Daftar Isi
Artikel yang berjudul “Saat Pendengaran Manusia Berkurang” ini adalah artikel ke-9 dari serial artikel #MadrasahRamadhan
Tahun 1910, tepatnya bulan Mei, Nathaniel Baldwin mendaftarkan penemuannya untuk mendapatkan hak paten. Sebuah penemuan yang punya pengaruh besar hingga hari ini. Sebuah alat yang menemani manusia-manusia modern, hampir di setiap tempat dengan berbagai jenis dan gayanya. Alat tersebut adalah earphone.
Penemuan Baldwin ini menjadi penting pada era perang dunia I dan II, di mana Baldwin menjualnya kepada pasukan NAVY Amerika Serikat. Ia menjadi alat komunikasi efektif untuk mengkomfirmasi target serangan artileri. (Nathaniel Baldwin: Utah Inventor and Patron of The Fundamentalist Movement, Merril Singer, 42,48; The Significant Impact of Headphones on Society dalam situs: www.chiangraitimes.com)
Earphone adalah alat yang menyalurkan suara dari alat (device) ke telinga, seperti; laptop, handphone, atau radio. Bahkan hingga hari ini, perkembangan earphone sejak ditemukan oleh Baldwin tahun 1910, mengalami perubahan secara drastis dan dinamis.
Pada tahun 1979, saat Sony mengeluarkan Walkman alat musik portable, popularitas earphone makin melejit. Penggunaannya makin mendunia dengan penjualan lebih dari 400 juta walkman di seluruh dunia. (www.theverge.com)
Makin kemari, perkembangan earphone berikut jenisnya bahkan telah mencapai teknologi nirkabel (tanpa kabel). Di mana penyaluran suara menggunakan teknologi bluetooth sebagai perantara.
Artikel Fikih: Siapa yang Layak Berfatwa?
Penggunaan earphone hampir bisa disaksikan dimana-mana. Di ruang-ruang publik kita akan melihat beberapa kawula muda sedang berlari dengan piranti yang menyumbat telinganya. Di ruang-raung tunggu juga begitu. Juga di kereta yang penuh sesak.
Banyak orang-orang yang menutup telinganya dengan alat ini, untuk sekedar mendengarkan musik favorit atau menonton film drama yang sengaja disiapkan menemani rutinitas saat berdesakan di kereta.
Orang-orang larut dengan alunan nada yang bernyanyi lewat earphone-nya, sekejap hiruk-pikuk dunia membisu dari pendengaran. Sementara sebagian lainnya terpaku di layar kotak 5 inci di depannya, melihat adegan demi adegan film drama memutarkan sebuah cerita.
Tanpa disadari, manusia mulai kehilangan pendengaran. Mereka tidak peduli dengan realitas yang sedang terjadi di sekitar. Mereka menutup diri dari komunikasi, buru-buru menyumpal alat canggih ini, untuk kemudian tenggelam di dunianya sendiri.
Penyakit Sosial: Generasi ‘Menunduk’ dan ‘Budek’
Dalam satu kesempatan di sebuah ruang tunggu keberangkatan, saya memperhatikan seorang ibu paruh baya duduk berdampingan dengan seorang gadis belia. Dalam beberapa saat, ibu tua tadi mencoba membuka percakapan
Tapi apa yang terjadi?
Percakapan berhenti setelah beberapa kalimat diucapkan, dan gadis ini menutup telinganya dengan alat canggih yang disebut earphone. Tidak ingin diganggu.
Kasus di atas sering terjadi di kehidupan modern seperti saat ini, di mana orang-orang yang apatis dan ‘masa bodoh’ dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Tiba-tiba mereka jadi anti sosial.
Dalam ruang-ruang publik akan jarang sekali didapati orang-orang berbincang. Semua sibuk dengan gadget mereka, sebagian lain tentunya dengan earphone yang menempel di telinga.
Inilah yang disebut dengan istilah “generasi menunduk” di mana seseorang terlalu ‘over fokus’ terhadap gadget dan abai terhadap sekitar. Namun penulis punya istilah sendiri untuk fenomena ini; ‘Generasi menunduk dan budek’.
Fenomena ini benar-benar menjadi penyakit sosial yang menjangkiti banyak orang, terlebih anak-anak muda yang disebut kaum milenial.
Coba perhatikan saat anak-anak sedang dinasihati orang tua, sementara di tangan mereka menggenggam smartphone. Orang tua yang sedang bicara tidak lebih seperti radio rusak yang dibiarkan mengoceh sendiri. Sedang mereka tetap menatap layar hape pintarnya.
