Gambar Iuran Qurban Kambing gak Boleh dakwah.id.jpg

Iuran Qurban Kambing Nggak Boleh?

Terakhir diperbarui pada · 1,427 views

Iuran qurban kambing saat ini semakin marak dilakukan di lingkungan sekolah. Para siswa diminta oleh pihak sekolah untuk iuran dengan nominal tertentu, lalu dikumpulkan, dibelikan kambing untuk disembelih sebagai qurban atau udhiyah, kemudian dagingnya dimasak dan dinikmati bersama-sama di sekolah. Sebagian dibagi-bagi.

Apakah ini tidak boleh?

Motif di Balik Kegiatan Siswa Iuran Qurban Kambing

Secara umum kegiatan iuran qurban kambing di sekolah bertujuan sebagai edukasi bagi para siswa terkait dengan ibadah qurban atau udhiyah.

Bahkan saat ini sudah berkembang. Tidak hanya iuran untuk qurban kambing. Jumlah siswa yang begitu banyak, hasil iuran di sebagian sekolah bahkan mencukupi untuk membeli sapi.

Jika motif kegiatan iuran qurban bertujuan sebagai salah satu kegiatan pendidikan ibadah qurban bagi para siswa, ini sah-sah saja untuk dilakukan. Hanya perlu perbaikan pada sisi tata laksananya. Sebab, ibadah qurban atau udhiyah itu termasuk ibadah yang memiliki rambu-rambu dalam pelaksanaannya.

Kriteria Binatang untuk Qurban atau Udhiyah

Binatang disebut sah sebagai qurban atau udhiyah jika memenuhi syarat berikut:

Pertama, binatang qurban harus binatang ternak.

Maksud binatang ternak adalah unta, sapi (termasuk kerbau), dan kambing.

Boleh jantan, boleh juga betina. Lebih utama yang jantan. Pembahasan lebih lengkap tentang ini silakan baca artikel berikut ini:

Hukum Udhiyyah/Qurban dengan Binatang Ternak Betina.

Qurban Idul Adha (Udhhiyah) Selain Hewan Ternak

Qurban Idul Adha (Udhhiyah) dengan Ayam

Kedua, binatang qurban statusnya milik sendiri

Binatang qurban statusnya harus milik sendiri. Jika bukan milik sendiri, ia mendapat izin pemiliknya untuk menggunakannya sebagai qurban atau udhiyah.

Ketiga, binatang qurban harus cukup umur

Binatang yang akan disembelih diusahakan cukup umur sebagaimana dalam ketentuan syariat Islam.

Keempat, binatang qurban tidak cacat

Binatang yang akan disembelih harus benar-benar utuh tanpa cacat fisik. Jika kondisinya cacat fisik, maka sembelihan tersebut tidak sah sebagai ibadah Udhiyah.

Penjelasan lengkap tentang kriteria binatang untuk qurban ini dapat Anda baca di artikel berjudul Kriteria Binatang untuk Qurban/Udhiyah.

Jumlah Binatang Qurban Per Jiwa

Kemudian, bagaimana ukuran binatang Qurban yang berlaku untuk setiap jiwa yang akan berqurban?

Para ulama menjelaskan, qurban satu kambing berlaku untuk satu orang. Satu sapi berlaku untuk tujuh orang mudhahhy.

Sedangkan unta, ada sedikit perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih. Sebagian mengatakan satu untuk berlaku untuk tujuh orang mudhahhy, sebagian lain berpendapat satu unta berlaku untuk sepuluh orang mudhahhy.

Pendapat yang menyatakan bahwa satu unta berlaku untuk sepuluh orang mudhahhy berdalil dengan hadits berikut,

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ia berkata,

كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَ الأَضْحَى فَاشْتَرَكْنَا فِي البَقَرَةِ سَبْعَةً، ‌وَفِي ‌البَعِيرِ ‌عَشَرَةً

Kami pernah bersafar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sampai tiba waktu Idul Adha. Lalu kami menggabungkan udhiyah satu sapi untuk tujuh orang dan satu unta untuk sepuluh orang.” (HR. At-Tirmidzi No. 1501. Hadits shahih)

Sementara ulama mazhab Hanafi, Syafii, dan Hanbali sepakat bahwa satu sapi berlaku untuk tujuh orang, dan satu unta berlaku juga berlaku untuk tujuh orang.

Mereka berdalil dengan hadits berikut ini,

Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma ia berkata,

نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ ‌الْبَدَنَةَ ‌عَنْ ‌سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ

Kami menyembelih binatang qurban bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di tahun Hudaibiyah; satu unta untuk tujuh orang dan satu sapi untuk tujuh orang.” (HR. Muslim No. 1318)

Sampai di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuh orang mudhahhy boleh berkurban dengan satu sapi, atau dengan satu unta.

Dengan kata lain, patungan qurban dapat dilakukan pada binatang sapi atau unta. Satu sapi berlaku untuk patungan tujuh orang mudhahy. Satu unta berlaku untuk patungan tujuh atau sepuluh mudhahy.

Maksud Satu Kambing Berlaku Untuk Satu Orang dan Anggota Keluarganya

Pada sub sebelumnya, telah jelas bahwa qurban atau udhiyah dihukumi sah jika satu kambing itu berasal dari satu orang, satu sapi berasal dari tujuh orang, dan satu unta berasal dari tujuh atau sepuluh orang mudhahhy.

Di poin inilah mulai terjadi diskusi yang cukup menarik. Bermula dari satu hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh imam at-Tirmidzi (No. 1505) dan imam Ibnu Majah berikut ini.

Dari Atha’ bin Yasar ia berkata, aku pernah bertanya kepada Abu Ayub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu,

 كَيْفَ كَانَتِ الضَّحَايَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟

Bagaimana qurban udhiyah di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”

Beliau menjawab,

كَانَ الرَّجُلُ يُضَحِّي ‌بِالشَّاةِ ‌عَنْهُ ‌وَعَنْ ‌أَهْلِ ‌بَيْتِهِ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ

Saat itu seseorang berqurban satu ekor kambing dari dirinya dan anggota keluarganya, kemudian mereka memakan dagingnya dan membagikannya kepada orang lain.” (HR. At-Tirmidzi No. 1505)

Dalam diskusi yang agak panjang, Muhammad Abdurrahman al-Mubarakfury, penulis kitab Tuhfatu al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ at-Tirmidzi, menyimpulkan bahwa hadits Abu Ayub tersebut adalah nash yang sharih yang menyatakan bahwa satu ekor kambing boleh digunakan sebagai qurban atau udhiyah dari satu orang sekaligus ahlul bait atau seluruh anggota keluarganya.

Ibnul Qayyim menguatkan pendapat ini bahwa satu ekor kambing sudah cukup sebagai qurban atau udhiyah bagi satu orang sekaligus anggota keluarganya meskipun jumlah mereka banyak. (Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, 2/295)

Sampai di sini, diketahui bahwa berdasarkan hadits di atas, juga hadits lain yang senada, qurban atau udhiyah satu kambing tetap sah tidak hanya untuk mewakili satu orang saja, melainkan termasuk seluruh anggota keluarganya.

Teks hadits menggunakan istilah ahlul bait. Istilah ahlul bait mencakup tiga unsur, yakni:

Pertama, al-qarabah (unsur hubungan kekerabatan);

Kedua, al-musakanah (unsur tempat tinggal dalam satu atap)

Ketiga, al-infaq ‘alaih (unsur tanggungan nafkah)

Jadi, orang-orang yang termasuk dalam kategori ahlul bait antara lain istri, anak, kerabat yang tinggal satu atap yang nafkahnya ditanggung oleh kepala keluarga, atau juga bekerja sama dalam urusan nafkah dan makan minum bersama. (At-Taj wa al-Iklil Syarh Mukhtashar al-Khalil, Abu Abdillah al-Gharnati al-Maliki, 4/365)

Lalu, apa maksud dari satu kambing qurban dapat berlaku untuk satu orang dan anggota keluarganya?

Maksudnya adalah pemberlakuan dalam hal pahala. Jika seseorang berqurban dengan satu kambing, lalu ia meniatkan harapan pahala qurban itu untuk dirinya dan ahlul baitnya, maka qurban tersebut tetap sah.

Terkait keikutsertaan ahlul bait dalam keabsahan qurban seekor kambing ini, syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin memiliki rumusan yang cukup sistematis.

Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, keikutsertaan atau dalam Bahasa lain: patungan (al-Isytirak) dalam binatang qurban terbagi menjadi dua.

Pertama, al-Isytirak fi ats-Tsawab

Pemilik binatang qurbannya satu orang, lalu mengikutsertakan orang lain dalam hal harapan pahalanya. Ini boleh. Sembelihan tersebut tetap sah sebagai ibadah qurban.

Kedua, al-Isytirak fi al-Milki

Beberapa orang berstatus sebagai pemilik seekor binatang qurban. Maka ini tidak sah sembelihannya sebagai ibadah qurban kecuali pada binatang sapi dan unta. Sebab, qurban atau udhiyah adalah suatu ibadah mendekatkan diri kepada Allah yang tidak boleh dilakukan dan tidak akan bernilai ibadah kecuali dengan mengikuti tuntunan syariat dalam hal waktu, jumlah, dan tata cara. (Ahkam al-Udhhiyyah wa adz-Dzakah, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, 26-27)

Sebuah Pendapat: Boleh Iuran Qurban Kambing

Ada sebagian kalangan yang membolehkan iuran qurban kambing, sehingga ini dijadikan acuan pembenaran dalam praktek iuran siswa di sekolah untuk qurban.

Kalangan yang membolehkan ini menggunakan hadits Abu al-Asyad as-Sulami yang terdapat dalam kitab Musnad Imam Ahmad. Tepatnya hadits nomor 15494.

Berikut teks hadits tersebut.

Dari Abu al-Asyad as-Sulami, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata,

كُنْتُ سَابِعَ سَبْعَةٍ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ: فَأَمَرَنَا نَجْمَعُ لِكُلِّ رَجُلٍ مِنَّا دِرْهَمًا، ‌فَاشْتَرَيْنَا ‌أُضْحِيَّةً بِسَبْعَةِ الدَّرَاهِمِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، لَقَدْ أَغْلَيْنَا بِهَا؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أَفْضَلَ الضَّحَايَا أَغْلَاهَا، وَأَسْمَنُهَا، وَأَمَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رَجُلٌ بِرِجْلٍ، وَرَجُلٌ بِرِجْلٍ، وَرَجُلٌ بِيَدٍ، وَرَجُلٌ بِيَدٍ وَرَجُلٌ بِقَرْنٍ، وَرَجُلٌ بِقَرْنٍ، وَذَبَحَهَا السَّابِعُ، وَكَبَّرْنَا عَلَيْهَا جَمِيعًا

Saya adalah satu dari tujuh orang yang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. (Abu al-Asyad) berkata, ‘Rasulullah menyuruh kami untuk mengumpulkan satu dirham setiap orang, lalu kami membeli hewan qurban dengan tujuh dirham tersebut.”

Kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, sungguh kami merasa hewan qurban itu terlalu mahal.’”

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda, ‘Sebaik-baik hewan Qurban adalah yang paling mahal dan paling gemuk.’”

Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh seorang untuk memegang kakinya, seorang lagi memegang kakinya yang lain. Seorang lagi memegang kakinya yang lain, seorang lagi memegang kakinya yang lain, seorang untuk memegang tanduknya dan seorang lagi memegang tanduknya yang lain. Orang ketujuh agar menyembelihnya. Kami pun bertakbir semua.” (HR. Ahmad No. 15494)

Muhaqqiq kitab Musnad Imam Ahmad, cet. Muasasah ar-Risalah, menilai sanad hadits tersebut dhaif.

Kenapa sampai ada yang berpandangan hadits ini menjadi dalil bolehnya iuran qurban kambing?

Letak masalahnya adalah pada kata udhiyah pada teks hadits di atas.

Kalangan yang berpandangan bolehnya iuran qurban kambing menerjemahkan kata udhiyah dengan kambing. Padahal, secara arti etimologi udhiyah adalah kata umum yang berarti binatang qurban, belum spesifik pada jenis hewan tertentu.

Kata udhiyah pada teks hadits di atas dapat diketahui maksud spesifiknya dengan melihat keseluruhan teks hadits untuk mencari indikator yang membawa pada maksud lebih spesifik. Atau, dengan melihat hadits lain sehingga dapat ditarik benang merah maksud spesifiknya.

Ahmad bin Abdurrahman bin Muhammad al-Bana yang terkenal dengan nama as-Sa’ati, penulis kitab syarh Musnad Imam Ahmad yang berjudul Al-Fath ar-Rabbani li Tartib Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani (13/86), menjelaskan,

“Lebih jelasnya, binatang qurban yang dimaksud pada hadits tersebut adalah sapi (al-Baqarah). Karena—jika saja yang dimaksud adalah kambing, tentu tidak mungkin—kambing tidak bisa berlaku (sebagai qurban) untuk tujuh orang. Sementara, unta adalah binatang yang tidak memiliki tanduk. Dan sapi adalah binatang yang berlaku sebagai qurban untuk tujuh orang. Sehingga, dapat dipastikan maksud binatang qurban pada hadits tersebut adalah sapi. Wallahu a’lam.”

Kemudian, ditambah lagi banyak sekali hadits yang menunjukkan bahwa hanya sapi dan unta saja yang berlaku sebagai qurban untuk tujuh orang mudhahy sebagaimana telah disebutkan di awal tulisan ini.

Satu-satunya ulama—wallahu a’lam jika ada lainnya—yang menafsirkan teks udhiyah pada hadits tersebut dengan kambing adalah Ibnul Qayyim al-Jauziyah rahimahullah.

Beliau menjelaskan,

نَزَلَ هَؤُلَاءِ النَّفَرُ مَنْزِلَةَ أَهْلِ الْبَيْتِ الْوَاحِدِ فِي إجْزَاءِ الشَّاةِ عَنْهُمْ؛ لِأَنَّهُمْ كَانُوا رُفْقَةً وَاحِدَةً

“Mereka—para sahabat nabi yang dimaksud dalam hadits—berposisi sebagai ahlul bait Nabi dalam hal pemberlakuan qurban kambing dari mereka, karena mereka berada dalam satu persahabatan yang sangat dekat.” (I’lam al-Muwaqi’in ‘an Rabbi al-‘Alamin, Ibnul Qayyim al-Jauziyah, 4/233)

Namun, syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berpandangan bahwa penjelasan Ibnul Qayyim tersebut agak aneh mengingat ahlu bait sekalipun tetap tidak berlaku patungan dalam hal kepemilikan kambing qurban.

Lebih lanjut, syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin menjelaskan bahwa hadits yang menyebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berqurban seekor kambing dari diri beliau dan dari ahli bait beliau, sejatinya kepemilikan kambingnya adalah milik beliau, bukan patungan dengan ahli bait beliau. Artinya, dalam konteks ini yang berlaku adalah patungan dalam pahala, bukan dalam kepemilikan kambing qurban. (Ahkam al-Udhhiyyah wa adz-Dzakah, Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, 29)

Lalu, bagaimana dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di mana beliau menyembelih dua domba, satu atas nama beliau, dan satu lagi atas nama umat beliau yang belum berqurban?

Jawabannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan itu dalam rangka mengharap pahalanya; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ingin pahala udhiyah domba satunya ia peruntukkan bagi umatnya, bukan dalam rangka mengatasnamakan qurban dan menggugurkan ibadah qurban pada umatnya. (Bada-i’ ash-Shana-i’, Abu Bakar bin Ahmad al-Kasani al-Hanafi, 5/70)

Pernyataan Ulama Fikih Tentang Patungan Pembelian Kambing Qurban

Berikut ini penulis nukilkan beberapa pernyataan ulama ahli fikih terkait patungan qurban kambing.

Imam Abu Ja’far ath-Thahawi al-Hanafi rahimahullah berkata,

وَلَا ‌تُجْزِئُ ‌الشَّاةُ إِلَّا عَنْ وَاحِدٍ

Satu kambing tidak berlaku sebagai qurban kecuali hanya untuk satu orang saja.” (Syar Mukhtashar ath-Thahawi, Imam al-Jashshash al-Hanafi, 7/327)

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata,

تُجْزِئُ الشَّاةُ عَنْ وَاحِدٍ ‌وَلَا ‌تُجْزِئُ ‌عَنْ ‌أَكْثَرَ مِنْ وَاحِدٍ لَكِنْ إذَا ضَحَّى بِهَا وَاحِدٌ مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ تَأَدَّى الشِّعَارُ فِي حَقِّ جَمِيعِهِمْ

Satu kambing hanya berlaku sebagai qurban dari satu orang saja, tidak berlaku untuk lebih dari satu orang. Akan tetapi satu orang yang berqurban dengan satu kambing, maka itu telah mencakup penyelenggaraan qurban untuk ahli baitnya.” (Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Imam an-Nawawi, 8/397)

Imam Malik bin Anas rahimahullah pernah berkata,

لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ أَنْ يُضَحِيَ بِالضَّحِيَّةِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْيَتِيْمِ فِيْ حُجْرِهِ

Seseorang tidak boleh berqurban dengan binatang qurban atas kerja sama antara dirinya dengan seorang yatim yang tinggal bersamanya.”

Muhammad bin Rusyd al-Maliki menjelaskan perkataan imam Malik di atas,

يُرِيْدُ أَنَّهُ لَا يَجْعَلُ بَعْضَ ثَمَنِهَا مِنْ مَالِهِ وَبَعْضَهُ مِنْ مَالِ يَتِيْمِهِ فَيُشَارِكُهُ فِيْهَا، وَلَا يُدْخِلُهُ أَيْضًا فِي أُضْحِيَّتِهِ، وَإِنِ اشْتَرَاهَا مِنْ مَالِهِ

Maksud beliau, binatang qurban tersebut tidak boleh dibeli dengan menggabungkan harta miliknya dan harta milik orang yatim dalam asuhannya, juga tidak boleh memasukkan orang yatim tersebut dalam udhiyah tersebut meskipun binatang qurbannya ia beli dengan hartanya sendiri.” (Al-Bayan wa at-Tahshil, Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthubi, 3/335)

Abdullah bin Ahmad ath-Thayyar al-Hanbali menjelaskan,

اَلْاِشْتِرَاكُ فِي الثَّوَابِ لَا حَدَّ لَهُ، وَهُوَ جَائِزٌ كَأَنْ يُضَحِّيَ عَنْ نَفْسِهِ وَمَنْ شَاءَ مِنْ أَقَارِبِهِ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتاً، وَأَمَّا الْاِشْتِرَاكُ فِي الْمِلْكِ فَلَا يَجُوْزُ كَأَنْ يَشْتَرِكَ شَخْصَانِ بِأُضْحِيَّةٍ مِنَ الْغَنَمِ عَنْ نَفْسِيْهِمَا وَأَهْلِيْهِمَا، قَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ لِأَنَّ الْأُضْحِيَّةَ عِبَادَةٌ وَالْعِبَادَةُ لَا بُدَّ أَنْ تَقَعَ عَلَى وَجْهِهَا الشَّرْعِي وَقْتاً وَعَدَداً وَكَيْفِيَّةً

Keikutsertaan dalam pahala itu tidak memiliki batasan. Keikutsertaan ini dibolehkan, seperti seseorang yang berqurban dari dirinya dan kerabatnya yang masih hidup atau pun yang sudah meninggal. Sebaliknya, keikutsertaan dalam kepemilikan itu tidak dibolehkan, seperti keikutsertaan dua orang dalam kepemilikan satu kambing qurban dari diri mereka masing-masing dan anggota keluarganya. Para ahli ilmu menyatakan, karena qurban atau udhiyah adalah sebuah ibadah, dan ibadah itu pelaksanaannya harus sesuai dengan syar’i secara ketentuan waktu, jumlah, ataupun cara. ” (Wabal al-Ghamamah fi Syarh Umdah al-Fiqh li Ibni Qudamah, Abdullah bin Ahmad ath-Thayar, 3/184)

Fatwa Tentang Hukum Patungan Qurban

Berikut ini penulis cantumkan beberapa fatwa lembaga fatwa tentang hukum patungan qurban.

Fatwa Darul Ifta’ Oman

Lembaga fatwa negara Oman, Darul Ifta’ al-Urdun, pernah menerima pertanyaan hukum ikut serta atau patungan dalam pembelian binatang qurban.

Darul Ifta’ menjelaskan bahwa jika binatang qurban itu adalah kambing, maka tidak boleh, kecuali jika untuk diri sendiri dan ahlul bait yang ia nafkahi.

Adapun jika binatang qurban berupa sapi atau unta, boleh patungan tujuh orang untuk satu sapi atau unta.

Dewan fatwa ini menukil pernyataan dan kitab Mughni al-Muhtaj karya al-Khathib asy-Syirbini,

“Onta dan sapi masing-masing cukup untuk tujuh orang; sebagaimana hadits riwayat Muslim dan Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

‘Kami pergi berhaji bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau memerintahkan kami patungan pada unta dan sapi, setiap tujuh orang satu hewan.’

Dalam riwayat Jabir juga,

‘Kami menyembelih kurban bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada tahun Hudaibiyyah satu ekor onta untuk bertujuh, dan satu ekor sapi untuk bertujuh.’

Dengan demikian, menurut lembaga fatwa ini, tidak boleh ikut melakukan patungan qurban untuk binatang kambing. Solusinya, berpartisipasi dengan sebagian harta, tetapi akadnya adalah hibah membantu orang yang hendak kurban, bukan akad patungan qurban. Sehingga dia mendapatkan pahala hibah, adapun pahalanya dari Allah.

Teks lengkap fatwa tersebut dapat dibaca DI SINI.

Fatwa Darul Ifta’ Mesir

Darul Ifta’ Mesir juga pernah menjawab pertanyaan tentang hukum patungan qurban.

Lembaga fatwa ini menyatakan patungan qurban boleh dengan dua syarat.

Syarat pertama, binatang qurban dari jenis unta dan sapi. Tidak boleh patungan qurban pada seekor kambing.

Syarat kedua, seekor unta berlaku untuk tujuh orang mudhahy dan seekor sapi juga berlaku untuk tujuh orang mudhahy.

Fatwa lembaga ifta’ Mesir ini selengkapnya dapat dibaca DI SINI.

Fatwa Lembaga Urusan Keislaman dan Wakaf UEA

Lembaga urusan keislaman dan wakaf atau al-Hai-ah al-‘Ammah li Syu-un al-Islamiyah wa al-Awqaf negara Uni Emirat Arab mengeluarkan fatwa nomor 122340 tentang hukum patungan qurban.

Dalam fatwa tersebut dijelaskan bahwa syarat bolehnya patungan qurban ada tiga.

Pertama, peserta patungan merupakan kerabat dekat, seperti anak, saudara kandung, anak paman, dan istri;

Kedua, nafkah peserta patungan berada dalam tanggungannya;

Ketiga, peserta patungan tinggal satu atap.

Fatwa lembaga ini selengkapnya dapat dibaca DI SINI.

Apakah Sah Udhiyah Kambing Hasil Iuran Siswa Sekolah?

Dalam konteks iuran siswa di sekolah, berarti pembelian binatang qurban menggunakan dana hasil iuran siswa.

Maka, berdasarkan hasil kajian di atas, binatang qurban yang pembeliannya menggunakan dana iuran siswa tidak sah sebagai binatang qurban atau udhiyah dengan alasan berikut.

Pertama, binatang qurban dianggap sah sebagai qurban atau udhiyah jika jumlahnya memenuhi syarat. Berdasarkan dalil yang ada, para ulama empat mazhab sepakat bahwa satu kambing berlaku sebagai udhiyah untuk satu orang atau satu orang dan anggota keluarganya (ahlul bait).

Kedua, yang disebut anggota keluarga (ahlul bait) adalah istri, anak, kerabat yang tinggal satu atap, termasuk orang-orang yang berada dalam tanggungan nafkah, juga orang yang bekerja sama dalam urusan nafkah dan makan minum bersama.

Ketiga, siswa satu dengan siswa yang lain bukan termasuk dalam satu keluarga menurut perspektif fikih Islam, sehingga iuran mereka tidak memenuhi kriteria qurban atau udhiyah. Wallahu a’lam.

Jika Tidak Sah, Apakah Sembelihannya Tidak Boleh Dimakan?

Tidak sahnya iuran kambing qurban berimplikasi pada status akadnya. Akad akan memengaruhi niat ketika menyembelih binatang qurban. Dan niat akan mempengaruhi status amalan dan pahala amalan tersebut.

Baca juga: Doa Menyembelih Kurban (Udhiyyah) yang Sesuai Sunnah

Kambing tersebut tidak sah sebagai qurban atu udhiyah. Statusnya berubah menjadi sembelihan biasa. Peserta yang iuran mendapatkan pahala hibah. Jika dagingnya dibagikan kepada orang lain, maka itu bernilai sedekah.

Sembelihan tersebut tetap sah dan dagingnya pun halal, selama proses sembelihannya sesuai dengan aturan syariat Islam.

Lalu Bagaimana Solusinya?

Untuk mempertahankan kegiatan iuran siswa untuk qurban, sekaligus agar status binatang yang akan disembelih tetap sah sebagai binatang qurban, ada solusi yang perlu dipahami oleh kalangan guru pendidik.

Caranya dengan mengubah akad. Akad yang semula akad iuran qurban, diubah menjadi akad hibah untuk membeli binatang qurban, bisa dihibahkan kepada wali kelas, kepala sekolah, atau siapa pun, sehingga binatang qurban tersebut secara kepemilikan, sah menjadi miliknya. Setelah itu baru diniatkan untuk qurban.

Dengan begitu, para siswa mendapat pahala hibah, sembelihan tetap berstatus sebagai qurban, dan proses edukasi tetap berjalan. Wallahu a’lam. (Sodiq Fajar/dakwah.id)

Artikel Fikih terbaru:

Topik Terkait

Sodiq Fajar

Bibliofil. Pemred dakwah.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *