Konsultasi Fikih Warisan yang berjudul “Mengubah Nama Akta Tanah Ortu Tanpa Sepengetahuan Saudara” ini diasuh oleh Ustadz Mohammad Nurhadi, M.H alumnus magister Hukum Ekonomi Syariah (HES) Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor.
Pertanyaan:
Jika orang tua masih ada, dan orang tua tersebut memiliki dua anak, kemudian anak yang kedua mengubah akta tanah ortu tersebut menjadi atas namanya tanpa sepengetahuan anak pertama. Pertanyaannya, sahkah balik nama tersebut, meskipun hal itu dengan sepengetahuan orang tuanya?
Aris–Karanganyar
Jawaban:
اَلْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ الْأَمِيْنِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, harus kita sepakati terlebih dahulu terkait maksud dari mengubah akta tanah dari nama orang tua menjadi nama salah satu anaknya. Sebab, tujuan mengubah nama akta tanah ini ada dua kemungkinan, antara untuk memindahkan hak kepemilikan atau hanya sekedar memudahkan administrasi namun kepemilikan tetap di tangan orang tua. Karena dalam syariat, kepemilikan itu tidak harus diwujudkan dengan adanya sertifikat kepemilikan.
Mengubah Nama Akta Tanah Tersebut, Termasuk Akad Apa?
Apabila mengubah nama akta tanah dengan tujuan hanya ingin mempermudah administrasi dan kepemilikan tetap berada di tangan orang tua, maka secara hukum syariat hal itu tidak mengapa atau sah saja, walaupun sebaiknya dihindari. Sebab, jika terjadi sesuatu di kemudian hari, orang yang memiliki nama di akta tanahlah yang memiliki kekuatan hukum (di negara kita ini) untuk mengakui kepemilikan tanah tersebut.
Apabila mengubah nama akta tanah tersebut dengan tujuan untuk memindahkan kepemilikan dan atas sepengetahuan orang tua, maka akad yang terjadi adalah akad hibah. Selanjutnya, apakah sah orang tua menghibahkan hartanya hanya kepada sebagian anaknya saja?
Apakah Sah Menghibahkan Harta Hanya kepada Sebagian Anak?
Para ulama sepakat bahwa orang tua harus adil dalam memberikan harta kepada anak-anaknya. Tidak boleh mengkhususkan hanya kepada sebagian atau salah satu anaknya saja. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ أَنَّهُ قَالَ إِنَّ أَبَاهُ أَتَى بِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي نَحَلْتُ ابْنِي هَذَا غُلَامًا كَانَ لِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكُلَّ وَلَدِكَ نَحَلْتَهُ مِثْلَ هَذَا فَقَالَ لَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَارْجِعْهُ
Dari Nu’man bin Basyir dia berkata, “Suatu ketika ayahnya membawa dia menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sambil berkata, ‘Sesungguhnya saya telah memberi anakku ini seorang budak milikku.’”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah setiap anakmu kamu beri seorang budak seperti dia?”
Ayahku menjawab, “Tidak.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalau begitu, ambillah kembali.” (HR. Al-Bukhari no. 2446; HR. Muslim no. 1623)
Dalam riwayat lain Nabi bersabda (kepada Basyir),
اِتَّقُوا وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلَادِكُمْ
“Bertakwalah kepada Allah dan berlaku adillah kepada anak-anak kalian” (HR. Al-Bukhari no. 2447; HR. Muslim no. 1623)
Menanggapi hadits ini, Imam an-Nawawi menyatakan bahwa ketika orang tua menghibahkan harta kepada anak-anaknya, seharusnya dengan kadar yang sama tanpa melebihkan salah satunya. (Syarh Muslim, Yahya bin Syarf an-Nawawi, 11/66).
Bahkan Imam asy-Syaukani lebih tegas menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan wajibnya menghibahkan harta kepada anak-anaknya dengan kadar yang sama. Melebihkan salah satunya adalah perbuatan yang batil dan tidak adil. Pemiliknya harus menarik kembali pemberian tersebut. Ini adalah pendapat Thawus, ats-Tsauri, Ahmad, Ishaq dan sebagian ulama Malikiyah. Namun, mayoritas ulama hanya sebatas sunnah memberikan harta kepada anak dengan kadar yang sama. (Ad-Darari al-Mudhiyyah Syarh ad-Durar al-Bahiyyah, Muhammad bin Ali asy-Syaukani, 1/348)
Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa, haram hukumnya melebihkan pemberian kepada sebagian anaknya saja kecuali dikarenakan ada sebab syar’i. Pendapat ini diutarakan oleh Imam Ibnu Qudamah (Al-Mughni, 5/664) dan Syaikhu Islam Ibnu Taimiyah (Majmu’ al-Fatawa, 31/295).
Oleh karenanya, pada kasus di atas apabila orang tua menghibahkan harta kepada anak kedua saja dan tidak memberikan sesuatu pun kepada anak pertama tanpa ada alasan yang dibenarkan syariat, adalah perbuatan yang tidak adil. Hendaknya orang tua menarik kembali pemberian itu hingga ia dapat berbuat adil kepada anak-anaknya. Dengan demikian, lebih menjaga perasaan dan mencegah terjadinya pertikaian antar saudara. Wallahu a’lam Bish Shawwab.(Mohammad Nurhadi/dakwah.id)
Baca juga artikel tentang Konsultasi Hukum Islam atau artikel menarik lainnya karya Mohammad Nurhadi.
Artikel Konsultasi Hukum Islam terbaru: