Gambar Tazkiyatun Nafsi #2 Niat Penentu Keabsahan Amal dakwah.id.jpg

Tazkiyatun Nafsi #2: Niat Penentu Keabsahan Amal

Terakhir diperbarui pada · 230 views

Artikel berjudul Niat Penentu Keabsahan Amal ini merupakan artikel ke-02 dari serial Tazkiyatun Nafsi yang disarikan dari kitab Tazkiyatun Nufus karya Syaikh Ahmad Farid.

***

Niat bukan sekadar ucapan nawaitu (saya berniat). Lebih daripada itu, ia adalah dorongan hati seiring dengan futuh (pembukaan) dari Allah. Kadang-kadang ia mudah untuk dicapai, tetapi kadang-kadang juga sulit.

Seseorang yang hatinya dipenuhi dengan urusan agama, akan mendapatkan kemudahan dalam menghadirkan niat untuk berbuat baik. Sebab ketika hati telah condong kepada pangkal kebaikan, ia pun akan terdorong untuk melakukan cabang-cabang kebaikan.

Sebaliknya, orang yang hatinya dipenuhi dengan kecenderungan kepada gemerlap dunia, akan mendapatkan kesulitan besar untuk mencapai kebaikan. Bahkan dalam mengerjakan yang wajib sekalipun. Untuk “menghadirkan” niat dengan baik, ia harus bersusah-payah.

Umar bin Khathab meriwayatkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى الله وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتْهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةِ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ.

Hanyasanya amal-amal itu tergantung kepada niat. Dan seseorang itu akan mendapatkan apa yang dia niatkan. Barang siapa niat hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya pun kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa niat hijrahnya kepada dunia yang diinginkannya atau wanita yang akan dinikahinya, hijrahnya pun untuk apa yang ia niatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 9; HR. Muslim no. 8/53)

Imam Asy-Syafii rahimahullah berkata, “Hadits ini adalah sepertiga dari ilmu.”

Kalimat “Hanyasanya amal-amal itu tergantung kepada niat.” berarti, baiknya amal yang dikerjakan sesuai dengan sunnah itu tergantung kepada kebaikan niatnya. Ini seperti sabda beliau,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيْمِ.

Hanyasanya amal-amal itu tergantung kepada akhirnya.” (HR. Al-Bukhari no. 499).

Kalimat “Dan seseorang itu akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” berarti, pahala amal seorang itu tergantung kepada kebaikan niatnya.

Kalimat “Barang siapa niat hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya pun kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang siapa niat hijrahnya kepada dunia yang diinginkannya atau wanita yang akan dinikahinya, hijrahnya pun untuk apa yang ia niatkan.”—sesudah disebutkannya kaidah di atas—adalah sebagai contoh dari amalan-amalan yang memiliki kesamaan bentuk pelaksanaan, tetapi berbeda dalam hal hasil.

Tetapi, niat baik tidak akan mengubah kemaksiatan dari hakikatnya. Tidaklah pantas seorang yang jahil menafsirkan keumuman sabda Rasul di atas, bahwa kemaksiatan itu berubah menjadi ketaatan karena niat.

Sabda Rasul itu hanya berlaku untuk ketaatan dan perkara-perkara yang mubah.

Ketaatan bisa berubah menjadi kemaksiatan karena niat. Begitu pun perkara yang mubah bisa menjadi kemaksiatan dan bisa juga menjadi ketaatan karena niat. Sedangkan kemaksiatan tidak akan berubah menjadi ketaatan karena niat. Tetapi justru masuknya niat ke dalam kemaksiatan akan menambah berat dosa dari kemaksiatan itu.

Pada dasarnya, keabsahan suatu ketaatan itu terikat kepada niat. Begitu pula dengan pelipatgandaan pahalanya.

Sehubungan dengan keabsahan, seseorang harus meniatkan ketaatannya sebagai ibadah kepada Allah saja. Jika ia meniatkan riya’, maka ketaatan yang ia lakukan itu berubah menjadi kemaksiatan. Tentang dilipatgandakannya pahala, maka hal itu tergantung kepada banyaknya niat baik dari suatu ketaatan.

Perkara-perkara yang mubah, secara keseluruhannya mengandung satu niat atau lebih. Karenanya ia bisa menjadi bentuk taqarub yang bernilai tinggi, dan disediakan pula derajat yang tinggi untuknya.

Keutamaan Niat

Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu berkata,

أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ أَدَاءُ مَا افْتَرَضَ اللهُ تَعَالَى، وَالْوَرَعُ عَمَّا حَرَّمَ اللهُ، وَصِدْقُ النِّيَّةِ فِيْمَا عِنْدَ اللهِ تَعَالَى.

“Amal yang paling utama adalah melaksanakan kewajiban dari Allah, bersikap wara’ terhadap yang diharamkan-Nya, dan meluruskan niat untuk mendapatkan pahala di sisi Allah.”

Sebagian salaf berkata,

رُبَّ عَمَلٍ صَغِيْرٍ تُعَظِّمُهُ النِّيَّةُ، وَرُبَّ عَمَلٍ كَبِيْرٍ تُصَغِّرُهُ النِّيَّةُ.

“Betapa banyak amalan kecil menjadi besar karena niat. Betapa banyak pula amalan besar menjadi kecil karena niat.”

Yahya bin Abu Katsir rahimahullah berkata,

تَعَلَّمُوْا النِّيَّةَ، فَإِنَّهَا أَبْلَغُ مِنَ الْعَمَلِ.

“Pelajarilah niat! Sesungguhnya niat itu lebih dapat menyampaikan kepada tujuan daripada amal.”

Suatu ketika Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma mendengar seseorang berucap di awal ihramnya, “Ya Allah, sesungguhnya aku akan menunaikan haji dan umrah.”

Ibnu Umar bertanya, “Apakah kamu sedang mengajari orang-orang? Bukankah Allah mengetahui apa yang ada pada dirimu?” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, 19).

Yang demikian itu, karena niat adalah kehendak hati. Tidak diwajibkan melafalkannya dalam ibadah. Wallahu a’lam. (Tazkiyatun Nufus, Syaikh Ahmad Farid/dakwah.id).

Serial Tazkiyatun Nafsi terbaru:

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *