Liberal dalam istilah Liberalisme berasal dari bahasa Latin yang artinya bebas dan merdeka. Kata ini kemudian menjadi sangat populer ketika ia menjadi jargon andalan sebuah gerakan yang menuntut kebebasan.
Sebagaimana diketahui, di abad pertengahan, masyarakat Eropa hidup dalam keterbelakangan. Ketika itu, hidup mereka sangat terkekang. Sehingga dalam sejarah, zaman mereka disebut sebagai Dark Ages alias era kegelapan. Ilmu pengetahuan di kawasan ini mengalami stagnasi bahkan kemunduran.
Disebut dark atau gelap, karena tidak ada prospek yang jelas. Hegemoni gereja dianggap sebagai penyebab utama yang melatarbelakangi keterpurukan itu.
Agama, dalam hal ini Kristen Katholik, terlalu mengintervensi urusan publik. Raja dinilai hanya memiliki kekuasan secara de jure tapi tidak berkuasa secara de facto. Gerejalah yang kemudian dituduh telah mengambil alih pemerintahan.
Dalam situasi kelam ini, muncullah sebuah gerakan yang sangat terkenal: Renaissance.
Adalah Jules Michelet, sejarawan Perancis, orang yang pertama kali mengenalkan istilah ini yang jika diartikan ke dalam bahasa Inggris, Renaissance sama dengan “rebirth” atau kelahiran kembali.
Artikel Sejarah: Jihad Literasi Ulama Nusantara dalam Melawan Penjajah
Ya, inilah masa yang menandai come back-nya bangsa Eropa dari keterpurukan mereka. Dimulai dari Italia, Perancis, dan Inggris. Pergolakan ini pun terus merambah ke negara-negara Eropa lainnya pada abad ke-16.
Renaissance mencita-citakan kehidupan yang otonom, agar manusia bebas berpikir, bebas berpengetahun, dan mementingkan kekuatan pada diri sendiri. Sejak itulah liber (kebebasan) dan secular (berpisah dengan agama) menjadi sebuah trend karena keduanya merupakan ciri khas dari Renaissance yang disebut-sebut sebagai pelopor kemajuan ilmu pengetahuan.
Dan keduanya pun terus berkembang menjadi sebuah isme, pemikiran, sikap sosial, dan politik yang dipuja secara berlebihan.
Isme ini dikembangkan dan disebarkan secara masif oleh para pendukungnya. Menurut Alonzo L. Hamby, PhD, Profesor sejarah di Universitas Ohio, liberalisme adalah paham ekonomi dan politik yang menekankan pada kebebasan (freedom), persamaan (equality), dan kesempatan (opportunity).
Dr. Abdurrahim Shamayil, dalam karyanya yang berjudul, “Al-Libraliyyah: Nasy’atuha wa Majaalaatuhaa” berpendapat bahwa, “Liberalisme secara teori politik, ekonomi, dan sosial, tidaklah terbentuk dalam satu waktu dan oleh satu tokoh pemikir. Akan tetapi, ia dibentuk oleh sejumlah pemikir. Liberalisme bukan pemikiran John Luke (w 1704). Bukan pula pemikiran Rousseau (1778). Atau pemikiran John Stuart Mill (w 1873). Setiap dari mereka memberikan kontribusi yang sangat berarti untuk ideologi liberalisme.”
Demikianlah sekelumit maklumat singkat tentang akar pemikiran liberal dan perkembangannya. Hingga hari ini, liberalisme masih diminati oleh beberapa kalangan umat Islam.
Mereka yang menamai diri dengan Islam Liberal, menggunakan paradigma berpikir ala Barat dalam memahami syariat Islam. Mereka ingin menafsirkan al-Quran secara bebas, menuruti hawa nafsu, dan tidak mau merujuk pendapat para ulama.
Artikel Tadabur: Membangun Karakter Anak dengan Metode Berkisah
Persis seperti Marthin Luther, salah seorang perumus pemikiran liberal yang berpendapat bahwa; otoritas agama satu-satunya adalah teks-teks Bible, bukan penafsiran para tokoh agama yang ia tuduh sebagai tirani yang telah melakukan monopoli dalam memahami kitab suci.
Kalangan Islam liberal juga begitu. Mereka tidak menghormati para imam mazhab dan ulama-ulama terdahulu.
Di Indonesia, liberalisme disebar luaskan oleh sarjana muslim yang menuntut ilmu di Barat seperti Nurcholis Majid, Harun Nasution, Mukti Ali, Ulil Abshor Abdalla, Musdah Mulia, dan masih banyak lagi.
Dahulunya mereka adalah para santri yang mendapat pendidikan Islam ala pesantren. Namun pemikiran mereka kebarat-baratan dan sangat aktif menularkan racun pemikiran dengan mengeluarkan ‘fatwa-fatwa’ nyeleneh, seperti: pluralisme (semua agama) benar, menolak poligami, bunga bank bukan riba, memperbolehkan nikah sejenis, kesetaraan gender dan lain sebagainya.
Alhamdulillah, kita patut bersyukur. Tulisan-tulisan yang membantah pemikiran sesat ini cukup banyak. Di negeri ini, sejak awal kemunculannya, pemikiran liberal langsung ditentang oleh para tokoh seperti HM. Rasjidi, Daud Rasyid, Endang Saifudin Anshari, dan lain-lain.
Perjuangan membendung arus pemikiran Barat ini terus berlanjut dengan munculnya penulis muda yang lebih tajam dalam mengkritik seperti Dr. Adian Husaini, Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, Dr. Nirwan Syafrin, Dr. Syamsudin Arif, dan cendikiawan INSIST lainnya yang mereka semua merupakan murid-murid Prof. Syed Naquib Al-Attas.
Di antara pemikir-pemikir muslim anti Liberal, barangkali Dr. Adian Husaini merupakan tokoh yang paling produktif dalam menulis.
Beliau telah melahirkan 30-an judul buku. Beliau aktif menulis artikel di berbagai media, salah satunya Hidayatullah.com di kolom “Catatan Akhir Pekan”.
Kumpulan tulisannya ini kemudian dibukukan dengan judul “Membendung Arus Liberalisme di Indonesia.” Dalam pengantar buku tersebut beliau mengkritik habis pernyataan filosof Perancis, Jean-Paul Sartre (1905-1980), yang ia nukil dari “History of God” karya Karen Armstrong. Pernyataan itu berbunyi: “Even if God existed, it will still necessary to reject him, since the idea of God negates our freedom.”
Artikel Tadabur: Makna Ayat Nur ‘ala Nur, Cahaya di Atas Cahaya
Menurut Adian Husaini, inti dari kata-kata Sartre di atas adalah gagasan menolak Tuhan. Demi kebebasan yang sempurna, Tuhan harus disingkirkan. Manusia dijadikan Tuhan, dan Tuhan dimanusiakan. Akal manusia dipuja. Wahyu ditolak, karena dianggap sebagai pengganggu kebebasan dan penghambat kemajuan.
Mantan ketua DDII yang sangat menentang liberalisme ini mengatakan, “Inilah yang kemudian sejatinya menjadi jati diri Peradaban Barat yang kini mendominasi umat manusia.”
Lalu beliau menguatkan statement tersebut dengan mengutip pendapat penulis lain yang sepemikiran, Muhammad Asad, yang berpandangan bahwa saripati Peradaban Barat adalah ‘irreligious,’ yakni tidak beragama.
Liberalisme Lebih Tepat Disebut As-Sudawiyah, bukan Al-Hurriyah
Hal yang senada juga disampaikan oleh ulama anti liberal dari Kuwait yang kini ditahan pemerintah Saudi karena sangat vokal dalam menyuarakan kebenaran.
Adalah Syaikh Abdul Aziz bin Marzuq Ath-Tharifi, dalam kitabnya yang berjudul, “Al-‘Aqliyyah Al-Libraliyyah Fi Rashfil ‘Aql wa Washfin Naql”, mengatakan bahwa pemikiran liberal adalah pemikiran yang membolehkan manusia berkata dan berbuat sesuka hati tanpa ada batasan, tidak memperdulikan rambu-rambu dan tidak boleh ada intervensi atau campur tangan orang lain. Pemikiran liberal sangat menuhankan akal. Satu-satunya hakim atas perbuatan seseorang adalah akalnya.
Menurut ulama muda kelahiran 1976 yang telah banyak hafal kitab di usia 13 tahun ini, filsafat sekuler adalah embrio liberalisme. Dan akibat dari pemikiran ini, seseorang tidak mempunyai sesuatu yang ia sucikan atau ia agungkan.
Dalam buku tersebut, Syaikh Ath-Tharifi juga menolak transliterasi dari “liberal” ke “Al-Hurriyah” dalam bahasa Arab. Menurutnya, transliterasi ini hanyalah penerjemahan perkata dan tidak mencakup hal-hal substansial dari liberalisme.
Sebab, Al-Hurriyah atau kebebasan hanya salah satu ashlun (pokok) yang melandasi pemikiran liberal. Ada dasar-dasar pemikiran liberal lain yang tidak terwakili dalam kata Al-Hurriyah, seperti; At-Tahlil Al-Madi (materialisme), Al-Musaawah (persamaan), dan Hubbud Dzaat atau Al-Ananiyah (egoisme pribadi).
Atas dasar ketidaksetujuannya jika liberal dimaknai hurriyah inilah, maka sebagai gantinya, Syaikh Ath-Tharifi mengajukan sebuah julukan yang lebih represestatif untuk pemikiran liberal.
Artikel Pemikiran: Identitas Sebuah Agama dan Wacana Pluralisme dalam Toleransi
Beliau terinspirasi dari al-Quran surat al-Qiyamah ayat 36 yang menyindir watak kaum liberal,
اَيَحْسَبُ الْاِنْسَانُ اَنْ يُّتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia mengira, dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? (QS. Al-Qiyamah: 36)
Mengutip perkataan Imam asy-Syafi’i, makna Sudaa (سُدَى) dalam ayat tersebut menurut kesepakatan para berilmu adalah, “Alladzi laa yu’mar wa laa yunhaa.” Yakni, orang yang tidak mau diperintah dan tidak mau dicegah.
Ciri khas peradaban Barat yang irreligious, sebagaimana telah diulas sebelumnya, sangat mirip dengan karakter As-Sudaa dalam ayat tersebut.
Berangkat dari sinilah kemudian Syaikh Ath-Tharifi mengatakan bahwa nama yang cocok untuk pemikiran liberal adalah “As-Sudawiyah (السُدَوِيَة)” bukan Al-Hurriyah (الحُرِّيَّة).
Selain itu, Al-Hurriyah bukanlah sesuatu yang sepenuhnya ditentang oleh Islam. Sebab, jika kita berbicara tentang kebebasan dan kemerdekaan, justru untuk itulah agama Islam datang. Yakni demi membebaskan manusia dari peribadatan kepada selain Allah dan memerdekakannya dari belenggu hawa nafsu. Wallahul Muwaffiq ilaa aqwamith thariiq. (Muhammad Faishal Fadhli/dakwah.id)
Referensi:
Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat; (Refleksi tentang Islam, Westernisasi &Liberalisasi), INSIST, 2012.
Adian Husaini, Membendung Arus Liberalisme di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar. Cet. 1, 2009.
Tiar Anwar Bachtiar, Pertarungan Pemikiran Islam di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar. Cet. 1, 2017.
Abdul Aziz bin Marzuq Ath-Tharifi, Al-Aqliyyah Al-Libraliyyah fi Rashfil Aql wa Washfin Naql, Maktabah Darul Minhaj, Cet. 4, 2013.
Artikel Pemikiran terbaru: