Makan atau Minum Karena Lupa Saat Puasa — Hadits Puasa #9
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ، فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa lupa dan dia dalam keadaan puasa, lalu makan atau minum, hendaknya ia tetap menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah-lah yang telah memberinya makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari No. 1933; HR. Muslim No. 1155. Lafal hadits ini dari riwayat Muslim)
Hadits di atas menjadi dalil hukum makan atau minum karena lupa saat puasa.
Orang yang makan atau minum karena lupa saat puasa maka puasanya tetap sah. Pelakunya tidak berdosa. Pahala puasanya tidak berkurang. Syaratnya, itu terjadi karena lupa. Tanpa unsur kesengajaan sedikit pun.
Bahkan, itu adalah bagian dari rezeki dari Allah ‘azza wajalla karena Dia telah memberinya makan dan minum.
Baca juga: 6 Hikmah Puasa Ramadhan — Hadits Puasa #1
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyandingkan makan dan minumnya tersebut dengan Allah ‘azza wajalla. Makan dan minumnya berasal dari Allah ‘azza wajalla.
وَمَا يَكُوْنُ مُضَافًا إِلَى اللهِ تَعَالَى لَا يُؤَاخَذُ عَلَيْهِ الْعَبْدُ، لِأَنَّهُ إِنَّمَا يُنْهَى عَنْ فِعْلِهِ، وَالْأَفْعَالُ الَّتِي لَيْسَتْ اِخْتِيَارِيَّةً لَا تَدْخُلُ تَحْتَ التَّكْلِيْفِ
“Segala sesuatu yang disandingkan kepada Allah Ta’ala tidak akan dihitung dosanya dari seorang hamba, sebab sesuatu tersebut hanya dilarang jika dilakukan secara sengaja. Dan perbuatan yang dilakukan tanpa unsur kesengajaan tidak termasuk bagian dari taklif hukum.” — Syaikh Abdullah bin Shalih al-Fauzan
Oleh sebab itu, makan atau minum karena lupa saat puasa disebut oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rezeki dari Allah ‘azza wajalla.
Dalam riwayat lain disebutkan,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَكَلَ الصَّائِمُ نَاسِيًا أَوْ شَرِبَ نَاسِيًا فَإِنَّمَا هُوَ رِزْقٌ سَاقَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ وَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika orang yang berpuasa makan karena lupa atau minum karena lupa, maka itu adalah rezeki dari Allah, dan tidak perlu qadha’ atas perbuatannya.” (HR. Ad-Daruquthni No. 2242. Hadits ini sanadnya shahih dan semua perawinya tsiqah)
Baca juga: Semangat Sedekah di Bulan Ramadhan — Hadits Puasa #8
Orang yang makan atau minum karena lupa saat puasa tidak ada kewajiban qadha’ atau mengganti puasanya di hari yang lain.
Justru, sebagaimana disebutkan dalam lafal hadits di awal, malah memerintahkan untuk menyelesaikan puasanya. Adanya perintah untuk menyelesaikan puasanya menjadi petunjuk bahwa dirinya masih dalam keadaan puasa. Puasanya tidak batal.
Beberapa Masalah yang Dikiaskan dengan Hukum Makan atau Minum karena Lupa Saat Puasa
Kemudian, dalam permasalahan ini, apa saja yang membatalkan puasa dikiaskan dengan makan dan minum. Dasarnya adalah hadits Abi Salamah bin Abdirrahman,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ أَفْطَرَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ نَاسِيًا، لَا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلَا كَفَّارَةَ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barang siapa yang berbuka di bulan Ramadhan karena lupa, maka tidak ada qadha atau pun kafarat atas perbuatannya itu.” (HR. Ibnu Hibban No. 3521; HR. Al-Hakim No. 1569. Hadits ini shahih berdasarkan syarat Imam Muslim)
Adanya takhshish (penyempitan dimensi) hanya pada persoalan makan dan minum saja yang terdapat pada hadits di awal tulisan ini didasarkan pada dominasi (kasus yang paling sering terjadi).
Baca juga: 4 Cara Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan, Mana yang Disepakati Para Ulama?
Sementara dalam kaidah disebutkan,
وَالتَّخْصِيْصُ بِالْغَالِبِ لَا يَقْتَضِي مَفْهُوْمًا
“Takhshish (penyempitan dimensi) yang didasarkan pada dominasi (kasus yang paling sering terjadi) tidak berdampak kepada pemahaman sebaliknya.” (Ihkam al-Ahkam Syarh Umdah al-Ahkam, Ibnu Daqiq al-‘Id, 2/12)
Maksud dari mafhum yang terdapat dalam kaidah di atas adalah mafhum mukhalafah (pemahaman sebaliknya). (Fiqh al-Imam al-Bukhari min Jami’ihi ash-Shahih – ash-Shiyam, Nazar bin Abdul Karim bin Sulthan al-Hamdani, 89)
Artinya hukum tersebut tidak hanya berlaku pada makan dan minum saja, tapi orang yang melakukan pembatal puasa apa pun tanpa disengaja saat ia puasa, maka ia tetap menyelesaikan puasanya karena puasanya tidak batal.
Baca juga: Asal-Usul Istilah Ramadhan dalam Kalender Qamariyah
Hukum yang berlaku bagi orang yang makan atau minum karena lupa saat puasa ini adalah salah satu di antara beberapa kaidah umum yang disarikan dari firman Allah ‘azza wajalla,
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ اِنْ نَّسِيْنَآ اَوْ اَخْطَأْنَا
“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Dalam hadits shahih disebutkan, Allah ‘azza wajalla telah menjawab doa yang terdapat dalam ayat ini dengan, “Qad fa’altu” (Telah aku kabulkan), dalam riwayat lain, “Na’am” (Ya). (HR. Muslim No. 199, 200)
Ini adalah bentuk kelembutan, kemudahan, dan keringanan dari Allah ‘azza wajalla kepada hamba-Nya.
Barang siapa yang melihat orang yang puasa makan atau minum karena lupa saat puasa, ia wajib memberitahu dan mengingatkannya. Karena ini bagian dari amar makruf nahi munkar. Makan atau minum di siang hari bulan Ramadhan adalah satu bentuk kemungkaran, sementara orang yang lupa ia mendapat uzur, sehingga ia wajib diberitahu dan diingatkan.
Baca juga: Sunnah tapi Terabaikan #1: Istinsyaq ketika Wudhu
Orang yang mandi atau berkumur, atau istinsyaq (menghirup air dengan hidung ketika wudhu) sehingga ada air masuk ke dalam kerongkongan tanpa disengaja, maka itu tidak merusak atau membatalkan puasanya.
Demikian pula orang yang kerongkongannya kemasukan lalat atau debu saat di jalanan atau semisalnya tanpa disengaja, maka itu tidak merusak atau membatalkan puasanya, karena pada saat itu ia tidak mampu menghindarinya. Dan ia sama sekali tidak memiliki maksud atau menyengaja untuk melakukannya. Sehingga, ia dihukumi seperti orang yang lupa; tanpa disengaja, tanpa maksud. Wallahu a’lam [Sodiq Fajar/dakwah.id]
اَللَّهُمَّ وَفَّقْنَا لِمَا يُرْضِيْكَ، وَجَنِّبْنَا مَعَاصِيْكَ، وَاجْعَلْنَا مِنْ عِبَادِكَ الصَّالِحِيْنَ، وَحِزْبِكَ الْمُفْلِحِيْنَ، وَاعْفُ عَنَّا وَتُبْ عَلَيْنَا، وَاغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَلِجَمِيْعِ الْمُسْلِمِيْنَ.
Ya Allah, arahkan kami pada apa saja yang Engkau ridhai, jauhkan kami dari kemaksiatan, jadikan kami hamba-hamba-Mu yang shalih dan tentaramu yang mendapat kemenangan, maafkan kami, terimalah tobat kami, ampuni dosa kami, ampuni dosa kedua orang tua kami, dan ampuni dosa kaum muslimin.
Diadaptasi dari kitab: Mukhtashar Ahadits ash-Shiyam
Penulis: Syaikh Abdullah bin Shalih al-Fauzan
Penerjemah: Sodiq Fajar