Artikel Fikih: Menjawab Salam Orang Kafir dan Memulai Mengucap Salam Kepadanya
Menurut Mc Luhan, teknologi komunikasi menjadi penyebab utama perubahan budaya. Kehidupan keluarga, lingkungan kerja, sekolah, pertemanan, kegiatan keagamaan, politik, dan sebagainya, semua terpengaruh dengan teknologi komunikasi. Saling tegur sapa dan dengan menghadapkan senyum pada tetangga semakin berkurang, sedangkan sibuk sendiri di hadapan komputer dan alat teknologi lainnya sudah dianggap lumrah di masyarakat saat ini. (Teori Komunikasi Massa, Andi Corry Wardani dan Farid Ahmad Morissan, 31)
Teknologi secara umum dan gadget secara khusus telah mengubah pola sikap dan komunikasi manusia modern. Ibarat pisau bermata dua, ia punya sisi positif dengan kemudahan komunikasi dalam jangkauan yang luas dan waktu yang singkat. Ia bisa mendekatkan yang jauh, namun sayang, lebih banyak yang menjauhkan yang dekat.
Lost of Adab dan Teladan Salaf Kepada Umat
Pada tahun 1977, dalam sebuah simposium pendidikan Islam Internasional yang diadakan di Mekkah, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas di tanya sebuah pertanyaan. Apa permasalahan terbesar yang tengah di hadapi umat Islam saat ini?
Prof. Naquib al-Attas menjawab, ada dua persoalan yang menjadi sumber persoalan umat. Pertama, masalah eksternal berupa serbuan pemikiran-pemikiran yang merusak dan derasnya arus westernisasi dari barat.
Kedua, masalah internal berupa Lost of Adab. Sebuah penyakit yang tengah melanda umat. Penyakit di mana seseorang telah kehilangan akhlak dan adabnya dalam bersikap. Atau dalam ungkapan beliau adalah, “Loss disipline-disipline of body, mind and soul.”
Jika dicermati apa yang dijelaskan oleh Prof. Naquib al-Attas, pola pikir seseorang punya peran mendasar dalam mengontrol ucapan dan tindakan seseorang. Maka ucapan dan tindakan yang tidak benar adalah hasil dari pikiran yang menyimpang.
Urgensi adab dalam pendidikan Islam lebih diutamakan dibandingkan pengetahuan. Seperti yang pernah dipesankan oleh sahabat Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, “Pelajarilah adab, baru kemudian pelajarilah ilmu.” (Al-Ghunyah li Thalibi Thariq al-Haq, Abdul Qadir al-Jilani, 54)
Para ulama salaf terdahulu memberikan porsi besar dalam pengajaran adab. Dan adab juga menjadi fokus utama yang diambil seorang murid dari gurunya.
Seperti ungkapan Abdurrahman bin al-Qasim ketika ia belajar kepada Imam Malik, “Aku berkhidmat kepada Imam Malik selama dua puluh tahun. Delapan belas tahun aku habiskan untuk mempelajari adab darinya, dan dua tahun untuk mempelajari ilmu. Alangkah sayangnya, seandainya semua waktuku aku habiskan untuk mempelajari adab.” (Tanbih al-Mughtarrin, Abdul Wahhab asy-Sya’rani, 38)
Adab bagi seorang muslim itu penting sekali. Ibarat adonan roti maka ia adalah garam yang membuat roti tersebut enak untuk disantap.
Maka perhatian ulama dahulu terhadap adab melebihi perhatian mereka terhadap ilmu sekalipun. Dan mereka menghabiskan waktu yang lama untuk menyelami adab hingga benar-benar terinstal dalam tingkah laku dan perbuatan mereka.
Adab Komunikasi Sosial dalam Islam
Islam memiliki aturan terkait bagaimana membentuk pola komunikasi sosial yang baik sesama manusia. Hal itu bisa dilihat dari sabda Nabi saat pertama kali tiba di kota Madinah. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Salam, Beliau bersabda:
يا أيُّها الناس، أفْشُوا السَّلَامَ، وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ، وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ، تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَّلَامٍ
“Wahai manusia, sebarkanlah salam, berilah makan, dirikan shalat di malam hari saat manusia tidur. Maka kalian masuk Surga dengan damai.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Hadits ini termasuk sabda yang mula-mula diucapkan oleh Nabi saat tiba di Madinah, maka Nabi membangun sebuah narasi persatuan di tengah-tengah masyarakat yang majemuk.
Al-Mubarakfuri dalam Tuhfah al-Ahwazi menjelaskan, bahwa pesan menebarkan salam dalam hadits ini adalah menyebarkannya di tengah manusia, dan menjadikannya sesuatu yang lazim di antara mereka. (Tuhfah al-Ahwazi bi Syarhi Jami’ at-Tirmidzi, Al-Mubarakfuri, 5/477)
Membangun komunikasi sosial menjadi langkah pertama yang dilakukan Rasulullah sebagai seorang pendatang baru di Madinah ketika itu. Sehingga para muhajirin bisa dengan mudah segera berbaur dengan masyarakat lainya.
