Daftar Isi
Artikel berjudul “Tadabbur Sejarah: Belajar Dari Jatuhnya Andalus” adalah artikel #07 dari serial Artikel Spesial Ramadhan 1444 H.
Andalus telah menjadi bagian dari sejarah peradaban Islam dalam kurun waktu hampir 800 tahun lamanya, terhitung sejak tahun 711 M sampai tahun 1492 M. Andalus menjadi bagian wilayah kaum muslimin sejak masa kekhalifahan Walid bin Abdul Malik dari Daulah Umawiyah.
Setelah membebaskan wilayah Afrika Utara, Bani Umayah memperluas wilayahnya menuju Isbania yang terletak di semenanjung Iberia, daratan yang berada di seberang Maroko, yang kemudian disebut sebagai Andalus, yang secara harfiah berarti tanah orang-orang Vandal. (Qissah al-Andalus min al-Fath ila as-Suquth, Raghib as-Sirjani, 15).
Andalus dibebaskan oleh Musa bin Nusair dan Thariq bin Ziyad sebagai panglima pasukan. Mereka menyeberang melewati selat yang kelak dikenal Gibraltar untuk kemudian mendarat di daratan Andalus.
Singkat cerita, pasukan kaum muslimin disambut oleh Raja Roderick, terjadilah pertempuran di mulut Sungai Barbate, pertempuran yang dimenangkan oleh kaum muslimin dan menjadi titik balik perubahan sejarah di semenanjung Iberia. (Al-Andalus: ath-Tarikh al-Mushawwar, Thariq Suwaidan, 33—39)
Andalus berubah. Islam jadi spirit baru yang membawa angin perubahan, dalam perjalanannya Andalus menjadi kiblat kebaikan dan menjadi salah satu batu loncatan bagi perubahan bangsa Eropa di kemudian hari.
Gambaran tentang suasana peradaban muslim di Andalus ditulis dengan apik oleh Peter Scalles sebagai sebuah titik awal perubahan bagi sejarah negeri tersebut. Islam membuka suatu era baru di mana kebenaran dan keadilan ditegakkan, kebebasan beragama terjamin bagi orang-orang selain Islam dari Yahudi dan Nasrani. Sendi-sendi Islam ditegakkan demi membentuk sebuah masyarakat yang baik, pemerintahan yang adil dan mengayomi masyarakat. (The Fall of The Caliphate of Cordoba, Peter. C. Scalles, 113)
Seperti seorang manusia, peradaban pun ada batasnya. Siklus lahir, lalu tumbuh menjadi kuat dewasa, kemudian menua dan lemah juga terjadi pada sebuah peradaban.
Pun, bagi peradaban Andalus, sunnatullah tersebut juga berlaku atasnya. Lahir, bertumbuh, berjaya, melemah, layu hingga akhirnya mati terkubur, menyisakan kenangan sejarah bagi umat Islam bahwa dahulu tanah yang hari ini disebut Spanyol pernah menjadi bagian dari sejarah Umat Islam.
Tulisan singkat ini akan mengajak pembaca untuk mereguk pelajaran tentang sebab-sebab runtuhnya Daulah Andalus, apa saja yang menjadi faktor kejatuhan Andalus setelah nyaris 800 tahun eksis di muka Bumi.
Penyebab-penyebab Kelemahan Andalus
Ada beberapa penyebab yang menjadi alasan lemahnya Andalus hingga akhirnya jatuh. Jatuhnya Andalus bukan terjadi secara langsung, akan tetapi terjadi secara bertahan. Seperti seorang manusia, yang menua dan lemah ditambah dengan berbagai penyakit yang menggerogoti tubuhnya hingga akhirnya mati secara mengenaskan, seperti itulah Andalus sebagai sebuah peradaban.
Berikut alasan-alasan yang menjadikan Andalus jatuh, dan alasan-alasan ini pula yang penting untuk menjadi i’tibar bagi kita untuk direnungi dalam-dalam.
Pertama: Jauhnya kaum muslimin dari ajaran agamanya
Sesungguhnya kemenangan kaum muslimin tidak hanya didasari oleh kemampuan dan kekuatan fisik saja, ada faktor yang lebih mendasar sebagai sumber kekuatan yang menggerakkan mereka, yaitu faktor ketakwaan kepada Allah dalam menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Ketika para pemimpin yang mengurusi urusan umat tidak punya hubungan yang baik dengan Allah, jauh dari tuntunan syariat Islam, maka hampir bisa dipastikan sikap adil dan amanah itu hilang. Efek dominonya adalah praktik pengelolaan negara dengan cara yang tidak baik, baik di sektor sentral bahkan di bagian parsial.
Syaikh Raghib menyebutkan tiga syarat pertama yang menjadi syarat bangkitnya sebuah peradaban; beriman kepada Allah dan keyakinan yang kuat akan pertolongan-Nya, adanya persatuan dan persaudaraan, dan berlangsungnya pemerintahan yang adil. (Raghib as-Sirjani, Qissah al-Andalus min al-Fath ila as-Suquth, 717)
Logika terbaliknya, jika ingin peradaban itu jatuh dan runtuh, maka yang perlu dilakukan adalah kebalikan dari apa yang telah disebutkan. Dan itu dimulai dari lemahnya kaum muslimin dari agamanya; jauh dari Allah.
Kedua: Adanya disintegrasi di tengah kaum muslimin Andalus
Komponen masyarakat yang heterogen dan tidak adanya figur kuat yang bisa menjalin keberagaman tersebut menjadi sebab terjadinya disintegrasi (perpecahan) umat Islam di Andalus. Terjadinya perebutan kekuasaan dan wilayah demi kepentingan suku atau golongan masing-masing.
Hal ini sudah terjadi sejak awal kedatangan kaum muslimin di Andalus, di mana ada gesekan antara orang-orang Arab dan orang-orang Berber yang menjadi bagian utama pasukan kaum muslimin yang mendarat di Andalus. Ditambah nanti dengan orang tempatan yang kemudian memeluk Islam.
Tarik ulur pengaruh dan kepentingan menjadi penyebab adanya disintegrasi di tubuh kaum muslimin. Meskipun hal tersebut dapat sedikit diredam dan berkurang pada masa kepemimpinan yang kuat seperti Abdurrahman ad-Dakhil dan Abdurrahman an-Nasir.
Sesungguhnya sunnatullah tidaklah berubah, di mana ada perpecahan di situ ada pula kebinasaan. Maka tidak aneh jika beberapa ahli sejarah mengatakan kehancuran ini dipicu juga oleh kecintaan dan ambisi berlebih terhadap dunia.
Isyarat perpecahan ini telah Allah ingatkan dalam al-Quran,
وَاَطِيْعُوا اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَلَا تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ وَاصْبِرُوْاۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَۚ
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS al-Anfal: 46)
Gejala disintegrasi pada tubuh kaum muslimin Andalus ini bahkan sudah terbaca oleh Karel Martel yang menjadi seteru Abdurrahman al-Ghafiqi di Poiters, ia menasehati kaumnya untuk tidak buru-buru menghadang bangsa Arab (pasukan Andalus).
“Karena orang-orang ini memiliki kemauan yang keras, dan niat yang suci dan benar. Dalam keadaan tersebut mereka sulit dihancurkan, maka tungulah sampai mereka menjadi tenang kemudian mereka akan berlomba untuk merebut kepemimpinan, kekayaan dan harta. Ketika itulah mereka berselisih dan lemah, itu akan memberikan kesempatan kepada kalian untuk menang dengan mudah.” (Al-Mujmal fi Tarikh al-Andalus, Abdul Hamid al-‘Ibadi, 53)
Materi Khutbah Jumat: 5 Sebab Kehancuran Umat
Jelas sekali bahwa Martel membaca psikologi kekuasaan, bagaimana tabiat dari manusia yang telah mencapai puncak peradaban cenderung tamak dan lemah, karena mereka lalai dan larut dalam kesenangan dunianya.
Rakus dan tamak menimbulkan hasad, iri, dan saling cemburu. Itu yang akan menjadi fitnah ketika manusia mencapai puncak kejayaannya, dan itu terjadi karena tidak adanya rasa khasyah kepada Allah dan rasa qanaah di dalam hati. Seperti virus, ia menggerogoti simpul-simpul persaudaraan, persatuan kaum muslimin, sehingga membuat hati mereka tidak lagi satu berpadu.
Ketiga: Perlawanan dari kerajaan-kerajaan Nasrani
Respons dari berkuasanya kaum muslimin di Andalus adalah munculnya perlawanan dari kerajaan-kerajaan Nasrani yang ada. Resistensi antara kaum muslimin dan kerajaan-kerajaan Nasrani terjadi sepanjang perjalanan usia peradaban Andalus itu sendiri.
Tarik ulur kekuasaan dan pengaruh silih berganti di antara keduanya. Pertempuran pertama melawan Roderick hingga penyerangan terakhir yang dilakukan oleh koalisi Ferdinand-Isabella dari Aragon dan Castille adalah fakta bahwa saling rebut selalu terjadi.
Kaum muslimin masuk ke Andalus dengan optimisme dan spirit perjuangan yang luar biasa, di lain sisi, kerajaan-kerajaan Nasrani sedang saling menggigit satu sama lain, penindasan para penguasa atas rakyat terjadi semena-mena.
700 tahun kemudian, keadaan berbalik arah. Kaum muslimin saling menggigit satu dengan yang lainnya, sementara kerajaan-kerajaan Nasrani mulai bahu-membahu merebut kembali tanah yang seharusnya tetap menjadi miliki mereka.
Silih bergantinya kekuasaan dan peradaban adalah sunnatullah yang berlaku bagi manusia, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
إِن يَمۡسَسۡكُمۡ قَرۡح فَقَدۡ مَسَّ ٱلۡقَوۡمَ قَرۡح مِّثۡلُهُۥۚ وَتِلۡكَ ٱلۡأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيۡنَ ٱلنَّاسِ وَلِيَعۡلَمَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَيَتَّخِذَ مِنكُمۡ شُهَدَآءَۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلظَّٰلِمِينَ
“Jika kamu mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada’. Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim.” (QS Ali Imran: 140)
Inilah sunnatullah, maka siapa saja yang mengupayakan sebab-sebab kemenangan dan kejayaan maka ia akan mampu membangun peradaban, dan sebaliknya, siapa yang abai dan lalai maka ia sedang menuju jurang kehancurannya sendiri.
Kaum muslimin Andalus tidak mampu bertahan bukan hanya faktor eksternal serangan musuh dari luar. Bukan. Karena dibuktikan bahwa kaum muslimin selalu mampu merespons dan bertahan beratus tahun. Tapi faktor pertama dan kedua yang membuat faktor ketiga menjadi lebih dahsyat adanya.
Keempat: Gaya hidup glamor dan tidak memiliki visi misi bernegara
Ketika Andalus mencapai puncak dari peradaban dan berhasil menjadi negara yang megah lagi mewah. Kaum muslimin mencapai puncak kedigdayaannya, takhta dan harta bergelimangan di bawah kekuasaan mereka.
Disadari atau tidak, inilah yang menjadi fitnah bagi para pemimpin kaum muslimin ketika itu, mereka lalai dan abai dari mempertahankan dan terus berkembang.
Mereka terlena dengan apa yang sudah mereka capai. Kedudukan dan kekayaan membuat mereka lupa bahwa banyak hal yang harus tetap mereka waspadai dan perhatikan.
Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Khaldun bahwa tabiat dari sebuah kerajaan adalah menikmati kebesarannya sendiri dan senang hidup bermewah-mewahan. Dan konsekuensi dari hal tersebut adalah terjadinya stagnasi dalam kehidupan bernegara dan terciptanya suasanya kehidupan yang lemah dan bermalas-malasan.
Para penguasa lalai memperhatikan rakyat, lupa untuk mencetak generasi penerus yang berkualitas, bahkan ketika kekayaan negara tidak mencukupi ambisi dan nafsu mereka, rakyat dicekik untuk membayarkan pajak dan upeti demi memenuhi kerakusan mereka. (Muqaddimah Ibnu Khaldun, Ibnu Khaldun, 286—287)
Gaya hidup yang glamor yang dilakukan para penguasa berefek terciptanya para pemimpin yang tidak punya visi dan misi dalam bernegara. Kehilangan arah dan tujuan. Ibarat kapal yang dihempas gelombang di tengah samudra, terombang ambing, sedangkan sang nakhoda dan ABK justru sedang santai menikmati santapan lezat dan meminum minuman yang memabukkan. Seperti itulah gambaran Andalus di penghujung usianya.
Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam sudah memperingatkan tentang fitnah harta dalam sabdanya,
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya setiap umat terdapat fitnah, dan fitnah yang ada pada umatku adalah fitnah harta.” (HR. At-Tirmidzi no. 2336)
Hikmah dan Faidah
Sejarah peradaban Islam di Andalus adalah salah satu ingatan terbaik yang dimiliki oleh sejarah peradaban Islam. Islam pernah mewarnai dan menjadi titik balik perubahan besar di Eropa, menjadi kiblat ilmu pengetahuan dan peradaban bagi bangsa lain, yang tentu hal tersebut menjadi kebanggaan.
Tapi selain ingatan yang indah tersebut, juga ada lembaran-lembaran menyedihkan dari hilangnya kekuasaan kaum muslimin di Andalus, bahkan hingga kini sisa-sisa jejaknya nyaris tidak bersisa kecuali sekedar bangunan-bangunan peninggalan yang menjadi identitas kebanggaan Andalus masa lalu, lebih dari itu semuanya telah dihapuskan.
Sejarah Andalus adalah pelajaran bagi generasi muslim yang hidup hari ini, banyak faedah dan hikmah yang dapat direguk dari perjalanan panjang peradaban Islam di Andalus. Selain tentang bagaimana menggapai kejayaan, juga tentang penyebab-penyebab kejatuhan dan keruntuhan.
Artikel Sejarah: Kemunduran Turki Utsmani Dipicu Oleh Beberapa Faktor Ini
Empat poin yang penulis sebutkan di atas mungkin adalah penyebab-penyebab umum dari jatuhnya Andalus; mulai dari jauhnya kaum muslimin dari agamanya sebagai faktor sentral, lalu disintegrasi umat Islam yang menjadi faktor internal, adanya perlawanan yang sengit dari kerajaan-kerajaan Nasrani sebagai faktor eksternal dan disorientasi tujuan bernegara sekaligus sikap hidup yang berlebihan para penguasa, yang semuanya bermuara pada hilangnya ruh Islam dalam pengamalan kaum muslimin, baik dari akar rumput hingga elite kekuasaan.
Peradaban maju Islam di Andalus tidak diperoleh dengan bersantai dan berleha-leha tetapi dengan mengerahkan segala kemampuan. Sayangnya, nikmat sejahtera dan terpenuhinya segala kebutuhan tidak dapat dimanfaatkan oleh generasi selanjutnya, justru mereka terjerumus dalam kelalaian.
Seperti gambaran Syauqi Abu Khalil yang tercantum dalam karyanya Masra’ Gharnatah, “Sesungguhnya umat Islam Andalus di akhir masanya, hidup dalam dekapan kenikmatan. Mereka tidur dalam naungan kekayaan, kesembronoan, kehidupan sia-sia tanpa beban. Akhlakul karimah hilang, seperti telah mati dalam diri mereka perlindungan para pendahulunya yang gagah perkasa.”
Mari belajar, mari mengambil i’tibar. Wallahu a’lam (Muhammad Faishal Fadhli/dakwah.id)
Artikel Spesial Ramadhan terbaru:
Tulisan sangat mengingatkan kepada kita agar selalu waspada dan tak boleh nyaman di zona aman
Alhamdulillah, semoga menjadi penyemangat kita