Daftar Isi
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, Rasul mengatakan bahwa umur umat beliau (umat Islam) berkisar antara enam puluh sampai tujuh puluh tahun.
Umur umat Islam ini relatif lebih pendek dari umur umat-umat terdahulu. Hanya Allah subhanahu wata‘ala yang tahu apa hikmah di balik pengurangan jatah umur tersebut.
Allah Maha-adil. Dengan kasih sayang-Nya, meskipun umur umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam lebih pendek dari umur umat para nabi sebelumnya, Allah memberi karunia berupa waktu-waktu tertentu yang jika mereka beramal saleh di dalamnya maka akan mendapat pahala yang berlipat ganda melebihi batas umur yang diberikan. Malam Lailatul Qadar adalah salah satunya.
Dalam surat al-Qadr secara jelas Allah menyebutkan bahwa Lailatul Qadar itu khairun min alfi syahrin ‘malam yang lebih baik daripada seribu bulan’.
Artinya, malam itu jika digunakan untuk beribadah dan beramal saleh, maka nilai pahalanya setara dengan orang yang beramal dan beribadah selama seribu bulan (83 tahun) atau seumuran satu generasi lebih sedikit.
Terkait waktu datangnya Lailatul Qadar, tidak ada satu ayat atau hadits pun yang secara spesifik menyebutkannya. Namun, para ulama berdasarkan hadits dari Ibunda Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 2017) menyatakan bahwa Lailatul Qadar itu ada pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Oleh karenanya, kaum muslimin sangat dianjurkan untuk lebih serius dalam beribadah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan agar mendapatkan malam yang penuh kemuliaan itu.
Artikel Ilmu & Dakwah: Mencari Lailatul Qadar dari Rumah
Tingkatan Menghidupkan Lailatul Qadar
Menurut Syekh Nawawi al-Bantani rahimahullah, ada tiga tingkatan orang dalam mengisi atau menghidupkan Lailatul Qadar.
Tingkatan tertinggi adalah orang yang menghidupkan seluruh malam dengan shalat;
tingkatan menengah, adalah orang yang menghidupkan sebagian besar malamnya dengan zikir;
sedangkan tingkatan terendah adalah orang yang menjalankan shalat Isya dan Subuh secara berjamaah. (Nihayatu az-Zain, hlm. 198).
Pertama: Menghidupkan seluruh malam
Tingkatan pertama, tingkatan dalam menghidupkan Lailatul Qadar yang tertinggi, adalah menghidupkan seluruh malam.
Tingkatan ini adalah tingkatan terberat yang mungkin hanya bisa dilakukan oleh mereka yang dengan serius melakukan iktikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Adapun shalat yang dimaksudkan pada pernyataan Syekh Nawawi al-Bantani di atas tentu saja bukan membatasi ibadah hanya shalat saja. Akan tetapi, termasuk juga membaca al-Quran, berdoa, berzikir, dan lain sebagainya.
Kedua: Menghidupkan sebagian besar malam
Level selanjutnya yang rendah dari tingkatan pertama adalah orang yang menghidupkan sebagian besar malam, tidak seluruhnya.
Misal, dimulai dari setelah shalat Isya hingga Subuh, namun di sela-sela waktu tersebut dia istirahat untuk tidur atau keperluan lain yang tidak terkait dengan ibadah.
Ketiga: Mengerjakan shalat Isya dan Subuh berjamaah
Adapun tingkatan dalam menghidupkan Lailatul Qadar terendah adalah ketika seseorang bisa shalat Isya dan shalat Subuh berjamaah, maka dia dapat dikatakan mendapatkan Lailatul Qadar.
Tingkatan ketiga ini mungkin cocok bagi orang yang mempunyai kesibukan tinggi atau pekerja berat yang hanya mempunyai sedikit waktu istirahat pada malam hari.
Jika dia ingin meraih keutamaan Lailatul Qadar, dia harus berusaha agar bisa shalat Isya dan Subuh secara berjamaah.