#MadrasahRamadhan: Belajar Mengendalikan Amarah di Madrasah Ramadhan
Menebarkan salam dan memberi makanan menjadi hal dasar yang bisa menautkan hati manusia. Maka dalam sabdanya yang lain Rasulullah bersabda:
أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى أَمْرٍ إِذَا أَنْتُمْ فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُم
“Maukah aku tunjuki kepada kalian, sesuatu yang jika kalian lakukan, maka kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. At-Tirmidzi, dari Abu Hurairah)
Salam menjadi pintu percakapan, di mana saat dua orang saling bertemu kemudian keduanya mengucapkan salam, berjabat tangan. Maka Allah luruhkan ras persaudaraan di antara mereka.
Selain ucapan salam, berjabat tangan juga merupakan bagian dari adab berkomunikasi yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَهَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَتَفَرَّقَا
“Tidaklah dua orang muslim saling bertemu lalu berjabat tangan melainkan akan diampuni dosa di antara keduanya sebelum mereka berpisah.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, dari al-Bara’ bin ‘Azib)
Dalam hadits lain, dari Qatadah, ia bertanya kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,
“Apakah berjabat tangan dilakukan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?” Anas menjawab, “Iya.” (HR. Al-Bukhari)
Kebiasaan berjabat tangan yang sering dilakukan oleh para sahabat ini menunjukkan pola komunikasi mereka yang baik. Berarti ada perhatian antara satu dengan lainnya saat mereka berjumpa di jalan. Mengucap salam dan berjabat tangan jadi hal baik yang mereka biasakan.
Perhatian dan kepedulian. Dua hal penting yang harus dimiliki seorang muslim. Karena merupakan hak muslim atas muslim lainnya adalah. Rasulullah menyebutkan bahwa sesama muslim ada hak yang harus diberikan. Beliau bersabda:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ قِيلَ مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْه
“Hak muslim atas muslim lainnya ada enam. Ada yang bertanya, “Apa saja yang Rasulullah?” beliau bersabda, “Jika engkau bertemu, maka ucapkan salam kepadanya, jika engkau diundang maka penuhi undangannya, jika dimintai nasehat maka berikan ia nasehat, jika ia bersin lalu mengucap tahmid maka doakanlah dia, jika ia sakit maka jenguklah, dan jika dia wafat maka iringilah jenazahnya.” (HR. Muslim, dari Abu Hurairah)
Dari sekian hadits tersebut menuntun kita menjadi seorang muslim yang penuh simpati kepada orang-orang di sekitar, bukan sebaliknya. Bahkan Islam mengajarkan bentuk terkecil dari sebuah kebaikan adalah dengan seulas senyuman yang ditampakkan saat bertemu orang lain.
Belajarlah Menjadi Pendengar yang Baik
Ibnu Abbas pernah berkata, “Kebaikan yang paling utama adalah memuliakan teman duduk.” (Tanbih al-Mughtarrin, Abdul Wahhab asy-Sya’rani, 76)
Perhatikan bagaimana ketinggian adab yang diajarkan oleh ‘Hibrul Ummah’ Ibnu Abbas, dan hal tersebut benar-benar jadi perhatian oleh murid-muridnya. Salah satunya adalah Atha’ bin Abi Rabah.
Artikel Fikih: Shalat Tarawih di Rumah, Bolehkah Shalat Sambil Membaca Mushaf?
Teladan agung ini datang dari seorang pembesar Tabi’in, sebuah ketinggian adab dan teladan hebat yang perlu dicermati dengan baik. Adalah Atha’ bin Abi Rabah berkisah seperti yang dicatat oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab Siyar-nya:
“Ada seorang laki-laki menceritakan kepadaku sebuah cerita, maka aku diam untuk mendengarkannya, seakan-akan aku tidak pernah mendengar kisah tersebut. Padahal, sungguh aku telah mendengarnya, bahkan jauh sebelum dia dilahirkan.” (Siyar A’lam an-Nubala, Imam Adz-Dzahabi, 5/86)
Teknologi dan segala kemajuannya memang banyak mempermudah kehidupan manusia. Namun, sisi gelap dari teknologi juga sangat berdampak pada kehidupan sosial manusia; munculnya sikap apatis terhadap sesama.
Jika kemajuan zaman justru menjadikan adab dan akhlak menjadi rendah, maka itulah sebenar-benarnya musibah. Wallahu a’lam (Fajar Jaganegara/dakwah.id)