Daftar Isi
Pada serial sebelumnya, dakwah.id telah mengupas Cara Menata Niat dalam Shalat. Kali ini, pembahasan serial Ngaji Fikih selanjutnya adalah Syarat dan Ketentuan Takbiratul Ihram.
Untuk membaca serial Ngaji Fikih secara lengkap, silakan klik tautan berikut:
Secara bahasa takbiratulihram artinya ucapan takbir yang mengharamkan. Takbiratulihram ini hanya dilakukan saat seseorang mendirikan shalat. Takbiratulihram adalah gerakan fardhu pertama dalam ibadah shalat.
Kenapa dinamai dengan takbir yang mengharamkan? Karena begitu seseorang mengucapkan takbir ini di dalam shalat, maka beberapa perbuatan halal menjadi haram untuk dilakukan sampai shalatnya selesai.
Misalnya makan dan minum, haram dilakukan ketika shalat dan halal dilakukan di luar shalat. Berbicara kepada orang lain juga haram dilakukan ketika shalat dan halal dilakukan di luar shalat.
Lafal Takbiratul Ihram
Lafal takbiratul ihram adalah Allâhu Akbaru, lafal ini umum digunakan oleh kaum muslimin.
Boleh menambahkan beberapa kata atau huruf antara dua kata tersebut, hanya saja ada batasnya dan tidak boleh merusak maknanya.
Misalnya, menambahkan alim lam (ال) pada lafal akbaru menjadi Allâhu Al-Akbaru (االله الأكبر), seperti ini diperbolehkan.
Contoh yang tidak diperbolehkan adalah menambahkan kata huwa (هو) di antara dua lafal takbiratulihram, seperti Allahu Huwa Akbaru (الله هو أكبر), karena menurut ahli bahasa lafal ini memiliki celah ketidaksempurnaan.
Artikel Fikih: Hukum Makan Daging Tupai Berdasar Penjelasan Para Ulama Fikih
Boleh menambahkan lafal jalâlah yang lain asalkan tidak lebih dari tiga kata. Misalnya, Allâhu Ar-Raḥmânu Ar-Raḥîmu Akbar.
Lebih dari tiga kata dianggap sebagai penambahan yang berlebih, dan kurang dari tiga kata dianggap sebagai penambahan yang sederhana.
Syarat dan Ketentuan Takbiratul Ihram
Selain dari sisi pengucapan lafalnya, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam takbiratulihram, yaitu
Pertama: Diucapkan saat posisi berdiri
Takbiratul ihram diucapkan saat posisi berdiri, yaitu posisi seseorang benar-benar telah siap melakukan shalat.
Syarat ini khusus untuk shalat fardhu, ada pun shalat nafilah maka diperbolehkan mengucapkannya dalam kondisi duduk.
Begitu pula dengan orang yang tidak mampu berdiri, maka boleh mengucapkannya dengan posisi yang dirinya mampu melakukannya.
Kedua: Menghadap ke arah kiblat
Takbiratul ihram diucapkan dengan menghadap ke arah kiblat.
Ketiga: Mendahulukan lafal jalalah
Mendahulukan lafal jalalah, yaitu lafal Allahu, dan kemudian disusul dengan lafal Akbaru.
Keempat: Diucapkan dengan suara lirih
Takbiratul ihram diucapkan dengan suara lirih, yang sekiranya dapat didengar oleh dirinya sendiri. Kecuali bagi imam, takbiratul ihram diucapkan dengan suara keras untuk membimbing para makmum.
Kelima: Dengan bahasa Arab
Takbiratul ihram diucapkan dengan bahasa Arab.
Menurut pendapat sebagian mazhab Syafi’i, orang yang belum bisa mengucapkan takbiratulihram dengan bahasa Arab maka wajib menerjemahkan dalam bahasa apa pun.
Orang tersebut wajib belajar agar bisa mengucapkan sebagaimana mestinya, bahkan jika harus melakukan perjalanan yang cukup jauh dan memakan waktu lama.
Keenam: Diucapkan setelah hati melakukan niat
Takbiratul ihram diucapkan setelah hati melakukan niat.
Dalam masalah ini ulama mazhab Syafi’i berbeda pendapat, di antaranya: niat berbarengan dengan lafal takbiratulihram, yaitu niat harus tetap dihadirkan saat seseorang melafalkan Allahu sampai lafal Akbaru.
Ada juga yang berpendapat bahwa niat dan takbiratulihram dilakukan secara beriringan dalam makna umum seperti biasanya, yaitu niat kemudian disambung dengan takbiratulihram. Wallahu a’lam. (Arif Hidayat/dakwah.id)
Disarikan dari kitab: Al-Bayan wa at-Ta’arif bi Ma’ani wa Masaili wa al-Ahkam al-Mukhtashar al-Lathif, Ahmad Yusuf an-Nishf, hal. 204-206, Dar adh-Dhiya’, cet. 2/2014.
Baca juga artikel Serial Ngaji Fikih atau artikel menarik lainnya karya Arif Hidayat.
Penulis: Arif Hidayat
Editor: Ahmad Robith
Artikel Ngaji Fikih Terbaru: