engkau mengambil keringanan dari-Nya, sebagaimana Allah benci jika engkau bermaksiat kepada-Nya.” (HR. Ahmad No. 5866; HR. Ibnu Khizaimah No. 950; HR. Ibnu Hibban, 6/451. Hadits shahih)
Baca juga: Nalar Fikih Hukum Qashar Shalat Fardhu Seorang Muslim Saat Safar
Selanjutnya, jika sama sekali tidak ada situasi yang memberatkan untuk puasa, maka boleh mengambil mana yang lebih mudah; jika kadarnya sama, lebih utama ia tetap puasa, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, selain pilihan itu juga meringankan beban kewajiban ibadahnya, juga mendapatkan semangat dalam melaksanakannya karena berpuasa bersama kaum muslimin yang lain.
Sedangkan orang yang sakit, jika ia masih mampu melaksanakan puasa Ramadhan tanpa ada efek negatif pada kesehatannya dan sama sekali tidak memberatkan dirinya, maka ia tetap wajib melaksanakan puasa.
Namun jika dengan berpuasa justru membuat parah sakitnya dan memberatkan dirinya, maka ia boleh tidak puasa.
Dalilnya firman Allah ‘azza wajalla,
وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Demikian pula, jika sakitnya menimpa dirinya di waktu siang hari bulan Ramadhan, dan sakit itu sangat memberatkan dirinya untuk menyelesaikan ibadah puasa, maka ia boleh menghentikan puasanya karena ada uzur yang membolehkan dirinya untuk tidak puasa.
Baca juga: Berapa Jarak Minimal Perjalanan Boleh Qashar Shalat bagi Musafir?
Adapun bagi orang yang usianya tua renta sehingga tidak mampu melaksanakan puasa Ramadhan, maka puasanya diganti dengan memberi makan fakir miskin dengan hitungan satu hari puasa ditinggalkan diganti memberi makan satu orang fakir miskin.
Seorang muslim dalam kondisi tersebut boleh memilih antara memberi makan fakir miskin dalam bentuk bahan pokok yang masih mentah sebanyak 1 mud (setara 563 gram), atau memberi makan fakir miskin dalam bentuk makanan siap santap yang diberikan dengan mengundang para fakir miskin sejumlah hari puasa yang ia tinggalkan.
Perbuatan ini juga pernah dilakukan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ketika ia merasakan fisiknya telah melemah sehingga ia tidak mampu melaksanakan puasa Ramadhan sebulan penuh. Kemudian ia membuat hidangan bubur dan mengundang makan tiga puluh orang fakir miskin. (HR. Ad-Daruquthni, 2/207. Riwayat ini sanadnya shahih)
Baca juga: Mandi Janabah Setelah Terbit Fajar — Hadits Puasa #16
Jika usia rentanya sampai pada tingkatan sering berhalusinasi seolah hilang ingatan dan ciri tamyiznya hilang (tidak bisa membedakan hal baik dan buruk), maka tidak ada kewajiban puasa pada dirinya atau pun memberi makan fakir miskin. Karena syarat taklif telah hilang dari dirinya.
Jika ternyata terkadang ia masih bisa sadar dan pikirannya normal, pada saat itu pula ia berkewajiban melaksanakan puasa, jika terjadi di bulan Ramadhan. Dan bila ia kembali kehilangan akal normalnya, hilang pula kewajiban puasanya. (Majalis Ramadhan, Syaikh Muhammad bin Utsaimin, 28) wallahu a’lam [Sodiq Fajar/dakwah.id]
Diadaptasi dari kitab: Mukhtashar Ahadits ash-Shiyam
Penulis: Syaikh Abdullah bin Shalih al-Fauzan
Penerjemah: Sodiq Fajar