Daftar Isi
Pada serial sebelumnya, dakwah.id telah mengupas Hukum Buang Hajat Menghadap ke Arah Kiblat. Kali ini, pembahasan serial Ngaji Fikih selanjutnya adalah Menutup Aurat ketika Buang Hajat.
Seri adab buang hajat disarikan dari kitab al-Bayan wa at-Ta’rif bi Ma’ani wa Masa’ili wa Ahkam al-Mukhtashar al-Lathif, karya Syaikh Ahmad Yunus an-Nishf, dengan perubahan dan tambahan.
Aurat adalah bagian yang tidak boleh ditampakkan kepada orang lain, kecuali kepada orang-orang yang Allah khususkan. Seperti kepada suami, istri, atau budak yang dimiliki.
Dalam salah satu adab buang hajat, menutup aurat adalah adab yang diwajibkan. Di mana beberapa adab lainnya hanya sampai batas sunah atau makruh, tetapi dalam persoalan ini syariat mewajibkannya.
Demikian itu disebabkan menutup aurat wajib hukumnya bagi siapa pun, kapan dan dimana pun dia berada.
Perintah Menjaga Pandangan
Allah subhanahu wata’ala berfirman:
قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْۗ ذٰلِكَ اَزْكٰى لَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا يَصْنَعُوْنَ
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu, lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”(QS. An-Nur: 30)
Imam Ibnu Katsir menjelaskan, termasuk dalam makna memelihara kemaluan adalah menjaga pandangan dari melihatnya. (Tafsir al-Quran al-’Adzim,Ibnu Katsir, 3/343)
Artikel Fikih: Rambut Tersingkap Ketika Shalat, Apakah Shalatnya Batal?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلَا الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلَا يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلَا تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ
“Tidaklah (boleh) seorang laki-laki melihat aurat laki-laki dan perempuan melihat aurat perempuan yang lainnya, dan tidaklah (boleh) seorang laki-laki berkumpul dengan laki-laki lain dalam satu selimut dan janganlah perempuan berkumpul dengan perempuan yang lain dalam satu selimut.”(HR. Muslim No. 521. Dari jalur Abu Sa‘id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
Perintah menutup aurat ketika buang hajat
Perkara menutup aurat ini ditegaskan lagi dalam urusan buang hajat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَتَى الْغَائِطَ فَلْيَسْتَتِرْ
“Barang siapa mendatangi tempat buang air maka hendaklah dia mengambil satir (penutup).” (HR. Abu Dawud No. 32. Dari jalur Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Menutup Aurat Saat Buang Hajat di Alam Terbuka
Hari ini orang-orang sudah membangun tempat buang hajat yang tertutup, sehingga kewajiban menutup aurat saat buang hajat telah tertunaikan.
Lalu bagaimana cara menutupi aurat dari pandangan orang lain saat buang hajat di alam terbuka? Para ulama mazhab Syafii menyebutkan setidaknya ada dua keadaan berikut ini:
Pertama, bagi orang yang buang hajat dengan posisi duduk hendaknya menutupi dirinya setinggi dua pertiga hasta atau lebih, yang sekiranya orang lain tidak dapat melihat dirinya.
Kedua, bagi orang yang buang hajat dengan posisi berdiri hendaknya menutupi dirinya yang sekiranya orang lain tidak melihat bagian antara pusar dan lutut. Kira-kira hampir setinggi tiga hasta.
Syarat benda untuk menutup aurat
Disyaratkan, penutup yang digunakan harus benar-benar menutupi aurat, artinya bukan benda yang terlalu tipis atau transparan.
Jika menggunakan kain, gunakan kain yang tidak terlalu tipis. Jika menggunakan plastik, gunakan plastik yang bukan trasnparan.
Bila saja tidak mendapati benda apa pun untuk menutup aurat di alam terbuka, boleh menutupinya dengan tanah. Caranya, membuat sebuah gundukan tanah dan buang hajat dengan membelakangi tanah tersebut.
Berkaitan dengan menutupi aurat saat buang hajat ini, ulama Syafii juga menyebutkan adab buang hajat dengan cara menutup kepala.
Artikel Fikih: Batasan Aurat Wanita Muslimah di Hadapan Wanita non-Muslim
Adab buang hajat dengan menutup kepala disebutkan atas dasar ittiba’kepada Nabi, sebab ketika Nabi buang hajat beliau menutupi kepalanya. Sekalipun, Imam an-Nawawi menyebutkan bahwa hadits ini lemah, hanya saja siapapun boleh melakukannya untuk mendapatkan fadilat-fadilat amal.
Wallahu a’lam. (Arif Hidayat/dakwah.id)
(Disarikan dari kitab al-Bayan wa at-Ta’rif bi Ma’ani wa Masa’ili wa Ahkam al-Mukhtashar al-Lathif, Syaikh Ahmad Yunus an-Nishf, hal. 84–85, cet. 2/2014 M, Kuwait: Dar Adh-Dhiya’. Al-Wajiz fi al-Fiqhi al-Islami,Wahbah az-Zuhaili, 1/47, cet. 1/2005 M, Lebanon: Dar Al-Fikr, dengan perubahan dan tambahan)
Baca juga artikel Serial Ngaji Fikih atau artikel menarik lainnya karya Arif Hidayat.
Penulis: Arif Hidayat
Editor: Ahmad Robith
Keluar topik tadz.
Apakah boleh tidak berwudlu lagi setelah mandi junub?
Padahal biasanya kalau kita mandi otomatis memegang kemaluan…apakah tidak membatalkan wudunya?