Daftar Isi
Pada serial sebelumnya, dakwah.id telah mengupas Menyentuh Lawan Jenis Membatalkan Wudhu, Termasuk Istri? Kali ini, pembahasan serial Ngaji Fikih selanjutnya adalah Kapan Menyentuh Kemaluan Tidak Membatalkan Wudhu?
Untuk membaca serial Ngaji Fikih secara lengkap, silakan klik tautan berikut:
Menyentuh kemaluan termasuk dari pembatal wudhu. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Nabi,
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأ
“Siapa menyentuh kemaluannya, hendaknya dia berwudhu.” (HR. Abu Dawud no. 181; HR. At-Tirmidzi no. 82; HR. An-Nasai no. 447; HR. Ahmad no. 7036)
Dalam hadits lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
إِذَا أَفْضَى أَحَدُكُمْ بِيَدِهِ إِلَى فَرْجِهِ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا سَتْرٌ وَلاَ حِجَابٌ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Jika salah seorang di antara kalian menyentuh kemaluannya dengan tangan, sementara dia tidak menggunakan penghalang dan tidak pula menggunakan penutup, maka hendaknya dia berwudhu.” (HR. Ibnu Hibban no. 1118)
Atas dasar hadits yang telah disebutkan di atas, para ulama menyimpulkan bahwa menyentuh kemaluan termasuk salah satu pembatal wudhu. Seorang muslim yang telah berwudhu dan kemudian menyentuh kemaluan maka wudhunya batal, dia harus memperbarui wudhunya.
Namun demikian, tidak semua perbuatan menyentuh kemaluan membatalkan wudhu. Sebagian ulama mazhab Syafii menyebutkan keterangan dan perinciannya sebagai berikut:
Pertama: Menyentuh Kemaluan yang Membatalkan Wudhu adalah Menyentuh dengan Telapak Tangan
Menyentuh kemaluan yang membatalkan wudhu adalah menyentuh dengan telapak tangan. Selain menyentuh dengan telapak tangan, maka tidak membatalkan wudhu.
Termasuk dalam makna telapak tangan adalah bagian yang biasanya tertutup yang ada di sekitar telapak tangan.
Anda bisa mengetahuinya dengan cara menyatukan dua telapak tangan. Kemudian, lihatlah bagian mana saja yang tertutup, yang tertempel dengan kulit lainnya dan tidak tampak di permukaan, maka bagian yang tertutup itulah yang jika digunakan untuk menyentuh kemaluan dapat membatalkan wudhu. Selain daripada itu tidak membatalkan wudhu.
Dengan demikian ujung jari tidak termasuk dalam makna telapak tangan. Kaidahnya: bathnu al-kaffi atau telapak tangan adalah bagian yang biasa tertutup saat seseorang menyatukan dua telapak tangannya, sehingga bagian-bagian yang terlihat tidak disebut sebagai bathnu al-kaffi.
Kaidah ini juga dikiyaskan pada sifat kemaluan yang disentuh. Kemaluan yang membatalkan wudhu jika disentuh adalah kemaluan yang biasa ditutupi. Yaitu kemaluan anak adam. Sehingga tidak berlaku pada kemaluan binatang atau burung, di mana seseorang tidak diwajibkan untuk menutupinya dan tidak diharamkan dari melihatnya.
Kedua: Menyentuh Kemaluan yang Membatalkan Wudhu adalah jika Disentuh Secara Langsung tanpa Penghalang Apa pun
Menyentuh kemaluan yang membatalkan wudhu adalah jika disentuh secara langsung dengan kulit, tanpa penghalang apa pun. Harus terjadi persentuhan antara kulit dengan kulit dan tidak terdapat penghalang apa pun.
Sehingga jika seseorang menyentuh kemaluan dengan telapak tangan yang ditutupi kaos tangan, maka itu tidak membatalkan wudhu. Atau menyentuh kemaluan dengan penghalang berupa celana ataupun baju, itu tidak membatalkan wudhu.
Ketiga: Bagian Kemaluan Mana Saja yang Bila Disentuh Membatalkan Wudhu?
Jawabannya adalah semua bagian yang disebut dengan kemaluan.
Dengan begitu bulu kemaluan tidak termasuk di dalamnya, dua buah pelir juga tidak termasuk di dalamnya. Selain dari dua bagian tersebut, itulah yang disebut dengan kemaluan. Ini khusus untuk kemaluan laki-laki.
Sedangkan kemaluan wanita yang membatalkan wudhu saat disentuh adalah bagian pertemuan dua sisi kemaluan, bahkan Imam Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan selain daripada itu tidak membatalkan wudhu.
Termasuk yang tidak membatalkan adalah bagian yang diperintahkan untuk dikhitan. Beberapa ulama mazhab Syafii yang lain menyebutkan, bagian yang diperintahkan untuk dikhitan juga membatalkan wudhu jika disentuh selama masih menempel dan belum dipotong.
Keempat: Apakah Kemaluan yang Terpotong Juga Membatalkan Wudhu?
Menyentuh kemaluan yang telah terpotong juga membatalkan wudhu. Karena kemaluan yang terpotong tetaplah disebut sebagai kemaluan.
Adapun sebagian kulit kemaluan yang dipotong saat khitan, itu tidak membatalkan wudhu. Alasannya, sebagian ulama mazhab Syafii menganggap bahwa kulit yang dipotong saat khitan tidak lagi disebut sebagai kemaluan.
Pendapat ini disebutkan oleh Imam al-Mawardi rahimahullah—sebagaimana yang dinukil oleh al-Khatib asy-Syarbini rahimahullah dalam kitab al-Iqna’.
Al-Khatib asy-Syarbini juga menambahkan, bagi siapa yang memiliki dua kemaluan maka keduanya tetap membatalkan wudhu jika disentuh, baik keduanya berfungsi maupun tidak berfungsi.
Kelima: Termasuk Pembatal Wudhu adalah Menyentuh Dubur
Tidak hanya menyentuh kemaluan depan saja yang membatalkan wudhu, menyentuh kemaluan belakang (dubur) juga termasuk membatalkan wudhu.
Alasannya, menyentuh dubur (kemaluan belakang) diqiyaskan dengan menyentuh kubul (kemaluan depan) dan pada umumnya keduanya memiliki hukum yang sama, terutama dalam masalah najis dan pembatal wudhu.
Bagian dubur yang bila disentuh membatalkan wudhu adalah bagian keluarnya kotoran dan angin. Menyentuh selain daripada bagian itu tidak membatalkan wudhu, contohnya menyentuh bagian yang berdekatan dengannya, maka itu tidak membatalkan wudhu.
Keenam: Menyentuh Kemaluan Sendiri Atau Orang Lain Sama Saja
Tidak ada bedanya kemaluan sendiri maupun kemaluan orang lain, sebagaimana tidak membedakan apakah dengan syahwat atau tanpa syahwat.
Dalam masalah ini tidak membedakan apakah yang disentuh itu kemaluan sendiri maupun kemaluan orang lain, tetap membatalkan wudhu. Sebagaimana tidak membedakan apakah menyentuhnya dibarengi dengan syahwat atau tanpa syahwat, tetap membatalkan wudhu.
Sebagaimana juga telah disinggung sebelumnya, kemaluan yang dimaksud adalah kemaluan manusia, bukan kemaluan binatang. Baik kemaluan orang dewasa maupun kemaluan anak yang masih kecil. Baik kemaluan orang yang masih hidup maupun yang sudah mati. Wallahu a’lam. (Arif Hidayat/dakwah.id)
Daftar Pustaka:
Al-Bayan Wa at-Ta’rif bi Ma’ani Masa’ili wa Ahkam al-Mukhtashar al-Lathif, Syaikh Ahmad Yunus an-Nishf, hal. 75-76, cet. 2/2014 M, Dar adh-Dhiya’ Kuwait, dengan perubahan dan tambahan.
Al-Iqna’ fi Hilli Alfadzi Abi Syuja’, al-Khatib asy-Syarbini, 1/163-165, cet. 2/2013, Syirkatu al-Quds, dengan perubahan dan tambahan.
Baca juga artikel Serial Ngaji Fikih atau artikel menarik lainnya karya Arif Hidayat.
Penulis: Arif Hidayat
Editor: Ahmad Robith
Artikel Ngaji Fikih Terbaru:
Alhamdulillah, pencerahan luar biasa. Semoga Allah SWT memberikan ampunan, dan keselamatan kepada kita semua. Aamiin
Penjabarannya cukup jelas. Gampang dimengerti oleh jamaah. Dan. Akurat menurut madzhab Safi’i