Wajib Mengamalkan Al-Quran — Hadits Puasa #7
عَنْ أَبِي مُوْسَى الْأَشْعَرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Dan al-Quran menjadi pembela kalian atau menjadi musuh kalian.” (HR. Muslim No. 223)
Hadits di atas menjelaskan tentang hukum wajib mengamalkan al-Quran, patuh terhadap perintah dan menjauhi larangan di dalamnya.
Al-Quran menjadi pembela di hadapan Allah ‘azza wajalla bagi siapa pun yang mengamalkannya, mengikuti setiap petunjuk di dalamnya. Sekaligus, al-Quran akan menjadi penuntut bagi siapa pun yang tidak mengamalkannya dan tidak mengikuti setiap petunjuk di dalamnya.
Baca juga: 12 Keutamaan Shalat Malam
Sebagian ulama salaf mengatakan,
مَا جَالَسَ أَحَدٌ القُرْآنَ فَقَامَ عَنْهُ سَالِمًا، بَلْ إِمَّا أَنْ يَرْبِحَ، أَوْ أَنْ يُخْسِرَ، ثُمَّ تَلَا قَوْلُهُ تَعَالَى: وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْاٰنِ مَا هُوَ شِفَاۤءٌ وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَۙ وَلَا يَزِيْدُ الظّٰلِمِيْنَ اِلَّا خَسَارًا
“Tidaklah seseorang duduk bersama al-Quran lalu ia bangkit dalam keadaan selamat, bisa jadi ia akan mendapat keuntungan, bisa jadi pula ia akan mendapat kerugian. Kemudian ia melantunkan ayat, ‘Dan Kami turunkan dari Al-Quran (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (Al-Quran itu) hanya akan menambah kerugian.’ (QS. Al-Isra’: 82).” (Jami al-‘Ulum wa al-Hikam No. 23)
Tujuan tertinggi diturunkannya al-Quran adalah agar manusia membenarkan apa yang ada di dalamnya, mengamalkan isinya dengan melaksanakan perintah yang termuat di dalamnya dan menjauhi larangan yang termuat di dalamnya.
Tujuan utama diturunkannya al-Quran bukanlah sekedar agar teksnya dilantunkan (tilawah lafdziyyah); membacanya dengan benar sesuai kaidah dan memperindah irama bacaan disertai dengan pengagungan terhadap Allah ‘azza wajalla dan memerhatikan adab-adabnya.
Baca juga: 6 Hikmah Puasa Ramadhan — Hadits Puasa #1
Meskipun membaca lafal al-Quran (tilawah lafdziyyah) dan memperbagus bacaannya merupakan amal ibadah yang ada tuntutannya, namun ada tuntutan membaca kandungan hukum al-Quran (tilawah hukmiyyah) dimana hal itu menjadi substansi dari kebahagiaan dan kesuksesan manusia.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan,
لَفْظُ ” التِّلَاوَةِ ” فَإِنَّهَا إذَا أُطْلِقَتْ فِي مِثْلِ قَوْلِهِ: {الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ} تَنَاوَلَتْ الْعَمَلَ بِهِ كَمَا فَسَّرَهُ بِذَلِكَ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ مِثْلَ ابْنِ مَسْعُودٍ وَابْنِ عَبَّاسٍ وَمُجَاهِدٍ وَغَيْرِهِمْ
“Lafal ‘tilawah’ jika dikaitkan dimaknai secara mutlak seperti dalam firman Allah ‘azza wajalla (Orang-orang yang telah Kami beri Kitab, mereka membacanya sebagaimana mestinya.—QS. Al-Baqarah: 121) maka tercakup di dalamnya makna ‘mengamalkannya,’ sebagaimana penafsiran para sahabat dan tabiin seperti Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Mujahid, dan lainnya.” (Majmu’ al-Fatawa, Syaikh Ibnu Taimiyah, 7/167)
Sebagaimana perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
إنَّ حَقَّ تِلَاوَتِهِ: أَنْ يُحِلَّ حَلَالَهُ وَيُحَرِّمَ حَرَامَهُ وَأَنْ نَقْرَأَهُ كَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا نُحَرِّفَهُ عَنْ مَوَاضِعِهِ، وَلَا يَتَأَوَّلَ مِنْهُ شَيْئًا عَلَى غَيْرِ تَأْوِيْلِهِ.
“Sesungguhnya hakikat dari tilawah adalah menghalalkan apa yang dihalalkan al-Quran, mengharamkan apa yang diharamkan, membacanya sesuai dengan yang diturunkan Allah, tanpa menyelewengkan dari tempatnya, dan tidak menakwilkannya sedikit pun dengan penakwilan yang tidak sesuai.” (Tafsir ath-Thabari, 2/567)
Baca juga: Uhibbuka Fillah, Ungkapan Cinta Karena Allah
Ketika menjelaskan makna tilawah, Mujahid berkata,
يَتَّبِعُونَهُ حَقَّ اتِّبَاعِهِ
“Mengikuti (kandungan al-Quran) dengan sebenar-benarnya.” (Majmu’ al-Fatawa, Syaikh Ibnu Taimiyah, 7/168)
Pemahaman seperti inilah yang diamalkan oleh para salaf ash-Shalih; mereka memelajari kandungan al-Quran, membenarkan isinya, lalu mengamalkannya yang diterapkan dalam setiap lini kehidupan hingga akhir hayat.
Abdullah bin Mas’ud mengatakan,
كَانَ الرَّجُلُ مِنَّا إِذَا تَعَلَّمَ عَشْرَ آيَاتٍ لَمْ يُجَاوِزُهُنّ حَتَّى يَعْرِفَ مَعَانِيْهُنَّ، وَالْعَمَلَ بِهِنَّ
“Seseorang dari kami biasanya ketika memelajari sepuluh ayat, tidak akan menambah ayat lagi sampai benar-benar memahami maknanya dan mengamalkannya.” (HR. Ibnu Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, 1/80; HR. Al-Hakim No. 2047, Al-Mustadrak, 1/743. Sanad riwayat ini shahih)
Baca juga: Cadar, Bukti Keimanan Hingga Fashion Kekinian
Maka, hendaknya bagi setiap pembaca al-Quran senantiasa bertakwa kepada Allah ‘azza wajalla, selalu menjaga keikhlasan dalam membacanya, selalu waspada dari penyelisihan terhadap kandungan al-Quran, penolakan terhadap hukum-hukumnya, dan pengabaian adab-adabnya, agar tidak ditimpa kehinaan sebagaimana kehinaan yang ditimpakan kepada kaum Yahudi,
مَثَلُ الَّذِيْنَ حُمِّلُوا التَّوْرٰىةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوْهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ اَسْفَارًاۗ
“Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.” (QS. Al-Jumu’ah: 5) Wallahu a’lam [Sodiq Fajar/dakwah.id]
اَللَّهُمَّ ارْزُقْنَا تِلَاوَةَ كِتَابِكَ عَلَى الْوَجْهِ الَّذِيْ يُرْضِيْكَ عَنَّا، وَاجْعَلْنَا يَا إِلَهَنَا مِمَّنْ يَحِلُّ حَلَالَهُ، وَيُحَرِّمُ حَرَامَهُ، وَيَعْمَلُ بِمُحْكَمِهِ، وَيُؤْمِنُ بِمُتَشَابِهِهِ، وَيَتْلُوهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ، وَاغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَلِجَمِيْعِ الْمُسْلِمِيْنَ.
Ya Allah, beri kami rezeki untuk melantunkan kitab-Mu dengan cara yang engkau ridhai, jadikanlah kami, wahai Ilah kami, bagian dari orang yang menghalalkan apa yang engkau halalkan dan mengharamkan apa yang engkau haramkan, mengamalkan ayat-ayat yang muhkam, mengimani ayat-ayat yang mutasyabih, melantunkannya dengan lantunan yang sebenarnya, ampuni kami, kedua orang tua kami, dan ampuni kaum muslimin.
Diadaptasi dari kitab: Mukhtashar Ahadits ash-Shiyam
Penulis: Syaikh Abdullah bin Shalih al-Fauzan
Penerjemah: Sodiq Fajar