‘Statement’ Politik Syaikh Ibnu Taimiyah — Di kalangan Hanabilah, setidaknya ada tiga orang ulama yang dikenal memiliki kontribusi penting di dalam kajian ‘Siyasah Syar’iyyah’ lewat karya tulis mereka. Yang pertama adalah Al-Qadhi Abu Ya’la Al-Farra’ dengan kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah. Kemudian Syaikh Ibnu Taimiyah dengan kitab As-Siyasah Asy-Syari’iyyah. Selanjutnya adalah Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dengan kitab Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah.
Sebagai orang yang pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, karya-karya mereka menarik buat saya, khususnya tulisan Syaikh Ibnu Taimiyah rahimahullah. Beliau hidup di tengah suasana pergolakan politik yang sangat dinamis. Beliau mengalami berbagai peristiwa besar. Beliau juga menyaksikan pecahnya pemerintahan dan kepemimpinan umat Islam menjadi beberapa negara.
Namun demikian, Syaikh Ibnu Taimiyah mampu berinteraksi dengan berbagai pemerintahan dan penguasa atas dasar ilmu dan keadilan. Beliau tidak mengisolasi diri dari hiruk-pikuk pemerintahan ataupun berlepas diri darinya, tetapi beliau juga tidak suka menjilat kepada penguasa apalagi mendiamkan kemunkaran yang dilakukannya.
Baca juga: Khazanah Fikih Islam: Pentingnya Kajian Sejarah Hukum Islam
Tulisan ini tidak mengangkat sikap-sikap politik Syaikh Ibnu Taimiyah secara praktis, tetapi cukup membahas pandangan-pandangan ilmiah beliau dalam konteks ‘Siyasah Syar’iyyah’/sistem politik Islam. Kitab As-Siyasah Asy-Syar’iyyah—yang sebenarnya sudah tercantum di dalam Majmu’ Al-Fatawa juz ke-28—rasanya cukup mewakili, meskipun pandangan dan sikap politis beliau juga bisa dijumpai di dalam kitab-kitab lainnya.
Di bawah ini saya mengutip beberapa ‘statement’ politik Syaikh Ibnu Taimiyah, yang dihimpun oleh Dr. Abdul Aziz bin Muhammad Alu Abdul Lathif (dari Fakultas Ushuluddin, Universitas Imam Muhammad bin Suud, Riyadh) dalam bentuk artikel di majalah Al-Bayan. (Taqrirat Siyasiyyah li Ibni Taimiyyah, Majalah Al-Bayan edisi 306 (Shafar 1434H/Desember 2012) Kemudian artikel ini dimuat di dalam buku beliau yang berjudul Taimiyyat (2017), halaman 27–31.
‘Statement’ Politik Syaikh Ibnu Taimiyah Soal Tujuan Pemerintahan dalam Islam
Dalam banyak kesempatan, beliau menegaskan bahwa tujuan semua pemerintahan dalam Islam adalah menegakkan Din Allah (Islam) secara sempurna dan memperbaiki kondisi keislaman dan keduniaan umat manusia.
Pemerintahan dan jabatan/kekuasaan bukanlah tujuan, tetapi sarana untuk menegakkan Din Allah yang hak dan untuk memperbaiki kehidupan makhluk-Nya. Syaikh Ibnu Taimiyah menyatakan:
فَالْمَقْصُوْدُ الْوَاجِبُ بِالْوَلَاياَتِ: إِصْلَاحُ دِيْنِ الْخَلْقِ الَّذِي مَتَى فَاتَهُمْ خَسِرُوْا خُسْرَاناً مُبِيْناً، وَلَمْ يَنْفَعْهُمْ مَا نَعَّمُوا بِهِ فِي الدُّنْيَا، وَإِصْلَاحُ مَا لَا يَقُوْمُ الدِّيْنُ إِلَا بِهِ مِنْ أَمْرِ دُنْيَاهُمْ ..
“Tujuan yang wajib dalam pemerintahan adalah memperbaiki kondisi keagamaan manusia yang apabila kondisi itu tidak dibenahi niscaya mereka mengalami kerugian amat besar. Dan tidak berguna baginya kenikmatan yang mereka rasakan di dunia. Juga, memperbaiki urusan dunia yang apabila tidak dibenahi maka urusan Din tidak akan tegak ….” (Majmu’ Al-Fatawa, XXVIII/262)
Baca juga: Amar Ma’ruf Nahi Munkar: Urgensi, Dalil, Fleksibilitas Hukum, dan Konsep Dasar Praktik Penerapannya
Di awal risalah Al-Hisbah beliau menegaskan:
جَمِيْعُ الْوَلَايَاتِ فِي الْإِسْلَامِ مَقْصُوْدُهَا أَنْ يَكُوْنَ الدِّيْنُ كُلُّهُ للهِ، وَأَنْ تَكُوْنَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا، فَإِنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ إِنَّمَا خَلَقَ الْخَلْقَ لِذَلِكَ ..
“Segala pemerintahan dalam Islam bertujuan menegakkan Din Allah (Islam). Menjadikan ‘kalimah’ Allah jaya karena Dia menciptakan makhluk-Nya hanya untuk tujuan tersebut ….” (Majmu’ Al-Fatawa, XXVIII/61)
Beliau juga menegaskan bahwa apabila penguasa tidak sanggup menegakkan hukum-hukum Allah dan mengembalikan hak-hak yang terampas, atau penguasa tidak peduli terhadap hukum-hukum tersebut, maka hal itu wajib ditegakkan oleh orang lain yang mampu menegakkannya.
Selanjutnya beliau menyatakan:
وَقَوْلُ مَنْ يَقُوْلُ: لَا يُقِيْمُ الْحُدُوْدَ إِلَّا السُّلْطَانُ وَنَوَابُهُ، إِذَا كَانُوا قَادِرِيْنَ فَاعِلِيْنَ بِالْعَدْلِ، فَالْأَمِيْرُ إِذَا كَانَ مُضَيِّعاً لِلْحُدُوْدِ، أَوْ عَاجِزاً عَنْهَا؛ لَمْ يَجِبْ تَفْوِيْضُهَا إِلَيْهِ مَعَ إِمْكَانِ إِقَامَتِهَا بِدُوْنِهِ
“Ada pendapat yang mengatakan hukum-hukum ‘hadd’ tidak boleh ditegakkan kecuali oleh penguasa atau yang mewakili, dengan syarat mereka sanggup dan dilakukan dengan adil. Namun, apabila pemerintah tersebut tidak peduli dengan hukum-hukum ‘hadd’ tadi, atau tidak sanggup menegakkannya, maka tidak wajib menyerahkan urusan tersebut kepada pemerintah yang ada. Utamanya apabila hukuman itu dapat ditegakkan tanpa adanya penguasa.”
وَالْأَصْلُ أَنَّ هَذِهِ الْوَاجِبَاتِ تُقَامُ عَلَى أَحْسَنِ الْوُجُوْهِ، فَمَتَى أَمْكَنَ إِقَامَتَهَا مِنْ أَمِيْرٍ لَمْ يَحْتَجْ إِلَى اثْنَيْنِ، وَمَتَى لَمْ يَقُمْ إِلَّا بِعَدَدٍ، وَمِنْ غَيْرِ سُلْطَانٍ، أُقِيْمَتْ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِي إِقَامَتِهَا فَسَادٌ يَزِيْدُ عَلَى إِضَاعَتِهَا
“Prinsipnya, kewajiban ini harus ditegakkan dengan cara terbaik. Apabila hal itu dapat ditegakkan oleh seorang penguasa, tidak perlu ditegakkan oleh dua orang. Namun, apabila hanya bisa ditegakkan oleh sejumlah orang—termasuk yang bukan penguasa—maka tetap harus ditegakkan selama penegakan tersebut tidak menimbulkan kerusakan yang lebih parah dari tindakan mengabaikannya.” (Majmu’ Al-Fatawa, XXIV/176)
Perhatikan, bagaimana Syaikh Ibnu Taimiyah dapat menggabungkan antara hikmah dengan keberanian dan ketegasan. Beliau menyatakan wajibnya menegakkan syariat atas orang-orang yang sanggup, jika para penguasa tidak sanggup atau mereka mengabaikannya. Beliau menetapkan syarat, selama hal itu tidak berakibat munculnya kerusakan yang lebih dominan.
Biografi kehidupan Syaikh Ibnu Taimiyah sendiri penuh dengan contoh praktis dan pemandangan real dalam menegakkan hukum-hukum ‘hadd’ dan takzir, atau menumpahkan khamar, seperti yang ditulis oleh Ibnu Katsir atau sejarawan lainnya. (Lihat: Al-Bidayah wa An-Nihayah, XIV/12, 36, dan 37).
‘Statement’ Politik Syaikh Ibnu Taimiyah Soal Sikap Ahlu Sunnah Terhadap Penguasa
Syaikh Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa Ahlu Sunnah bersikap pertengahan terhadap para penguasa yang syar’i di antara sikap kelompok Wa’idiyyah (Khawarij dan Mu’tazilah) serta sikap kelompok Murji’ah.
Kelompok Wa’idiyyah sering mengingkari kemunkaran, tetapi melampau batas dan berlebihan. Hingga mereka membolehkan memerangi atau keluar dari ketaatan kepada penguasa yang syar’i, yang tidak berlaku adil. Hal itu (bisa) berakibat timbulnya kerusakan dan kemunkaran yang besar dan lebih banyak daripada yang mereka hilangkan.
Sebaliknya, kelompok Murji’ah meninggalkan amar makruf nahi munkar dengan dalih untuk menjauhi fitnah. Adapun Ahlu Sunnah senantiasa melakukan amar makruf nahi munkar berdasarkan ketentuan Syariat, dengan tetap mengacu kepada “Maqashid Asy-Syari’ah” dan prinsip-prinsip maslahat dan mafsadat.
Baca juga: Ulama Umat yang Diam Terhadap Kesesatan
Beliau menyatakan:
أَهْلُ الْبِدَعِ مِنَ الْخَوَارِجِ وَالْمُعْتَزِلَةِ يَرَوْنَ قِتَالَ أَئِمَّةِ الْجُوْرِ وَالْخُرُوْجَ عَلَيْهِمْ إِذَا فَعَلُوا مَا هُوَ ظُلْمٌ، أَوْ مَا ظَنُّوْهُ هُمْ ظُلْماً، وَيَرَوْنَ ذَلِكَ مِنْ بَابِ الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ، وَآخَرُوْنَ مِنَ الْمُرْجِئَةِ وَأَهْلُ الْفُجُوْرِ قَدْ يَرَوْنَ تَرْكَ الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيِ عَنِ اْلمُنْكَرِ ظَنًّا أَنَّ ذَلِكَ مِنْ بَابِ تَرْكِ الْفِتْنَةِ، وَهَؤُلَاءِ يُقَابِلُوْنَ أُوْلَئِكَ ..
“Para pelaku bid’ah, baik Khawarij ataupun Muktazilah, memandang bolehnya memerangi dan keluar dari ketaatan kepada penguasa yang tidak berlaku adil jika mereka melakukan kezaliman, atau yang mereka anggap sebagai kezaliman. Sementara yang lain, yaitu kelompok Murji’ah dan para pelaku fujur, meninggalkan amar makruf nahi munkar dengan dalih untuk mencegah pecahnya ‘fitnah’. Intinya, mereka merupakan kebalikan dari Khawarij …” (Lihat: Majmu’ Al-Fatawa, XXVIII/167)
Syaikh Ibnu Taimiyah juga menyatakan:
اَلطَّرِيْقَةُ الْوُسْطَى الَّتِي هِيَ دِيْنُ الْإِسْلَامِ الْمَحَضِ جِهَادُ مَنْ يَسْتَحِقُّ الْجِهَادَ، كَهَؤُلَاءِ الْقَوْمِ الْمَسْؤُوْلِ عَنْهُمْ– أَيْ اَلتَّتَارُ–مَعَ كُلِّ أَمِيْرٍ وَطَائِفَةٍ هِيَ أَوْلَى بِالْإِسْلَامِ مِنْهُمْ، إِذَا لَمْ يُمْكِنْ جِهَادُهُمْ إِلَّا كَذَلِكَ، وَاجْتِنَابُ إِعَانَةِ الطَّائِفَةِ الَّتِي يَغْزُو مَعَهَا عَلَى شَيْءٍ مِنْ مَعَاصِي اللهِ ..
“Cara pertengahan yang merupakan ajaran Islam yang murni adalah berjihad, memerangi orang-orang yang patut diperangi, seperti orang-orang Tartar yang sedang ditanyakan. Hal itu hendaknya dilakukan di bawah komando seorang pemimpin atau bersama kelompok (tha’ifah) yang memiliki keislaman yang lebih baik dari yang diperangi. Hal ini berlaku jika tidak ada cara lain. Juga berlaku dalam kondisi tidak memungkinkan mendapatkan bantuan kecuali dari pelaku maksiat …”
وَهَذَا طَرِيْقُةُ خِيَارِ هَذِهِ الْأُمَّةِ قَدِيْماً وَحَدِيْثاً، وَهِيَ وَاجِبَةُ عَلَى كُلِّ مُكَلَّفٍ، وَهِيَ مُتَوَسِّطَةٌ بَيْنَ طَرِيْقِ الْحَرُوْرِيَّةِ وَأَمْثَالِهِمْ مَنْ يَسْلُكُ مَسْلَكَ الْوَرَعِ الْفَاسِدِ النَّاشِئِ عَنْ قِلَّةِ الْعِلْمِ، وَبَيْنَ طَرِيْقَةِ الْمُرْجِئَةِ وَأَمْثَالِهِمْ مَنْ يَسْلُكُ مَسْلَكَ طَاعَةِ الْأُمَرَاءِ مُطْلَقاً وَإِنْ لَمْ يَكُوْنُوا أَبْرَارًا
“Cara inilah yang ditempuh oleh generasi terbaik umat ini pada masa dahulu maupun sekarang. Jihad model ini hukumnya wajib atas setiap mukallaf. Cara ini merupakan cara pertengahan antara kelompok Haruriyyah/Khawarij dan semacamnya—yang tampil dengan gaya wara’ yang dibuat-buat tanpa dasar ilmu—di satu sisi serta kelompok Murji’ah dan semacamnya—yang menganut prinsip ketaatan mutlak kepada penguasa, meskipun penguasa tersebut tidak bertakwa—di sisi lain.” (Majmu’ Al-Fatawa, XXVIII/508)
‘Statement’ Politik Syaikh Ibnu Taimiyah Soal Faktor Penyimpangan Perilaku Politik
Dalam banyak kesempatan, Syaikh Ibnu Taimiyah juga menjelaskan bahwa perilaku politik yang menyimpang timbul karena meninggalkan ‘Siyasah Syar’iyyah’. Atau bisa juga karena tidak memahami bahwa ‘Siyasah Syar’iyyah’ memadai untuk segala kasus dan peristiwa. Padahal, secara fitri, manusia diciptakan untuk aktif; bukan pasif.
Akibatnya, jika manusia berpaling dari ‘Siyasah Syar’iyyah’, niscaya mereka menggantinya dengan politik yang buruk, sedangkan ‘Siyasah Syar’iyyah’ sangat memadai dan tidak memerlukan model politik lain yang dibuat-buat manusia. Beliau menyatakan:
عَامَّةُ الْأُمَرَاءِ إِنَّمَا أَحْدَثُوا أَنْوَاعاً مِنَ السِّيَاسَاتِ الْجَائِرَةِ مِنْ أَخْذِ أْمْوَالِ لَا يَجُوْزُ أَخْذَهَا، وَعُقُوْبَاتِ عَلَى اْلجَرَائِمِ لاَ تَجُوْزُ؛ لِأَنَّهُمْ فَرَّطُوا فِي الْمَشْرُوْعِ مِنَ الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ، وَإِلَّا فَلَوْ قَبَضُوا مَا يَسُوْغُ قَبْضَهُ، وَوَضَعُوْهُ حَيْثُ يَسُوْغُ وَضْعَهُ، طَالِبِيْنَ بِذَلِكَ إِقَامَةُ دِيْنِ اللهِ، لَا رِيَاسَةَ نُفُوْسِهِمْ، وَأَقَامُوا الْحُدُوْدَ الْمَشْرُوْعَةَ عَلَى الشَّرِيْفِ وَالْوَضِيْع، مُتَحَرِّيْنَ فِي تَرْغِيْبِهِمْ وَتَرْهِيْبِهِمْ لِلْعَدْلِ الَّذِي شَرَعَهُ اللهُ؛ لِمَا احْتَاجُوا إِلَى الْمَكُوْسِ -اَلضَرَائِبِ- الْمَوْضُوْعِةِ، وَلَا إِلَى الْعُقُوْبَاتِ الْجَائِرَةِ
“Mayoritas penguasa tersebut membuat berbagai kebijakan yang tidak adil, seperti aturan pungutan dan aturan pidana (yang tidak boleh secara syar’i), karena mereka mengabaikan syariat amar makruf nahi munkar.”
Baca juga: Fikih Prioritas: Amalan Mana yang Harus Didahulukan?
“Seandainya mereka menarik pungutan yang disyariatkan, lalu mendistribusikannya sesuai dengan Syariat dalam rangka menegakkan Din Allah—bukan kepentingan pribadi mereka—dan sekiranya mereka menegakkan hukum-hukum ‘hadd’ terhadap kalangan terpandang maupun kalangan jelata … dengan penuh keadilan sebagaimana yang disyariatkan Allah, niscaya mereka tidak perlu memungut pajak (?) maupun membuat sanksi yang tidak adil.” (Al-Iqtidha’, II/598)
Apa yang ada di dalam tulisan ini barulah sekelumit dari buah pemikiran Syaikh Ibnu Taimiyah rahimahullah. Di dalam karya-karya beliau terdapat banyak kajian yang segar dan pencerahan yang menepis keraguan, menjauhkan kesalahpahaman, dan menawarkan perspektif yang tepat tentang berbagai persoalan politik. Wallahu a’lam [dakwah.id]