Tentang keutamaan yang akan didapat bagi orang yang melakukan shalat Isya dan Subuh berjamaah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا قَامَ نِصْفَ اللَّيْلِ، وَمَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا صَلَّى اللَّيْلَ كُلَّهُ
“Barang siapa yang melakukan shalat Isya secara berjamaah, seakan-akan dia shalat separuh malam. Dan barang siapa yang melakukan shalat Subuh secara berjamaah, maka seakan-akan dia menghidupkan seluruh malam.” (HR. Muslim no. 656)
Tuntunan Rasulullah pada Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan
Innamal a’malu bil khawatim, sesungguhnya setiap amalan itu tergantung pada akhirnya. Begitu sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 6607).
Hari-hari pada sepuluh akhir Ramadhan jika merujuk pada hadits tersebut boleh dikata adalah babak penentuan. Penentuan bagi sukses atau tidaknya Ramadhan seseorang.
Kenapa demikian?
Karena pada hari-hari inilah pahala dan kemuliaan ditaburkan, termasuk Lailatul Qadar juga ada di dalamnya.
Dalam kata lain, puncaknya Ramadhan itu ada pada sepuluh hari terakhirnya.
Jika diibaratkan lomba lari, peserta yang dianggap menang bukan yang paling kencang lari di awal, lalu melemah saat akan mendekati finis. Akan tetapi, yang sanggup konsisten berlari sampai akhir di garis finis.
Rasulullah sendiri ketika memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan beliau bersungguh-sungguh dalam ibadah yang ditandai dengan tiga hal.
Pertama, beliau mengencangkan ikat pinggang (menahan diri dari mendekati istri-istri beliau);
kedua, menghidupkan malam-malamnya dengan memperbanyak ibadah; dan
ketiga, membangunkan keluarganya untuk beribadah.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut.
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ العَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya ketika memasuki sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, beliau mengencangkan ikat pinggangnya (meninggalkan istri-istrinya), menghidupkan malam-malamnya, dan membangunkan istri-istrinya (untuk beribadah). (HR. Al-Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174)
Rasulullah juga melakukan iktikaf pada hari-hari ini, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh ibunda Aisyah:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانَ يَعْتَكِفُ العَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Bahwasanya Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam beriktikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, kemudian istri-istri beliau (tetap) beriktikaf sepeninggal beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 2026 dan Muslim no. 1172)
Khutbah Jumat Singkat: Meraih Ampunan di Malam Lailatul Qadar
Tradisi Masyarakat Kita
Namun, fakta yang terjadi di tengah-tengah masyarakat (Indonesia khususnya) justru sebaliknya.
Ketika Ramadhan masuk pada sepuluh hari terakhirnya, masjid-masjid menjadi sepi, jumlah shaf Jamaahnya menjadi lebih sedikit.
Berbeda dengan pada saat pekan pertama Ramadhan, jamaah membludak. Bahkan, terkadang pihak pengurus masjid harus menyediakan tikar tambahan untuk menampung para jamaah melaksanakan shalat Tarawih.
Pemandangan seperti ini adalah pemandangan rutin tahunan dan sudah turun-temurun bagi masyarakat kita. Iming-iming pahala “malam seribu bulan” rasanya tidak lebih menarik daripada diskon besar-besaran yang digelar di mal, atau pusat-pusat perbelanjaan.
Anak-anak yang biasanya turut meramaikan Tarawih di masjid beralih ke tempat-tempat ramai sembari memperbincangkan baju baru yang akan dipakai pada hari lebaran. Sementara ibu-ibunya di rumah sibuk mempersiapkan kue dan aneka makanan yang akan dihidangkan untuk tamu selepas Idul Fithri nanti.
Alhasil, masjid menjadi sepi. Satu per satu wajah jamaah yang pada awalnya rajin ke masjid mulai tak tampak lagi. Suara lantunan suara tadarus pun sudah tidak terdengar.
Hanya segelintir orang yang tetap bertahan dengan keimanannya, semangat untuk mendapatkan Lailatul Qadar masih tetap membara.
Bahkan dia merasa sedih dan kehilangan saat Ramadhan benar-benar telah berlalu. Dia tahu Ramadhan pasti kembali tahun depan, yang tidak dia tahu apakah dirinya masih diberi umur untuk menjumpainya lagi atau tidak.
Mudah-mudahan kita termasuk segelintir orang tersebut. Wallahu a’lam.(Ashabul Yamin/dakwah.id)
Penulis: Ashabul Yamin
Editor: Ahmad Robith
Artikel Ramadhan terbaru: