Rasulullah Tidak Menghapus Gambar Nabi Isa dan Maryam dari dalam Kakbah dakwah.id

Rasulullah Tidak Menghapus Gambar Nabi Isa dan Maryam dari dalam Kakbah?

Terakhir diperbarui pada · 8,463 views

Dakwaan bahwa Rasulullah tidak menghapus gambar nabi Isa dan Maryam dari dalam Kakbah pernah disampaikan oleh seorang dai–semoga Allah subhanahu wataala memberi hidayah kepadanya agar bertobat—dalam sebuah ceramah, lalu viral, dan akhirnya menjadi kontroversial di tengah umat Islam.

Tentu yang paling merasa senang dengan dakwaan ini adalah para orientalis Kristen dan kalangan mana saja yang memihak kepada mereka. Walaupun sebenarnya, dai tersebut menyampaikan dakwaan hoaksnya atas dasar motif yang sudah basi bernama “toleransi”, bukan untuk mendukung keyakinan kaum Kristen.

Keberadaan gambar Nabi Isa dan ibu beliau (Maryam) ‘alaihimassalam dalam Kakbah sebelum Makkah dibebaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallahu anhum bukanlah hal yang aneh.

Jangankan gambar Nabi Isa dan ibunya, bahkan gambar Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, Nabi Ismail ‘alaihissalam, dan berbagai patung berhala yang kebanyakannya adalah patung orang-orang saleh zaman dahulu sudah menjadi simbol dan syiar kaum musyrik jahiliah di Makkah pada saat itu.

Maka tidak aneh jika ada gambar Nabi Isa dan ibunya ‘alaihimassalam di dalam Kakbah melihat sebagian kabilah Arab ada juga yang memeluk agama Kristen, seperti Arab Najran meski riwayat ini perlu ditinjau ulang.

Allah subhanahu wataala pun berkehendak membebaskan Makkah dari kekufuran dan kemusyrikan. Melalui tangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat radhiyallahu anhum, semua sesembahan kaum pagan dihancurkan dan dihapuskan dari Kakbah dan sekitarnya.

Jika mau sedikit menggunakan akal sehat, maka hal ini merupakan celaan kepada Nabi Isa dan Maryam ‘alaihimassalam.

Sebab, bagaimana bisa gambar beliau dan ibunya yang dianggap suci malah disejajarkan dan didampingkan dengan gambar dan patung-patung berhala milik kaum musyrik jahiliah?! Ataukah mereka mengakui secara tersirat bahwa keyakinan mereka juga sama seperti keyakinan kaum pagan tersebut?

Ini pun dengan asumsi bahwa Isa ‘alaihissalam adalah Yesus itu sendiri. Sebab, sebagian mereka ada yang mengatakan bahwa Nabi Isa ‘alaihissalam dengan Yesus adalah orang yang berbeda.

Permasalahannya bukan di sini. Persoalannya adalah tuduhan bahwa Rasulullah tidak mau menghapus gambar Nabi Isa dan Maryam dari dalam Kakbah.

Seolah-olah Rasulullah rela gambar Nabi Isa dan Maryam ‘alaihimassalam dipertahankan di dalam Kakbah.

Bagi kaum orientalis hal itu merupakan bentuk pengakuan tersirat dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam akan ketuhanan Nabi Isa dan Maryam ‘alaihimassalam sehingga beliau mengistimewakannya di tanah paling suci serta kiblat umat Islam.

Bagi kaum munafik hal itu merupakan bentuk toleransi Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada umat Nasrani sehingga simbol tersakral umat Kristen pun diizinkan berada di tanah suci seluruh umat Islam.

Terlepas bagaimana cara pandang kedua kelompok itu, tuduhan dan klaim itu adalah hoaks dan hanya igauan para pengigau saja.

Apa yang Rasulullah Lakukan Terhadap Kakbah?

Sejatinya tuduhan itu sudah patah dan jatuh karena bertentangan dengan hadits yang jelas-jelas shahih tanpa diragukan lagi keshahihannya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengingkari dengan tegas keberadaan gambar atau lukisan manusia di dalam Kakbah. Imam al-Bukhari rahimahullah mengatakan,

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ، قَالَ: حَدَّثَنِي ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عَمْرٌو، أَنَّ بُكَيْرًا، حَدَّثَهُ عَنْ كُرَيْبٍ، مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ البَيْتَ، فَوَجَدَ فِيهِ صُورَةَ إِبْرَاهِيمَ، وَصُورَةَ مَرْيَمَ، فَقَالَ أَمَا لَهُمْ، فَقَدْ سَمِعُوا أَنَّ المَلاَئِكَةَ لاَ تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ، هَذَا إِبْرَاهِيمُ مُصَوَّرٌ، فَمَا لَهُ يَسْتَقْسِمُ

Yahya bin Sulaiman menceritakan kepada kami. Ia berkata, Ibnu Wahb menceritakan kepadaku. Ia berkata, Amru (bin al-Harits) mengabarkanku bahwa Bukair menceritakan kepadanya dari Kuraib maula Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma. Ia berkata, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah memasuki Baitullah (Kakbah).

Beliau pun menemukan adanya lukisan Ibrahim alaihissalam dan lukisan Maryam alaihassalam di dalamnya. Beliau pun bersabda,

Mengapa dengan mereka, padahal mereka telah mendengar bahwa para malaikat tidak akan memasuki rumah yang terdapat lukisan di dalamnya?! Ini justru Ibrahim dijadikan sebagai lukisan (dengan memegang busur panah), padahal ia tidak pernah mengundi nasib (dengan anak panah).”(HR. Al-Bukhari No. 3351)

Hadits ini bertentangan dengan tuduhan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membiarkan adanya gambar Nabi Isa dan Maryam ‘alaihimassalam.

Artikel Fikih: Hukum Menggambar Manusia Tanpa Menampakkan Wajah

Bagaimana mungkin Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membiarkan, padahal beliau secara tegas dalam banyak sabdanya melarang adanya lukisan makhluk hidup dan patung-patung?!

Ini semakin dikuatkan dengan perintah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada Umar bin al-Khatthab radhiyallahu anhu agar menghapus seluruh lukisan di dalam Kakbah.

Imam Abu Dawud rahimahullah menceritakan,

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ الصَّبَّاحِ، أَنَّ إِسْمَاعِيلَ بْنَ عَبْدِ الْكَرِيمِ، حَدَّثَهُمْ، قَالَ: حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ يَعْنِي ابْنَ عَقِيلٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ وَهْبِ بْنِ مُنَبِّهٍ، عَنْ جَابِرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ زَمَنَ الْفَتْحِ وَهُوَ بِالْبَطْحَاءِ أَنْ يَأْتِيَ الْكَعْبَةَ، فَيَمْحُوَ كُلَّ صُورَةٍ فِيهَا، فَلَمْ يَدْخُلْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى مُحِيَتْ كُلَّ صُورَةٍ فِيهَا

Al-Hasan bin ash-Shabbah menceritakan kepada kami bahwa Ismail bin Abdul Karim menceritakan kepada mereka. Ia berkata, Ibrahim yakni Ibnu Aqil menceritakan kepadaku, dari ayahnya, dari Wahb bin Munabbih, dari Jabir,

Nabi shallallahu alaihi wasallam memerintahkan Umar bin al-Khatthab radhiyallahu anhu pada saat Fathu (Makkah) ketika Umar masih di wilayah gurun pasir untuk mendatangi Kakbah. Umar pun menghapus seluruh gambar di dalam Kakbah.

Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak memasuki Kakbah sampai seluruh gambar di dalamnya dihapuskan semuanya.” (HR. Abu Dawud No. 4156)

Hadits ini dengan tegas menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak mau masuk ke dalam Kakbah sampai seluruh lukisan di dalamnya dihapuskan. Ini semakin dikuatkan oleh riwayat dari Imam al-Bukhari rahimahullah,

حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الوَارِثِ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ أَبَى أَنْ يَدْخُلَ البَيْتَ وَفِيهِ الآلِهَةُ، فَأَمَرَ بِهَا فَأُخْرِجَتْ، فَأَخْرَجُوا صُورَةَ إِبْرَاهِيمَ، وَإِسْمَاعِيلَ فِي أَيْدِيهِمَا الأَزْلاَمُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَاتَلَهُمُ اللَّهُ، أَمَا وَاللَّهِ لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّهُمَا لَمْ يَسْتَقْسِمَا بِهَا قَطُّ». فَدَخَلَ البَيْتَ، فَكَبَّرَ فِي نَوَاحِيهِ، وَلَمْ يُصَلِّ فِيهِ

Abu Mamar menceritakan kepada kami, Abdul Waris menceritakan kepada kami, Ayyub (as-Sikhtiyani) menceritakan kepada kami, Ikrimah menceritakan kepada kami, dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma. Ia mengatakan,

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tatkala tiba (di Makkah), beliau menolak untuk memasuki Kakbah karena adanya gambar berhala-berhala di dalamnya. Nabi pun memerintahkan agar gambar-gambar itu dikeluarkan. Para sahabat pun mengeluarkan gambar Ibrahim dan Ismail dalam keadaan busur panah (untuk mengundi) ada di tangan keduanya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

Semoga Allah membinasakan mereka (kaum musyrik). Demi Allah, sungguh mereka tahu bahwa keduanya (Ibrahim dan Ismail) tidak mengundi dengan anak panas sedikit pun.”

Beliau lalu memasuki Kakbah, bertakbir di setiap sudut-sudutnya, dan tidak shalat di dalamnya.” (HR. Al-Bukhari No. 1601)

Sekilas terdapat kontradiksi antara hadits Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu ini dengan hadits sebelumnya. Padahal yang meriwayatkan sama-sama Ibnu Abbas radhiyallahu anhu dan sama-sama berasal dari riwayat Imam al-Bukhari rahimahullah.

Sebab, pada riwayat sebelumnya disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam masuk ke dalam Kakbah dan menemukan gambar Nabi Ibrahim dan Maryam ‘alaihimassalam.

Artikel Tadabur: Maryam, Perempuan Suci Penjaga Baitul Maqdis

Sedangkan pada hadits ini disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam enggan memasuki Kakbah karena ada gambar-gambar berhala di dalamnya. Dan baru memasuki Kakbah setelah seluruh gambar-gambar tersebut dikeluarkan.

Padahal sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang terdapat di kedua hadits tersebut mirip dan identik memiliki substansi yang sama. Bedanya, pada hadits sebelumnya Nabi shallallahu alaihi wasallam melihat gambar Ibrahim dan Maryam ‘alaihimassalam, sedangkan pada hadits ini beliau melihat gambar Ibrahim dan Ismail ‘alaihimassalam.

Kontradiksinya adalah: apakah Nabi memasuki Kakbah setelah seluruh gambar di dalamnya dihapuskan atau beliau masuk ke dalam Kakbah dalam keadaan gambar-gambar itu masih ada di dalam Kakbah?

Di sinilah perlunya menelaah sanad dengan menggunakan standar ilmu hadits untuk memecahkan kontradiksi yang terdapat dalam sebuah riwayat, hatta hadits tersebut shahih dari sisi sanad. Insyaallah, hal ini akan dibahas di akhir tulisan ini.

Terlepas dari adanya sedikit kontradiksi tersebut, tetapi substansinya tetap bertentangan dengan tuduhan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam membiarkan gambar Nabi Isa dan Maryam ‘alaihimassalam di dalam Kakbah.

Sebab, Nabi shallallahu alaihi wasallam dengan tegas mengingkari hal tersebut melalui sabda beliau,

Mengapa dengan mereka, padahal mereka telah mendengar bahwa para malaikat tidak akan memasuki rumah yang terdapat lukisan di dalamnya?!”

Tidak hanya itu, Nabi shallallahu alaihi wasallam sendiri mengingkari keberadaan simbol agama lain meski tidak berbentuk sebuah gambar bernyawa yang disembah.

Aisyah radhiyallahu anha mengatakan,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ يَتْرُكُ فِي بَيْتِهِ شَيْئًا فِيهِ تَصَالِيبُ إِلَّا نَقَضَهُ

Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak meninggalkan apa pun di rumah beliau yang berbentuk salib, melainkan pasti akan beliau musnahkan.” (HR. Al-Bukhari No. 5952)

Bukan hanya di rumah beliau. Beliau juga memerintahkannya kepada para sahabat yang baru masuk Islam. Sahabat Adi bin Hatim radhiyallahu anhu menceritakan,

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي عُنُقِي صَلِيبٌ مِنْ ذَهَبٍ. فَقَالَ: يَا عَدِيُّ اطْرَحْ عَنْكَ هَذَا الوَثَنَ

Aku pernah menemui Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam keadaan di leherku terdapat sebuah salib dari emas. Beliau pun bersabda,‘Wahai Adi, buanglah berhala ini dari (leher)mu.” (HR. At-Tirmidzi No. 3095)

Aisyah radhiyallahu anha juga melakukan hal yang serupa. Daqrah Ummu Abdurrahman bin Udzainah rahimahullah menceritakan,

كُنَّا نَطُوفُ مَعَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ فَرَأَتْ عَلَى امْرَأَةٍ بُرْدًا فِيهِ تَصْلِيبٌ فَقَالَتْ: اطْرَحِيهِ فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَأَى نَحْوَ هَذَا قَضَبَهُ

Kami dahulu pernah berthawaf bersama Ummul Mukminin. Beliau pun melihat seorang wanita mengenakan sebuah selendang yang ada gambar salibnya. Beliau pun berkata,‘Buanglah selendang itu, karena sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam apabila melihat gambar seperti ini (salib), pasti akan beliau musnahkan.” (HR. Ahmad No. 24567)

Bukan hanya itu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga mencela dan mengutuk sebagian perbuatan kaum Kristen yang gemar menggambar lukisan “orang-orang saleh”.

Aisyah radhiyallahu anha menceritakan,

لَمَّا اشْتَكَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَتْ بَعْضُ نِسَائِهِ كَنِيسَةً رَأَيْنَهَا بِأَرْضِ الحَبَشَةِ يُقَالُ لَهَا: مَارِيَةُ، وَكَانَتْ أُمُّ سَلَمَةَ، وَأُمّ حَبِيبَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَتَتَا أَرْضَ الحَبَشَةِ، فَذَكَرَتَا مِنْ حُسْنِهَا وَتَصَاوِيرَ فِيهَا، فَرَفَعَ رَأْسَهُ، فَقَالَ: أُولَئِكِ إِذَا مَاتَ مِنْهُمُ الرَّجُلُ الصَّالِحُ بَنَوْا عَلَى قَبْرِهِ مَسْجِدًا، ثُمَّ صَوَّرُوا فِيهِ تِلْكَ الصُّورَةَ أُولَئِكِ شِرَارُ الخَلْقِ عِنْدَ اللَّهِ

Ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam menderita sakit, sebagian istri-istri beliau menceritakan tentang sebuah gereja yang pernah mereka lihat di tanah Habasyah yang sering disebut dengan “(Gereja) Maria”.

Ummu Salamah dan Ummu Habibah pernah mendatangi negeri Habasyah. Mereka berdua pun mengisahkan tentang keindahan gereja tersebut dan berbagai gambar yang ada di sana.

Nabi shallallahu alaihi wasallam mengangkat kepala beliau dan bersabda,

Merekalah kaum yang apabila orang saleh mereka wafat, mereka pun membangun masjid di kuburannya, lalu menggambar lukisan-lukisan orang saleh tersebut di dalamnya. Merekalah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah.”(HR. Al-Bukhari No. 1341; Muslim No. 528)

Dengan adanya semua riwayat shahih ini, mulai dari larangan Nabi shallallahu alaihi wasallam menggambar makhluk bernyawa dan memerintahkan agar menghapusnya, kebencian beliau terhadap salib dengan menyebutnya sebagai berhala, memerintahkan agar dibuang dan dimusnahkan, hingga celaan beliau kepada orang-orang Nasrani yang menghiasi rumah ibadah mereka dengan gambar orang-orang saleh sebagai “seburuk-buruk makhluk di sisi Allah”, mungkinkah dan masuk akalkah jika Nabi shallallahu alaihi wasallam mengizinkan adanya lukisan makhluk bernyawa, terlebih yang dijadikan sesembahan oleh kaum Nasrani, berada di tanah suci bahkan di dalam Kakbah? Tidak mungkin!

Jangankan mengizinkan, malahan beliau sendiri tidak sudi masuk ke dalam Kakbah sebelum gambar-gambar itu dienyahkan dari Kakbah.

Salib saja yang hanya sekedar simbol—bukan lukisan makhluk bernyawa—beliau perintahkan agar dibuang, apatah lagi lukisan atau gambar yang benar-benar dijadikan sesembahan dan tak ubahnya sebuah berhala?!

Meskipun demikian, berikut ini akan kita pilah satu per satu riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah tidak menghapus gambar nabi Isa dan Maryam dari dalam Kakbah, serta menguak status riwayat tersebut dengan izin Allah subhanahu wataala.

Tentunya kita bongkar mengikuti standar ilmu riwayat yang ditetapkan oleh para ulama.

Alangkah bagusnya ucapan Imam Abdullah bin al-Mubarak rahimahullah,

الْإِسْنَادُ مِنَ الدِّينِ، وَلَوْلَا الْإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَا شَاءَ

Sanad adalah bagian dari agama. Kalau bukan karena sanad, semua orang bebas berbicara (tentang riwayat) semaunya.” (Muqaddimah Shahih Muslim, Muslim bin Hajjaj an-Naisamburi, I/15)

Rasulullah Tidak Menghapus Gambar Nabi Isa dan Maryam dari dalam Kakbah? Sebuah Pengantar

Perlu diketahui, seluruh riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam membiarkan keberadaan gambar atau lukisan nabi Isa dan ibunya ‘alaihimassalam di dalam Kakbah, satu pun tidak terdapat dalam kitab hadits yang muktabar.

Tidak terdapat dalam kitab-kitab sunan dan musnad yang masyhur, dalam Kutubus Sittah, dan dalam kitab-kitab yang biasa dipakai oleh para ulama sebagai hujah.

Riwayat-riwayat itu hanya terdapat dalam kitab-kitab sejarah yang sebagiannya tidak diketahui identitas penulisnya (majhul) dan tentunya bukan kitab-kitab sejarah yang muktabar.

Terkait riwayat dalam referensi-referensi sejarah, ada sebuah rambu-rambu yang digariskan oleh al-Hafizh al-Iraqi kepada para penuntut ilmu dalam bait Alfiyah yang beliau gubah,

ولِيَعْلمِ الطَّالبُ أنَّ السّيَرَا … تَجمَعُ مَا صحَّ وَمَا قدْ أُنْكَرَا

وَالْقَصْدُ ذِكْرُ مَا أَتَى أَهْلُ السّيَرْ … بِهِ، وإنْ إِسْنَادُهُ لَمْ يُعْتَبَر

Hendaknya penutut ilmu tahu bahwa sejarah…. menghimpun riwayat yang shahih dan yang mungkar.

Karena tujuan adalah menyampaikan ucapan pakar sejarah….meski sanadnya tidak muktabar.” (Alfiyah as-Sirah an-Nabawiyah, Abdurrahim bin al-Husain al-Iraqi, 29)

Setiap muslim tidak boleh menelan bulat-bulat seluruh riwayat sejarah, karena banyaknya percampuran riwayat yang shahih dan mungkar di dalamnya.

Sebab, riwayat-riwayat yang fokus pada sejarah umumnya berorientasi untuk menyingkap sejarah dan peristiwa sejarah itu sendiri melalui pandangan para pakar sejarah, sehingga tidak begitu menaruh perhatian pada jalur periwayatan (sanad).

Sebagaimana yang diterangkan oleh al-Allamah al-Munawi rahimahullah ketika mensyarah alfiyah as-Sirah dalam karya beliau al-Ujalah as-Saniyyah (19).

Artinya, riwayat yang terdapat dalam berbagai referensi sejarah tidak bisa dijadikan hujah untuk menentukan hukum fikih, terlebih akidah, kecuali jika benar-benar dipastikan keshahihan riwayatnya. Dan karena itu pula, ucapan para pakar sejarah juga tidak bisa dijadikan sebagai dasar menetapkan hukum dan akidah Islam.

Sehingga tatkala riwayat yang didapati dalam kitab-kitab sirah atau sejarah bertentangan dengan riwayat-riwayat shahih dalam kitab hadits, maka riwayat-riwayat sirah tersebut harus dibuang dan diingkari, kecuali jika dapat dipastikan keshahihannya mengikuti standar kaidah yang berlaku dalam ilmu hadits.

Dari sini saja kita dapat menarik kesimpulan, betapa keliru dan menyimpangnya dai yang menyebutkan bahwa Rasulullah tidak menghapus gambar Nabi Isa dan Maryam dari dalam Kakbah ketika terjadinya peristiwa Fathu Makkah atas nama “toleransi”. Wallahu alam.

Riwayat Pertama

Al-Azraqi rahimahullah mengatakan,

وَحَدَّثَنِي جَدِّي، قَالَ: حَدَّثَنَا دَاوُدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: أَخْبَرَنِي بَعْضُ الْحَجَبَةِ، عَنْ مُسَافِعِ بْنِ شَيْبَةَ بْنِ عُثْمَانَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يَا شَيْبَةُ، امْحُ كُلَّ صُورَةٍ فِيهِ إِلَّا مَا تَحْتَ يَدِي. قَالَ: فَرَفَعَ يَدَهُ عَنْ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَأُمِّهِ

Kakekku menceritakan kepadaku. Ia mengatakan, Dawud bin Abdurrahman menceritakan kepada kami. Ia berkata, sebagian juru kunci Kakbah mengabarkan kepadaku, dari Musafi bin Syaibah bin Utsman, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,

Wahai Syaibah, hapuslah seluruh gambar di dalam baitullah, kecuali yang berada di bawah tanganku ini.’ Beliau pun mengangkat tangan beliau yang menutupi gambar nabi Isa putra Maryam dan ibunya.” (Akhbaru Makkah, Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al-Azraqi, 1/137)

Hadits ini memiliki tiga kecacatan.

Pertama: terputusnya sanad antara Musafi’ bin Syaibah bin Utsman dengan Rasulullah

Musafi’ adalah seorang tabi’in, bukan sahabat Nabi.

Imam Ibnu Sa’ad rahimahullah memasukkannya ke dalam kalangan tabi’in Makkah tingkat kedua yang meriwayatkan hadits dari para sahabat, sebagaimana dalam at-Thabaqat (6/26).

Meskipun ada kemungkinan Musafi’ mendengar riwayat itu dari kakeknya, Syaibah bin Utsman, yang merupakan sahabat Nabi dan ini ia riwayatkan dari kakeknya. Namun di sini ia langsung menukil dari Rasulullah tanpa melalui kakeknya.

Ini menjadi ganjil, karena berbeda versi dengan yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Tarikh beliau,

مُسَافِعُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ شَيْبَةَ بْنِ عُثْمَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا شَيْبَةُ امْحُ كُلَّ صُورَةٍ فِي الْبَيْتِ

Musafi bin Abdullah, dari Syaibah bin Utsman, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,‘Wahai Syaibah, hapuslah seluruh gambar di Baitullah!”(At-Tarikh al-Kabir, Imam al-Bukhari, 8/70)

Dalam versi riwayat al-Bukhari ini tidak ada pengecualian sama sekali dari Rasulullah. Berbeda dengan riwayat al-Azraqi yang mengecualikan gambar Nabi Isa dan Maryam ‘alaihimassalam.

Kedua: ketidakjelasan identitas juru kunci Kakbah yang dimaksud pada sanad

Dawud bin Sulaiman tidak menjelaskan secara spesifik siapa juru kunci tersebut sehingga riwayat ini adalah munqathi’ (keterputusan sanad).

Kecacatan ini terbilang parah karena tidak diketahui siapa perawi yang berada antara Dawud bin Sulaiman dengan Musafi’ bin Syaibah.

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan,

Pendapat yang shahih menurut ahli fikih, al-Khathib, Ibnu Abdill Barr, dan para ulama hadits lainnya: hadits munqathi adalah hadits yang tidak bersambung sanadnya, tidak ada keharusan keterputusan sanad tersebut di bagian mana.” (At-Taqrib wa At-Taysir, Imam An-Nawawi, I/35)

Al-Hafizh as-Sakhawi rahimahullah menukil ucapan Imam al-Jauzajani rahimahullah,

الْمُعْضَلُ أَسْوَأُ حَالًا مِنَ الْمُنْقَطِعِ، وَهُوَ أَسْوَأُ حَالًا مِنَ الْمُرْسَلِ، وَهُوَ لَا تَقُومُ بِهِ حُجَّةٌ

Hadits mudhal lebih buruk keadaannya daripada hadits munqathi’, hadits munqathi lebih buruk keadaannya daripada hadits mursal, dan hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujah.” (Fathul Mughits, Muhammad bin Abdurrahman as-Sakhawi, I/202)

Ketiga: status al-Azraqi

Ketiga adalah status al-Azraqi sendiri selaku periwayat hadits ini dalam kitabnya Akhbaru Makkah. Sebab, tidak ada yang mengetahui keadaan atau status keperawiannya.

Al-Allamah al-Fasi rahimahullah menjelaskan ketika menyebutkan tentang biografi al-Azraqi,

Aku tidak melihat seorang pun ada yang menjelaskan tentang biografinya dan sungguh aku merasa heran akan hal itu.” (Al-Aqd ats-Tsamin,Abu al-Mu’thi Muhammad Nawawi, 2/199)

Ini juga ditegaskan oleh al-Allamah al-Muallimi rahimahullah,

وَلَكِنَّ الْأَزْرَقَيَّ نَفْسَهُ لَمْ يُوَثِّقُهُ أَحَدٌ مِنْ أَئِمَّةِ الْجَرْحِ وَالتَّعْدِيلِ، وَلَمْ يَذْكُرْهُ الْبُخَاَرِيُّ، وَلَا ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، بَلْ قَالَ الْفَاسِي فِي تَرْجَمَتِهِ مِنَ الْعَقْدُ الثَّمِينِ: لَمْ أَرَ مَنْ تَرْجَمَهُ. فَهُوَ عَلَى قَاعِدَةِ أَئِمَّةِ الْحَدِيثِ: مَجْهُولُ الْحَالِ

Namun al-Azraqi sendiri tidak ditsiqahkan oleh seorang ulama pun yang berkapasitas dalam memberikan penilaian negatif (jarh) maupun positif (tadil). Al-Bukhari tidak menyebutnya, demikian juga Ibnu Abi Hatim. Bahkan Alfasi menyebutkan pada biografi tentangnya dalam al-Aqd ats-Tsamin,

Aku belum mendapatkan orang yang menjelaskan tentangnya.’ Maka al-Azraqi termasuk dalam rambu-rambu para imam hadits, yaitu majhul hal.” (Maqam Ibrahim, al-Muallimi, 56)

Maka jadilah kecacatan riwayat ini adalah keganjilan matan, keterputusan sanad, dan kemajhulan perawi. Serta bertentangan dengan hadits yang jauh lebih shahih darinya, yakni hadits-hadits yang telah kita sebutkan di awal tulisan ini.

Walhasil, hadits ini lemah sekali dan munkar matannya. Maka tidak boleh berhujah apatah lagi meyakini kandungannya. Wallahu alam.

Riwayat Kedua

Al-Azraqi rahimahullah berkata,

حَدَّثَنِي جَدِّي قَالَ: حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ خَالِدٍ الزَّنْجِيُّ، عَنِ ابْنِ أَبِي نَجِيحٍ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: جَلَسَ رِجَالٌ مِنْ قُرَيْشٍ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ…فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ فَتْحِ مَكَّةَ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَرْسَلَ الْفَضْلَ بْنَ الْعَبَّاسِ بْنِ الْمُطَّلِبِ، فَجَاءَ بِمَاءِ زَمْزَمَ، ثُمَّ أَمَرَ بِثَوْبٍ، وَأَمَرَ بِطَمْسِ تِلْكَ الصُّوَرِ، فَطُمِسَتْ. قَالَ: وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى صُورَةِ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَأُمِّهِ عَلَيْهِمَا السَّلَامُ، وَقَالَ: امْحُوا جَمِيعَ الصُّوَرِ إِلَّا مَا تَحْتَ يَدَيَّ فَرَفَعَ يَدَيْهِ عَنْ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَأُمِّهِ، وَنَظَرَ إِلَى صُورَةِ إِبْرَاهِيمَ، فَقَالَ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ، جَعَلُوهُ يَسْتَقْسِمُ بِالْأَزْلَامِ، مَا لِإِبْرَاهِيمَ وَلِلْأَزْلَامِ

Kakekku bercerita kepadaku. Ia berkata, Muslim bin Khalid Az-Zanji bercerita kepada kami, dari Ibnu Abi Najih, dari ayahnya. Ia berkata,

Beberapa orang Quraisy di Masjidil Harammaka tatkala pembebasan Makkah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun masuk (ke dalam Kakbah) lalu mengutus al-Fadhl bin al-Abbas bin Abdul Mutthalib untuk mendatangkan air zam-zam.

Kemudian menyuruh agar membawa kain dan menginstruksikan untuk menghapus seluruh gambar itu (di dalam Kakbah), maka dihapuslah seluruh gambar tersebut. Beliau meletakkan kedua tangan beliau di atas gambar nabi Isa putra Maryam dan ibunya alaihimassalam.

Beliau bersabda,

Hapuslah seluruh gambar, kecuali gambar yang ada di bawah kedua tanganku ini!’

Beliau pun mengangkat kedua tangan beliau dari gambar nabi Isa putra Maryam dan ibunya alaihimassalam tersebut. Lalu beliau melihat ke gambar Ibrahim, lantas bersabda,

Semoga Allah membinasakan mereka. Mereka menjadikannya mengundi dengan anak panah, padahal tidak mungkin Ibrahim mengundi dengan anak panah.” (Akhbaru Makkah,Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al-Azraqi, 1/125—130)

Hadits ini kami ringkas agar tidak terlalu panjang dan agar tidak memakan halaman yang banyak.

Pertama: kredibilitas al-Azraqi

Kecacatan hadits ini sudah terlihat jelas, yakni kredibilitas al-Azraqi sendiri sebagaimana yang telah dijelaskan pada riwayat pertama.

Kedua: mayoritas ulama hadits melemahkan Muslim bin Khalid az-Zanji

Imam Ibnu Abi Hatim rahimahullah menukilkan bahwa Muslim bin Khalid dilemahkan oleh Imam Abu Hatim ar-Razi rahimahullah. Bahkan Imam al-Bukhari rahimahullah dan guru beliau Imam Ali al-Madini menuduhnya sebagai munkarul hadits.

Imam Ibnu Abi Hatim mengatakan rahimahullah,

سَأَلْتُ أَبِيْ عَنْ مُسْلِمِ بْنِ خَالِدٍ الزَّنْجِيِّ فَقَالَ: لَيْسَ بِذَاكَ الْقَوِيُّ مُنْكَرُ الْحَدِيْثُ، يُكْتَبُ حَدِيثُهُ وَلَا يُحْتَجُّ بَهِ

Aku menanyai ayahku (Abu Hatim) mengenai Muslim bin Khalid az-Zanji, maka ia menjawab,

Ia itu tidak kuat, Munkarul hadits, dan haditsnya ditulis tetapi tidak boleh berhujah dengannya.” (Al-Jarh wa at-Tadil, Ibnu Abi Hatim, 8/183)

Imam Ibnu Adi rahimahullah mengatakan,

حَدَّثَنَا الْمِرْزَبَانِيُّ، حَدَّثَنِي أَبُو الْعَبَّاسِ الْقُرَشِيِّ، قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيَّ بْنَ الْمَدِينِيِّ يَقُولُ اَلزَّنْجِيُّ بْنُ خَالِدِ مُنْكَرُ الْحَدِيثِ مَا كَتَبْتُ عَنْهُ وَمَا كَتَبْتُ عَنْ رَجُلٍ عَنْهُ

Al-Mirzabani menceritakan kepada kami, Abu al-Abbas al-Qurasyi menceritakan kepadaku. Ia berkata, aku mendengar Ali bin al-Madini mengatakan,

Az-Zanji bin Khalid munkarul hadits. Aku tidak mau menulis riwayat darinya dan tidak mau menulis pula perawi yang meriwayatkan darinya.” (Al-Kamil fi Dhuafai ar-Rijal, Ibnu Adi, 8/7)

Imam al-Bukhari rahimahullah mengatakan,

الزَّنْجِيِّ عَنْ هِشَامَ بْنَ عُرْوَةَ، وَابْنِ جُرَيْجٍ، مُنْكَرُ الْحَدِيثِ

Muslim bin Khalid az-Zanji, dari Hisyam bin Urwah dan Ibnu Juraij, munkarul hadits.” (Ad-Dhuafau as-Shaghir,Imam Al-Bukhari, I/125)

At-Tirmidzi meriwayatkan dari Imam al-Bukhari dalam Tartib al-Ilal al-Kabir (1/191) bahwa Muslim bin Khalid az-Zanji adalah “pelenyap hadits”.

Muslim juga dinilai dhaif oleh Imam an-Nasai rahimahullah dalam ad-Dhuafa wa al-Matrukin (1/97), Imam al-Uqaili rahimahullah dalam ad-Dhuafaul Kabir (4/150).

Al-Hafizh al-Mizzi rahimahullah menukil dalam Tahdzib al-Kamal (27/511) bahwa Imam Abu Dawud rahimahullah juga melemahkannya. Imam Ibnul Jauzi rahimahullah melemahkannya dalam ad-Dhuafa wa al-Matrukin (3/ 117), dan menukil bahwa Imam Abu Zur’ah rahimahullah juga menuduhnya sebagai munkarul hadits.

Dipermasalahkan oleh Imam Ahmad rahimahullah, sebagaimana penukilan anak beliau Imam Abdullah bin Ahmad rahimahullah dalam al-Ilal wa Marifatu ar-Rijal (2/478).

Al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah melemahkannya dalam al-Mughny fi Dhuafai ar-Rijal (2/655) sembari menyebutkan, “Ia jujur, tetapi banyak salah.”

Adz-Dzahabi rahimahullah menukil dalam Mizan al-Itidal (4/102) dari Zakariya as-Saji, “Ia (Muslim) banyak salah.”

Imam Ibnu Sa’ad rahimahullah mengatakan dalam at-Thabaqat (6/42), “Ia (Muslim) banyak haditsnya, namun banyak keliru dan salahnya.”

Al-Hafizh al-Asqalani rahimahullah mengatakan dalam Taqrib at-Tahdzib (1/529),

Ia (Muslim) fakih dan jujur, tetapi banyak salah.”

Imam Ibnu Adi rahimahullah melemahkannya sembari mengatakan dalam al-Kamil fi Dhuafa ar-Rijal (8/11),

Ia (Muslim) baik haditsnya dan aku harap tidak mengapa (riwayatnya dijadikan sebagai penguat).”

Sebab pendhaifan terhadap Muslim disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah,

وَقَالَ يَعْقُوبُ بْنُ سُفْيَانَ سَمِعْتُ مَشَائِخَ مَكَّةَ يَقُولُونَ كَانَ لِمُسْلِمِ بْنِ خَالِدٍ حَلَقَةَ أَيَّامَ بْنِ جُرَيْجٍ وَكَانَ يَطْلُبُ وَيَسْمَعُ وَلَا يَكْتُبُ فَلَمَّا احْتِيجَ إِلَيْهِ وَحَدَّثَ كَانَ يَأْخُذُ سِمَاعُهُ الَّذِي قَدْ غَابَ عَنْهُ يَعْنِي فَضُعِّفَ حَدِيثُهُ لِذَلِكَ

“Ya’qub bin Sufyan mengatakan, aku mendengar para masyayikh Makkah mengatakan,

Dahulu Muslim bin Khalid pernah memiliki halaqah (hadits) pada masa Ibnu Juraij, ia mendengar dan menuntut ilmu hadits tanpa mau menulis.

Ketika hafalannya diuji ia pun meriwayatkan hadits, tetapi ia lupa sebagian riwayat yang ia dengar. Karena itulah riwayatnya dinilai lemah (oleh para ulama).” (Tahdzib at-Tahdzib, Ibnu Hajar al-Asqalani, 10/130)

Menurut al-Hafizh adz-Dzahabi, beberapa riwayat mungkar yang Muslim bin Khalid riwayatkan menjadi sebab ia dilemahkan.

Di sisi lain, Imam Yahya bin Main rahimahullah memiliki pandangan yang berbeda-beda kepada Muslim. Adakalanya Ibnu Main menilainya tsiqah, adakalanya dianggap tidak mengapa dijadikan sebagai penguat, dan adakalanya beliau melemahkannya. Sebagaimana penukilan al-Hafizh al- Mizzi rahimahullah dalam Tahdzib al-Kamal (27/511).

Sebagian ulama lagi menilainya tsiqah. Di antaranya, Imam Ibnu Hibban rahimahullah dalam ats-Tsiqat (7/448). Hanya saja beliau memberi catatan, “Muslim kadang-kadang salah (meriwayatkan hadits).”

Al-Asqalani rahimahullah menukil dari Ibnu al-Qatthan bahwa Imam ad-Daruqutni rahimahullah juga menilainya tsiqah.

Ringkasnya, riwayat Muslim bin Khalid az-Zanji sangat dilemahkan oleh Abu Hatim, Ali al-Madini, dan Imam al-Bukhari rahimahumullah, juga Imam an-Nasai dan Abu Dawud rahimahumullah.

Sebagian lagi melemahkannya dengan mengizinkan riwayatnya sebagai penguat. Kelemahan Muslim bin az-Zanji juga sifatnya mufassar (diketahui sebabnya) sehingga apabila berhadapan dengan tadil oleh sebagian ulama terhadapnya, maka tadil itu tidak bisa dijadikan hujah.

Sebagian ulama yang menilainya tsiqah juga memberi catatan kepadanya.

Ini cukup menunjukkan kelemahan perawi ini.

Ketiga: adanya tadlis (penyisipan) yang dilakukan oleh Ibnu Abi Najih dari Abu Najih

Sebab, Ibnu Abi Najih tidak menegaskan penyimakannya (melakukan ‘ananah) dari ayahnya.

Al-Hafizh al-Asqalani rahimahullah memasukkan Ibnu Abi Najih ke dalam para perawi yang melakukan tadlis yang terbilang parah, yakni pada tingkat ketiga dalam kitab beliau Thabaqat al-Mudallisin, perawi ke 77.

Al-Hafizh al-Asqalani rahimahullah mengatakan,

اَلثَّالِثَةُ مَنْ أَكْثَرَ مِنَ التَّدْلِيسِ فَلَمْ يُحْتَجِ اْلاَئِمَّةُ مِنْ آحَادِيثِهِمْ إِلَّا بِمَا صَرَّحُوا فِيهِ بِالسِّمَاعِ وَمِنْهُمْ مَنْ رَدَ حَدِيثَهُمْ مُطْلَقًا وَمِنْهُمْ مَنَ قَبِلَهُمْ كَأَبِي الزُّبَيْرِ الْمَكِّيِّ

“(Tingkatan) ketiga: perawi yang banyak melakukan tadlis sehingga para imam tidak berhujah dengan hadits-hadits mereka, kecuali jika mereka menegaskan penyimakan mereka.

Sebagian perawi itu ada yang ditolak haditsnya secara mutlak. Ada juga yang masih diterima (jika memberi penegasan), seperti Abu az-Zubair al-Makki.” (Thabaqat Al-Mudallisin, Ibnu Hajar al-Asqalani, 13)

Keempat: terputusnya sanad antara Abu Najih, ayah Ibnu Abi Najih, dengan Rasulullah

Abu Najih bukan sahabat Nabi, namun tabi’in. Meski termasuk tabi’in yang tinggi karena kemungkinan hidup semasa dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam, namun tidak bertemu dengan beliau.

Karena itulah Imam Ibnu Sa’ad rahimahullah memasukkannya pada tingkatan kedua perawi (tabi’in) di Makkah yang meriwayatkan dari sahabat dalam At-Thabaqat beliau.

Al-Hafizh al-Mizzi rahimahullah mengomentari biografi Abu Najih,

Yasar adalah: Abu Najih ats-Tsaqafi al-Makki, ayah dari Ibnu Abi Najih, maula al-Akhnas bin Syariq ats-Tsaqafi. Ia meriwayatkan dari Nabi secara mursal….” (Tahdzib Al-Kamal, al-Hafidz al-Mizzi, 32/298)

Ringkasnya, jadilah riwayat ini sebagai riwayat mursal secara keseluruhan. Namun mursal yang dhaif karena keberadaan Muslim az-Zanji di dalamnya, dan adanya kemungkinan tadlis dari Ibnu Abi Najih karena tidak menegaskan penyimakannya dari Abu Najih.

Empat kecacatan ini, yakni kemajhulan al-Azraqi; kelemahan Muslim az-Zanji; tadlis Ibnu Abi Najih; dan mursal Abu Najih, sudah cukup untuk menolak riwayat ini. Ditambah karena bertentangan dengan riwayat shahih yang sebelumnya telah dipaparkan.

Maka jadilah riwayat ini adalah riwayat mursal yang mungkar. Wallahu alam.

Riwayat Ketiga

Al-Azraqi rahimahullah mengatakan,

حَدَّثَنِي جَدِّي، عَنْ سَعِيدِ بْنِ سَالِمٍ قَالَ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ عِيَاضِ بْنِ جُعْدُبَةَ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ الْكَعْبَةَ يَوْمَ الْفَتْحِ وَفِيهَا صُوَرُ الْمَلَائِكَةِ وَغَيْرِهَا، فَرَأَى صُورَةَ إِبْرَاهِيمَ، فَقَالَ: قَاتَلَهُمُ اللَّهُ، جَعَلُوهُ شَيْخًا يَسْتَقْسِمُ بِالْأَزْلَامِ. ثُمَّ رَأَى صُورَةَ مَرْيَمَ، فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَيْهَا، وَقَالَ: امْحُوا مَا فِيهَا مِنَ الصُّوَرِ إِلَّا صُورَةَ مَرْيَمَ

Kakekku menceritakan kepadaku, dari Said bin Salim. Ia berkata, Yazid bin Iyadh bin Judubah bercerita kepada kami, dari Ibnu Syihab,

Nabi shallallahu alaihi wasallam masuk ke dalam Kakbah pada saat pembebasan (kota Makkah). Di dalamnya terdapat lukisan-lukisan malaikat dan lainnya. Beliau pun melihat lukisan Ibrahim, lantas beliau bersabda,

Semoga Allah membinasakan mereka. Mereka menjadikannya (Ibrahim) sebagai orang tua yang melakukan undian dengan anak panah.’

Kemudian beliau melihat gambar Maryam, lalu menaruh tangan beliau di atasnya. Beliau pun bersabda,

Hapus gambar-gambar yang ada di dalamnya, kecuali gambar Maryam.” (Akhbaru Makkah,Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Al-Azraqi, 1/132)

Pertama: tidak dikenalnya al-Azraqi

Cacat pertama sudah jelas, yakni kemajhulan al-Azraqi rahimahullah sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

Kedua: terputusnya sanad antara Ibnu Syihab dengan Rasulullah

Terputusnya sanad antara Ibnu Syihab rahimahullah dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga menjadikan hadits tersebut mursal. Karena, az-Zuhri adalah tabi’in.

Terkait mursal az-Zuhri, al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan,

وَمِنْ أَوْهَى الْمَرَاسِيلِ عِنْدَهُمْ: مَرَاسِيلُ الْحَسَنِ وَأَوْهىَ مِنْ ذَلِكَ: مَرَاسِيلِ الزُّهْرِيِّ، وَقَتَادَةَ، وَحُمَيْدِ الطَّوِيلِ، مِنْ صِغَارِ التَّابِعِينَ

Di antara mursal yang paling lemah menurut mereka (para ulama hadits) adalah mursalnya al-Hasan. Dan yang paling parah kelemahannya dari mursal al-Hasan adalah mursal az-Zuhri, Qatadah, dan Humaid at-Thawil dari kalangan tabiin junior.” (Al-Muqidzhah fi Ilmi al-Musthalahi al-Hadits, Adz-Dzahabi, I/40)

Imam Ibnu Abi Hatim rahimahullah mengatakan,

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ سِنَانٍ قَالَ كَانَ يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ لَا يَرَى إرْسَالَ الزُّهْرِيِّ وَقَتَادَةَ شَيْئًا وَيَقُولُ هُوَ بِمَنْزِلَةِ الرِّيحِ وَيَقُولُ هَؤُلَاءِ قَوْمٌ حُفّاظٌ كَانُوا إِذَا سَمِعُوا الشَّيْءَ عَلَّقُوهُ

“Ahmad bin Sinan bercerita kepada kami,

Yahya bin Said al-Qatthan tidak menganggap mursal az-Zuhri dan Qatadah sedikit pun dan mengatakan bahwa riwayat mursalnya seperti angin.’

Ia (Yahya) mengatakan,

Mereka adalah sekelompok penghafal hadits yang apabila mendengar suatu riwayat langsung mereka sandarkan (taliq kepada Nabi).” (Al-Marasil,Ibnu Abi Hatim, I/3)

Ketiga: kelemahan Yazid bin ‘Iyadh bin Ju’dubah yang amat parah

Imam Ibnu Abi Hatim rahimahullah menukil sebuah dialog antara Abdurrahman bin Qasim (A) dan Malik (M).

سَأَلْتُ مَالِكًا عَنِ ابْنِ سَمْعَانَ فَقَالَ: كَذَّابٌ قُلْتُ يَزِيدُ بْنُ عِيَاضٍ قَالَ: أَكْذَبُ وَأَكْذَبُ

A: “Aku bertanya kepada Malik mengenai Ibnu Saman,”

M: “Ia pendusta,”

A: “Kalau Yazid bin Iyad?”

M: “Lebih pendusta, lebih pendusta.” (Al-Jarh wa at-Tadil, Ibnu Abi Hatim, 9/283)

Pada kitab dan halaman yang sama, Ibnu Abi Hatim menukil ucapan ayahnya, Abu Hatim rahimahumallah, “Lemah haditsnya, munkarul hadits.”

Imam al-Bukhari rahimahullah menuduhnya sebagai munkarul hadits dalam adh-Dhuafa ash-Shaghir (1/141). Demikian juga Imam Muslim rahimahullah dalam al-Kuna wa al-Asma (1/241).

Al-Hafizh al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah menukil dengan sanadnya dalam Tarikhu Baghdad (16/482) bahwa Imam Yahya bin Main rahimahullah juga menuduhnya sebagai pendusta, dan Abu Dawud rahimahullah mengatakan, “Haditsnya ditinggalkan (oleh para ulama).”

Imam an-Nasai rahimahullah mengatakan dalam adh-Dhuafa (1/110),

Yazid bin Iyadh bin Yazid bin Judubah, matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya).”

Demikian juga Imam ad-Daruqutni rahimahullah yang mengomentarinya dalam kitab Sunan beliau (4/74), “Dhaif, matrukul hadits.”

Al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah menilainya sebagai matrukul hadits dalam al-Mughny (2/752) dan al-Hafizh al-Asqalani rahimahullah cenderung menganggapnya sebagai pendusta dalam at-Taqrib (1/604), di samping tiada seorang ulama pun yang menilai positif dirinya.

Imam Ibnu Hibban rahimahullah mengatakan,

يَزِيدُ بْنُ عِيَاضِ بْنِ جعْدُبَةَ اللَّيْثِيّ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ كُنْيَتُهُ أَبُو الْحَكَمِ يَرْوِي عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مِخْرَاقٍ وَأَهْلِ الْمَدِينَةِ رَوَى عَنْهُ عَمْرُو بْنُ دِينَارَ وَالنَّاسُ كَانَ مِمَّنْ ينْفَردُ بِالْمَنَاكِيرِ عَنِ الْمَشَاهِيرِ وَالْمَقْلُوبَاتِ عَنِ الثِّقَاتِ فَلَمَّا كَثُرَ ذَلِكَ فِي رِوَايَتِهِ صَارَ سَاقِطَ الِاحْتِجَاجِ بِهِ

Yazid bin Iyadh bin Judubah al-Laitsi, dari penduduk Madinah. Kunyahnya Abu al-Hakam. Ia meriwayatkan dari Abdurrahman bin Mikhraq dan penduduk Madinah. Amru bin Dinar dan sebagian perawi meriwayatkan darinya.

Ia termasuk yang banyak menyendiri dengan riwayat-riwayat mungkar dari para perawi yang masyhur, serta membolak-balikkan riwayat dari perawi-rawi yang tsiqah (terpercaya). Tatkala hal itu banyak terdapat dalam riwayatnya, maka jadilah ia perawi yang tidak bisa berhujah dengannya.” (Al-Majruhin, Ibnu Hibban, 3/108)

Ringkasnya, hadits ini selain mursal yang lemah, juga terdapat perawi yang tertuduh pendusta dan ditinggalkan haditsnya bernama Yazid bin Iyadh bin Ju’dubah. Maka jadilah ini hadits mursal palsu atau hadits mursal mungkar yang amat lemah sekali (dhaif jiddan).

Ketiga cacat yang terbilang parah ini sudah cukup bagi kita untuk mencampakkan riwayat ini. Ditambah bertentangan dengan riwayat shahih yang sebelumnya telah dipaparkan di awal tulisan ini.

Riwayat Keempat

Al-Azraqi rahimahullah mengatakan,

أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، عَنِ الثِّقَةِ، عِنْدَهُ، عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ، عَنْ حَكِيمِ بْنِ عَبَّادِ بْنِ حُنَيْفٍ، وَغَيْرِهِ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنَّ قُرَيْشًا كَانَتْ قَدْ جَعَلَتْ فِي الْكَعْبَةِ صُوَرًا، فِيهَا عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ وَمَرْيَمُ عَلَيْهِمُا السَّلَامُ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ: قَالَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ شَقِرٍ: ” إِنَّ امْرَأَةً مِنْ غَسَّانَ حَجَّتْ فِي حَاجِّ الْعَرَبِ، فَلَمَّا رَأَتْ صُورَةَ مَرْيَمَ فِي الْكَعْبَةِ قَالَتْ: بِأَبِي وَأُمِّي إِنَّكِ لَعَرَبِيَّةٌ. فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَمْحُوا تِلْكَ الصُّوَرَ، إِلَّا مَا كَانَ مِنْ صُورَةِ عِيسَى وَمَرْيَمَ

Muhammad bin Yahya mengabarkan kepadaku, dari seorang yang tsiqah menurutnya, dari Ibnu Ishaq, dari Hakim bin Abbad bin Hunaif dan ahli ilmu lainnya bahwa kaum Quraisy telah membuat beberapa ukiran gambar di Kakbah. Di antara gambar itu adalah Isa bin Maryam dan Maryam alaihimassalam.

Ibnu Syihab mengatakan, Asma binti Syaqir mengatakan,

Seorang wanita dari kabilah Ghassan pergi haji pada hari hajinya bangsa Arab. Ketika ia melihat gambar Maryam di Kakbah, ia pun mengatakan,‘Demi ayahku dan ibuku. Sungguh Maryam adalah perempuan Arab.’

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun memerintahkan agar menghapus seluruh gambar itu selain gambar nabi Isa dan Maryam.” (Akhbaru Makkah, Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al-Azraqi, I/169)

Pertama: tidak dikenalnya al-Azraqi

Sebagaimana sebelumnya bahwa cacat pertama adalah pada al-Azraqi rahimahullah sendiri selaku penulis Akhbaru Makkah.

Kedua: terputusnya sanad antara Hakim bin Abbad dengan Rasulullah

Karena itulah Imam Ibnu Sa’ad rahimahullah memasukkannya ke dalam kalangan tabi’in Madinah tingkatan kedua sembari mengatakan dalam ath-Thabaqat (5/408—409),

Ia sedikit haditsnya. Mereka (para ulama) tidak berhujah dengan haditsnya.”

Al-Asqalani rahimahullah menukil ucapan Ibnu al-Qatthan dalam Tahdzib at-Tahdzib (2/449),

Ia (Hakim) tidak diketahui keadaannya  (majhul).”

Artikel Parenting: Membangun Karakter Anak dengan Metode Berkisah

Al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah cenderung melemahkannya dengan memasukkannya ke dalam kitab beliau al-Mughni fi adh-Dhuafa (1/187).

Meskipun demikian, Imam al-‘Ijli rahimahullah menilainya tsiqah dalam kitab beliau Ats-Tsiqat (1/129) dan Ibnu Hibban rahimahullah mencantumkannya dalam kitab beliau Ats-Tsiqat (4/162).

Al-Hafizh al-Asqalani rahimahullah mengatakan dalam Taqrib at-Tahdzib (1/176), “Ia jujur, dari tingkatan kelima.”

Maka perawi yang bernama Hakim bin ‘Abbad memiliki dua penilaian negatif, yakni para ulama tidak berhujah dengannya dan kredibilitasnya tidak diketahui. Walau pun sebenarnya kemajhulan ini perlu ditinjau ulang, karena Ibnu Sa’ad dengan tegas mencelanya dan al-‘Ijli menilainya tsiqah.

Sebagaimana yang berlaku dalam kaidah perawi bahwa penilaian negatif didahulukan daripada penilaian positif, maka Hakim bin ‘Abbad adalah perawi yang lemah, meski barangkali kelemahannya terbilang ringan.

Ketiga: tadlis Ibnu Ishaq yang meriwayatkan dengan ‘an’anah

Tadlis Ibnu Ishaq yang meriwayatkan dengan ‘ananah, karena kemasyhurannya meriwayatkan hadits dengan melakukan tadlis.

Al-Hafizh al-Asqalani rahimahullah memasukkannya ke dalam tingkatan keempat dari kalangan perawi yang melakukan tadlis, yakni perawi ke 125 sebagaimana yang beliau tulis dalam Thabaqat al-Mudallisin halaman 51.

Beliau mengatakan di mukadimah kitab beliau tentang tingkatan keempat,

الرَّابِعَةُ مَنِ اتَّفَقَ عَلَى أَنَّهُ لَا يُحْتَجُّ بِشَيْئٍ مِنْ حَدِيثِهِمِ إِلَّا بِمَا صَرَّحُوا فِيهِ بِالسِّمَاعِ لِكَثْرَةِ تَدْلِيسِهِمْ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَالْمَجَاهِيلِ كَبَقِيَّةِ بْنِ الْوَلِيدِ

“(Tingkatan) keempat: perawi yang disepakati (oleh para ulama) tidak boleh berhujah sedikit pun dari haditsnya, kecuali jika ia telah menegaskan penyimakannya. Karena, banyaknya tadlis yang mereka riwayatkan dari perawi-perawi dhaif dan tidak dikenal (majhul), seperti Baqiyyah bin al-Walid.” (Thabaqat al-Mudallisin, Ibnu Hajar al-Asqalani, 14)

Maka tidak bisa berhujah dengan Ibnu Ishaq pada sanad ini, karena ia tidak menyatakan penyimakannya dari Hakim bin ‘Abbad.

Keempat: terputusnya sanad antara Muhammad bin Yahya dengan Ibnu Ishaq

Terputusnya sanad antara Muhammad bin Yahya dengan Ibnu Ishaq melalui ucapan, “…dari seorang yang tsiqah menurutnya”. Ini amat merusak sanad, karena banyaknya keterputusan sanad pada riwayat ini.

Setidaknya ada tiga sanad yang terputus: terputusnya sanad antara Hakim bin Abbad dengan masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam; tadlis (termasuk indikasi terputusnya sanad) antara Ibnu Ishaq dengan Hakim bin ‘Abbad; dan terputusnya sanad antara Muhammad bin Yahya dengan Ibnu Ishaq melalui perawi yang mubham (tidak diketahui sama sekali perawinya siapa).

Kelima: tidak dikenalnya Asma binti Syaqir

Sampai sekarang kami tidak mendapatkan biografi atau informasi apa pun tentang perawi yang bernama Asma binti Syaqir ini, selain apa yang disebutkan dalam al-Jamaharah Malamah Mufradati al-Muhtawa al-Islami di bawah pengawasan yayasan Abdullah bin Abdul Aziz ar-Rajihi melalui situs islamic-content.com bahwa Asma binti Syaqir atau Syaqran adalah perawi yang majhul hal (tidak diketahui keadaannya).

Artinya, hadits ini lemah sekali bahkan terindikasi palsu karena banyak sanad yang terputus dan terdapat lebih dari satu perawi yang majhul.

Hadits ini juga merupakan hadits mursal yang tidak bisa dijadikan hujah sama sekali karena keberadaan tadlis Ibnu Ishaq, ditambah kandungannya yang bertentangan dengan hadits-hadits shahih yang telah dipaparkan di awal tulisan ini.

Jadilah hadits ini adalah hadits mursal mungkar yang lemah sekali (dhaif jiddan) sehingga tidak bisa dijadikan hujah.

Kesimpulan Keempat Riwayat

Dari keempat riwayat ini dapat kita simpulkan bahwa seluruh sanad dalam riwayat ini adalah sanad yang mursal: tidak langsung bersambung kepada Rasulullah (muttashil).

Artinya, tidak diriwayatkan melalui sahabat Nabi dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, kecuali pada riwayat yang kedua—namun terindikasi mungkar.

Seluruh riwayatnya, di samping mursal, mengandung kelemahan yang terbilang parah. Secara umum, kelemahannya berkutat pada terputusnya sanad, serta kemajhulan dan kelemahan perawi.

Sehingga meski terdapat banyak jalur tetap tidak dapat menguatkan satu sama lain, akibat dari parahnya kelemahan yang ada di dalamnya.

Keempat riwayat ini diriwayatkan oleh al-Azraqi yang justru kredibilitasnya juga tidak diketahui (majhul hal) dan keempat riwayat itu seluruhnya bertentangan dengan riwayat yang shahih.

Maka pantaskah riwayat-riwayat mungkar ini dijadikan dalil bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam membiarkan gambar atau lukisan Maryam dan putranya ‘alaihimassalam di dalam Kakbah?!

Bagaimana bisa seorang muslim dapat meyakini bahwa rasul yang ia cintai membiarkan lukisan-lukisan berhala agama lain berada di dalam Kakbah dan menodai tanah suci, yang ia hormati dengan segenap relung hatinya, hanya berdasarkan riwayat-riwayat mungkar seperti ini?

Tidak ada yang meyakini hal seperti itu, kecuali munafik berbaju muslim dengan segenap kedunguan akal dan kerusakan imannya. Apatah lagi atas nama toleransi!

Jika Nabi shallallahu alaihi wa sallam begitu mudahnya menghancurkan ratusan berhala di sekitar Kakbah dan seluruh Makkah, apa susahnya bagi beliau memusnahkan lukisan Isa dan Maryam alaihimassalam—di mana para penyembah keduanya telah Allah kafirkan secara tegas dalam al-Quran?

Jika memang beliau mau toleransi di tanah suci, bagaimana bisa beliau toleransi kepada para penyembah Isa alaihissalam tetapi tidak toleransi kepada kaum dan bangsanya sendiri, padahal keyakinan para penyembah Isa alaihissalam dengan kaum musyrik jahiliyah hanya berbeda tipis?!

Dari sisi ini, toleransi yang diklaim oleh orang-orang munafik dalam masalah ini, hanyalah manifestasi dari kebobrokan cara berpikir mereka saja. Wallahu alam.

Catatan Ringan

Di awal tulisan ini telah disebutkan mengenai sedikit kontradiksi yang sebenarnya tidak memudaratkan kandungan haditsnya.

Tetapi perlu kita bahas. Demi mengetahui: benarkah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memasuki Kakbah tatkala penghapusan berbagai gambar di dalam Kakbah atau justru setelah penghapusan tersebut?

Sebab pada keempat riwayat yang dipermasalahkan sebelumnya, seluruhnya menegaskan bahwa seolah-olah Nabi shallallahu alaihi wa sallam berada di dalam Kakbah ketika penghapusan tersebut.

Namun dalam riwayat shahih dalam Shahih al-Bukhari dari jalur Ikrimah, dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu; dan Abu Dawud, dari jalur Jabir bin Abdillah radhiyallahu anhu justru menegaskan bahwa beliau tidak memasuki Kakbah, kecuali setelah seluruh gambar itu dihapus?!

Ini sedikit kontradiktif karena dalam Shahih al-Bukhari juga terdapat riwayat yang menegaskan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam masuk ke dalam Kakbah sebelum seluruh gambar itu dihapus. Padahal yang meriwayatkan kisah tersebut sama-sama meriwayatkannya dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu.

Riwayat pertama

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ، قَالَ: حَدَّثَنِي ابْنُ وَهْبٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عَمْرٌو، أَنَّ بُكَيْرًا، حَدَّثَهُ عَنْ كُرَيْبٍ، مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ البَيْتَ، فَوَجَدَ فِيهِ صُورَةَ إِبْرَاهِيمَ، وَصُورَةَ مَرْيَمَ، فَقَالَ “أَمَا لَهُمْ، فَقَدْ سَمِعُوا أَنَّ المَلاَئِكَةَ لاَ تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ، هَذَا إِبْرَاهِيمُ مُصَوَّرٌ، فَمَا لَهُ يَسْتَقْسِمُ”

Yahya bin Sulaiman menceritakan kepada kami. Ia berkata, Ibnu Wahb menceritakan kepadaku. Ia berkata, Amru (bin al-Harits) mengabarkanku bahwa Bukair menceritakan kepadanya dari Kuraib maula Ibnu Abbas, dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma.

Ia berkata, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah memasuki Baitullah (Kakbah). Beliau pun menemukan adanya lukisan Ibrahim alaihissalam dan lukisan Maryam alaihassalam di dalamnya.

Beliau pun bersabda,

Mengapa dengan mereka, padahal mereka telah mendengar bahwa para malaikat tidak akan memasuki rumah yang terdapat lukisan di dalamnya?! Ini justru Ibrahim dijadikan sebagai lukisan (dengan memegang busur panah), padahal ia tidak pernah mengundi nasib (dengan anak panah).” (HR. Al-Bukhari No. 3351)

Riwayat kedua

حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الوَارِثِ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ أَبَى أَنْ يَدْخُلَ البَيْتَ وَفِيهِ الآلِهَةُ، فَأَمَرَ بِهَا فَأُخْرِجَتْ، فَأَخْرَجُوا صُورَةَ إِبْرَاهِيمَ، وَإِسْمَاعِيلَ فِي أَيْدِيهِمَا الأَزْلاَمُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “قَاتَلَهُمُ اللَّهُ، أَمَا وَاللَّهِ لَقَدْ عَلِمُوا أَنَّهُمَا لَمْ يَسْتَقْسِمَا بِهَا قَطُّ”. فَدَخَلَ البَيْتَ، فَكَبَّرَ فِي نَوَاحِيهِ، وَلَمْ يُصَلِّ فِيهِ

Abu Mamar menceritakan kepada kami, Abdul Waris menceritakan kepada kami, Ayyub (as-Sikhtiyani) menceritakan kepada kami, Ikrimah menceritakan kepada kami, dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma. Ia mengatakan,

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tatkala tiba (di Makkah), beliau menolak untuk memasuki Kakbah karena adanya gambar berhala-berhala di dalamnya. Nabi pun memerintahkan agar gambar-gambar itu dikeluarkan. Para sahabat pun mengeluarkan gambar Ibrahim dan Ismail dalam keadaan busur panah (untuk mengundi) ada di tangan keduanya. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun bersabda,

Semoga Allah membinasakan mereka (kaum musyrik). Demi Allah, sungguh mereka tahu bahwa keduanya (Ibrahim dan Ismail) tidak mengundi dengan anak panas sedikit pun.’ Beliau lalu memasuki Kakbah, bertakbir di setiap sudut-sudutnya dan tidak shalat di dalamnya.”(HR. Al-Bukhari No. 1601)

Kedua riwayat itu tampak bertentangan padahal sama-sama diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, sama-sama dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu, dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyabdakan ucapan yang persis sama.

Perbedaannya, riwayat pertama menerangkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam masuk ke dalam Kakbah begitu saja. Sedangkan riwayat kedua, menegaskan bahwa beliau tidak mau masuk ke dalam Kakbah sebelum seluruh gambar yang masih di dalamnya dikeluarkan.

Riwayat pertama, beliau menemukan gambar Ibrahim dan Maryam ‘alaihimassalam di dalam Kakbah. Sedangkan riwayat kedua, beliau menemukan gambar Ibrahim dan Ismail setelah gambar itu dikeluarkan dari Kakbah.

Perbedaannya pada Ismail dan Maryam. Namun anehnya, secara spesifik Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hanya mengomentari Ibrahim ‘alaihissalam pada riwayat pertama tanpa Maryam–setelah melakukan pengingkaran kepada gambar-gambar tersebut—dan mengomentari Ibrahim dan Ismail ‘alaihimassalam pada riwayat yang kedua.

Tentu ada yang ganjil di sini. Meskipun kontradiksi ini sedikit pun tidak mendukung klaim bahwa Rasulullah tidak menghapus gambar nabi Isa dan Maryam dari dalam Kakbah. Justru sebaliknya, kontradiksi ini menghancurkan klaim tersebut.

Artikel Hadits: Maryam, Perempuan Suci Penjaga Baitul Maqdis

Sebab, sanad riwayat pertama kualitasnya jauh di bawah kualitas riwayat kedua. Ini dengan beberapa alasan.

Kualitas sanad riwayat pertama

Pertama, status Yahya bin Sulaiman, guru Imam al-Bukhari rahimahullah, yang darinya beliau meriwayatkan hadits ini.

Yahya ini diperbincangkan kredibilitasnya, meski sebagian ulama menilainya tsiqah.

Al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah menukil bahwa Imam an-Nasai rahimahullah mengatakan tentangnya, “Ia tidak kuat,” sekaligus melemahkannya dalam al-Mughny fi adh-Dhuafai ar-Rijal (2/736).

Imam Ibnu Hibban rahimahullah mengatakan tentangnya dalam ats-Tsiqat (9/263),

Adakalanya ia melakukan keganjilan (dalam riwayat).”

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan tentangnya dalam Taqrib at-Tahdzib (1/591),

Ia jujur namun sering keliru.”

Al-Hafizh Mughallithay rahimahullah mengatakan tentangnya dalam Ikmal Tahdzib al-Kamal (12/324),

Ia memiliki hadits-hadits munkar yang ia riwayatkan.”

Kedua, kredibilitas perawi yang bernama Ibnu Wahb atau Abdullah bin Wahb.

Ibnu Wahb dinilai tsiqah oleh para ulama muktabar, namun tetap diperbincangkan riwayatnya.

Al-Hafizh Ibnu Adi rahimahullah melemahkannya sembari mengatakan,

Abdullah bin Wahb termasuk perawi yang mulia dan termasuk perawi yang tsiqah. Hadits-hadits di Hijaz dan Mesir serta negeri-negeri sekitarnya beredar pada periwayatan Ibnu Wahb, di mana Ibnu Wahb mengumpulkan baik riwayat yang bersambung maupun terputus untuk penduduk negeri tersebut.

Hanya saja, adakalanya ia menyendiri dalam meriwayatkan dari seorang perawi, seperti Amru bin al-Harits, Haiwah bin Syuraih, Muawiyah bin Shalih, dan Sulaiman bin Bilal, serta dari perawi-rawi tsiqah lainnya dan juga perawi-rawi yang dhaif.” (Al-Kamil fi Dhuafai Ar-Rijal, Ibnu Adi, 7/341)

Dan pada riwayat pertama, Ibnu Wahb meriwayatkan dari Amru bin al-Harits.

Ketiga, tadlis Ibnu Wahb.

Imam Ibnu Sa’ad rahimahullah dalam Thabaqat-nya (7/359) menyebut bahwa Abdullah bin Wahb melakukan tadlis.

Ini juga diisyaratkan oleh Imam as-Saji rahimahullah sebagaimana yang dinukil oleh al-Hafizh al-Asqalani dalam Tahzib at-Tahdzib (6/74),

Ia (Ibnu Wahb) tasahul (bermudah-mudah) dalam menukil penyimakan, karena mazhab yang berlaku di negerinya bahwa pemberian ijazah penyimakan hukumnya dengan mengatakan,‘Menceritakan kepadaku si fulan.’”

Kecurigaan tadlis ini terlihat dari redaksi yang berupa ucapan Ibnu Wahb yang tidak menyatakan penyimakan antara Bukair dari Kuraib secara tegas,

أَخْبَرَنِي عَمْرٌو، أَنَّ بُكَيْرًا، حَدَّثَهُ عَنْ كُرَيْبٍ

Amru (bin al-Harits) mengabarkan kepadaku bahwa Bukair menceritakan kepadanya dari Kuraib.”

Keempat, Amru bin al-Harits.

Para ulama menilainya tsiqah, namun sebagian lain memberinya catatan.

Imam Ahmad rahimahullah menyebutkan, dia meriwayatkan beberapa riwayat yang mungkar dan terkadang salah, sebagaimana nukilan al-Hafizh al-Mizzi rahimahullah dalam Tahdzib al-Kamal (21/573).

Al-Hafizh azd-Dzahabi rahimahullah mengatakan,

Ia memiliki riwayat ganjil.” (Al-Kasyif, al-Hafizh adz-Adzahabi, 2/74)

Ringkasnya, seluruh perawi yang meriwayatkan hadits pertama ini statusnya adalah tsiqah meski sebagian tertuduh memiliki riwayat yang ganjil. Namun sayangnya riwayat ini bertentangan dengan hadits yang jauh lebih shahih yang menceritakan kisah yang sama (hadits pada riwayat kedua di atas).

Oleh karena itu, Imam al-Bukhari menuliskan hadits pada riwayat kedua di atas setelah menuliskan riwayat pertama. Karena, siapa saja yang memahami sistematika Imam al-Bukhari dalam memformulasikan Shahih-nya akan mengetahui bahwa salah satu metode beliau dalam menshahihkan hadits adalah dengan pendekatan memakai hadits penguat (mutabaah) dalam beberapa konteks selama memiliki kesamaan dalam redaksi.

Artinya, riwayat pertama meski mengandung kelemahan menjadi kuat statusnya dengan adanya riwayat kedua dalam konteks tertentu. Itulah alasan mengapa Imam al-Bukhari mencantumkan riwayat pertama yang mengandung kelemahan tersebut dalam Shahih-nya pada Kitab Ahadits al-Anbiya (cerita-cerita para nabi) dan tidak mencantumkannya pada kitab atau bab lain selain itu.

Karena riwayat pertama mengandung sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam yang berkaitan dengan sejarah Nabi Ibrahim dan pribadi beliau, sebagaimana yang disebutkan oleh al-Hafizh al-Aini rahimahullah (15/245).

Berbeda dengan riwayat kedua yang beliau cantumkan di beberapa tempat di Shahih al-Bukhari.

Kesimpulannya, yang shahih pada riwayat pertama tersebut hanya sabda Nabi,

Mengapa dengan mereka, padahal mereka telah mendengar bahwa para malaikat tidak akan memasuki rumah yang terdapat lukisan di dalamnya?! Ini justru Ibrahim dijadikan sebagai lukisan (dengan memegang busur panah), padahal ia tidak pernah mengundi nasib (dengan anak panah).”

Karena pada kalimat pertama didukung oleh banyak hadits. Banyak hadits shahih yang menjelaskan bahwa malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang ada gambar (lukisan makhluk) bernyawa.

Sedangkan pada kalimat kedua didukung oleh riwayat kedua. Karena sama-sama mengandung pengingkaran terhadap lukisan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang mengundi dengan anak panah.

Adapun selain sabda Nabi ini, yaitu redaksi bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menemukan gambar Ibrahim dan Maryam ‘alaihimassalam di dalam Kakbah, adalah redaksi yang lemah dan mungkar karena bertentangan dengan riwayat kedua dan hadits Jabir yang diriwayatkan oleh Abu Dawud yang menyebutkan bahwa Rasulullah masuk ke Kakbah setelah seluruh lukisan di dalamnya dihapuskan.

Artinya, seluruh riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam masuk ke dalam Kakbah sebelum seluruh gambar di dalamnya dikeluarkan atau masuk ke dalam Kakbah dalam keadaan gambar di dalam Kakbah masih ada adalah riwayat lemah dan munkar.

Juga mengindikasikan bahwa riwayat yang menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang menemukan adanya gambar nabi Isa putra Maryam dan ibunya ‘alaihimassalam di dalam Kakbah juga riwayat lemah dan mungkar.

Sebab hadits-hadits shahih yang dapat dipastikan keshahihannya hanya menyebutkan bahwa Rasulullah menemukan gambar Ibrahim dan Ismail ‘alaihimassalam di dalam Kakbah, bukan gambar nabi Isa dan ibunya ‘alaihimassalam.

Dengan adanya seluruh fakta ini, maka gugurlah klaim dan tuduhan bahwa Rasulullah tidak menghapus gambar nabi Isa dan Maryam dari dalam Kakbah.

Jangankan menghapus, bahkan gambar kedua hamba Allah yang saleh tersebut (Isa dan Maryam) tidak pernah ada di dalam Kakbah sama sekali. Wallahu alam bis shawab. (Fathan Abu Uswah/dakwah.id)

Baca juga artikel Tabayun atau artikel menarik lainnya karya Fathan Abu Uswah.

Penulis: Fathan Abu Uswah
Editor: Ahmad Robith

Artikel Tabayun terbaru:

Topik Terkait

Fathan Abu Uswah

Penikmat Ilmu Syar'i

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *