Daftar Isi
Pada serial sebelumnya, dakwah.id telah mengupas Waktu-waktu Terlarang Mendirikan Shalat. Kali ini, pembahasan serial Ngaji Fikih selanjutnya adalah Shalat Seperti Apakah yang Dilarang pada Waktu Tahrim?
Untuk membaca serial Ngaji Fikih secara lengkap, silakan klik tautan berikut:
Mazhab Syafi’i menyebutkan lima waktu tahrim, waktu-waktu terlarang mendirikan shalat. Lantas, apakah semua shalat tidak boleh dikerjakan pada waktu tersebut? Atau hanya shalat-shalat tertentu saja?
Kaidah umumnya, shalat wajib sah dilakukan sekalipun di akhir waktunya. Seperti melakukan shalat Asar di akhir waktu menjelang tiba waktu shalat Magrib.
Sehingga shalat Asar tersebut dilakukan pada waktu tahrim, yaitu waktu munculnya cahaya kuning di langit tanda bahwa matahari akan tenggelam. Begitu tenggelam maka tibalah waktu shalat Magrib.
Jika hal seperti ini dilakukan karena uzur mempersiapkan segala kesibukan shalat maka tidak menjadi masalah, namun jika dilakukan karena kesengajaan maka dapat menjerat seseorang dalam sifat orang munafik dan bahkan dalam perkara dosa besar.
Waktu terlarang shalat di atas tidak berlaku pada shalat fardhu, baik yang ada’ maupun yang qadha’. Waktu terlarang di atas berlaku pada beberapa jenis shalat sunah saja.
Shalat yang Dilarang pada Waktu Tahrim
Setidaknya ada dua jenis shalat sunah yang dilarang dilakukan pada waktu tahrim. Pertama, shalat sunah yang tidak memiliki sebab. Kedua, shalat sunah yang memiliki sebab namun bisa ditunda pengerjaannya.
Pertama: shalat sunah yang tidak memiliki sebab
Shalat yang tidak memiliki sebab adalah shalat nafilah mutlak. Seseorang boleh melakukan shalat nafilah mutlak tanpa harus ada sebab waktu maupun kesempatan apa pun.
Shalat Dhuha, tidak disebut dengan shalat mutlak. Karena shalat Dhuha hanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Shalat Istikharah tidak disebut dengan shalat mutlak, karena dikerjakan ketika ada sebab-sebab tertentu.
Para sahabat Nabi memiliki kebiasaan mendirikan shalat nafilah mutlak, shalat yang tidak memiliki sebab tertentu. Dua rakaat, empat rakaat, atau lebih daripada itu. Shalat inilah, shalat yang haram dikerjakan pada lima waktu di atas.
Kedua: shalat sunah yang memiliki sebab dan bisa ditunda
Termasuk yang dilarang adalah shalat sunah yang memiliki sebab namun bisa ditunda pengerjaannya.
Shalat ini memiliki waktu longgar, tidak terburu-buru. Sekiranya seseorang menundanya sampai waktu tahrim habis maka tidak menjadi masalah.
Contohnyashalat istikharah, dua rakaat sebelum melakukan ihram, shalat hajat, shalat taubat, shalat ketika keluar dari rumah, dan lain sebagainya.
Tidak akan menjadi masalah apabila seseorang menunda shalat istikharahnya, atau shalat hajatnya, atau shalat taubatnya, hingga waktu tahrim di atas berlalu.
Oleh sebab itulah, shalat nafilah yang memiliki sebab namun bisa ditunda termasuk shalat yang tidak boleh dikerjakan pada waktu-waktu terlarang.
Shalat Sunah yang Memiliki Sebab, Namun Tidak Bisa Ditunda
Lantas, shalat sunah apa saja yang memiliki sebab namun tidak bisa ditunda? Dan bagaimana hukumnya?
Adapun shalat sunah yang memiliki sebab dan tidak bisa ditunda maka boleh dikerjakan pada waktu-waktu tahrim yang telah disebutkan pada artikel sebelumnya.
Contohnya shalat tahiyat masjid, shalat gerhana bulan dan matahari, shalat istisqa’, shalat nazar, dua rakaat setelah wudu, dua rakaat sebelum tawaf, sujud tilawah, sujud syukur, shalat nafilah yang tertinggal, dan termasuk yang boleh dikerjakan pada waktu tahrim adalah shalat fardhu yang tertinggal.
Boleh mengerjakan shalat-shalat di atas meskipun bertepatan dengan waktu-waktu terlarang.
Khutbah Jumat Singkat: Waktu dan Kesempatan Jangan Disia-siakan
Dengan catatan, tidak boleh berniat atau menyengaja akan mendirikan shalat di waktu-waktu yang terlarang. Jika hal demikian dilakukan maka hukumnya berubah menjadi haram.
Seseorang cukup berniat akan mendirikan shalat seperti biasa, tidak perlu ditambahi dengan berniat mendirikan shalat di waktu-waktu terlarang. Wallahu a’lam. (Arif Hidayat/dakwah.id)
Disarikan dari kitab: Al-Bayan wa at-Ta’arif bi Ma’ani wa Masaili al-Ahkam al-Mukhtashar al-Lathif, Ahmad Yusuf an-Nishf, hal. 178—179, Dar adh-Dhiya’, cet. 2/2014.
Baca juga artikel Serial Ngaji Fikih atau artikel menarik lainnya karya Arif Hidayat.
Penulis: Arif Hidayat
Editor: Ahmad Robith
Artikel Ngaji Fikih Terbaru: