يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ ۖ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَٰنِ عَصِيًّا
“Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Dzat Yang Maha Pemurah.” (QS. Maryam: 44)
Kemudian engkau berseru kembali untuk kedua kalinya,
يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَٰنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا
“Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan.” (QS. Maryam: 45)
Meski akhirnya seruan lembutmu ternyata sama sekali tak dihiraukan ayahmu. Namun, kebersihan hatimu menjadikanmu tetap teguh untuk terus berbakti kepadanya dengan penuh sikap santun. Engkau mendoakannya, engkau tetap berusaha memohonkan ampun untuk dirinya,
سَلَامٌ عَلَيْكَ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا
“Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (QS. Maryam: 47)
Terimakasih Nabi Ibrahim!
Dari kisahmu, aku jadi paham bahwa untuk membongkar kebatilan ternyata harus menggunakan cara yang cerdas. Betapa cerdiknya dirimu ketika engkau hancurkan berhala-berhala itu, kemudian engkau berretorika,
بَلْ فَعَلَهُ كَبِيرُهُمْ هَذَا فَاسْأَلُوهُمْ إِن كَانُوا يَنطِقُونَ
“Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.” (QS. Al-Anbiya’: 63)
Semua tahu, bukan maksudmu dengan kalimat itu untuk berbohong. Namun engkau ingin menelanjangi keyakinan mereka betapa tak berdayanya patung yang paling besar itu.
Baca juga: Doa Menyembelih Kurban (Udhiyyah) yang Sesuai Sunnah itu Seperti Apa?
Terimakasih Nabi Ibrahim!
Dari kisahmu, aku jadi paham bahwa berhala-berhala yang disembah oleh manusia itu tak hanya patung yang berbahan kayu atau batu. Ternyata di dalam jiwa-jiwa manusia juga terdapat berhala yang selama ini disembah oleh kebanyakan manusia. Berhala itu berwujud hawa nafsu yang liar, kesesatan yang diikuti, dan adat-adat yang bertentangan dengan keimanan.
Terimakasih Nabi Ibrahim!
Dari kisahmu, aku jadi paham bahwa hukum sebab-akibat itu hanya berlaku bagi manusia. Sama sekali tak berlaku bagi Rabb yang menciptakan manusia. Kobaran Api yang melumatmu saat itu dalam sekejap menjadi dingin dan menyelamatkan jasadmu atas perintah yang datang dari Langit.
Aku jadi tahu, agar aku sama sekali tak bergantung pada sebab-akibat. Aku harus bergantung kepada Rabb yang telah menciptakan sebab-akibat.
Terimakasih Nabi Ibrahim!
Dari kisah hidupmu, aku jadi paham bahwa betapa Maha Kayanya Allah itu. Ketika Allah membebani seseorang untuk melaksanakan sesuatu, maka itu adalah bagian dari cara Allah untuk memuliakannya. Allah bisa saja memerintah malaikat Mikail untuk mengguyurkan air pada kobaran api yang menimpamu. Atau memerintah malaikat Jibril untuk memadamkan kobaran api itu secepat sekejap mata. Akan tetapi, engkau lebih memilih untuk hanya bergantung kepada Allah saja, hingga akhirnya Allah sendiri yang membantumu. Betapa mulianya dirimu di hadapan Rabbmu.
Terimakasih Nabi Ibrahim!
Dari kisahmu aku jadi tahu bahwa memilih bersikap netral dalam permasalahan yang cukup besar adalah aib bagimu. Bahkan binatang pun tak akan mau memilih bersikap seperti itu! Ketika manusia saat itu mendukung agar engkau dilemparkan ke tengah kobaran api, binatang-binatang yang melihatmu bergegas untuk menolongmu.
Adapun seekor cicak yang saat itu justru membantu membesarkan kobaran api dengan tiupannya, mengajarkan kepadaku bahwa kejahatan itu pasti ada pasukan pendukung yang berdiri di belakangnya!
Terimakasih Nabi Ibrahim!
Dari kisahmu aku jadi tahu, bahwa seburuk-buruk hakim adalah orang bodoh yang ditaati. Hakim bodoh yang ketika engkau katakan kepadanya,
رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ
“Rabbku ialah Yang menghidupkan dan mematikan.” (QS. Al-Baqarah: 258)
Maka hakim bodoh itu menjawab,
أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ
“Saya dapat menghidupkan dan mematikan.” (QS. Al-Baqarah: 258)
Padahal ia hanya bisa membebaskan tahanan yang ia maafkan, dan memenggalnya jika ia melawan!
Terimakasih Nabi Ibrahim!
Dari kisahmu akau jadi paham, bahwa betapa Maha Pengasih Allah ketika memerintah manusia untuk melakukan tindakan di luar batas fitrah hatinya. Ketika Allah memerintahmu untuk menyembelih anakmu setelah hatimu betul-betul teguh hanya bergantung kepada-Nya. Sebenarnya, Allah menginginkan agar engkau membunuh hawa nafsumu, bukan anakmu. Betapa cepatnya dengan itu Allah mengangkatmu sebagai kekasih-Nya.
Baca juga: Orang yang Berqurban (Mudhahhy) Sebaiknya Jangan Lakukan Ini
Terimakasih Nabi Ibrahim!
Dari kisahmu aku jadi tahu, meskipun manusia telah mencapai derajat Iman, belum cukup untuk membebaskannya dari naluri fitrahnya. Sarah, istri pertama yang telah menikahkanmu dengan Hajar, karena budi luhurnya tak mau membiarkanmu tanpa memiliki anak. Tak peduli ia dengan kecemburuan. Ia tahu, “Imbalan itu sesuai dengan amal yang diperbuat.” Maka Allah mengaruniai Sarah seorang anak saat usia beliau sudah menginjak senja.
Terimakasih Nabi Ibrahim!
Dari kisahmu aku jadi paham, aku jadi tahu bahwa ternyata perempuan itu ketika dalam kondisi serba sulit dan terdesak, secara tiba-tiba ia akan menyamai kemampuan seorang tentara laki-laki. Betapa gagahnya Ibunda Hajar ketika ia dan anaknya engkau tinggalkan sendirian di tengah gurun tandus. Ia bertanya kepadamu, “Apakah ini perintah dari Allah?” engkau pun menjawab, “Ya.” Lalu Hajar menanggapi dengan nada mantab, “Penuhilah perintah itu dan pergilah, Allah tak akan menelantarkan kami.”
Terimakasih Nabi Ibrahim!
Dari kisahmu aku jadi paham, ketika Allah telah mencintai seorang hamba, Dia akan memberikan tempat tersendiri dalam agama-Nya. Karena cinta Allah kepadamu, Dia memerintahmu untuk membangun Ka’bah. Ketika engkau berhasil melunakkan hatimu, maka batu pun melunak pula di bawah telapak kakimu hingga membentuk bekas injakanmu. Itulah batu yang saat ini aku kenal sebagai Maqam Ibrahim.
Terimakasih Nabi Ibrahim!
Dari kisah hidupmu, aku jadi tahu. Bahwa hubungan seorang ayah tak akan putus begitu saja manakala anaknya telah menikah. Bahkan seorang ayah berjanji untuk mengunjungi anaknnya yang telah menikah sebagaimana engkau mengunjungi puteramu, Ismail. Engkau menasehatinya. Sekali engkau memerintahkan kepadanya untuk mengganti palang pintu rumah, sekali engkau menyuruhnya untuk mempertahankan dan menjaga palang pintu rumahnya.
Terimakasih Nabi Ibrahim!
Dari seluruh perjalanan hidupmu, aku jadi tahu bahwa doa itu adalah senjata bagi orang yang beriman. Ketika berdoa jangan sekalipun menghiraukan sebab-akibat, karena semuanya ada dalam genggaman Allah.
Meskipun istri dan anakmu berada di tengah gurun nun gersang, engkau tetap saja berdoa, “Berikanlah mereka rizki buah-buahan.” Tahukah engkau, di Mekkah itu tak ada setangkai pohonpun tumbuh di sana, tak ada tumbuhan apapun! Namun, karena barakah atas doamu, maka tumbuhlah tumbuh-tumbuhan dan berbagai macam buah! [Shodiq/dakwah.id/dari berbagai sumber]