Daftar Isi
Pada serial sebelumnya, dakwah.id telah mengupas Syarat dan Ketentuan Takbiratul Ihram. Kali ini, pembahasan serial Ngaji Fikih selanjutnya adalah Jika Tidak Mampu Shalat dengan Berdiri.
Untuk membaca serial Ngaji Fikih secara lengkap, silakan klik tautan berikut:
Shalat fardhu dilakukan dengan berdiri, karena berdiri merupakan salah satu rukun dalam shalat fardhu. Berdasarkan riwayat dari Imran bin Hushain bahwa Nabi bersabda kepadanya,
صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka shalatlah dengan duduk, jika tidak mampu maka shalatlah dengan berbaring.” (HR. Al-Bukhari no. 1066)
Posisi berdiri ini dimulai sejak seseorang mengangkat kedua tangannya untuk bertakbiratul ihram, yaitu mengucapkan kalimat takbir pertama untuk membuka shalat.
Berdiri hanya menjadi rukun pada shalat fardhu saja sehingga shalat sunah boleh dilakukan dengan duduk, sekalipun akan lebih utama dan sempurna jika tetap melakukannya dengan berdiri.
Yang dimaksud dengan shalat fardhu adalah shalat wajib lima waktu, yaitu Zuhur, Asar, Magrib, Isya, dan Subuh. Termasuk juga shalat fardhu kifayah, seperti shalat Jenazah, shalat Nadzar, dan shalat-shalat wajib lainnya.
Artikel Fikih: Hukum Shalat Musafir di Belakang Orang Mukim
Hanya saja, kewajiban berdiri dalam shalat ini hanya dilakukan oleh orang-orang yang mampu berdiri. Terhadap orang yang tidak mampu berdiri maka boleh melakukannya dengan duduk atau dengan berbaring, berdasarkan urutan kemampuan yang ada.
Hadits riwayat Imam al-Bukhari di atas adalah dalil bolehnya shalat fardhu dengan duduk jika seseorang tidak mampu berdiri.
Dengan demikian, ada beberapa alternatif yang dapat menggantikan posisi berdiri dalam shalat fardhu, yaitu
Alternatif Jika Tidak Mampu Shalat Fardhu dengan Berdiri
Pertama: Shalat dengan duduk
Jika tidak mampu shalat fardhu dengan berdiri, boleh shalat dengan duduk. Ukuran tidak mampu berdiri adalah jika dengan berdiri akan menimbulkan masyaqah syadidah,yaitu kondisi yang sangat memberatkan.
Beberapa masyaqah dalam fikih ada di antaranya yang dipatok dengan kondisi ketika seseorang sudah boleh melakukan tayamum. Namun, masyaqah tidak mampu berdiri dalam shalat fardhu tidak dikaitkan dengan hal itu.
Dengan demikian, begitu seseorang mendapati kondisi masyaqah berdiri maka diperbolehkan baginya melakukan shalat dengan duduk, sekalipun dia bukan kelompok yang sudah diperbolehkan bertayamum.
Contohnya, orang yang sakit kepala berlebihan, orang yang mabuk kapal, dan lain sebagainya.
Boleh memilih posisi duduk apa saja, berdasarkan kenyamanan dalam mendirikan shalat. Namun, jika tubuh masih mampu duduk dengan posisi tasyahud maka itu lebih utama, sebab selanjutnya akan lebih mudah melakukan sujud dengan semestinya.
Cara rukuk dengan duduk adalah mencondongkan kening ke arah lutut. Menurut pendapat sebagian mazhab Syafi’i, lebih utama jika rukuk dengan mencondongkan kening ke arah tempat sujud.
Kedua: Shalat dengan berbaring
Jika tidak mampu shalat dengan duduk, boleh melakukan shalat dengan berbaring.
Posisi berbaring yang paling utama adalah berbaring ke sebelah kanan, bukan berbaring ke sebelah kiri. Wajib menghadapkan tubuh ke arah kiblat. Adapun menghadapnya wajah ke arah kiblat maka hukumnya sunah.
Ketiga: Shalat dengan terlentang
Jika tidak mampu berbaring, boleh shalat dengan terlentang.
Wajib sedikit mengangkat kepalanya agar dapat menghadap kiblat, sebab badannya sudah tidak lagi bisa menghadap kiblat. Jika kepala tidak dapat menghadap kiblat juga, maka sebagai gantinya telapak kaki dihadapkan ke arah kiblat.
Apabila masih bisa melakukan gerakan rukuk dan sujud, maka hendaknya ia melakukannya. Namun, jika hanya mampu melakukan gerakan sujud saja, tanpa rukuk, hendaknya mengulangi sujud sebagai ganti dari rukuk.
Keempat: Shalat dengan isyarat kepala
Jika tidak mampu shalat dengan terlentang, boleh shalat dengan isyarat kepala. Yaitu melakukan gerakan shalat di dalam hati dan kemudian dibarengi dengan isyarat-isyarat kepala.
Kelima: Shalat dengan hatinya
Jika tidak mampu melakukan gerakan pada tubuh sedikit pun, sekalipun hanya kedipan mata, maka boleh shalat dengan hatinya. Yaitu melakukan gerakan-gerakan shalat di dalam hati atau melakukan rukun-rukun shalat di dalam hati.
Dan orang yang seperti ini, jika nanti dia sembuh dari sakit, atau dia terbebas dari masyaqqah maka tidak perlu mengulangi shalatnya.
Selama akal masih waras, maka shalat masih tetap diwajibkan. Sebab masih ada beban taklif di dalam dirinya. Sekalipun tubuh tidak lagi bisa digerakkan untuk melakukan shalat, tapi hati bisa melakukan shalat dengan caranya sendiri. Wallahu a’lam. (Arif Hidayat/dakwah.id)
Disarikan dari kitab: Al-Bayan wa at-Ta’arif bi Ma’ani wa Masaili wa al-Ahkam al-Mukhtashar al-Lathif, Ahmad Yusuf an-Nishf, hal. 206-208, Dar adh-Dhiya’, cet. 2/2014.
Baca juga artikel Serial Ngaji Fikih atau artikel menarik lainnya karya Arif Hidayat.
Penulis: Arif Hidayat
Editor: Ahmad Robith
Artikel Ngaji Fikih Terbaru: